Di wilayah Ungaran Kabupaten Semarang juga dikenal penyebar agama Islam bernama Syaikh Hasan Munadi dari Desa Nyatnyono. Beliau adalah menantu dari Ki Ageng Makukuhan, seorang aulia yang dimakamkan di daerah Kedu Temanggung Jawa Tengah. Beberapa bekas peninggalan Hasan Munadi yang konon disebut-sebut sebagai keturunan Brawijaya V itu, hingga sekarang juga masih dapat dijumpai di wilayah Ungaran dan Gunungpati Semarang.
Dalam perjalanannya, Hasan Munadi juga pernah singgah dan mengajarkan agama Islam di Desa Nongkosawit Gunungpati Semarang. Hal itu dibenarkan Sutiknyo (47) warga RT 01 RW 01 Desa Nongkosawit yang juga sebagai juru kunci salah satu peninggalan Syaikh Hasan Munadi berupa empat sakaguru beserta tumpang sari masjid.
”Dulu Syaikh Hasan Munadi pernah menyebarkan agama Islam dan hendak mendirikan masjid. Namun karena sudah lama tidak pernah menengok kampung halaman di Nyatnyono, beliau kemudian mau pulang,” kata Sutiknyo.
Saat hendak pulang ke desanya, pembangunan masjid di Desa Nongkosawit belum selesai. Meskipun demikan, dia sudah berpesan kepada para kiai dan santrinya untuk terus melaksanakan pembangunan masjid dan mengaji seperti yang telah diajarkannya kepada mereka.
Ketika sampai di tengah perjalanan menuju kampung halaman, perasaan Syaikh Hasan Munadi tidak enak. Dia kemudian kembali lagi ke Desa Nongkosawit dan melihat dari kejauhan kalau warga sekitar ternyata tidak melaksanakan pesannya untuk terus mengaji, melainkan justru klonengan dan janggrungan. Melihat hal itu, Syaikh Hasan Munadi kemudian bersabda bahwa hingga sampai kapan pun, tidak akan ada santri atau kiai kondang dari Desa Nongkosawit.
”Selain sakaguru masjid, beliau juga meninggalkan benda pusaka berupa bende di wilayah ini dan setiap tahun pada bulan Rajab ada tradisi arak-arakan bende,” terang Sutiknyo. Sementara peninggalan lain adalah sebuah pusaka bedug yang kini berada di Desa Randusari Gunungpati.
Di Ungaran, salah satu bangunan peninggalan dari Hasan Munadi adalah Masjid Subulussalam Nyatnyono. Masjid yang dikenal dengan nama Masjid Karomah Hasan Munadi tersebut bahkan dipercaya lebih tua daripada Masjid Agung Demak.
Konon menurut cerita, sebelum mengerjakan masjid tersebut, Hasan Munadi didatangi Sunan Kalijaga. Saat itu dia diminta membantu pembangunan Masjid Agung Demak yang juga akan didirikan. Hasan Munadi bersedia memenuhi permintaan Sunan Kalijaga dengan sebuah syarat, yakni meminta Walisanga menyelesaikan masjid di lereng timur Gunung Ungaran dulu sebelum membangun Masjid Demak.
Kepada Sunan Kalijaga, dia meminta salah satu tiang penyangga yang akan digunakan untuk mendirikan Masjid Demak dan permintaan tersebut dikabulkan. Sunan Kalijaga mengantarkan salah satu tiang yang diminta ke Nyatnyono. Pada awal pembangunannya, masjid tua itu hanya didirikan dengan satu tiang. Namun, pada zaman Belanda, oleh Kiai Raden Purwo Hadi ditambah menjadi empat saka (tiang). Pada 1985 masjid tersebut direnovasi oleh masyarakat tanpa mengubah posisi atau jumlah tiangnya.
