Teuku Umar sebagai Pahlawan Aceh dan Pahlawan Nasional sudah cukup dikenal. Bernama lengkap Teuku Umar Djohan Pahlawan, yang nenek moyangnya berasal dari Minangkabau, turunan Datuk Makudum Sati, pahlawan kelahiran Meulaboh, Aceh Barat, pada tahun 1854, dikenal sebagai orang sakti. Sangat lihai dan ahli dalam siasat perang.
"Teuku Umar yang dalam usia 19 tahun sudah jadi Keuchik atau kepala kampung di daerah Daya Meulaboh ini, sulit ditaklukan Belanda karena ia punya kesaktian, tak tembus peluru. Suami Cut Nyak Dhien ini gugur di medan pertempuran setelah ada pengikutnya berkianat dan memberitahukan kepada Belanda bahwa Teuku Umar hanya bisa ditembus peluru emas," kata Dahlia, petugas dari Balai Pengkajian Pelestarian Nilai Sejarah NAD, Kamis (25/6) di Panton Reu.
Berkunjung ke makam Teuku Umar, di pinggir jalan raya Meulaboh di Kabupaten Aceh Barat, Desa Mugou Rayeuk, Kecamatan Panton Reu, sudah terlihat gapura. Lalu masuk ke dalam kawasan hutan yang bisa ditempuh dengan kendaraan sejauh lebih kurang satu kilometer. Kemudian jalan kaki menuruni dan menaiki tangga sejauh 100 meter.
Makam Teuku Umar sangat sederhana, hanya berupa gundukan batu kerikil dengan nisan batu polos berukuran kecil. Makamnya dilindungi oleh bangunan cungkup rendah terbuka, dan berada di dalam kawasan hutan Glee Mugou.
Dahlia menjelaskan, semasa hidupnya Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien sama-sama bekerja keras berjuang untuk melawan Belanda. Melihat tentara Aceh semakin hari semakin terdesak oleh serangan agresif pasukan Belanda, Teuku Umar memasang siasat dan taktik strategi untuk berpura-pura memihak dan bekerja sama dengan Belanda.
Pada tahun 1883, Teuku Umar menyerahkan diri dan memihak kepada Belanda. Umar dipercaya melatih tentara Belanda perang gerilya dan memimpin penumpasan perlawanan rakyat Aceh. Hingga akhirnya Umar dapat hadiah besar berupa uang dan materi lainnya. Hadiah itu digunakan untuk menambah modal perang tentara Aceh yang dikirim secara rahasia.
Bahkan ketika Umar ditugasi menumpas Raja Teunom yang menawan kapal Inggris, Teuku Umar dalam perjalanan merebut seluruh senjata dan seluruh amunisinya beserta seluruh perlengkapan perang tentara Belanda yang menyertainya.
Pada Februari 1899 Jenderal Van Heutsz berada di Meulaboh, Teuku Umar berniat mencegat dan menangkapnya. Namun, justru gerak gerik Umar telah diketahui Belanda, sehingga Belanda menyiapkan pasukan yang cukup kuat di perbatasan Meulaboh untuk menghadang Umar.
Pada malam menjelang 11 Februari 1899 Umar kaget pasukannya dihadang Belanda. Pertempuran hebat pun terjadi. Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus dadanya. Agar jenazah Umar tak diambil Belanda, anak buah Umar membawanya dan mengelabui dengan membuat enam petilasan makam dan terakhir di tempat Teuku Umar dimakamkan sekarang, di Desa Meugo, sekitar 40 km dari Kota Meulaboh.
Kuburan Teuku Umar dilengkapi sejumlah fasilitas, sepert balai-balai, musholla, toilet, dan lainnya. Makam Teuku Umar tampak sederhana, berukuran sekitar 2 x 3 m., ditembok di setiap sisinya dengan batu-batu koral bertebaran menutupi bagian tengahnya.
