Makam Batu Layar

Selain masjid Kuno Bayan Beleq, makam Selaparang dan Loang Baloq yang sering menjadi tujuan wisata religi, Lombok masih menyimpan destinasi lainnya yang serupa yakni makam Batu Layar yang menurut kepercayaan setempat menjadi makam keturunan Nabi Muhammad SAW. Ada juga yang mengatakan bahwa makam tersebut merupakan tempat peristirahatan tokoh Islam berkebangsaan Baghdad bernama Sayid Duhri Al Haddad Al Hadrami.

Sayid Duhri Al Haddad Al Hadrami dipercaya sebagai salah satu tokoh penyebar agama Islam di Indonesia. Beberapa publikasi yang lain menyebut nama tokoh Baghdad yang datang bernama Syeh Syayid Muhammad Al Bagdadi. Entah mana yang benar namun alkisah ia datang ke Lombok untuk melakukan syiar agama. Setelah agama Islam sempurna, ia ingin kembali ke negara asalnya. Saat akan pulang ia diantar ke pinggir pantai Batu Layar oleh para muridnya. Setelah tiba di pinggir pantai, ia duduk diatas batu yang menyerupai sebuah batu. Tak seberapa lama datanglah hujan lebat disertai dengan angin dan peting. Pada saat itulah Syeh Sayid menghilang dan yang tertinggal hanyalah seonggok batu tersebut. Cerita itu pun kemudian melahirkan kisah bahwa yang dimakamkan di makam Batu Layar bukanlah jasad Syeh Sayid namun kopiah dan sorban yang ia tinggalkan.

Itu sebabnya mengapa makam ini disebut sebagai malam keramat dan sering digunakan sebagai tempat untuk membayar nazar. Yang dimaksud nazar adalah janji yang biasanya diucapkan oleh seseorang sebagai bentuk permohonan jika maksudnya terkabul. Beberapa nazar yang sering diungkapkan oleh para peziarah makam Batu Layar adalah nazar akan berziarah ke makam ini jika keinginan mereka berangkat haji atau umroh tercapai. Itu mengapa saat menjelang musim haji, makam Batu Layar ramai dikunjungi mereka yang akan berangkat ke tanah suci. Kabarnya, tak cuma wisatawan dari Lombok saja yang mengunjungi makam Batu Layar, tetapi juga wisatawan dari luar pulau.

Makam Batu Layar mencapai puncak ramai saat perayaan lebaran topat, yakni lebaran yang diselenggarakan tepat 7 hari setelah Idul Fitri. Lebaran topat bahkan sudah menjadi kegiatan rutin yang diselengarakan oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Barat. Diawali dengan tradisi Nyangkar oleh Wakil Bupati Lombok. Dalam tradisi Nyangkar terdapat prosesi pengambilan air lingkuk emas untuk bejanjam. Bejanjam adalah membasuh wajah anah-anak dengan harapan kelak mereka menjadi anak yang saleh. Sedangkan air lingkuk emas diambil dari kaki bukit Batu Layar yang keberadaannya diketahui sebelum zaman Belanda. Sebelum mengambil air ini ada beberapa sesajen yang harus disiapkan yakni penginang pidade yang diisi tokok lekes, jembung kuning tempat ceret, beras kuning, empok-empok dan kejamas. Setelah itu ada proses nguris rambut  yakni memotong rambut bayi.

Lokasi makam yang berada di Lombok Barat ini berjarak sekitar 9 km ke arah utara kota Mataram. 


Syeikh Subakir Dan Tanah Jawa

Syekh Subakir, sangat berjasa dalam menumbali tanah Jawa, ”Dalam legenda yang beredar di Pulau Jawa dikisahkan, Sudah beberapa kali utusan dari Negeri Arab, untuk menyebarkan Agama Islam di tanah Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya tapi telah gagal secara makro. Disebabkan orang-orang Jawa pada waktu itu masih kokoh memegang kepercayaan lama. Dengan tokoh-tokoh gaibnya masih sangat menguasai bumi dan laut di sekitar P Jawa. Para ulama yang dikirim untuk menyebarkan Agama Islam mendapat halangan yang sangat berat, meskipun berkembang tetapi hanya dalam lingkungan yang kecil, tidak bisa berkembang secara luas. Secara makro dapat dikatakan gagal. Maka diutuslah Syekh Subakir untuk menyebarkan agama Islam dengan membawa batu hitam yang dipasang oleh Syekh Subakir di seantero Nusantara, untuk tanah Jawa diletakkan di tengah-tengahnya yaitu di gunung Tidar . Efek dari kekuatan gaib suci yang dimunculkan oleh batu hitam menimbulkan gejolak, mengamuklah para mahluk : Jin, setan dan mahluk halus lainnya. Syekh Subakir lah yang mampu meredam amukan dari mereka. Akan tetapi mereka sesumbar dengan berkata: “ Walaupun kamu sudah mampu meredam amukan kami, kamu dapat mengembangkan agama Islam di tanah Jawa, tetapi Kodratullah tetap masih berlaku atas ku, ingat itu wahai Syeh Subakir.” “Apa itu?” kata Syekh Subakir. Kata Jin, “Aku masih dibolehkan untuk menggoda manusia, termasuk orang-orang Islam yang imannya masih lemah”.

Makam Syeikh Subakir
Syekh Subakir berasal dari Iran ( dalam riwayat lain Syekh Subakir berasal dari Rum). Syekh Subakir diutus ke Tanah Jawa bersama-sama dengan Wali Songo Periode Pertama, yang  diutus oleh  Sultan Muhammad I dari Istambul, Turkey,  untuk berdakwah di  pulau Jawa pada tahun 1404,

Syekh Subakir berasal dari Iran ( dalam riwayat lain Syekh Subakir berasal dari Rum, Baghdad). Syekh Subakir diutus ke Tanah Jawa bersama-sama dengan Wali Songo Periode Pertama, yang  diutus oleh  Sultan Muhammad I dari Istambul, Turkey,  untuk berdakwah di  pulau Jawa pada tahun 1404,  mereka  diantaranya:
       Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara.
       Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.
       Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
       Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko.
       Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli mengatur negara.
       Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
       Maulana Hasanudin, dari Palestina.
       Maulana Aliyudin, dari Palestina.
       Syekh Subakir, dari Iran, Ahli menumbali daerah yang angker yang dihuni jin jahat.


Dalam legenda yang beredar di Pulau Jawa dikisahkan, bahwa sudah beberapa kali utusan dari Arab didatangkan untuk menyebarkan Agama Islam di tanah Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya, tapi selalu gagal secara makro. Kegagalan itu disebabkan karena orang-orang Jawa pada waktu itu masih kokoh memegang kepercayaan lama. Masyarakat masih senang menyembah barang-barang bertuah dan ruh-ruh yang diyakininya dapat membimbing, memberi ilham dan menolong mereka.

Dengan tokoh-tokoh gaibnya, para tokoh masyarakat masih sangat menguasai bumi dan laut di sekitar Pulau Jawa. Para ulama yang dikirim untuk menyebarkan Agama Islam mendapat halangan yang sangat berat. Meskipun berkembang, tetapi hanya dalam lingkungan yang kecil, tidak bisa berkembang secara luas. Artinya, secara makro dapat dikatakan gagal.

Karena itu, maka diutuslah Syeh Subakir yang dikenal memang sakti mandraguna. Beliau diutus secara khusus menangani masalah-masalah yang terkait magic dan spiritual yang dinilai telah menjadi penghalang diterimanya Islam oleh masyarakat yang masih demen ilmu-ilmu mistik.

Untuk menyebarkan agama Islam, menurut cerita yang berkembang, Syekh Subakir membawa batu hitam yang dipasang  di seantero Nusantara, untuk tanah Jawa diletakkan di tengah-tengahnya yaitu di gunung Tidar . Efek dari kekuatan gaib suci yang dimunculkan oleh batu hitam menimbulkan gejolak, mengamuklah para mahluk: Jin, setan dan mahluk halus lainnya. Syeh Subakir lah yang mampu meredam amukan dari mereka. Akan tetapi mereka sesumbar dengan berkata: “Ya Syekh, walaupun kamu sudah mampu meredam amukan kami dan kamu dapat mengembangkan agama Islam di tanah Jawa, tetapi Kodratullah tetap masih berlaku atas ku, ingat itu wahai Syeh Subakir.” “Apa itu?” kata Syeh Subakir. Kata Jin, “Aku masih dibolehkan untuk menggoda manusia, termasuk orang-orang Islam yang imannya masih lemah”.

Tidak salah bila kemudian, gunung Tidar dikenal dengan Paku Tanah Jawa. Gunung Tidar tak terpisahkan dengan pendidikan militer. Gunung yang dalam legenda dikenal sebagai "Pakunya tanah Jawa" itu terletak di tengah Kota Magelang. Berada pada ketinggian 503 meter dari permukaan laut, Gunung Tidar memiliki sejarah dalam perjuangan bangsa. Di Lembah Tidar itulah Akademi Militer sebagai kawah candradimuka yang mencetak perwira pejuang Sapta Marga berdiri pada 11 November 1957.

Di puncak Gunung Tidar ada lapangan yang cukup luas. Di tengah lapangan tersebut terdapat sebuah Tugu dengan simbol huruf Sa (dibaca seperti pada kata Solok) dalam tulisan Jawa pada tiga sisinya. Menurut penuturan juru kunci, itu bermakna Sapa Salah Seleh (Siapa Salah Ketahuan Salahnya). Tugu inilah yang dipercaya sebagian orang sebagai Pakunya Tanah Jawa, yang membuat tanah Jawa tetap tenang dan aman.

Gunung Tidar tidak hanya terkenal sebagai ikon atau identitas Kota Magelang. Bagi sebagian orang yang memang nglakoni lelaku spiritual , Gunung Tidar merupakan salah satu obyek yang menjadi tempat tujuan mereka untuk mendekatkan diri kepada Gusti Allah. Dahulu, Gunung Tidar terkenal akan ke-angker-annya dan menjadi rumah bagi para Jin dan Makhluk Halus. Jalmo Moro Jalmo Mati, setiap orang yang datang ke Gunung Tidar bisa dipastikan kalau tidak mati ya modar (dan mungkin hal ini yang menjadi asal usul nama Tidar).

Berdasarkan penuturan Juru Kunci Gunung Tidar, di Gunung Tidar terdapat 2 buah makam yaitu Makam Kyai Sepanjang dan Makam Sang Hyang Ismoyo (atau yang lebih dikenal sebagai Kyai Semar). Sedangkan tempat yang selama ini dikenal sebagai Makam Syekh Subakir sebenarnya hanyalah petilasan beliau.

Jadi, beliau dikenal sebagai wali Allah yang menaklukkan Jin dan Makhluk Halus di Gunung Tidar sehingga para makhluk halus tersebut ‘mengungsi’ ke Pantai Selatan, tempat Nyai Roro Kidul. Setelah berhasil menaklukkan Jin dan Makhluk Halus, Syekh Subakir kembali ke tanah asalnya di Rom (Baghdad). Di petilasan Syekh Subakir ini tersedia mushola kecil dan pendopo. Petilasan Syekh Subakir sebelumnya ditandai dengan adanya kijing yang terbuat dari kayu. Setelah dipugar, kijing tersebut diletakkan di pendopo dan diganti dengan batu fosil yang berasal dari Tulung Agung serta dikelilingi pagar tembok yang berbentuk lingkaran dan tanpa atap.

Pada tahap berikutnya, kedudukan Syekh Subakir, Sang Babad Tanah Jawa sebagai salah satu Wali Songo, digantikan oleh Sunan Kalijaga yang banyak disebut-sebut pimpinan para wali di Tanah Jawa karena kekeramatannya yang begitu melegenda.
 
ADA satu kisah menarik dalam petilan “Babad Tanah Jawa”. Meskipun kisah ini merupakan petilan. Namun intisari yang tertanam di dalamnya, ternyata tetap masih aktual di saat ini sekali pun. Ketika itu, datanglah para ulama dari “Sebrang Lautan” (Mesir) ke Tanah Jawa. Tujuan para ulama utusan Sultan Mesir itu adalah untuk menyebarkan agama Islam, yang menurut laporan masih banyak penduduk Jawa yang kafir. Para ulama itu dipimpin seorang Syeh yang bernama Syech Subakir Sebelum Syech Subakir datang, telah beberapa kali ulama pendahulunya menginjakan kakinya di Tanah Jawa. Namun, setiap kali mereka datang, selalu gagal menyebarkan agama Islam. Mengapa? Pertanyaan itulah yang berada di benak Syech Subakir.