Hasan Munadi tercatat sebagai punggawa Kerajaan Demak yang saat itu dipimpin oleh Raden Fatah. Dengan pangkat tumenggung, dia dipercaya memimpin tentara Demak mengatasi segala bentuk kejahatan dan keangkuhan yang mengancam kejayaan Kerajaan Demak. Hasan Munadi kemudian memilih mensyiarkan Islam di daerah selatan kerajaan dan meninggal pada usia 130 tahun. Beliau meninggal dan kemudian dimakamkan di kampung halaman Nyatnyono di atas Masjid Subulussalam.
Tak jauh dari Makam Hasan Munadi, terdapat pula pemandian / sendang yang konon dahulunya untuk tempat mandi dan mengambilan air wudhu dari Hasan Munadi, yang dikenal dengan nama Air Keramat Sendang Kalimat Thoyibah. Air tersebut bersumber dari mata air yang dahulunya tongkat dari Hasan Munadi ditancapkan ketanah. Bila kita rasakan air tersebut maka air tersebut seperti air zam zam. Konon air keramat sendang kalimat thoyibah berkhasiat istimewa wasilah mengobati segala penyakit.
Namun pengunjung sebelum mandi diwajibkan untuk mengganti pakaian dengan sarung dan juga tidak diperbolehkan memakai perhiasan, cincin, gelang dan lain sebagainya. Bila kita lupa membawa sarung maka disediakan jasa untuk penyewaan sarung dipintu masuk sendang air keramat kalimat thoyibah.
Berikut ini tata cara tahlil untuk mandi di Air Keramat Sendang Thoyibah, dibaca sebelum mandi/sebelum air digunakan untuk wasilah atau apa saja yang tidak bertentangan dengan agama :
Dalam perjalanannya, Hasan Munadi juga pernah singgah dan mengajarkan agama Islam di Desa Nongkosawit Gunungpati Semarang. Hal itu dibenarkan Sutiknyo (47) warga RT 01 RW 01 Desa Nongkosawit yang juga sebagai juru kunci salah satu peninggalan Syaikh Hasan Munadi berupa empat sakaguru beserta tumpang sari masjid.
”Dulu Syaikh Hasan Munadi pernah menyebarkan agama Islam dan hendak mendirikan masjid. Namun karena sudah lama tidak pernah menengok kampung halaman di Nyatnyono, beliau kemudian mau pulang,” kata Sutiknyo.
Saat hendak pulang ke desanya, pembangunan masjid di Desa Nongkosawit belum selesai. Meskipun demikan, dia sudah berpesan kepada para kiai dan santrinya untuk terus melaksanakan pembangunan masjid dan mengaji seperti yang telah diajarkannya kepada mereka.
Ketika sampai di tengah perjalanan menuju kampung halaman, perasaan Syaikh Hasan Munadi tidak enak. Dia kemudian kembali lagi ke Desa Nongkosawit dan melihat dari kejauhan kalau warga sekitar ternyata tidak melaksanakan pesannya untuk terus mengaji, melainkan justru klonengan dan janggrungan. Melihat hal itu, Syaikh Hasan Munadi kemudian bersabda bahwa hingga sampai kapan pun, tidak akan ada santri atau kiai kondang dari Desa Nongkosawit.
”Selain sakaguru masjid, beliau juga meninggalkan benda pusaka berupa bende di wilayah ini dan setiap tahun pada bulan Rajab ada tradisi arak-arakan bende,” terang Sutiknyo. Sementara peninggalan lain adalah sebuah pusaka bedug yang kini berada di Desa Randusari Gunungpati.
Di Ungaran, salah satu bangunan peninggalan dari Hasan Munadi adalah Masjid Subulussalam Nyatnyono. Masjid yang dikenal dengan nama Masjid Karomah Hasan Munadi tersebut bahkan dipercaya lebih tua daripada Masjid Agung Demak.