Aura keagungan yang mistis terkesan menyeruak dari makam yang berada di dalam sebuah bangunan ala pendopo dengan berlantai pualam dan atap berciri bangunan tradisional Aceh. Di kepala makam terlihat plakat bertuliskan bahwa makam tersebut merupakan tempat peristirahatan terakhir salah seorang putra bangsa terbaik Aceh sekaligus pahlawan nasional, pejuang melawan penjajah Belanda.
"Teuku Umar yang dalam usia 19 tahun sudah jadi Keuchik atau kepala kampung di daerah Daya Meulaboh ini, sulit ditaklukan Belanda karena ia punya kesaktian, tak tembus peluru. Suami Cut Nyak Dhien ini gugur di medan pertempuran setelah ada pengikutnya berkianat dan memberitahukan kepada Belanda bahwa Teuku Umar hanya bisa ditembus peluru emas," kata Dahlia, petugas dari Balai Pengkajian Pelestarian Nilai Sejarah NAD, Kamis (25/6) di Panton Reu.
Berkunjung ke makam Teuku Umar, di pinggir jalan raya Meulaboh di Kabupaten Aceh Barat, Desa Mugou Rayeuk, Kecamatan Panton Reu, sudah terlihat gapura. Lalu masuk ke dalam kawasan hutan yang bisa ditempuh dengan kendaraan sejauh lebih kurang satu kilometer. Kemudian jalan kaki menuruni dan menaiki tangga sejauh 100 meter.
Makam Teuku Umar sangat sederhana, hanya berupa gundukan batu kerikil dengan nisan batu polos berukuran kecil. Makamnya dilindungi oleh bangunan cungkup rendah terbuka, dan berada di dalam kawasan hutan Glee Mugou.
Dahlia menjelaskan, semasa hidupnya Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien sama-sama bekerja keras berjuang untuk melawan Belanda. Melihat tentara Aceh semakin hari semakin terdesak oleh serangan agresif pasukan Belanda, Teuku Umar memasang siasat dan taktik strategi untuk berpura-pura memihak dan bekerja sama dengan Belanda.
Pada tahun 1883, Teuku Umar menyerahkan diri dan memihak kepada Belanda. Umar dipercaya melatih tentara Belanda perang gerilya dan memimpin penumpasan perlawanan rakyat Aceh. Hingga akhirnya Umar dapat hadiah besar berupa uang dan materi lainnya. Hadiah itu digunakan untuk menambah modal perang tentara Aceh yang dikirim secara rahasia.
Bahkan ketika Umar ditugasi menumpas Raja Teunom yang menawan kapal Inggris, Teuku Umar dalam perjalanan merebut seluruh senjata dan seluruh amunisinya beserta seluruh perlengkapan perang tentara Belanda yang menyertainya.
Pada Februari 1899 Jenderal Van Heutsz berada di Meulaboh, Teuku Umar berniat mencegat dan menangkapnya. Namun, justru gerak gerik Umar telah diketahui Belanda, sehingga Belanda menyiapkan pasukan yang cukup kuat di perbatasan Meulaboh untuk menghadang Umar.
Pada malam menjelang 11 Februari 1899 Umar kaget pasukannya dihadang Belanda. Pertempuran hebat pun terjadi. Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus dadanya. Agar jenazah Umar tak diambil Belanda, anak buah Umar membawanya dan mengelabui dengan membuat enam petilasan makam dan terakhir di tempat Teuku Umar dimakamkan sekarang, di Desa Meugo, sekitar 40 km dari Kota Meulaboh.
Kuburan Teuku Umar dilengkapi sejumlah fasilitas, sepert balai-balai, musholla, toilet, dan lainnya. Makam Teuku Umar tampak sederhana, berukuran sekitar 2 x 3 m., ditembok di setiap sisinya dengan batu-batu koral bertebaran menutupi bagian tengahnya.
Aura keagungan yang mistis terkesan menyeruak dari makam yang berada di dalam sebuah bangunan ala pendopo dengan berlantai pualam dan atap berciri bangunan tradisional Aceh. Di kepala makam terlihat plakat bertuliskan bahwa makam tersebut merupakan tempat peristirahatan terakhir salah seorang putra bangsa terbaik Aceh sekaligus pahlawan nasional, pejuang melawan penjajah Belanda.