Dan tidak berapa lama setelah sampai ke Tanah Jawa, Syech asal Persia (Iran) itu berhasil mendapatkan jawaban dari pertanyaannya tersebut. Ternyata, seluruh Tanah Jawa dari ujung Timur sampai ke Barat di jaga oleh bangsa jin yang dipimpin Sabdo Palon. Kegagalan para ulama sebelumnya adalah karena ulah mereka, para jin kafir yang tidak mau masuk Islam dan menentang Islam berkembang di Tanah Jawa. Untungnya, Syech Subakir menguasai ilmu tentang makhluk halus, sehingga dia dan para ulama yang dipimpinnya berhasil mengetahui keberadaan para jin tersebut. Dalam wujud kasarnya, para mahluk halus itu ada yang berujud ombak yang besar yang mampu menenggelamkan kapal berikut penumpangnya. Juga angin puting beliung, dan sebagainya yang mampu memporak- porandakan apa saja yang ada dihadapannya, termasuk menjelma menjadi hewan buas, harimau, ular dan sebangsanya. Perubahan bentuk dan ujud itulah yang selama ini diduga mencelakakan para ulama yang bermaksud menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Maka kemudian terjadilah pertempuran yang dasyat antara para jin pimpinan Sabdo Palon dengan pasukan ulama pimpinan Syech Subakir. Konon, pertempuran itu terjadi selama berhasi- hari, tanpa ketahuan siapa yang bakal memenangkannya. Karena melihat situasi yang tidak menguntungkan, maka Sabdo Palon mengajukan usulan gencatan senjata.

Syech Subakir yang melihat itu sebuah peluang, menerima ajakan Sabdo Palon. Maka terjadilah kesepakatan antara keduanya. Isi kesepakatan antara lain, Sabdo Palon memberi kesempatan kepada Syech Subakir beserta para ulama untuk menyebarkan Islam di Tanah Jawa, tetapi tidak boleh dengan cara paksaan atau memaksa. Kemudian Sabdo Palon juga memberi kesempatan kepada orang Islam untuk berkuasa di Tanah Jawa—Raja-raja Islam—namun dengan catatan. Para Raja Islam itu silahkan berkuasa, namun jangan sampai meninggalkan adapt istiadat dan budaya yang ada. Silahkan kembangkan ajaran Islam sesuai dengan kitab yang dakuinya, tetapi biarlah adapt dan budaya berkembang sedemikian rupa. Dan yang terpenting, jadi pemimpin janganlah terlalu lurus, namun juga jangan terlampau bengkok. Hal ini sempat dipertanyakan Syech Subakir kepada Sabdo Palon, mengapa seorang pemimpin tidak boleh benar-benar lurus. Dijawab Sabdo Palon, karena pemimpin itu menjadi pimpinan semua orang. Dan orang tidak semuanya lurus, pasti banyak pula yang bengkok. Lha, orang yang bengkok-bengkok itu akan ikut siapa, bila pemimpinnya lurus?

Legenda Gunung Tidar Magelang
Keberadaan daerah Magelang terbungkus oleh berbagai legenda. Salah satu dongeng yang hidup dikalangan rakyat mengisahkan --sebagaimana dikisahkan M. Bambang Pranowo (2002)-- bahwa pada zaman dahulu kala, ketika Pulau Jawa baru saja diciptakan oleh Sang Maha Pencipta dalam bentuk tanah yang terapung-apung di lautan luas; tanah tersebut senantiasa bergerak kesana kemari. Seorang dewa kemudian diutus turun dari kahyangan untuk memaku tanah tersebut agar berhenti bergerak. Kepala dari paku yang digunakan untuk memaku Pulau Jawa tersebut akhirnya menjadi sebuah gunung yang kemudian dikenal sebagai Gunung Tidar. Gunung yang terletak di pinggir selatan kota Magelang yang kebetulan berada tepat dibagian tengah Pulau Jawa tersebut memang berbentuk kepala paku; karena itu gunung Tidar dikenal luas sebagai “pakuning tanah jawa”.

Dongeng lain yang tentunya diciptakan setelah masuknya Islam mengisahkan bahwa pada zaman dahulu daerah ini merupakan kerajaan jin yang diperintah oleh dua raksasa. Syekh Subakir, seorang penyebar agama Islam, datang ke daerah ini untuk berdakwah. Tidak rela atas kedatangan Syekh tersebut terjadilah perkelahian antara raja Jin melawan sang Syekh. Ternyata Raja Jin dapat dikalahkan oleh Syekh Subakir. Raja Jin dan istrinya kemudian melarikan diri ke Laut Selatan bergabung dengan Nyai Rara Kidul yang merajai laut Selatan. Sebelum lari Raja Jin bersumpah akan kembali ke Gunung Tidar kecuali rakyat didaerah ini rela menjadi pengikut Syekh Subakir.

Legenda ini sangat melekat bagi masyarakat tradisional Jawa, tidak sekedar di Magelang, tapi juga ke daerah-daerah lain di Jawa, bahkan sampai di Lampung dan mancanegara (Suriname). Hal ini karena telah disebutkan dalam jangka Joyoboyo dan mengalir secara tutur tinular menjadi kepercayaan masyarakat. Apalagi pemerintah kota Magelang menjadikan Tidar sebagai simbol atau maskot daerah dengan menempatkan gunung Tidar yang dilambangkan dengan gambar paku di dalam logo pemerintahan. Di samping itu nama-nama tempat begitu banyak menggunakan nama Tidar, seperti nama Rumah Sakit Umum Daerah, nama perguruan tinggi, nama terminal dll. Yang semuanya menguatkan gunung Tidar menjadi legenda abadi.


Sosok Syekh Magelung Sakti

Syekh Magelung Sakti adalah seorang ulama yang berpenampilan sangat khas yaitu kerap menggelung rambut panjangnya kemana-mana. Perihal rambut panjangnya ini konon tak pernah dipotong karena memang tak ada satu pisau cukur pun yang mampu memotong rambutnya yang panjang itu. Maka dari itulah kemudian ia berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari orang sakti yang mampu memotong rambutnya. Beliau bernazar barang siapa yang mampu memotong rambut panjangnya itu maka Sang Syekh akan rela dan senang hati menyerahkan diri menjadi murid orang tersebut. Nama asli dari Syekh Magelung Sakti ini sendiri konon adalah Syarif Syam yang berasal dari negeri Syam yang sekarang dikenal sebagai Syiria. Tapi ada juga versi lain yang mengatakan bahwa sebenarnya Syekh Magelung Sakti merupakan seorang ulama kelahiran negeri Yaman.

Konon waktu itu, Syarif Syam atau Magelung Sakti datang ke Cirebon untuk mencari seorang guru yang pernah ditunjukkan di dalam mimpinya. Dalam mimpinya tersebut bahwa satu-satunya orang yang sanggup memotong rambutnya adalah seorang wali yang bermukim di Cirebon. Dan benar saja, ketika di Cirebon inilah beliau bertemu dengan orang tua yang dengan mudahnya memotong rambut beliau. Tempat dimana rambut Syarif Syam berhasil dipotong kemudian diberi nama Karanggetas. Orang tua itu yang kemudian belakang diketahui bernama Sunan Gunung Jati pun sesuai dengan nazarnya akhirnya menjadi guru dari Syekh Magelung Sakti dan berganti nama menjadi Pangeran Soka. Selepas menjadi murid Sunan Gunung Djati, Syekh Magelung Sakti atau Pangeran Soka kemudian ditugaskan oleh gurunya tersebut untuk menyebarkan agama Islam di Cirebon bagian Utara.

Selain nama Syekh Magelung Sakti dan Pangeran Soka beliau pun memiliki begitu banyak nama alias yang diantaranya adalah Pangeran Karangkendal. Nama Pangeran Karangkendal sendiri ia dapat karena ketika sekitar abad XV saat beliau ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam di wilayah Utara, ia tinggal di Desa Karangkendal, Kapetakan (± 19 km sebelah Utara Cirebon). Di desa ini pun Syekh Magelung Sakti kemudian diangkat anak oleh penguasa atau gegeden Karangkendal yang bernama Ki Tarsiman yang mempunyai nama lain Ki Krayunan atau Ki Gede Karangkendal, bahkan disebut pula dengan julukan Buyut Selawe, karena mempunyai 25 anak dari istrinya yang bernama Nyi Sekar.

Syekh Magelung Sakti sendiri merupakan suami dari seorang istri yang tak kalah memiliki nama besar di wilayah Cirebon yakni Nyi Mas Gandasari. Perihal menikahnya Syekh Magelung Sakti dengan Nyi Mas Gandasari menurut cerita dan babad Cirebon adalah berawal dari ditugaskannya sang syekh oleh Sunan Gunung Jati untuk berkeliling ke arah barat Cirebon selepas ia selesai mempelajari ilmu tassawuf dari gurunya tersebut. Nah, ketika berkeliling ke wilayah Barat Cirebon inilah Syekh Magelung Sakti mendengar berita tentang sayembara Nyi Mas Gandasari yang sedang mencari pasangan hidupnya.

Nyi Mas Gandasari konon adalah anak angkat dari Ki Ageng Selapandan yang juga adalah Ki Kuwu Cirebon yang waktu itu dikenal juga dengan sebutan Pangeran Cakrabuana (masih keturunan Prabu Siliwangi dari Kerajaan Hindu Pajajaran), yang atas desakan dari ayah angkatnya ini Nyi Mas Gandasari harus segera menikah. Dan karena beliau merupakan seorang perempuan cantik yang pilih tanding, maka dalam mencari pasangan hidup itu ia mengadakan sayembara, barang siapa yang mampu mengalahkannya maka dia akan bersedia menjadi istri dari orang yang berhasil mengalahkannya dalam adu kesaktian tersebut.

Oleh karenanya kemudian ia pun mengadakan sayembara untuk maksud tersebut, sejumlah pangeran, pendekar, maupun rakyat biasa dipersilakan berupaya menjajal kemampuan kesaktian sang putri. Siapapun yang sanggup mengalahkannya dalam ilmu bela diri maka itulah jodohnya. Banyak diantaranya pangeran dan ksatria yang mencoba mengikuti sayembara tetapi tidak ada satu pun yang berhasil, hingga akhirnya Syekh Magelung Sakti terjun ke arena sayembara. Pada dasarnya kemampuan dan kesaktian dari keduanya berimbang, hanya saja karena faktor kelelahan akhirnya Nyi Mas Gandasari pun menyerah dan berlindung dibalik punggung Sunan Gunung Jati.

Namun, meski Nyi Mas Gandasari sudah berlindung dibalik punggung Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung Sakti masih tetap saja menyecarnya dengan serangan-serangan mematikan hingga dalam satu kesempatan tinju sang Syekh hampir saja mengenai kepala dari Sunan Gunung Jati. Tetapi, anehnya sebelum tinju itu mendarat di kepala Sunan Gunung Jati, dengan serta merta Syekh Magelung Sakti jatuh lemas. Sunan Gunung jati pun akhirnya memutuskan bahwa dalam pertempuran tersebut tidak ada yang kalah ataupun menang. Meskipun begitu, Sunan Gunung Jati tetap menikahkan keduanya dan mereka pun akhirnya resmi menjadi suami istri.



Kayu Kengkeng

Banyak dijumpai dilereng Gunung Lawu, dicari karena dapat menyadarkan orang yang kesurupan. Sepotong kayu ini jika ditaruh dekat bayi atau anak kecil bisa menolak roh jahat, roh halus.


Keris Empu Jaka Sura

Sebuah kisah legenda Jaka Sura mempengaruhi produksi keris pada masanya, hingga kini keris berbentuk lempengan tipis model karya empu Nyi Mbok Sombro dengan peksinya dibuat lubang masih memiliki market yang luas. Konon karena kisahnya adalah bahwa Jaka Sura mencari ayahnya sambil membawa beberapa keris yang direnteng untuk diberikan kepada warung yang disinggahinya untuk numpang makan, sebagai pembayaran.