Konon menurut cerita, sebelum mengerjakan masjid tersebut, Hasan Munadi didatangi Sunan Kalijaga. Saat itu dia diminta membantu pembangunan Masjid Agung Demak yang juga akan didirikan. Hasan Munadi bersedia memenuhi permintaan Sunan Kalijaga dengan sebuah syarat, yakni meminta Walisanga menyelesaikan masjid di lereng timur Gunung Ungaran dulu sebelum membangun Masjid Demak.
Kepada Sunan Kalijaga, dia meminta salah satu tiang penyangga yang akan digunakan untuk mendirikan Masjid Demak dan permintaan tersebut dikabulkan. Sunan Kalijaga mengantarkan salah satu tiang yang diminta ke Nyatnyono. Pada awal pembangunannya, masjid tua itu hanya didirikan dengan satu tiang. Namun, pada zaman Belanda, oleh Kiai Raden Purwo Hadi ditambah menjadi empat saka (tiang). Pada 1985 masjid tersebut direnovasi oleh masyarakat tanpa mengubah posisi atau jumlah tiangnya.
Hasan Munadi tercatat sebagai punggawa Kerajaan Demak yang saat itu dipimpin oleh Raden Fatah. Dengan pangkat tumenggung, dia dipercaya memimpin tentara Demak mengatasi segala bentuk kejahatan dan keangkuhan yang mengancam kejayaan Kerajaan Demak. Hasan Munadi kemudian memilih mensyiarkan Islam di daerah selatan kerajaan dan meninggal pada usia 130 tahun. Beliau meninggal dan kemudian dimakamkan di kampung halaman Nyatnyono di atas Masjid Subulussalam.
Tak jauh dari Makam Hasan Munadi, terdapat pula pemandian / sendang yang konon dahulunya untuk tempat mandi dan mengambilan air wudhu dari Hasan Munadi, yang dikenal dengan nama Air Keramat Sendang Kalimat Thoyibah. Air tersebut bersumber dari mata air yang dahulunya tongkat dari Hasan Munadi ditancapkan ketanah. Bila kita rasakan air tersebut maka air tersebut seperti air zam zam. Konon air keramat sendang kalimat thoyibah berkhasiat istimewa wasilah mengobati segala penyakit.
Namun pengunjung sebelum mandi diwajibkan untuk mengganti pakaian dengan sarung dan juga tidak diperbolehkan memakai perhiasan, cincin, gelang dan lain sebagainya. Bila kita lupa membawa sarung maka disediakan jasa untuk penyewaan sarung dipintu masuk sendang air keramat kalimat thoyibah.
Berikut ini tata cara tahlil untuk mandi di Air Keramat Sendang Thoyibah, dibaca sebelum mandi/sebelum air digunakan untuk wasilah atau apa saja yang tidak bertentangan dengan agama :
- Uluk salam kepada Nabi Khidir as. "Assalamu'alaika ya Nabiyyallahi Khidir balya bin malkaan'alahissalam.
- Membaca dua kalimat syahadat (3 X)
- Berwudhu seperti biasa. "Nawaitu wudhu'a liraf'il khakimul khadatsil ashghari fardhal lillahi ta'alaa."
- Membaca Surat Al-Fatikhah dikhususkan kepada waliyullah Hasan Munadi dan waliyullah Hasan Dipuro. Illa khadroti Waliyullah Hasan Munadi wa ilaa khadrati Waliyullah Hasan Dipuro (3 X).
- Membaca shalawat Nabi SAW kemudian berdo'a kepada Allah SWT sebelum mandi. " Allahumma shalli 'alaa Sayyidinaa Muhammad (7 X).
Route :
Dari Jakarta atau Jawa Barat turun di Semarang, ganti bus jurusan Solo/Yogja/Ambarawa kemudian turun di Pasar Unggaran atau Masjid Istiqomah dan dilanjutkan dengan naik colt atau ojek ke Nyatnyono.
Yang dari Jawa Timur, naik bus jurusan Solo-Semarang kemudian turun di Pasar Unggaran/Masjid Istiqomah dan dilanjutkan dengan naik colt atau ojek ke Nyatnyono. (Edy Rusman).