Komplek makam Gunung Sembung berada di Dusun Astana, Desa Astana,
Kecamatan Cirebon Utara. Komplek makam terletak di sebelah barat jalan
raya yang menghubungkan Cirebon dan Indramayu. Jarak dari pusat kota
Cirebon sekitar 5 km. Di sebelah utara komplek makam terdapat aliran
Kali Condong dan di sebelah selatannya mengalir Kali Pekik. Secara
geografis terletak pada pedataran bergelombang di pantai utara Jawa.
Tokoh utama yang dimakamkan di komplek makam Gunung Sembung adalah
Sunan Gunungjati. Selain itu juga terdapat makam-makam Sultan Cirebon
lainnya beserta kerabatnya. Untuk memasuki komplek ini dari jalan raya
melewati jalan kecil sejauh sekitar 500 m.
Kompleks makam Gunung Sembung dibangun pada tahun 1400 Saka yang
ditandai dengan candra sengkala “Sirna Tanana Warna Tunggal”. Di depan
komplek makam terdapat alun-alun. Di tengah alun-alun terdapat pohon
beringin. Sisi barat ditanami pohon munggur, sedangkan pada sisi utara
terdapat pohon sawo kecik dan tanjung. Di halaman alun-alun ini terdapat
dua bangunan yaitu Mande Mangu atau Mande tepasan yang berada di sisi
barat dan Pendopo Ringgit yang berada di timur. Bangunan Mande Mangu
dibuat pada tahun 1402 Saka yang ditandai dengan candrasengkala “Singa
Kari Gawe Anake”. Menurut tradisi bangunan tersebut merupakan hadiah
dari Ratu Nyawa anak Raden Patah dari Demak yang menikah dengan Pangeran
Bratakelana anak Sunan Gunung Jati. Pangeran Bratakela meninggal di
laut ketika dalam pelayaran dari Demak ke Cirebon.
Gerbang utama untuk memasuki komplek makam ada dua berbentuk gapura
candi bentar. Dua gerbang tersebut dinamakan Gapura Kulon dan Gapura
Wetan. Gerbang yang dipakai untuk umum adalah yang berada di timur
(Gapura Wetan). Memasuki halaman pertama di sisi kanan terdapat Sumur
Jati. Di sebelah kiri gerbang berderet tiga bangunan yaitu Mande Cungkup
Danalaya, berada di bagian timur, di bagian tengah ruang Museum
merupakan tempat penyimpanan benda-benda milik Sunan Gunung Jati.
Benda-benda tersebut merupakan pemberian dari negara luar diantaranya 10
guci dari Cina masa dinasti Ming. Di sebelah selatan Kong Museum adalah
bangunan Mande Cungkup Trusmi.
Memasuki pintu gerbang kedua di sebelah kanan terdapat bebrapa
padasan untuk mengambil air wudlu bagi peziarah. Di sebelah kiri
terdapat bangunan Pendopo Soka yang fungsinya untuk tempat istirahat
bagi tamu yang akan ziarah. Di sebelah selatan bangunan ini terdapat
Siti Hinggil. Selanjutnya di sebelah selatan Siti Hinggil terdapat
bangunan Mande Budi Jajar atau Mande Pajajaran, yang dibuat pada tahun
1401 Saka (1479 M) yang ditandai dengan candrasengkala “Tunggal Boya
Hawarna Tunggal”. Bangunan ini merupakan hadiah dari Prabu Siliwangi
kepada Pangeran Cakrabuana atau Walasungsang. Mande Pajajaran berdenah
bujur sangkar dengan ukuran 9, 80 x 9,80 m. Tinggi bangunan 6,80 m dan
memiliki tiang 8 buah. Pada bagian atas tiang, antara balok tarik dan
tiang, terdapat ornament dengan pola hias kembang persegi. Di bagian
ujung atas dan bawah tiang dihias ukiran motif tumbuhan.