Sebenarnya kisah ini sudah pasti memiliki bobot pengutaraan, bahwa keris ada harganya, serta ada sesuatu kekuatan yang tiada takarannya. Maka mereka yang menjamu Jaka Sura merasa dapat piyandel keris yang membawa rejeki. Sebuah kisah yang memanifestasikan tentang karma baik seseorang akan mendapat pahala.

Namun yang menjadi bias adalah, kisah ini ditelan mentah-mentah oleh masyarakatnya sehingga terjadi mistikisasi berlebihan. Ada kisahnya pasti muncul wujudnya pula. Tentu seperti di jaman modern... para pande cangkul pun melihat peluang pasar dari kisah ini.... jadilah produksi keris Joko Sura yang terus diproduksi hingga kini. Bahkan karena tipis terjadi lekukan tak rata saat menggemblengnya yang kemudian dibualkan seolah keris dibuat dengan dipijit-pijit dengan jari tangannya.

Dilemanya apa?

Pelestari keris sangat berterima kasih atas hal ini, secara pasti telah membuat keris terus eksis. Apalagi kita selalu dalam masyarakat yang tutur tinular, glenak-glenik, glembugan dan klenik....

Dilain pihak... ada pandangan yang menganggap hal itulah adalah sumber musryik dan syirik, apalagi jika dengan perlakuan yang disaji bunga, bahkan disembah-sembah... Sehingga keris juga terpinggirkan oleh masyarakat. Bahkan ditekuti jika ada jin setan dan sebangsanya, lalu dilarung dan dicerca....

Padahal "keris" dipuji UNESCO diberi penghargaan cumlaude sebagai warisan budaya dunia. Keris sebagai heritage memang dibungkus oleh berbagai aspek, dan inilah yang harus kita terjemahkan secara rasional, bahwa notasi yang ada harus dikaji secara lebih ilmiah, tentu tak lepas dengan keterkaitan etniknya...

Beberapa catatan menyimpulkan bahwa Jaka Sura menyimpulkan bukan empu picisan, karyanya bagus dan estetik dengan garap yang sempurna, saya sering menduga dan mengkaitkan performa gaya keris Jaka Sura menjadi acuan untuk jaman berikutnya yaitu gaya Mataram. Patron karya Jaka Sura ini jelas ada pada Mataram Sultan Agungan hanya ukurannya lebih corok.

Berikut salah satu catatan yang mendukung bahwa empu Jaka Sura memang empu pinunjul dirupakan dalam bentuk sekar Sinom sbb.:

Jaka Sura dennya karya/Tosan pirang-pirang dhacin/Den kepel dadya satunggal/Sawusira dadi siji/Kinarya tanpa keni/Dhapur lameng kirang patut/Nanging sepuhe dilat/Tan lami tumuli dadi/Sampun kunjuk marang Sang Sri Brawijaya.

Wus dadi denira karya/Ingaturaken pribadi/Prapteng nagri Majalengka/Kendel paregolan Njawi/Yun nlebet den adhangi/Dening Wadya kang atungguk/Langkung kaku ing manah/Jaka Sura nulya bali/Lamengipun tinilar lawang gapura.

Kang caos munjuk Sang Nata/Lamun abdi dalem alit/Pangeran Sedayu putra/Yun marak amba pambengi/Gya wangsul wonten kori/Pedhange tinilar kantun/Sang Prabu Majalengka/Kagyat nulya anedhaki/Niti priksa kang tinilar Jaka Sura.

Gaweyane Jaka Sura/Apa pasah pada wesi/Jinajal mring wesi lawang/Tugel tan kongsi mindhoni/Eram ingkang ningali/Jaka Sura karyanipun/Landhep ampuh kalintang/Pedhang iki Sun paringi/Aranira si Lawang iku prayoga.


Kurang lebih terjemahannya adalah sbb:
Karya Jaka Sura, terbuat dari besi beberapa dachin (1 dachin = 100 kati = 61,761 kg) ditempa menjadi satu. Tempaannya matang tanpa celah dan sambungan. Jadilah sebuah pedang berdapur Lameng, meskipun kurang luwes bentuknya namun disepuh Dilat (sepuh “dilat” bukan berarti disepuh dengan menggunakan lidah. Dilat berarti menyala; Jawa: Murub), hal tersebut merupakan metode penyepuhan “sempurna” yaitu pendinginan mendadak ke air saat besi menyala pijar dari perapian - hanya besi dan tempa bermutu tinggi yang mampu disepuh demikian. Setelah jadi, kemudian datang menghadap Sang Sri Brawijaya.

Namun apa lacur, sesampai pintu gerbang Kraton Majapahit, dihalang – halangi oleh prajurit penjaga. Meskipun Jaka Sura telah menyampaikan identitasnya, tetap saja prajurit tak percaya. Hal tersebut membuat hati Jaka Sura jengkel, kemudian meninggalkan gerbang (pada referensi lainnya : dikatakan Jaka Sura kemudian “tapa pepe” yaitu duduk berdiam di tenggah Alun-alun). Pedhang buatannya, ditinggalkan di pintu gerbang.

Prajurit menghadap Prabu Brawijaya, ia mengatakan ada rakyat jelata ingin menghadap dan mengaku-aku putra dari Pangeran Sedayu. Prajurit terpaksa menghalang-halanginya. Segera Prabu Brawijaya, pergi ke pintu gerbang, ingin tahu siapa gerangan. Sang Prabu terkejut, melihat ada pedang tertinggal, kemudian memeriksa dengan teliti pedang yang ditinggalkan Jaka Sura.

Prabu Brawijaya penasaran, mengenai kehebatan pedang buatan Jaka Sura, apakah sanggup memotong besi. Kemudian dicobakan pada besi pintu gerbang, sekali tebas langsung putus, tanpa diulang untuk kedua kalinya. Membuat ngeri setiap orang yang melihat. Buatan Jaka Sura, tajam dan tangguh tak terkira. Kemudian oleh Sri Brawijaya pedang buatan Jaka Sura diberi nama Si (kyai) Lawang.




Prilaku Tapa Brata

Idealnya, setiap orang sepanjang hidupnya dapat melaksanakan “tapa brata” atau mesu-budi, menahan hawa nafsu, yg mempunyai kesamaan dengan hakikat puasa seperti di bawah ini;

Tapa/puasanya badan/raga; harus anoraga; rendah hati; gemar berbuat baik.
Tapa/puasanya hati; nerima apa adanya; qonaah; tak punya niat/prasangka  buruk, tidak iri hati.
Tapa/puasanya nafsu; ikhlas dan sabar dalam menerima musibah, serta memberi maaf kepada orang  lain.
Tapa/puasanya sukma; jujur.
Tapa/puasanya rahsa; mengerem sembarang kemauan, serta kuat prihatin dan menderita.
Tapa/puasanya cahya; eneng-ening; tirakat atau bertapa dalam keheningan, kebeningan, dan kesucian.
Tapa/puasanya hidup (gesang); eling (selalu ingat/sadar makro-mikrokosmos) dan selalu waspada dari segala perilaku buruk.

Selain itu, anggota badan (raga) juga memiliki tanggungjawab masing-masing sebagai wujud dari hakikat puasa atau tapa brata ;
Tapa/puasanya netro/mata; mencegah tidur, dan menutup mata dari nafsu selalu ingin memiliki/menguasai.
Tapa/puasanya karno/telinga; mencegah hawa nafsu, enggan mendengar yang tak ada manfaatnya atau yang buruk-buruk.
Tapa/puasanya grono/hidung; mencegah sikap gemar membau, dan enggan “ngisap-isap” keburukan orang lain.
Tapa/puasanya lisan/mulut; mencegah makan, dan tidak menggunjing  keburukan orang lain.
Tapa/puasanya puruso/kemaluan; mencegah syahwat, tidak sembarangan ngentot/rakit/ngewe/senggama/zina.
Tapa/puasanya asto/tangan; mencegah curi-mencuri, rampok, nyopet, korupsi, dan tidak suka cengkiling; jail dan menyakiti orang lain.
Tapa/puasanya suku/kaki; mencegah langkah menuju perbuatan jahat, atau kegiatan negatif, tetapi harus gemar berjalan sembari “semadi” yakni berjalan sebari eling lan waspodo.

Tapa/maladihening/mesu budi/puasa seperti di atas dapat diumpamakan dalam gaya bahasa personifikasi, yang memiliki nilai falsafah yang sangat tinggi dan mendalam sbb;

“Katimbang turu, becik tangi. Katimbang tangi, becik melek. Katimbang melek, becik lungguh. Katimbang lungguh, becik ngadeg. Katimbang ngadeg, becik lumakuo”.

(Daripada tidur lebih baik bangun. Daripada bangun lebih baik melek. Daripada melek lebih baik duduk. Daripada duduk lebih baik berdiri. Daripada berdiri lebih baik melangkah lah)

Untuk meraih kesempurnaan dalam melaksanakan tata laku di atas, hendaknya setiap langkah kita selalu eling dan waspada. Agar supaya setelah menjadi manusia pinunjul tidak menjadi sombong dan takabut, sebaliknya justru harus disembunyikan semua kelebihan tersebut, dan tidak kentara oleh orang lain, sehingga setiap jengkal kelemahan tidak memancing hinaan orang lain. Untuk itu manusia pinunjul harus;

1.      Solahbawa, harga diri, perbuatan, harus selalu di jaga
2.      Keluarnya ucapan harus dibuat yang mendinginkan, menyejukkan, dan menentramkan lawan bicara
3.      Raut wajah yang manis, penuh kelembutan dan kasih sayang.


Inilah sejatinya tata krama dalam ajaran Kejawen. Kesempurnaan dalam melaksanakan langkah-langkah di atas, seyogyanya menimbang situasi dan kondisi, menimbang waktu dan tempat secara tepat, tidak asal-asalan. Karena sekalipun “isi”nya berkualitas, tetapi bungkusnya jelek, maka “isi”nya menjadi tidak berharga. Dengan kata lain, jangan mengabaikan (dugoprayoga) duga kira, bagaimana seharusnya yang baik. Sebab sesempurnanya manusia tetap memiliki kekurangan atau kelemahan, sehingga manakala kelemahan dan kekurangan tersebut diketahui orang lain tidak akan menjadi “batu sandungan”. Seperti dalam ungkapan sebagai berikut;


1.      Kusutnya pakaian; tertutup oleh derajat (harga diri) yang luhur.
2.      Terpelesetnya lidah, tertutup oleh manisnya tutur kata.
3.      Kecewanya warna, tertutup oleh budi pekerti.
4.      Cacadnya raga, tertutup oleh air muka yang ramah.
5.      Keterbatasan, tertutup oleh sabar dan bijaksana.


Oleh karena itu, meraih kesempurnaan dalam konteks ini diartikan kesempurnaan dalam melaksanakan tapa brata. Kegagalan melaksanakan tapa brata, dapat membawa manusia kepada zaman “paniksaning gesang” tidak lain adalah nerakanya dunia, seperti di bawah ini;

1.       Zamannya kemelaratan,  dimulai dari perilaku boros
2.       Zamannya menderita aib, dimulai dari watak lupa terlena, tanpa awas.
3.       Zamannya kebodohan, dimulai dari sikap malas dan enggan.
4.       Zamannya angkara, dimulai dengan sikap mau menang sendiri
5.       Zamannya sengsara, dimulai dari perilaku yang kacau.
6.       Zamannya penyakit, diawali dari kenyang makan.
7.       Zamannya kecelakaan, diawali dari perbuatan mencelakai orang lain.

Sebaliknya, “ganjaraning gesang” atau “surganya dunia”,  lebih dari sekedar kemuliaan hidup itu sendiri, yakni;

1.       Zamannya keberuntungan, awalnya dari sikap hati-hati, tidak ceroboh.
2.       Zamannya kabrajan, awalnya dari budi luhur dan belas kasih.
3.       Zamannya keluhuran, awalnya dari giat andap asor, sopan santun.
4.       Zamannya kebijaksanaan, awalnya dari telaten bibinau.
5.       Zamannya kesaktian (kasekten), awalnya dari puruita dan tapabrata.
6.       Zamannya karaharjan (ketentraman-keselamatan), awalnya dari eling dan waspada.
7.       Zamannya kayuswan (umur panjang), awalnya sabar, qonaah, narimo, legowo, tapa.


