Suasana sakral mengiringi upacara Tingalan Jumenengan Dalem (ulang tahun penobatan raja) PB XII. Kesakralan yang tercipta itu ditunjang oleh suguhan tari Bedaya Ketawang. Sebuah tari yang amat disakralkan dan hanya digelar setahun sekali. Konon di dalamnya sang Ratu Kidul ikut menari sebagai tanda penghormatan kepada raja-raja penerus Dinasti Mataram.
Perbendaharaan beksan (tarian) tradisi keraton Surakarta terdiri dari berbagai ragam. Dilihat dari fungsinya, tarian itu bisa dibagi dalam 3 macam. Yaitu tari yang punya sifat magis religius, tari yang menggambarkan peperangan, dan tari yang mengandung cerita (drama). Masing-masing tari tercipta karena ada sejarahnya yang dipengaruhi oleh suasana saat itu. Berbagai macam jenis tari yang diciptakan oleh pengramu keraton bukan asal bikin, melainkan dipadu dengan masukan dari kalangan lelembut yang punya hubungan baik dengan keluarga keraton. Sehingga ada muatan mitis dan gaib.
Tari yang punya sifat magis-religius ini, seperti Bedhaya biasanya diperagakan oleh kaum putri yang berjumlah 7 atau 9, sedang yang diperagakan oleh 4 putri biasa disebut Tari Srimpi. Di samping tari rancak yang lewes seperti menggambarkan peperangan atau latah disebut Wireng, biasanya diperagakan oleh kaum pria yang secara umum menggunakan senjata seperti tombak, pedang atau lawung. Ciri tarian ini adalah tidak ada cerita mengingat dalam tarian ini hanya bersifat perang-perangan. Adapun yang termasuk dalam tari ini di antaranya adalah Beksan Lawung, Bandabaya, atau Guntur Segara. Sedang tari yang mengandung cerita, antara lain Wayang yang mengambil sumber cerita dari Mahabarata dan Ramayana. Topeng mengambil cerita dari Panji dan biasanya diperagakan oleh kaum pria, dan Langendriyan mengambil cerita dari Babad dan biasanya disajikan oleh kaum wanita semua.
Tari Langendriyan sebenarnya mirip seperti opera di mana semua dialog dinyanyikan. Di keraton Surakarta didapati sebuah tari yang termasuk drama, namaun tanpa antawacana (dialog) dan tembang (nyanyian). Seperti tari Boyong Wukir karya Paku Buwana (PBI) IV. Tari ini digunakan sebagai pelengkap dari sesaji Boyong Wukir, yakni tata cara pindahnya keraton dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Februari 1745. Dalam perkembangan berikutnya oleh PB V, tari ini digubah menjadi Wayang Gedog dengan cerita Raden Panji, Sekartaji, dan Prabu Klana (menggambarkan zaman Kediri).
Pada wal mulanya tari Bedhaya Ketawang di Keraton Surakarta Cuma diperagakan oleh tujuh wanita saja. Namun dalam perkembangan selanjutnya, karena tari ini dianggap sebuah tarian khusus dan dipercaya sebagai tari yang amat sakral kemudian diperagakan oleh sembilan orang penari.
Berbeda dengan tarian lainnya, Bedhaya Ketawang ini semula khusus diperagakan oleh abdi dalem Bedhaya Keraton Surakarta. Iramanya pun terdengar lebih luruh (halus) dibanding dengan tari lainnya semisal Srimpi, dan dalam penyajiannya tanpa disertai keplok-alok (tepuk tangan dan perkataan). Dikatakan tari Bedhaya karena tari ini menyesuaikan dengan gendingnya, seperti Bedhaya Gending Ketawang Ageng (Karya Penembahan Senapati) Bedhaya Gending Tejanata dan Sinom (karya PB IX) Bedhaya Pangkur (karya PB VIII), Miyanggong (karya PB IV), Duradasih (karya PB V), dan lainnya.
Tentang siapa pencipta tari Bedhaya Ketawang itu sendiri sampai sekarang memang masih rancu. Satu sumber menyebutkan bahwa tari ini diciptakan oleh Penembahan Sanapati-Raja Mataram pertama-sewaktu bersemadi di Pantai Selatan. Ceritanya, dalam semadinya Penembahan Senapati bertemu dengan Kanjeng Ratu Kencanasari (Ratu Kidul) yang sedang menari. Selanjutnya, penguasa laut Selatan ini mengajarkannya pada penguasa Mataram ini.
Sumber lainnya menyebutkan bahwa tari Bedhaya Ketawang ini diciptakan oleh Sultan Agung Anyakrakusuma (cucu Panembahan Senapati). Menurut Kitab Wedhapradangga yang dianggap pencipta tarian ini adalah Sultan Agung (1613-1645), raja terbesar dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut Selatan.