Memasuki halaman ketiga melewati Gerbang Weregu, selanjutnya
melalui koridor menuju bangsal Pekemitan. Bangsal ini terbagi dua bagian
di sebelah timur disebut Paseban Kraman dan yang di sebelah barat
disebut Paseban Bekel. Bangsal ini merupakan tempat para pengurus
komplek makam menerima para peziarah. Para peziarah selanjutnya harus
berbelok ke kiri melewati koridor hingga sampai ke halaman khusus untuk
para peziarah. Di sekitar halaman peziarah banyak terdapat makam-makam
kerabat kesultanan baik dari Sultan Kasepuhan maupun Kanoman. Di halaman
ini juga banyak terdapat hiasan tempel piring porselain dan beberapa
tempayan porselin. Kebanyak berasal dari Cina. Para peziarah melakukan
prosesi ziarah hanya sampai di sini. Untuk ziarah ke makam Sunan Gunung
Jati cukup diwakili hingga di Lawang Pesujudan yang berada di sebelah
utara halaman.
Di sebelah timur halaman ini terdapat bangunan yang disebut Gedong
Raja Sulaeman. Gedung ini dibangun oleh Sultan Sepuh ke-9. Dinding
bangunan dihias tempelan piring porselain dari Eropa dan Cina. Di
sebelah barat halaman peziarah terdapat bangunan yang dinamakan
Pelayonan atau Mande Layon. Di sebelah barat bagian ini terdapat komplek
makam khusus yang berpagar kayu. Salah satu makam di halaman ini adalah
makam Nio Ong Tin atau disebut juga dengan nama Nyai Rara Sumanding.
Di sebelah selatan terdapat gerbang yang disebut Lawang Krapyak. Di
sebelah utara terdapat gerbang menuju halaman berikutnya yang disebut
Lawang Pesujudan atau Siblangbong. Lawang Krapyak dan Lawang Pesujudan
merupakan dua dari sembilan pintu gerbang yang berada pada satu garis
lurus dari selatan ke utara hingga sampai ke makam Sunan Gunung Jati di
bagian puncak gunung.
Kesembilan pintu gerbang tersebut adalah 1) Gapura Kulon, 2) Lawang
Krapyak, 3) Lawang Pesujudan atau Siblangbong, 4) Lawang Ratnakomala,
5) Lawang Jinem, 6) Lawang Rararoga, 7) Lawang Kaca, 8) Lawang Bacem,
dan 9) Lawang Teratai. Gapura Kulon, hanya dibuka pada waktu Syawalan
dan itu hanya dipakai untuk keluarga Sultan. Lawang Krapyak dibuka
setiap malam Jumat Kliwon sesudah acara tahlil. Demikian juga Lawang
Pesujudan dibuka hanya pada malam Jumat Kliwon sesudah tahlil, tetapi
hanya peziarah yang mendapat ijin dari Sultan yang boleh memasuki
halaman berikutnya.
Petugas yang mengurus kompleks makam berada dalam satu sistem
organisasi. Seluruh aktivitas berada di bawah koordinator Ki Jeneng.
Beliau mengkoordinir 120 staf. Ki Jeneng dibantu 4 orang asisten senior
yang disebut Bekel Sepuh atau Bekel Tua dan 8 orang asisten yunior yang
disebut Bekel Anom. Selanjutnya terdapat 108 asisten pelaksana yang
disebut Wong Kraman. Para petugas ini merupakan keturunan Patih Keling
yaitu seorang pembantu Sultan yang berprofesi sebagai pelaut. Struktur
organisasi pengelola komplek makam tersebut mengandung makna bahwa Bekel
Sepuh dan Bekel Anom merupakan simbol Keraton Kasepuhan dan Kanoman.
Wong Kraman yang berjumlah 108 mengikuti sistem organisasi dalam
pelayaran.
Setiap dua minggu terjadi pergantian petugas. Dalam satu kelompok,
Ki Jeneng dibantu 2 orang bekel tua dan 2 bekel anom. Di Paseban Kraman
terdapat 12 orang kraman yang bertugas penuh selama 2 minggu. Kraman
yang 12 hanya bertugas seminggu sebab jumlahnya ada 108 orang yang
dilakukan secara bergilir. Baik Jeneng, Bekel Tua, Bekel Anom, maupun
Kraman serta penghulu selain punya tugas mengurus makam juga sewaktu
dapat membantu tugas-tugas khusus di keraton atas perintah kedua Sultan
Kasepuhan dan Kanoman. Dalam menjalankan tugasnya mereka mengenakan
pakaian adat yaitu memakai iket, baju kampret warna putih dan tapih.