Mistik Kayu Pamrih

Kayu Pamrih berasal dari pohon Pamrih yang tumbuh dibekas pertapaan Sri Sultan Hamengku Buwono I di Beton Kampung Sewu ditepi Bengawan Solo, Surakarta. Menurut legenda dibawah pohon itulah baliau berteduh setiap hari sampai ada bisikan gaib untuk melawan Kompeni Balanda. Kayu Pamrih dipercaya bertuah kepangkatan, kewibawaan dan keberanian, cocok bagi mereka yang  berkecimpung di pemerintahan. Ringin sepuh disini adalah pohon yang tumbuh dihalaman makam raja-raja Mataram di Kota Gede, Yogyakarta. Dinamakan juga “Waringin Tuwo” atau Ringin Sepuh, sejak jaman dulu dipercaya memiliki kekuatan gaib. Daunnya yang jatuh “mlumah kurep” artinya satu jatuh terlentang pada satu sisi sedang satunya pada sisi lain ditambah akar dan sedikit kulit pohon,semuanya dimasukan kedalam kantong kain putih kecil banyak digunakan sebagai zimat  keselamatan. Bagi yang mujur, kadang kejatuhan sebuah cabang pohon ini. Kayunya dipercaya memiliki tuah keselamatan, kewibawaan dan derajat kepangkatan. Dijaman dahulu, hampir semua warga Yogya yang akan merantau keluar daerah dibekali bungkusan daun ini. Kalau maju perang atau pergi kedaerah lain, akan kembali dalam keadaan selamat. 





Ilmu Tangguh Keris

Ilmu tangguh adalah pengetahuan (kawruh) untuk memperkirakan jaman pembuatan keris, dengan cara meneliti ciri khas atau gaya pada rancang bangun keris, jenis besi keris dan pamornya.

Dalam catatan kuno, dituliskan ciri-ciri secara tertulis. Notasi itu meyakini akan adanya sebuah gaya atau langgam dari setiap kerajaan. Artinya pada jaman Majapahit diyakini kerisnya memiliki beberapa ciri gaya atau langgam yang seragam. Begitu pula jaman kerajaan Mataram dan seterusnya jaman kerajaan Surakarta Hadiningrat diyakini memiliki gayanya masing-masing.

Keyakinan terhadap bahan besi dan pamor juga menjadi panduan dalam ilmu tangguh ini.

Adapun pembagian tahapan-tahapan zaman itu adalah sebagai berikut:
1. Kuno
(Budho) tahun 125 M – 1125 M
meliputi kerajaan-kerajaan: Purwacarita, Medang Siwanda, Medang Kamulan, Tulisan, Gilingwesi, Mamenang, Pengging Witaradya, Kahuripan dan Kediri.

2. Madyo Kuno
(Kuno Pertengahan) tahun 1126 M – 1250 M.
Meliputi kerajaan-kerajaan : Jenggala, Kediri, Pajajaran dan Cirebon.

3. Sepuh Tengah
(Tua Pertengahan) tahun 1251 M – 1459 M
Meliputi Kerajaan-kerajaan : Jenggala, Kediri, Tuban, Madura, Majapahit dan Blambangan.

4. Tengahan
(Pertengahan) tahun 1460 M – 1613 M
Meliputi Kerajaan-kerajaan : Demak, Pajang, Madiun, dan Mataram

5. Nom
(Muda) tahun 1614 M – 1945
Meliputi Kerajaan-kerajaan : Kartasura dan Surakarta.

6. Kamardikan 1945 hingga seterusnya.
Adalah keris yang diciptakan setelah Indonesia merdeka, 1945.
Pada waktu itu pun raja di Surakarta Hadiningrat ke XII mendapat julukan Sinuhun Hamardika. Keris yang diciptakan pada era ini masuk dalam penggolongan keris kamardikan.

Tangguh merupakan seni yang digandrungi oleh komunitas pecinta keris, karena disini terletak suatu seni dalam nilai kemampuan; semacam uji kemampuan dari sesama penggemar keris. Tangguh juga menjadi sebuah nilai pada harga sebilah keris ... sesuai trend yang ada dari masa ke masa.

Tangguh dalam kamus bahasa Jawa (S. Prawiroatmodjo) diartikan sebagai ’boleh dipercaya’, ’tenggang’, ’waktu yang baik’, ’sangka’, ’persangkaan’, ’gaya’, ’lembaga’, ’macam’ (keris).

Namun demikian, tuntutan modernitas dan keinginan yang kritis (sisi ilmiah) masa kini, tangguh dituntut menjadi pasti (exact), artinya ilmu tangguh akan bergeser menyesuaikan jaman untuk dapat melengkapi salah satu kriteria dalam melakukan sertifikasi sebilah keris. Tuntutan ini adalah hal yang realistik karena generasi muda tak lagi menyanjung ’sesepuh’ yang belum tentu memiliki wawasan yang benar. Penyanjungan sesepuh adalah ciri etnografis dari budaya paternalistik dalam sub kultur Jawa (Nusantara). Namun demikian ’ilmu tangguh’ harus tetap dipertahankan keberadaannya, kepercayaan pada sesepuh akan bergeser pada sertifikasi suatu badan bahkan mungkin institusional berskala nasional.

Dalam sisi pandang yang kritikal pada abad modern ini, tangguh menjadi sebuah rangsangan baru untuk meneliti secara lebih pasti, betul dan tepat (exact) menentukan sebilah tangguh keris. Maka tingkat pengetahuan yang tertuang pada masa dulu melalui catatan, buku dan naskah kuno menjadi sebuah catatan yang masih kurang memenuhi hasrat keingin-tahuan perkerisan pada saat sekarang. Catatan atau buku kuno tidak melampirkan contoh sketsa atau foto apa yang dimaksudkan pada uraiannya. Tulisan kuno tentang tangguh juga belum bisa menjamin si penulis adalah orang mengetahui keris, bisa jadi penulis adalah seorang pujangga yang menulis secara puitis, karena waktu itu memang tidak memiliki target bahwa tulisannya akan menjadi sebuah kawruh yang meningkat menjadi ilmu seni menangguh.

Ilmu tangguh sering menjadi sebuah polemik, karena terkendala oleh banyak hal, antara lain; kendala wawasan, kendala tempat (domisili atau keberadaan), kendala oleh narasumber yang sebetulnya berskala lokal, kendala oleh karena minat atau selera pada jenis keris dan banyak sekali hal-hal yang memancing perdebatan.

Salah satu cara untuk membangun sebuah ”ilmu tangguh” yang representatif tentu harus melakukan pendataan dan penelitian ulang, salah satunya adalah dengan meneliti penyesuaian antara keris penemuan (artefak) dengan situsnya (geografis); meneliti dan mengkaji ulang catatan kuno dan memperbandingkannya satu buku dengan buku yang lain. Saat ini pun di perpustakaan keraton masih banyak sumber yang dapat menjadi referensi, baik buku-buku bahkan contoh keris berserta kekancingannya.

Dibawah ini ciri-ciri sebuah keris dan tangguhnya :
Jenggala
Ganja pendek, wadidangnya tegak, ada-ada seperti punggung sapi, besi padat-halus dan hitam pekat, pamor seperti rambut putih dan sogokan tanpa pamor.

Pajajaran
Ganja ambatok mengkurep, berbulu lembut, sirah cecak panjang, besi berserat dan kering, potongan bilah ramping, pamor seperti lemak/gajih, blumbangan atau pejetan lebar, sogokan agak lebar dan pendek.

Majapahit
Potongan bilah agak kecil/ramping, ganja sebit rontal kecil luwes, sirah cecak pendek dan meruncing, odo-odo tajam, besi berat dan hitam. Pamor ngrambut berserat panjang-panjang. Pasikutan keris Wingit.

Tuban
Ganja berbentuk tinggi – berbulu, sirah cecak tumpul, pamor menyebar, potongan bilah cembung dan lebar.

Bali
Ukuran bilah besar dan panjang, lebih besar dari ukuran keris jawa, besi berkilau, pamor besar halus dan berkilau.

Madura Tua
Besi kasar dan berat, sekar kacang tumpul dan pamor besar-besar/agal

Mataram
Bentuk ganja seperti cecak menangkap mangsa, sogokan berpamor penuh, sekar kacang seperti gelung wayang, pamor tampak kokoh, dan atas puyuan timbul/menyembul (ujung sogokan)

Kartosura
Besi agak kasar, bila ditimang agak berat, bilah lebih gemuk, ganja berkepala cicak yang meruncing

Surakarta
Bilah seperti daun singkong, besi halus, pamor menyebar, puyuan meruncing, gulu meled pada ganja pendek, odo-odo dan bagian lainnya tampak manis dan luwes.

Yogyakarta
Ganja menggantung, besi halus dan berat, pamor menyebar penuh keseluruh bagian bilah.

Catatan diatas hanya sebagai contoh penulisan kriteria tangguh, yang tentu seharusnya disertai contoh barangnya berupa foto, sketsa atau blad. Maka hal yang sebenarnya ilmu tangguh memang masih perlu disempurnakan.


Jalan Setapak Meraih Kesucian

Mati penasaran, kebalikan dari mati sempurna. Dalam kajian Kejawen, mati dalam puncak kesempurnaan adalah mati moksa atau mosca atau mukswa. Yakni warangka (raga) manjing curigo (ruh). Raga yang suci, adalah yang tunduk kepada kesucian Dzat yang terderivasi ke dalam ruh. Ruh suci/roh kudus (ruhul kuddus) sebagai retasan dari hakikat Dzat, memiliki 20 sifat yang senada dengan 20 sifat Dzat, misalnya kodrat, iradat, berkehendak, mandiri, abadi, dst. Sebaliknya, ruh yang tunduk kepada raga hanya akan menjadi budak nafsu duniawi, sebagaimana sifat hakikat ragawi, yang akan hancur, tidak abadi, dan destruktif. Menjadi raga yang nista, berbanding terbalik dengan gelombang Dzat Yang Maha Suci. Oleh karena itu, menjadi tugas utama manusia, yakni memenangkan perang Baratayudha di Padang Kurusetra, antara Pendawa (kebaikan yang lahir dari akal budi dan panca indera) dengan musuhnya Kurawa (nafsu angkara murka). Perang inilah yang dimaksud pula dalam ajaran Islam sebagai Jihad Fii Sabilillah, bukan perang antar agama, atau segala bentuk terorisme.

Adapun ajaran untuk menggapai kesucian diri, atau Jihad secara Kejawen, yakni mengendalikan hawa nafsu, serta menjalankan budi (bebuden) yang luhur nilai kemanusiannya (habluminannas) yakni ; rela (rilo), ikhlas (legowo), menerima/qonaah (narimo ing pandum), jujur dan benar (temen lan bener), menjaga kesusilaan (trapsilo) dan jalan hidup yang mengutamakan budi yang luhur (lakutama). Adalah pitutur sebagai pengingat-ingat agar supaya manusia selalu eling atau selalu mengingat Tuhan untuk menjaga kesucian dirinya, seperti dalam falsafah Kejawen berikut ini :

“jagad bumi alam kabeh sumurupo marang badan, badan sumurupo marang budi, budi sumurupo marang napsu, napsu sumurupo marang nyowo, nyowo sumurupo marang rahso, rahso sumurupo marang cahyo, cahyo sumurupo marang atmo, atmo sumurupo marang ingsun, ingsun jumeneng pribadi”

(jagad bumi seisinya pahamilah badan, badan pahamilah budi, budi pahamilah nafsu, nafsu pahamilah nyawa, nyawa pahamilah karsa, karsa pahamilah rahsa, rahsa pahamilah cahya, cahya pahamilah Yang Hidup, Yang Hidup pahamilah Aku, Aku berdiri sendiri (Dzat).

Artinya, bahwa manusia sebagai derivasi terakhir yang berasal dari Dzat Sang Pencipta harus (wajib) memiliki kesadaran mikrokosmis dan makrokosmis yakni “sangkan paraning dumadi” serta tunduk, patuh dan hormat (manembah) kepada Dzat Tuhan Pencipta jagad raya.