Ceritanya, ketika Sultan Agung sedang bersemadi, tiba-tiba mendengar alunan sebuah gending. Kemudian Sultan Agung berinisatif menciptakan gerakan-gerakan tari yang disesuaikan dengan alunan gending yang pernah didengar dalam alam semadinya itu. Akhirnya, gerakan-gerakan tari itu bisa dihasilkan dengan sempurna dan kemudian dinamakan tari Bedhaya Ketawang.
Perbendaharaan beksan (tarian) tradisi keraton Surakarta terdiri dari berbagai ragam. Dilihat dari fungsinya, tarian itu bisa dibagi dalam 3 macam. Yaitu tari yang punya sifat magis religius, tari yang menggambarkan peperangan, dan tari yang mengandung cerita (drama). Masing-masing tari tercipta karena ada sejarahnya yang dipengaruhi oleh suasana saat itu. Berbagai macam jenis tari yang diciptakan oleh pengramu keraton bukan asal bikin, melainkan dipadu dengan masukan dari kalangan lelembut yang punya hubungan baik dengan keluarga keraton. Sehingga ada muatan mitis dan gaib.
Tari yang punya sifat magis-religius ini, seperti Bedhaya biasanya diperagakan oleh kaum putri yang berjumlah 7 atau 9, sedang yang diperagakan oleh 4 putri biasa disebut Tari Srimpi. Di samping tari rancak yang lewes seperti menggambarkan peperangan atau latah disebut Wireng, biasanya diperagakan oleh kaum pria yang secara umum menggunakan senjata seperti tombak, pedang atau lawung. Ciri tarian ini adalah tidak ada cerita mengingat dalam tarian ini hanya bersifat perang-perangan. Adapun yang termasuk dalam tari ini di antaranya adalah Beksan Lawung, Bandabaya, atau Guntur Segara. Sedang tari yang mengandung cerita, antara lain Wayang yang mengambil sumber cerita dari Mahabarata dan Ramayana. Topeng mengambil cerita dari Panji dan biasanya diperagakan oleh kaum pria, dan Langendriyan mengambil cerita dari Babad dan biasanya disajikan oleh kaum wanita semua.
Tari Langendriyan sebenarnya mirip seperti opera di mana semua dialog dinyanyikan. Di keraton Surakarta didapati sebuah tari yang termasuk drama, namaun tanpa antawacana (dialog) dan tembang (nyanyian). Seperti tari Boyong Wukir karya Paku Buwana (PBI) IV. Tari ini digunakan sebagai pelengkap dari sesaji Boyong Wukir, yakni tata cara pindahnya keraton dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Februari 1745. Dalam perkembangan berikutnya oleh PB V, tari ini digubah menjadi Wayang Gedog dengan cerita Raden Panji, Sekartaji, dan Prabu Klana (menggambarkan zaman Kediri).
Pada wal mulanya tari Bedhaya Ketawang di Keraton Surakarta Cuma diperagakan oleh tujuh wanita saja. Namun dalam perkembangan selanjutnya, karena tari ini dianggap sebuah tarian khusus dan dipercaya sebagai tari yang amat sakral kemudian diperagakan oleh sembilan orang penari.
Berbeda dengan tarian lainnya, Bedhaya Ketawang ini semula khusus diperagakan oleh abdi dalem Bedhaya Keraton Surakarta. Iramanya pun terdengar lebih luruh (halus) dibanding dengan tari lainnya semisal Srimpi, dan dalam penyajiannya tanpa disertai keplok-alok (tepuk tangan dan perkataan). Dikatakan tari Bedhaya karena tari ini menyesuaikan dengan gendingnya, seperti Bedhaya Gending Ketawang Ageng (Karya Penembahan Senapati) Bedhaya Gending Tejanata dan Sinom (karya PB IX) Bedhaya Pangkur (karya PB VIII), Miyanggong (karya PB IV), Duradasih (karya PB V), dan lainnya.
Tentang siapa pencipta tari Bedhaya Ketawang itu sendiri sampai sekarang memang masih rancu. Satu sumber menyebutkan bahwa tari ini diciptakan oleh Penembahan Sanapati-Raja Mataram pertama-sewaktu bersemadi di Pantai Selatan. Ceritanya, dalam semadinya Penembahan Senapati bertemu dengan Kanjeng Ratu Kencanasari (Ratu Kidul) yang sedang menari. Selanjutnya, penguasa laut Selatan ini mengajarkannya pada penguasa Mataram ini.
Sumber lainnya menyebutkan bahwa tari Bedhaya Ketawang ini diciptakan oleh Sultan Agung Anyakrakusuma (cucu Panembahan Senapati). Menurut Kitab Wedhapradangga yang dianggap pencipta tarian ini adalah Sultan Agung (1613-1645), raja terbesar dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut Selatan.
Ceritanya, ketika Sultan Agung sedang bersemadi, tiba-tiba mendengar alunan sebuah gending. Kemudian Sultan Agung berinisatif menciptakan gerakan-gerakan tari yang disesuaikan dengan alunan gending yang pernah didengar dalam alam semadinya itu. Akhirnya, gerakan-gerakan tari itu bisa dihasilkan dengan sempurna dan kemudian dinamakan tari Bedhaya Ketawang.