Mengenai tokoh Sunan Gunung Jati sudah banyak dibicarakan dalam
buku sejarah. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari sembilan orang
penyebar agama Islam terkenal di Pulau Jawa yang dikenal dengan sebutan
Wali Sanga. Kehidupan beliau di samping sebagai pemimpin spiritual,
sufi, mubaligh dan da’i pada zamannya, juga sebagai pemimpin rakyat
karena beliau adalah raja (Sultan) pertama di Kesultanan Cirebon yang
semula bernama Pakungwati.
Sunan Gunung Jati memiliki nama asli yaitu Syarif Hidayatullah
putera Maulana Ishaq Syarif Abdillah seorang penguasa dari kota
Ismailiah, Arab Saudi. Sunan Gunung Jati bukan Fatahilah atau Faletehan
ulama dari Aceh sebagaimana sering dibahas dalam buku-buku sejarah Wali
Sanga. Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah. Hal ini dapat
dibuktikan bahwa di samping makam Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah
terdapat makam Tubagus Pasai Fathullah yang tidak lain adalah Faletehan.
Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah hidup pada zaman Raden Patah
Sultan Demak pertama, sedangkan Fatahilah datang dari Aceh pada masa
pemerintahan Sultan Trenggono, sulan ketiga setelah Dipati Ukur.
Sunan Gunung Jati adalah putra Nyi Ratu Rarasantang atau Syarifah
Muda’im dengan Maulana Ishaq Syarif Abdillah penguasa kota Isma’iliyah.
Maulana Ishaq Syarif Abdillah dikaruniai dua putera, yaitu Syarif
Hidayatullah yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati dan Syarif
Nurullah. Keduanya diperintah ayahnya untuk menimba ilmu seperti ilmu
agama, ilmu sosial, dan ilmu tasauf dari ulama Baghdad. Pada saat Syarif
Hidayatullah berumur 20 tahun ayahnya meninggal dunia maka ia ditunjuk
untuk menggantikan memerintah Kota Isma’iliyah. Syarif Hidayatullah
tidak bersedia karena sudah bertekad untuk melaksanakan harapan ibunya
menjadi mubaligh di Caruban. Pemerintahan kota Isma’iliyah dilimpahkan
kepada adiknya Syarif Nurullah.
Setelah pengangkatan Syarif Nurullah sebagai penguasa Kota
Isma’iliyah maka ibunda Syarifah Muda’im beserta Syarif Hidayatullah
untuk pulang ke tanah Jawa dan singgah dibeberapa tempat dan baru pada
tahun 1475 sampai di Caruban. Syarif Hidayatullah ingin dekat dengan
tempat makam gurunya yaitu Syekh Dzatul Kahfi. Ia meminta ijin kepada
Pangeran Cakrabuana dan diijinkannya untuk tinggal bersama anaknya di
Pertamanan Gunung Sembung sambil mengajarkan agama Islam sebagai penerus
Paguron Islam Gunung Jati. Pangeran Cakrabuana kemudian menikahkan
putrinya Nyi Ratu Pakungwati dengan Pangeran Syarif Hidayatullah, dan
pada tahun 1479 Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan atas negeri
Caruban ke menantunya yaitu Syarif Hidayatullah dengan gelar Sunan
Gunung Jati. Dengan dinobatkannya Syarif Hidayatullah sebagai pemimpin
tertinggi Nagari Caruban di Istana atau Keraton Pakungwati ini menambah
besarnya nama Caruban serta pesatnya penyebaran agama Islam
Langkah-langkah selanjutnya ingin menyebarkan agama Islam di
sekitar Cirebon, seperti Talaga dan Rajagaluh. Dan ia kembali lagi ke
Gunung Sembung guna menata agama Islam di Pasambangan, yaitu menjadi
guru Agama Islam di Paguron Pasambangan. Pada tahun 1568 warga
kesultanan Cirebon berduka atas wafatnya Syarif Hidayahtullah (Sunan
Gunung Jati). Ketika meninggal Sunan Gunung Jati berusia 120 tahun.
Bersama ibu Syarifah Muda’im dan Pangeran Cakrabuana, beliau dikebumikan
di Pertamanan Gunung Sembung.