Selain kesadaran di atas, untuk menggapai kesucian manusia harus tetap berada di dalam koridor yang merupakan “jalan tembus” menuju Yang Maha Kuasa. Adalah 7 perkara yang harus dicegah, yakni;  Jangan ceroboh, tetapi harus rajin sesuci.  Jangan mengumbar nafsu makan, tetapi makanlah jika sudah merasa lapar.  Jangan kebanyakan minum, tetapi minum lah jika sudah merasa haus.  Jangan gemar tidur, tetapi tidur lah jika sudah merasa kantuk. Jangan banyak omong, tetapi bicara lah dengan melihat situasi dan kondisi. Jangan mengumbar nafsu seks, kecuali jika sudah merasa sangat rindu. Jangan selalu bersenang-senang hati dan hanya demi membuat senang orang-orang, walaupun  sedang memperoleh kesenangan, asal tidak meninggalkan duga kira. 

Demikian pula, di dalam hidup ini jangan sampai kita terlibat dalam 8 perkara berikut;

1.      Mengumbar hawa nafsu.
2.      Mengumbar kesenangan.
3.      Suka bermusuhan dan tindak aniaya.
4.      Berulah yang meresahkan.
5.      Tindakan nista.
6.      Perbuatan dengki hati.
7.      Bermalas-malas dalam berkarya dan bekerja.
8.      Enggan menderita dan prihatin.

Sebab perbuatan yang jahat dan tingkah laku buruk hanya akan menjadi aral rintangan dalam meraih rencana dan cita-cita, seperti digambarkan dalam rumus bahasa berikut ini;

1.      Nistapapa; orang nista pasti mendapat kesusahan.
2.      Dhustalara; orang pendusta pasti mendapat sakit lahir atau batin.
3.      Dorasangsara; gemar bertikai pasti mendapat sengsara.
4.      Niayapati; orang aniaya pasti mendapatkan kematian.


PERBUATAN, PASTI MENIMBULKAN “RESONANSI”
Demikian lah, sebab pada dasarnya perilaku hidup itu ibarat suara yang kita kumandang akan menimbulkan gema, artinya apapun perbuatan kita kepada orang lain, sejatinya akan berbalik mengenai diri kita sendiri. Jika perbuatan kita baik pada orang lain, maka akan menimbulkan “gema” berupa kebaikan yang lebih besar yang akan kita dapatkan dari orang lainnya lagi. Hal ini dapat dipahami sebagaimana dalam peribahasa;

Barang siapa menabur angin, akan menuai badai,
Siapa menanam, akan mengetam,
Barang siapa gemar menolong, akan selalu mendapatkan kemudahan,
Barang siapa gemar sedekah kepada yang susah, rejekinya akan menjadi lapang.
Orang pelit, pailit
Pemurah hati, mukti.


Ruh Pendamping

Bagi sebagian kalangan yang mendalami kebatinan, kemampuan untuk melihat ruh sudah bukan hal yang aneh. Termasuk juga kemampuan untuk bersahabat akrab dan saling membantu. Pada diri manusia yang paling inti, ada ruh. Dialah diri sejati yang menjadi guru sejati dari akal dan tubuh fisik kita. Kalau kita biasa mengatakan “dengarkan hati nuranimu” itu artinya dengarkanlah suara ruh(ani) mu.

Hakikat keberadaan ruh sebenarnya juga bisa dinalar dengan ilmu pengetahuan. Sejak lama, para ilmuwan mengamati bahwa obyek-obyek makro di angkasa atau disebut bintang adalah satu pusat dengan sekumpulan planet. Planet itu juga dikelilingi lagi satelit-satelit. Sebagaimana sistem tata surya, matahari dikelilingi 9 planet. Begitu pula dengan obyek-obyek ukuran mikro seperti atom. Di satu butir atom, terdapat pula nukleus yang dikelilingi oleh eketron-elektron yang bergerak.

Sudah lama diketahui pula oleh kalangan ahli kebatinan Barat dan Timur termasuk para Yogi, bahwa ruh manusia adalah ruh utama yang dikelilingi oleh ruh-ruh lain yang disebut dengan ruh pendamping (di jawa konsep ruh pendamping itu disebut: sedulur papat, sementara di Arab merujuk pada malaikat.atau mungkin disebut dengan jin pendamping?). Jadi setiap sistem ruh pada satu diri manusia terdiri dari lima ruh.

Dari lima ruh itu, setidaknya ada empat kemungkinan kombinasi yang terjadi. Pertama, ruh utama adalah pria dan keempat ruh pendamping adalah pria. Kedua, ruh utama adalah wanita dan keempat ruh pendamping adalah wanita.Ketiga, ruh utama adalah pria dan ruh pendampingnya adalah 2 pria 2 wanita. Keempat, ruh utama adalah wanita dan ruh pendampingnya adalah 1 wanita dan 3 pria.

Terdapat kemungkinan adanya lebih dari satu atau kurang dari 4 ruh pendamping. Para ruh pendamping ini bisa saja berganti. Misalnya seseorang mungkin tadinya mempunyai ruh pendamping pria tetapi setelah beberapa lama, ruh pendamping pria ini pergi dan digantikan oleh seorang ruh wanita. Perubahan seperti ini akan mengakibatkan perubahan emosi, mental dan kondisi spiritual ruh utama yang bersangkutan.

Ahli-ahli kebatinan percaya bahwa baik ruh utama maupun ruh pendamping memiliki kehidupan yang otonom/mandiri/independen. Ruh sama seperti matahari dan bulan keduanya terpisah secara otonom dalam garis edar hidupnya masing-masing. Perbedaan antara ruh utama dan ruh pendamping adalah bahwa tingkat kemampuannya. Ruh utama akan mempengaruhi ruh-ruh pendampingnya, sedangkan tingkat kemampuan ruh pendamping hanya akan mempengaruhi diri mereka sendiri dan sangat sedikit untuk mampu mempengaruhi ruh utama.

Secara umum ruh pendamping adalah ruh yang mempunyai hubungan pribadi yang sangat erat dengan ruh utama. Bila bukan anggota keluarganya, juga para leluhurnya, atau bahkan teman-teman dekatnya. Ruh-ruh pendamping adalah ruh-ruh yang mengawasi ruh utama. Para ahli kebatinan yang melakukan penyelidikan mengenai karakter dan nasib seseorang berdasarkan pengamatan mereka tentang ruh-ruh pendmping orang yang bersangkutan. Semakin tinggi kemampuan ruh pendamping, semakin tinggi pula kemampuan ruh utama. Semakin rendah dan lemah kemampuan ruh pendamping maka semakin lemah pula kemampuan ruh utama untuk mencapai hidup yang lurus dan sukses.

Bila dikatakan bahwa ruh utama sebagai nukleus dari atom dan ruh pendamping sebagai elektron-elektron, maka perubahan jumlah elektron kan mengubah secara dramatis sifat atom itu sendiri. Hukum kegaiban sesungguhnya sama dengan prinsip fisika yaitu bergerak menuruti aturan yang sah dan berlaku sebagai derivat dari hukum Tuhan.

Banyak orang yang tidak menyadari adanya ruh pendamping mereka. Bahkan yangtragis, banyak pula yang menolak keberadaan ruh-ruh pendamping mereka sendiri. Mereka hanya memahami manusia hanyalah materi fisiknya dan tidak percaya adanya ruh. Padahal di dalam agama apapun, pasti ada konsep tentang ruh ini. Kalau kita mempelajari secara metafisis, berbagai tradisi yang sudah dijalani oleh para nenek moyang dulu sebenarnya sangat memperhatikan keberadaan ruh pendamping ini. Berbagai tradisi slametan, misalnya, selain berdimensi sosial (horizontal) namun juga untuk menghormati dan rasa berterima kasih kepada para ruh pendamping yang demikian setia untuk menemani kita selama hidup.

Namun bila saran ruh pendamping (para leluhur kita dulu) ini diabaikan bahkan cenderung ditolak dan bahkan kepercayaan adanya mereka dituduh sebagai bid’ah/takhayul maka mereka akan pergi dan diganti dengan ruh-ruh pendamping yang lebih kasar bahkan bisa jadi ruh pendamping yang jahat. Nah, sekarang mana yang kita pilih? Berteman dengan ruh pedamping kita dengan cara menghormati dan menyayangi mereka atau sebaliknya, memusuhi dan mengusir mereka dari hidup kita? Semua berpulang pada keyakinan masing-masing.




Makam Wali Nyatoq

Makam Wali Nyatoq yang berada di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah atau 49 km dari kota Mataram. Menurut masyarakat setempat Wali Nyatoq merupakan seorang wali yang melegenda di kawasan Lombok Barat. Mereka yakin bahwa Wali Nyatoq memang benar adanya yang bisa memperlihatkan tanda-tanda kewaliannya. Sesuai dengan namanya “Nyatoq” yang berarti “nyata”. Konon katanya Wali Nyatoq adalah keturunan bangsa Arab terlihat dari postur tubuhnya.

Wali Nyatoq mempunyai 33 nama, salah satunya adalah Sayyid Abdullahyang banyak dikenal oleh masyarakat luas. Karena diyakini menjadi salah satu tokoh yang menyebarkan ajaran Islam, kini makam tersebut menjadi jujugan warga yang sedang melakukan ritual agama seperti berdoa. Doa yang sering dilantunkan oleh para peziarah adalah doa keselamatan. Selain itu mereka yang datang biasanya juga berdoa agar diberi kesembuhan dari penyakit yang sedang diderita.

Kepercayaan bahwa berdoa di lokasi ini membuat permintaan cepat terkabul tidak hanya diyakini oleh masyarakat setempat namun juga oleh warga di luar Lombok. Beberapa peziarah di makam Wali Nyatoq ini ada yang berasal dari pulau Jawa. Kepercayaan bahwa lokasi ini menjadi tempat yang mujarab sudah menyebar dari mulut ke mulut sehingga mengundang penasaran beberapa wisatawan dari luar pulau.

Kebanyakan peziarah datang ke makam Wali Nyatoq pada hari Rabu. Konon katanya, pada hari inilah Wali Nyatoq mencurahkan berkah sepenuhnya kepada para pengunjung yang datang ke tempat ini. Tidak itu saja, pengunjung juga percaya bahwa beragam masalah yang mendera mereka akan tuntas dan mendapatkan jalan keluar saat berziarah ke makam Wali Nyatoq. Untuk orang yang melakukan kesalahan tetapi tak mau mengatakan maka orang ini akan dibawa menuju makam tersebut demi bersumpah dan selanjutnya disuruh meminum air tanah yang berasal dari tanah makam tersebut. Barang siapa yang bersalah, maka setelah meminum air tersebut akan mengalami hal-hal yang buruk. Oya, karena keberadaan makam tersebut sangat bermakna bagi warga setempat maka mereka tidak mentoleransi usaha-usaha perusakan sekecil apapun.


Kekuatan Batin

Inti kekuatan batin bisa dijelaskan sebagai berikut.

1. TUHAN ASAL SEMUA ENERGI. Inti kekuatan batin yang pertama adalah Pemberian Tuhan. Dialah sumber dari segala sumber energi, tenaga dan kekuatan. Sumber energi dan kekuatan yang lain itu hakekatnya berasal dari Tuhan Yang Maha Kasih dan Sayang. Dia adalah sumber dari semua sumber apapun di alam semesta. Dibutuhkan keyakinan yang mendalam untuk mengakui bahwa Tuhan adalah satu-satunya sumber kekuatan ini. Dari mana asal keyakinan? Asalnya tetap yaitu dari Pemberian Tuhan. Maka, jika Anda sudah memiliki “keyakinan” maka itu artinya Tuhan sudah memberikan anugerah kekuatan batin yang perlu dirawat, dijaga dan diitingkatkan.
Maka, langkah pertama bila ingin memiliki batin yang sangat kuat maka mintalah kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh.

