Masjid Besar Tegal Kalong terletak di Jalan HajiSuleiman di wilayah
Kampung Kaum, Kelurahan Talun, Sumedang Selatan. Di sebelah timur
masjid terdapat tanah lapang kecamatan yang sekarang menjadi taman,
sebelah utara terdapat Pasar Inpres, sebelah barat pemukiman warga
Kampung Kaum, dan sebalah barat merupakan pemukiman wilayah Kampung
Sukaluyu.
Tegal Kalong dalam sejarah Sumedang merupakan ibu kota kerajaan
Sumedanglarang setelah dipindahkan dari Dayeuh Luhur pada tahun 1600-an.
Pemindahan ini terjadi pada waktu R. Suriadiwangsa menggantikan
ayahnya, Prabu Geusan Ulun. Setelah Kerajaan Sumedanglarang menjadi
daerah kekuasaan Mataram Islam, tempat ini oleh R. Suriadiwangsa
dijadikan pusat pemerintahan Kabupaten Sumedang. Sebagai kelengkapan
kota seperti yang berlaku pada umumnya kota-kota masa Islam di
Indonesia, R. Suriadiwangsa membangun masjid ini pada sekitar tahun
1600-an merupakan bangunan permanen berdenah segi empat berukuran 22 x 8
m. Ruang utama dilengkapi juga dengan pintu-pintu dan jendela-jendela.
Masjid beratap tumpang yang disangga empat tiang utama atau saka guru
dengan puncaknya dilengkapi dengan mustaka. Selain ruang utama, masjid
dilengkapi juga dengan teras dan tempat wudhu. Pada bagian masjid
terdapat halaman yang dilengkapi dengan pagar keliling dengan dua pintu.
Menurut keterangan dari pihak Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM), semula
masjid merupakan bangunan rumah panggung, dinding dari anyaman bambu
atau bilik. Setidaknya masjid telah mengalami 5 kali pemugaran.
Selain masjid, di tempat ini terdapat tinggalan arkeologi – sejarah
yang cukup penting, yaitu bekas Pendopo Kabupaten Sumedang. Bangunan
pendopo tersebut terletak di dekat masjid. Bangunan yang mengalami
perubahan dan penambahan bentuk ini sekarang difungsikan sebagai Kantor
Camat Sumedang Selatan.
Salah satu peristiwa sejarah yang cukup penting di masjid ini
adalah ketika pada tahun 1786 terjadi serangan tentara Kesultanan Banten
yang dipimpin oleh Cilik Widara. Serangan dilakukan ketika Bupati dan
para pejabat serta masyarakat sedang menjalankan shalat Hari Raya Idul
Fitri yang mengakibatkan banyak jatuh korban di pihak Sumedang. Setelah
peristiwa tersebut pusat pemerintahan dipindahkan ke pusat kota yang
sekarang. Peristiwa yang memilukan tersebut juga berakibat lain adalah
tabu bagi para bupati selanjutnya bila shalat Idul Fitri jatuh pada hari
Jumat untuk shalat di ibu kota Sumedang.