2. PASRAH/SUMELEH/SUMARAH PADA-NYA. Inti kekuatan batin yang kedua adalah kepasrahan total pada kehendak-Nya. Apabila Anda terus menerus berkomunikasi dengan Tuhan, maka Anda akan menerima dengan senang hati dan ikhlas semua pemberian-Nya. Senang, susah, derita, bahagia, sedih duka lara nestapa maupun senyum akibat musibah maupun berkah hendaknya diterima dengan kepasrahan. Kepasrahan adalah usaha aktif mental dan batin kita untuk mengakui Kemahakuasaan Tuhan. Ya, langkah kedua bila ingin memiliki batin yang sangat kuat maka pasrah saja kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh pasrah.

3. USAHA AKTIF BATIN UNTUK MERANCANG RENCANA BERSAMA TUHAN: VISUALISASI.

Inti kekuatan batin ketiga adalah visualisasi. Visualisasi hakikatnya adalah melanjutkan usaha aktif batin dengan cara membayangkan sesuatu yang belum ada menjadi ada dan hadir nyata berada di depan kita. Visualisasi adalah kekuatan pikiran kita untuk merancang sebuah karya bersama-sama Sang Maha Insinyur yaitu Tuhan. Kita bersama-sama dengan Tuhan seakan menggambar obyek-obyek berdasarkan atas apa yang sudah kita lihat dan berdasarkan atas apa yang kita alami sehari-hari.

Visualisasi memberikan pengaruh sangat kuat terhadap kegagalan dan keberhasilan usaha meraih keinginan. Ketika otak kita membangun bayangan tentang sesuatu yang ingin dicapai, maka kita sesungguhnya tengah membangun sebuah gedung di alam kenyataan. Harap diketahui bahwa otak kita sesungguhnya adalah insinyur batiniah yang akan mewujudkannya dalam realitas. Jaringan sel dalam otak ini akan mampu mendorong kita untuk juga meraih kesempurnaan kenyataan.

Bagaimana melakukan visualisasi? Pertama adalah, memperjelas keinginan atau tujuan yang ingin dicapai. Keinginan yang ingin kita raih harus bersifat spesifik. Misalnya: Anda membayangkan ingin memiliki isteri cantik. Kemudian mulailah melakukan visualisasi pada saat Anda sedang santai. Kenapa santai? Karena di saat santai dan rileks, gelombang otak kita memasuki stage alfa teta. Ini akan membuat otak anda lebih mudah untuk menggambar kenyataan. Kedua fokus pada tujuan sedetail mungkin. Bayangkan warna, detail, bentuk, dimana, kapan, bayangkan pula suasana dan situasi saat Anda memiliki isteri cantik. Ketiga, libatkan emosi anda sekuat-kuatnya. Bagaimana rasanya mampu mendapatkan isteri cantik dengan sempurna? Bagaimana rasanya bisa benar-benar memiliki isteri yang cantik. Menyertakan perasaan dan emosi akan memperkuat sistem “cara kerja yang sistematis” dalam otak yang merupakan desain kenyataan. Selanjutnya lakukan visualisasi berulang-ulang.

4. DOA. Inti kekuatan batin keempat adalah doa. Doa adalah adalah kalimat afirmasi/penegasan yang diulang-ulang dan nyaris monoton. Hakekat doa adalah sebuah kesaksian kita di depan Sang Hakim, yaitu Tuhan. Kata-kata afirmasi yang membentuk kalimat “khusus” yang akan memunculkan energi gaib yang luar biasa dahsyat. Kata akan menjadi mantra yang mampu menghimpun semua daya yang ada di alam semesta untuk menyatu dan mengarah pada obyek doa. Mantra itu ibarat sinar laser yang terkumpul dari jutaan, milyaran bahkan trilyunan energi menjadi satu garis energi yang mampu menembus baja tebal.

Doa atau mantra yang merupakan energi spiritual kemudian akan memunculkan energi fisik yang luar biasa. Energi itu berwujud dan berbentuk macam-macam. Di Jawa, kita mengenal beragam bentuk energi yang bisa dikenali dari warnanya. Energi yang ada di alam berasal dari semua elemen pembentuknya, misalnya dari Cahaya, Api, Air, Angin, Tanah dan seterusnya. Tuhan juga membentuk semua yang ada di alam semesta ini dari elemen-elemen tersebut. Manusia diciptakan dari tanah, malaikat diciptakan dari cahaya, jin dari api, begitu pula dengan hewan di hutandan tumbuhan serta segala sesuatu yang ada di bumi ini diciptakan Tuhan dari unsur-unsur di dalam bumi sendiri.

Doa yang kita panjatkan akan memproses delapan zat yang ada di alam (permata, emas, perak, timah, tembaga, besi, garam, belerang). Doa yang dipanjatkan untuk kemuliaan hidup dunia akan memproses saripati emas dan tembaga menjadi cahaya gaib yang dinamai “Pulung” , bercahaya warna biru kehijau- hijauan, turun kepada manusia yang berbudi mulia, mempunyai watak welas asih.

Doa yang dipanjatkan untuk kemuliaan hidup di akhirat akan memproses saripati saripati perak dan timah, menjadi cahaya gaib yang dinamai “Wahyu” , bercahaya warna putih kekuningan, turun kepada manusia yang berhati bersih, berwatak tanpa pamrih, berbudi pada sikapnya.

Doa yang dipanjatkan untuk mencapai kepemimpinan akan memproses saripati emas, perak dan besi, menjadi cahaya gaib yang dinamai “Daru” , bercahaya warna kuning besar seukuran buah kelapa, turun kepada manusia yang berhati bersih, sabar, tawakal, berjuang demi sesama, dan bersikap adil paramaarta.

Doa yang dipanjatkan untuk kehancuran makhluk-Nya akan memproses saripati timah, tembaga dan besi, menjadi cahaya gaib yang dinamai “Teluh”, bercahaya warna merah keunguan, turun kepada manusia yang asusila, jail, ugal ugalan, tidak mengerti hakekat benar dan salah.

Doa yang dipanjatkan untuk menuruti kesenangan hidup dunia dan akhirat akan memproses saripati besi, garam dan belerang, menjadi cahaya gaib yang dinamai “Guntur” , bercahaya warna ungu gelap, turun kepada manusia yang hanya menuruti hawa nafsu, angkara murka, dan tidak bersyukur.

Bagi para pejalan spiritual, yang perlu diketahui bahwa setiap pengharapan yang ada di hati kita merupakan doa. Itu adalah wujud kasih sayang Tuhan sang Pencipta yang maha mendengarkan setiap keinginan dan harapan manusia. Benar bila dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna diantara makhluk lain ciptaan-Nya, sebab dia diberi budi luhur yang lebih sempurna. Oleh sebab itu, manusia wajib mengetahui akan hakekat kemanusiaannya sehingga dia mengerti akan sangkan paraning dumadi.

5. METODE ATAU CARA. Ini adalah kunci terakhir inti kekuatan batin. Kekuatan Batin bisa dicapai dengan banyak metode atau cara. Kita mengenal ribuan metode atau cara untuk menggali kekuatan batin yang tersembunyi pada diri manusia. Di India, kita mengenal tradisi Yoga, di Barat kita mengenal tradisi meditation, di Indonesia kita mengenal semedhi, maladehing, manekung, maneges. Di negara-negara arab, kita mengenal tradisi bertahanut dan seterusnya. Cara boleh berbeda namun semuanya bermuara pada inti yang sama; yaitu bagaimana kita memfokuskan keinginan agar nyambung dan menyatu dengan iradat-Nya.



Meraih Kasampurnaan Hidup

Ilmu yang mengajarkan tata cara menghargai diri sendiri, dengan “laku” batin untuk mensucikan raga dari nafsu angkara murka (amarah), nafsu mengejar kenikmatan (supiyah), dan nafsu serakah (lauwamah). Pribadi membangun raga yang suci dengan menjadikan raga sebagai reservior nafsul mutmainah. Agar supaya jika manusia mati, raganya dapat menyatu dengan “badan halus” atau ruhani atau badan sukma.

Hakikat kesucian, “badan wadag” atau raga tidak boleh pisah dengan “badan halus”, karena raga dan sukma menyatu (curigo manjing warongko) pada saat manusia lahir dari rahim ibu. Sebaliknya, manusia yang berhasil menjadi kalifah Tuhan, selalu menjaga kesucian (bersih dari dosa), jika mati kelak “badan wadag” akan luluh melebur ke dalam “badan halus” yang diliputi oleh kayu dhaim, atau Hyang Hidup yang tetap ada dalam diri kita pribadi, maka dilambangkan dengan “warongko manjing curigo”. Maksudnya, “badan wadag” melebur ke dalam “badan halus”. Pada saat manusia hidup di dunia (mercapada), dilambangkan dengan “curigo manjing warongko”; maksudnya “badan halus” masih berada di dalam “badan wadag”. Maka dari itu terdapat pribahasa sebagai berikut:

“Jasad pengikat budi, budi pengikat nafsu, nafsu pengikat karsa (kemauan), karsa pengikat sukma, sukma pengikat rasa, rasa pengikat cipta, cipta pengikat penguasa, penguasa pengikat Yang Maha Kuasa”.

Sebagai contoh :
Jasad jika mengalami kerusakan karena sakit atau celaka, maka tali pengikat budi menjadi putus. Orang yang amat sangat menderita kesakitan tentu saja tidak akan bisa berpikir jernih lagi. Maka putuslah tali budi sebagai pengikat nafsu. Maka orang yang sangat menderita kesakitan, hilanglah semua nafsu-nafsunya; misalnya amarah, nafsu seks, dan nafsu makan. Jika tali nafsu sudah hilang atau putus, maka untuk mempertahankan nyawanya, tinggal  tersisa tali karsa atau kemauan. Hal ini, para pembaca dapat menyaksikan sendiri, setiap orang yang menderita sakit parah, energi untuk bertahan hidup tinggalah kemauan atau semangat untuk sembuh. Apabila karsa atau kemauan, dalam bentuk semangat untuk sembuh sudah hilang, maka hilanglah tali pengikat sukma, akibatnya sukma terlepas dari “badan wadag”, dengan kata lain orang tersebut mengalami kematian. Namun demikian, sukma masih mengikat rasa, dalam artian sukma sebenarnya masih memiliki rasa, dalam bentuk rasa sukma yang berbeda dengan rasa ragawi. Bagi penganut kejawen percaya dengan rasa sukma ini. Maka di dalam tradisi Jawa, tidak boleh menyianyiakan jasad orang yang sudah meninggal. Karena dipercaya sukmanya yang sudah keluar dari badan masih bisa merasakannya.  Rasa yang dimiliki sukma ini, lebih lanjut dijelaskan karena sukma masih berada di dalam dimensi bumi, belum melanjutkan “perjalanan” ke alam barzah atau alam ruh.

Rahsa atau rasa, merupakan hakikat Dzat (Yang Maha Kuasa) yang mewujud ke dalam diri manusia. Dzat adalah Yang Maha Tinggi, Yang Maha Kuasa, Tuhan Sang Pencipta alam semesta. Urutan dari yang tertinggi ke yang lebih rendah adalah sebagai berikut;

   1. Dzat (Dzatullah) Tuhan Yang Maha Suci, meretas menjadi;
   2. Kayu Dhaim (Kayyun) Energi Yang Hidup, meretas menjadi;
   3. Cahya atau cahaya (Nurullah), meretas menjadi;
   4. Rahsa atau rasa atau sir (Sirrullah), meretas menjadi ;
   5. Sukma atau ruh (Ruhullah).

No 1 s/d no 5 adalah retasan dari Dzat, Tuhan Yang Maha Kuasa, maka ruh bersifat abadi, cahaya bersifat mandiri tanpa perlu bahan bakar. Ruh yang suci yang akan melanjutkan “perjalanannya” menuju ke haribaan Tuhan, dan akan melewati alam ruh atau alam barzah, di mana suasana menjadi “jengjem jinem” tak ada rasa lapar-haus, emosi, amarah, sakit, sedih, dsb. Sebelum masuk ke dimensi barzah, ruh melepaskan tali rasa, kemudian ruh masuk ke dalam dimensi alam barzah menjadi hakikat cahaya tanpa rasa, dan tanpa karsa. Yang ada hanyalah ketenangan sejati, manembah kepada gelombang Dzat, lebur dening pangastuti.

KONSEP ARWAH PENASARAN
Sebaliknya ruh yang masih berada di dalam dimensi gaibnya bumi, masih memiliki tali rasa, misalnya rasa penasaran karena masih ada tanggungjawab di bumi yang belum terselesaikan, atau jalan hidup, atau “hutang” yang belum terselesaikan, menyebabkan rasa penasaran. Oleh karena itu dalam konsep Kejawen dipercaya adanya arwah penasaran, yang masih berada di dalam dimensi gaibnya bumi. Sehingga tak jarang masuk ke dalam raga orang lain yang masih hidup yang dijadikan sebagai media komunikasi, karena kenyataan bahwa raganya sendiri telah rusak dan hancur. Itulah sebabnya mengapa di dalam ajaran Kejawen terdapat tata cara “penyempurnaan” arwah (penasaran) tersebut.


Ilmu Laduni

Semua ilmu yang dimiliki makhluk hidup di bumi dan di langit adalah ajaran dari Allah swt, termasuk ilmu yang dimiliki oleh manusia. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa semua ilmu yang dimiliki oleh manusia adalah Ilmu Laduni, yaitu ilmu yang berasal dari Allah swt. Konon katanya ilmu laduni banyak diartikan sebagai Pengetahuan yang diperoleh seseorang yang saleh dari Allah SWT melalui ilham dan tanpa dipelajari lebih dahulu melalui suatu jenjang pendidikan tertentu. Oleh sebab itu, ilmu tersebut bukan hasil dari proses pemikiran, melainkan sepenuhnya tergantung atas kehendak dan karunia Allah SWT.


Untuk lebih jauh memahami apa itu ilmu laduni? Apa sejarah yang melatar belakangi munculnya ilmu tersebut? Dimana titik kebenaran dan kesalahan ilmu tersebut?

Dalam Ensiklopedia Islam: Ilmu Laduni adalah Pengetahuan yang diperoleh seseorang yang saleh dari Allah SWT melalui ilham dan tanpa dipelajari lebih dahulu melalui suatu jenjang pendidikan tertentu. Oleh sebab itu, ilmu tersebut bukan hasil dari proses pemikiran, melainkan sepenuhnya tergantung atas kehendak dan karunia Allah SWT.

Di dalam tasawuf dibedakan tiga jenis alat untuk komunikasi rohaniah, yakni kalbu (hati nurani) untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, roh untuk mencintai-Nya dan bagian yang paling dalam yakni sirr (rahasia) untuk musyahadah (menyaksikan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Allah SWT secara yakin sehingga tidak terjajah lagi oleh nafsu amarah) kepada-Nya.

Meski dianggap memiliki hubungan misterius dengan jantung secara jasmani, kalbu bukanlah daging atau darah, melainkan suatu benda halus yang mempunyai potensi untuk mengetahui esensi segala sesuatu.

Lapisan dalam dari kalbu disebut roh; sedangkan bagian terdalam dinamakan sirr, kesemuanya itu secara umum disebut hati. Apabila ketiga organ tersebut telah disucikan sesuci-sucinya dan telah dikosongkan dari segala hal yang buruk lalu diisi dengan dzikir yang mendalam, maka hati itu akan dapat mengetahui Tuhan.

Tuhan akan melimpahkan nur cahaya keilahian-Nya kepada hati yang suci ini. Hati seperti itu diumpamakan oleh kaum sufi dengan sebuah cermin. Apabila cermin tadi telah dibersihkan dari debu dan noda-noda yang mengotorinya, niscaya ia akan mengkilat, bersih dan bening. Pada saat itu cermin tersebut akan dapat memantulkan gambar apa saja yang ada dihadapannya.

Demikian juga hati manusia. Apabila ia telah bersih, ia akan dapat memantulkan segala sesuatu yang datang dari Tuhan. Pengetahuan seperti itu disebut makrifat musyahadah atau ilmu laduni.

Semakin tinggi makrifat seseorang semakin banyak pula ia mengetahui rahasi-rahasia Tuhan dan ia pun semakin dekat dengan Tuhan. Meskipun demikian, memperoleh makrifat atau ilmu laduni yang penuh dengan rahasia-rahasia ketuhanan tidaklah mungkin karena manusia serba terbatas, sedangkan ilmu Allah SWT tanpa batas, seperti dikatakan oleh Al-Junaid, seorang sufi modern, “Cangkir teh tidak akan dapat menampung segala air yang ada di samudera.”

Keberadaan dan status ilmu laduni bukan tanpa alasan. Para sufi merujuk keberadaan ilmu ini pada Al-Quran (QS Al Kahfi [18]:60-82) yang memaparkan beberapa kisah tentang kisah Nabi Musa AS dan Khidir AS. Kisah tersebut dijadikan oleh para sufi sebagai alasan keberadaan dan status ilmu laduni. Mereka memandang Khidir AS sebagai orang yang mempunyai ilmu laduni dan Musa AS sebagai orang yang mempunyai pengetahuan biasa dan ilmu lahir. Ilmu tersebut dinamakan ilmu laduni karena di dalam surat al-Kahfi ayat 65 disebutkan: “wa’allamnahu min ladunna ‘ilman..” (..dan yang telah Kami ajarkan kepadanya (Khidir AS) ilmu dari sisi Kami). Dengan demikian ilmu yang diterima langsung oleh hati manusia melalui ilham, iluminasi (penerangan) atau inspirasi dari sisi Tuhan disebut ilmu laduni.

Perbedaan Ilmu Laduni Dengan Ilmu-Ilmu Lain
Dari pengertian diatas tadi sudah dapat kita lihat, bahwa ilmu laduni mempunyai ciri yang khas yaitu ilmu laduni diberikan langsung dari Allah SWT kepada orang-orang (nabi, wali, orang yang mempunyai iman yang tinggi) yang dia kehendaki. Berbeda dengan ilmu-ilmu yang lain, karena ilmu-ilmu yang lain (hukum, filsafat, sastra, sains dan yang lainya) harus dicari oleh manusia. Walaupun pada hakikatnya semua ilmu sudah Allah sediakan bagi manusia. Cuma ada yang berbentuk kauniah dan kauliyah. Ilmu-ilmu lain mempunyai corak mengedepankan akal atau rasio untuk memperoleh kebenaran, sedangkan ilmu laduni lebih bercorak kepada rasa atau hati (karena langsung dari Allah).

Ilmu pengetahuan lain selain ilmu laduni mempunyai alat ukur yang jelas, karena untuk memperoleh ilmu tersebut, sebelumnya telah diberi aturan-aturan atau batasan-batasan dalam menentukan kebenaran. Selain ilmu laduni semuanya sudah terukur, maksud dari keterukuran disini adalah sudah mempunyai pola yang cukup jelas. Pada dasarnya ilmu ladunipun sama mempunyai alat ukur juga, tetapi alat ukurnya ditentukan oleh allah swt (gaib).

Kalau kita lihat Ilmu laduni-nya Nabi Khidhir menurut surat Al Kahfi – difokuskan pada satu masalah saja, yaitu pengetahuan tentang masa depan, walau secara rinci digambarkan dalam tiga peristiwa, yaitu merusak kapal yang sedang berlabuh di pinggir pantai, membunuh anak kecil yang ditemukan di tengah jalan, dan memperbaiki dinding yang mau roboh.

Dari hal itu sangat jelas bahwa ilmu laduni difokuskan pada suatu hal yang akan terjadi di masa depan. Dalam konteks ini, nabi khidhir melakukan sesuatu yang bisa dikatakan melawan arus berdasarkan logika atau hukum moral pada saat itu, tetapi karena ia memperolehnya dari Allah maka siapa yang akan menyalahkan Tuhan yang kita sembah itu?!

Tinjauan Filosofis Terhadap Ilmu Laduni
Pada dasarnya ilmu laduni mirip dengan salah satu cara berfikir dari filsafat yaitu spekulatif. Spekulatif disini bukan dalam artian tebak-tebakan belaka, tetapi mencoba menerka apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang dengan memikirkannya secara runtut, menggunakan rasio yang ketat untuk bisa menyimpulkan mana yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Sederhananya, seperti hukum silogisme, yaitu mencoba menurunkan sesuatu dari yang umum ke khusus atau sebaliknya. Dari cara berpikir seperti itu jelas akan mampu menerka apa yang akan terjadi. Tapi ini secara sederhana.

Selain cara berfikir spekulatif, ada juga yang patut di ingat atau mungkin bisa dibandingkan, yaitu corak berfikir Plato yang mencoba keluar dari alam realis dan masuk kealam idea. Dalam dunia idea Plato dia mengatakan apabila kita mampu meninggalkan alam relitas (kalau menurut plato dunia khayal) dan memasuki dunia idea (alam idea) kita akan mampu mengapai ketersingkapan-ketersingkapan, sehingga kita bisa mengetahui mana yang benar dan mana yang salah menurut mata batin kita. Kebenaran sebagai aletheia yaitu ketaktersembunyian adanya, jadi kita mampu menggapai kebenaran secara utuh.

Dari penjelasan diatas sudah dapat kita pahami bahwa ilmu laduni bukanlah ilmu yan sembarangan. Ilmu tersebut berasal dari Allah langsung tanpa harus melalui proses apapun. Namun seberapa jauh manfaat dan ekses yang dihasilkannya?

Mempelajari ilmu laduni mengajak kita untuk berwisata spiritual, karena dalam hal ini yang diutamakan adalah keyakinan atau sesuatu yang berpusat di dalam hati bukan yang berada di dalam batok kepala manusia (akal). Jelas dari hal itu akan brtambah keimanan kita karena Allah menunjukan satu lagi kekuasaannya dari beribu-ribu kekuasaan yang belum kita ketahui.

Tapi patut kita lihat juga, pada waktu ilmu laduni diberikan kepada nabi Khidhir ada sedikit ketidak cocokan dengan norma yamg berlaku. Seandainya kita tarik ilmu laduni itu pada jaman kontemporer sekarang tentunya akan ada banyak kesalah pahaman dengan hukum islam itu sendiri.

Saat ini Ilmu laduni masih bisa digunakan selama tidak bertentangan dengan sariat islam atau norma agama. Jadi ilmu laduni untuk saat ini adalah ilmu yang selaras dengan syariat islam, karena Allah telah menurunkan al-Quran dan Muhammad saw telah memberikan hadis sebagai pijakan umat islam hidup. Nah, apabila ada seseorang yang mengaku mempunyai ilmu laduni kemudian bertentangan dengan syariat islam maka ilmu itu patut untuk diperivikasi kebenarannya.


Makam Wali Allah Pangeran Sake, Citeureup

Sebagian besar Masyarakat di Citeureup mencintai serta memuliakan Pangeran Sake, mungkin dikarenakan jasa-jasa beliau didalam membuka wilayah Citeureup, ini bisa dilihat dari Makamnya yang selalu ramai diziarahi, terutama pada malam Selasa dan malam Jum’at. Bahkan bukan hanya warga Citeureup saja yang datang berziarah, dari kota-kota lainpun banyak yang datang, seperti Jabotabek, Bandung, Tasikmalaya, Madura, Karawang hingga Kalimantan.

Setiap malam Selasa dan malam Jum’at para penziarah semenjak sore hari sudah mulai berdatangan. Mereka ada yang datang berjalan kaki hingga berkendaraan, biasanya berkelompok. Tak ada yang mengatur, tetapi para penziarah terlihat tertib memasuki lahan pemakaman. Mereka bergantian masuk, sebagian lainnya bergerombol di luar area makam atau menunggu di majlis yang berada tak jauh dari area pemakaman. Lokasinya yang terletak di Gang Nangka Karang Asem Timur, itu mudah untuk dikunjungi. Bagi para penziarah yang datang dari luar kota melalui tol Jagorawi masuk menuju arah prapatan Citeureup, kemudian kearah selatan melewati BTN Griya Persada kemudian memutar balik kearah Citeureup.

Mbah Sake, begitu masyarakat Citeureup menyebutnya banyak berjasa dalam penyebaran agama Islam di daerah Citeureup dan sekitarnya, beliau semasa hidupnya lebih memilih jalan kesufian dibanding menjadi pamong di istana banten.Masjid Ash-Shoheh diyakini sebagian sesepuh Citeureup sebagai tempat Eyang Sake menghabiskan waktunya dalam beribadah.setiapShubuh kerapkali beliau bersama jamaah lainnya berdzikir hingga waktu Isyraq (terbit fajar). Ada yang menyebut beliau penganut Thariqat Naqsabandiyah.

Banyak cerita / mitos yang dikaitkan dengan Pangeran Sake, baik cerita tentang kehidupannya maupun tentang peninggalannya, cerita-cerita mengalir begitu saja tanpa ada yang tahu darimana sumbernya. Meski demikian nampaknya tak ada yang mempertentangkannya. Cerita-cerita tersebut sudah mengalun sejak lama,dari mulut ke mulut dan sebagian malah tidak memperdulikan kebenarannya. Diantara cerita-cerita tersebut ada yang sebagian saya paparkan disini, sebagian lagi tidak, karena dianggap mustahil dan dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Diantara cerita tersebut adalah :

1. Pangeran Sake memiliki beberapa makam, diantaranya ada di Bogor, Cibinong, Cileungsi,Citeureup dan mungkin di daerah lainnya.Terdengar agak aneh memang, seseorang bisa wafat berkali-kali. Namun ada salah satu sumber yang sangat masuk akal, yakni dari salah seorang sesepuh citeureup yang berasal dari leuwiliang, beliau mengatakan bahwa pada zaman dulu, sebagai penyebar agama, Pangeran Sake seringkali menjadi incaran Belanda, gerak-geriknya seringkali dimata-matai, sehingga ketika beliau tinggal disatu tempat, belanda pun dapat mengendusnya, maka demi menghilangkan jejak dibuatlah gundukan tanah yang diklaim sebagai makamnya, sehingga Belanda pun menghentikan pengejarannya, begitu seterusnya, pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. masuk akal kan...?


2. Mbah Sake ada dimakamnya pada malam-malam tertentu saja seperti misalnya para penziarah yang datang biasanya ramai pada malam selasa dan malam jum’at. Sebagian meyakini bahwa beliau ada di makam pada malam selasa, dan sebaliknya sebagian mengatakan bahwa mbah sake ada pada malam Jum’at.


3. Ada yang mengaku memiliki Photo / lukisan Pangeran Sake, uniknya yang dapat melihat dengan jelas hanyalah keturunannya saja, selain daripada keturunannya tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, bahkan yang terlihat hanyalah benda-benda biasa seperti batu,kayu,bahkan harimau.


4. Seseorang mengaku memiliki Jubah peninggalan Pangeran Sake semasa beliau hidup, mirip seperti cerita diatas, yang dapat memakai pakaian tersebut dalam artian pakaian tersebut akan cukup dikenakan apabila yang bersangkutan masih keturunannya.

Masih banyak mitos-mitos lainnya, wallahu a’lam mengenai kebenaran cerita – cerita tersebut, mitos-mitos ini mengalir begitu saja tanpa tahu dari mana sumbernya, yang jelas kita berkhusnudzon saja kepada Pangeran Sake yang sudah berjasa membuka hutan rimba bernama Citeureup hingga para anak cucunya dapat menikmatinya sekarang.

Berbicara Pangeran Sake, tidak dapat dilepaskan asal muasal dari Pangeran Sake yakni daerah Banten, kemudian berbicara Banten tentu tak mudah juga dilupakan Pembuka wilayah banten yang tak lain adalah Karuhun (Nenek Moyang) dari Pangeran Sake Yaitu Maulana Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, seorang Hamba Allah yang berjasa besar dalam rangka tersebarnya agama Islam di Indonesia umumnya serta di Jawa barat khususnya. Beliau juga merupakan bagian dari Wali Songo. Karena jasa-jasanya Rakyat Jawa Barat memberinya gelar Syekh Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.

Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar tahun 1450. Ayah beliau adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang Mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah SAW melalui cucu beliau Imam Husain.

Bunda Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Muda’im) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang atau Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi bin Ahmad.Makam Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam komplek KLENTENG di Pasar Bogor, di sebelah Kebun Raya Bogor.

Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680

Beliau menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Pangeran Sebakingking atau Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten yang selanjutnya nanti akan sampai kepada lahirnya pangeran Sake.

Dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdirinya Masjid Demak. Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.

Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

Pangeran Sake yang banyak dikenal di daerah citeureup karena perjuangan beliau di daerah ini berasal dari Banten. Beliau adalah Putra dari Sultan Ageng Tirtayasa.tentu tidak ada salahnya apabila kita paparkan sedikit riwayat dari ayahanda Pangeran Sake tersebut.

Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 – 1683) adalah putra Sultan Abdul Ma’ali Ahmad dan Ratu Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang).

Sultan Ageng Tirtayasa mempunyai beberapa istri diantaranya Ratu Adi Kasum sebagai permaisuri yang melahirkan Abdul Kahar (Sultan Abdul Nasr Abdul Kahar), dari Ratu Ayu Gede, Sultan Ageng dikaruniai 3 orang anak, yaitu Pangeran Arya Abdul Alim, Pangeran Ingayujapura (Ingayudipura) dan Pangeran Arya Purbaya. Sedangkan dari istri-istri lainnya mempunyai beberapa anak yaitu Pangeran. Sugiri, Pangeran Sake, TB. Raja Suta, TB. Husen, TB. Kulon, dan lain-lain. Diantara anak-anaknya hanya dua saja yang menjadi penguasa yakni Sultan haji dan Pangeran Purbaya, selebihnya memilih meninggalkan banten diantaranya Pangeran Sogiri dan Pangeran Sake yang memilih wilayah timur yang terbentang antara Citeureup, Cibinong sampai ke Cibarusah.

Adapun Silsilah dari Pangeran Sake adalah sebagai berikut :
1. Syeh Syarif Hidayatullah Gunung Jati (1450-1569) Berputra :
2. Sultan Maulana Hasanudin / Panembahan Surosowan (1552-1570), Berputra :
3. Sultan Maulana Yusuf (1570-1580), Berputra :
4. Sultan Maulana Muhamad (1580-1596), Berputra :
5. Sultan Abdul Mafahir Mahmud Abdul Kadir Kenari (1596-1651), Berputra :
6. Sultan Abul Maali Ahmad, Berputra :
7. Sultan Abdul Fathi Abdul Fatta / Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1683), Berputra :
8. Syeh Syarifudin Shoheh / Pangeran Sake (1682-1740).


Adapun Putra dari Pangeran Sake :
1.   Pangeran Suryadinata
2.   Pangeran Kertayudha
3.   Pangeran Wiranata
4.   Raden Suryapringga
5.   Raden Komarudin
6.   Raden Syarifudin
7.   Raden Sahabudin
8.   Raden Muhidin
9.   Ratu Jiddah
10. Tubagus Badrudin
11. Tubagus Kamil
12. Ratu Mantria

Mbah Dalem Machsan adalah Menantu dari Pangeran Sake, Makamnya terletak tidak jauh dari Makam Pangeran Sake. Pangeran Sake Wafat Pada Malam Jum’at Tanggal 10 Muharram.


Surau Tuo Taram dan Makam Ibrahim Mufti

"Setitik cahaya menyembul dari balik semak-semak di kaki bukit. Mungkin suluh orang yang mencari belut sawah atau menjaring ikan di sungai Batang Mungo sepanjang lereng bukit itu. Tapi, makin mendekat, makin jelas terlihat. Makin terang terasa. Lalu, cahaya itu menggulung seperti dihempas angin limbubu. Menggumpal, membulat, membesar seperti bola api. Melayang dan melaju kencang ke arah Surau Tuo....”

Tulisan di atas memang fiksi. Pernah dimuat Jawa Pos (Grup Padang-Today), pada 23 oktober 2005. Pengarangnya Damhuri Muhammad, jebolan IAIN Imam Bonjol Padang dan UGM Yogyakarta, yang belakangan menjadi Cerpenis di Jakarta. Meskipun fiksi, namun cerita pendek dengan judul asli ”BUYA” tersebut, sesungguhnya mirip sekali dengan kisah yang biasa didengar banyak orang, ketika berkunjung ke Surau Tuo dan Makam Keramat Syeikh Ibrahim Mufti di Nagari Taram, Kecamatan Harau, Kabupaten Limopuluah Koto.

Bahkan, kalau cerita karangan Damhuri tersebut dinikmati sampai akhir, pikiran pembaca pasti akan membayangkan, bagaimana rentetan kisah yang terjadi di Surau Tuo Taram, ratusan tahun nan lampau. Dalam kisah tersebut, Damhuri memaparkan dengan jelas, tentang peristiwa yang terjadi pada suatu malam, di mana sebuah cahaya tiba-tiba saja turun dan seperti menyambar bagian kanan Mihrab Surau Tuo. Tak lama kemudian, warga dari enam jorong: Tanjuang Ateh, Tanjuang Kubang, Tanjuang Balai Cubadak, Parak Baru, Sipatai, dan Subarang, menganggap cahaya tadi sebagai pertanda letak makam Buya Ibrahim Mufti yang hilang beberapa tahun.

Damhuri juga menjelaskan dengan gamblang, bagaimana Buya yang sedang mencukur rambut, tiba-tiba hilang dan pergi memadamkam api yang membakar Mekkah. Padahal, ketika itu rambutnya baru separoh yang dicukur. Bukan hanya itu, Damhuri menceritakan pula soal negeri Taram yang dulu bertanah gersang. Tak ada sumber air untuk mengairi sawah. Kalaupun ada sawah yang ditanami, itu hanya mengharapkan curah hujan. Tapi, sejak kedatangan buya Ibrahim Mufti, perlahan-lahan alam mulai bersahabat. Keadaan berubah menjadi lebih baik.

Waktu itu, Buya menancapkan ujung tongkatnya ke dalam tanah, lalu dihelanya tongkat itu sambil berjalan ke arah timur. Tanah kering yang tergerus tongkat buya seketika lembab, basah dan dialiri air yang datang entah dari mana. Sesampai di ujung paling timur, Buya berhenti. Dibiarkannya tongkat itu tertancap. Lebih dalam dari tancapan yang pertama. Kelak, titik tempat beliau berhenti dinamai: Kepala Bandar. Itulah mata air pertama di Taram.

Sesuai Cerita Warga

Apa yang dicerikan Damhuri tersebut, sesuai betul dengan cerita yang diperoleh penulis ketika berkali-kali mengunjungi Surau Tuo Taram dan Makam Ibrahim Mufti yang disebut-sebut keramat. Jikapun ada bedanya, nyaris tidak seberapa. Di mana, warga Taram mulai ”menganggap” bagian sebelah kanan Mihrab Surau Tuo, sebagai Makam Keramat Syeikh Ibrahim Mufti, ketika seorang murid bermimpi bertemu beliau.

Dalam mimpi itu diberitahukan, Syeikh sudah meninggal. Jika ingin melihat kuburannya, lihatlah pada malam tanggal 27 Rajab dengan petunjuk cahaya dari tanah. Dari tempat cahaya muncul itulah, Syeikh dimakamkan. Selain cerita tersebut, kepada Padang-Today warga Taram juga menceritakan, soal Syeikh Ibrahim Mufti yang dikabarkan bisa pergi memadamkan api di Mekkah, ketika rambutnya baru terpotong sebelah.

Lalu, diceritakan pula soal tongkat Ibrahim Mufti yang sampai sekarang masih ada. Pokoknya, miriplah dengan cerita Buya karangan Damhuri Muhammad. Terlepas dari hal tersebut, pastinya Surau Tuo Taram memang nikmat untuk dikunjungi, terlebih pada bulan Ramadhan ini. Melaksanakan Shalat Zuhur atau Ashar di dalamnya, juga terasa amat segar meskipun di luar cuaca sedang panas. Tak percaya? Cobalah datang ke sana!


 

SEO Stats powered by MyPagerank.Net

 Subscribe in a reader

Add to Google Reader or Homepage

Powered by FeedBurner

Waris Djati

↑ Grab this Headline Animator

My Ping in TotalPing.com Protected by Copyscape Online Copyright Protection Software DMCA.com Literature Blogs
Literature blog Submit Your Site To The Web's Top 50 Search Engines for Free! free web site traffic and promotion Submitdomainname.com Sonic Run: Internet Search Engine
eXTReMe Tracker
free search engine website submission top optimization