Predikat daerah santri sepertinya memang layak dinisbatkan kepada Madura. Kepatuhan masyarakatnya akan sosok pemuka agama atau kyai ternyata tidak hanya dilakukan saat kyai tersebut masih hidup di tengah-tengah mereka.
Hingga kyai tersebut meninggal sejak puluhan hingga ratusan tahun pun, si santri tetap menaruh rasa hormat kepada sang kyai yang telah dianggap berjasa membimbing jalan hidupnya. Paling tidak, si santri akan selalu memanjatkan seraya mengharap berkah dari do’a yang dibaca di samping makam sang Kyai.
Budaya masyarakat Madura yang menempatkan kyai sebagai figur panutan yang tetap dihormati meski telah lama meninggal itulah yang menyebabkan banyak terdapat makam kyai di Pulau Garam. Makam kyai juga seringkali dianggap sebagai tempat keramat yang dipercaya sebagai tempat paling tepat untuk berdoa kepada Tuhan dengan tujuan tertentu, di samping juga mendoakan arwah kyai yang bersangkutan.
Masyarakat Madura umumnya menyebut makam tokoh agama tersebut dengan sebutan bujuk yang dalam bahasa Madura berarti orang yang sangat tua dan dituakan dalam silsilah keluarga. Namun dalam kontek sosial, Bujuk merupakan orang yang dituakan dan yang patut dituruti segala nasehat dan arahannya.
Nama bujuk biasanya diambil dari nama tempat kyai tersebut berasal atau tinggal, nama bujuk juga ada yang diambil dari kebiasaan kyai saat hidup, atau dari hal-hal mistis yang berkaitan dengannya semasa hidup, Seperti Bujuk Banyu Sangka, masyarakat memberikan nama tersebut karena lokasi makamnya ada di Desa Banyu Sangka, Kecamatan Tanjung Bumi, Bangkalan. Sementara nama asli penghuni bujuk tersebut adalah Sayyid Husein.
Nama yang diberikan masyarakat dari apa yang berkaitan dengan kehidupannya seperti, Bujuk Latthong di Desa Batu Ampar Kecamatan Proppo, Pamekasan. Menurut keterangan dalam buku Kisah Aulia Batu Ampar yang disusun Alm. KH Achmad Fauzi Damanhuri (salah satu cucu Bujuk Latthong), nama tersebut diambil dari cerita masyarakat bahwa kyai yang mempunyai nama asli Syekh Abu Syamsuddin tersebut dulu pernah menyembunyikan senjata musuh yang akan membunuhnya di dalam kotoran sapi yang dalam bahasa Madura disebut latthong. Namun ada juga bujuk yang diberi nama sesuai atau mirip nama aslinya, seperti Bujuk Sara di Desa Martajasah, Kecamatan Kota, Bangkalan, nama asli ulama tersebut adalah Siti Maisaroh.
Terdapat ratusan bujuk atau makam yang tersebar di empat kabupaten di Madura dari Bangkalan, Sampang, Parnekasan, dan Sumenep. Namun dari jumlah itu, ada beberapa saja yang seringkali dikunjungi peziarah lokal maupun dari luar Madura. Banyaknya peziarah yang dating ke suatu lokasi bujuk, bergantung pengaruh dan kharismatik kyai tersebut semasa hidupnya.
Berdasarkan catatan penulis, ada sejumlah makam yang seringkali dijadikan salah satu tujuan wisata religi di Madura, di antaranya makam Syaikhona Kolil dan Siti Maisaroh di Desa Martajasah, Kecamatan Kota, Bangkalan, komplek pemakaman kerajaan Bangkalan, Air mata Ibu di Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya Bangkalan, komplek makam Batu Ampar, Desa Batu Ampar, Kecamatan Proppo, Pamekasan, komplek pernakaman kerajaan Sumenep, Asta Tinggi di Desa Kebun Agung, Kecamatan Kota, Sumenep dan pemakaman Sayyid Yusuf di Desa Talango. kecamatan Talango Sumenep.
Usia makam tersebut dari puluhan hingga ratusan tahun. Berdasarkan silsilahnya. Sebagian besar makam tersebut adalah keturunan bangsa Arab yang sengaja datang ke Madura untuk menyebarkan Islam. Sebagaian mereka juga masih mempunyai hubungan darah dengan Wali Songo. Sebagian lagi merupakan sisilah keluarga kerajaan Jawa dan Madura yang juga dianggap berperan dalam menyebarkan luaskan Islam di Madura.
Bujuk Latthong misalnya ternyata masih cicit atau generasi ketiga Bujuk Banyu Sangka di Kecamatan Tanjung Bumi, Bangkalan, sementara Bujuk Banyu Sangka juga masih mempunyai hubungan darah dengan ulama yang dimakamkan di kawasan Luar Batang Jakarta Utara.
Sementara Bujuk Bindere Saud di kompleks pemakaman Asta Tinggih di Sumenep masih mempunyai garis keturunan dengan Raden Fattah. Raja Kerajaan Demak. Sementara Syaikhona Kholil Bangkalan juga masih mempunyai garis keturunan dengan Sunan Kudus dan Sunan Ampel.
Budaya masyarakat Madura yang menempatkan kyai sebagai figur panutan yang tetap dihormati meski telah lama meninggal itulah yang menyebabkan banyak terdapat makam kyai di Pulau Garam. Makam kyai juga seringkali dianggap sebagai tempat keramat yang dipercaya sebagai tempat paling tepat untuk berdoa kepada Tuhan dengan tujuan tertentu, di samping juga mendoakan arwah kyai yang bersangkutan.
Masyarakat Madura umumnya menyebut makam tokoh agama tersebut dengan sebutan bujuk yang dalam bahasa Madura berarti orang yang sangat tua dan dituakan dalam silsilah keluarga. Namun dalam kontek sosial, Bujuk merupakan orang yang dituakan dan yang patut dituruti segala nasehat dan arahannya.
Nama bujuk biasanya diambil dari nama tempat kyai tersebut berasal atau tinggal, nama bujuk juga ada yang diambil dari kebiasaan kyai saat hidup, atau dari hal-hal mistis yang berkaitan dengannya semasa hidup, Seperti Bujuk Banyu Sangka, masyarakat memberikan nama tersebut karena lokasi makamnya ada di Desa Banyu Sangka, Kecamatan Tanjung Bumi, Bangkalan. Sementara nama asli penghuni bujuk tersebut adalah Sayyid Husein.
Nama yang diberikan masyarakat dari apa yang berkaitan dengan kehidupannya seperti, Bujuk Latthong di Desa Batu Ampar Kecamatan Proppo, Pamekasan. Menurut keterangan dalam buku Kisah Aulia Batu Ampar yang disusun Alm. KH Achmad Fauzi Damanhuri (salah satu cucu Bujuk Latthong), nama tersebut diambil dari cerita masyarakat bahwa kyai yang mempunyai nama asli Syekh Abu Syamsuddin tersebut dulu pernah menyembunyikan senjata musuh yang akan membunuhnya di dalam kotoran sapi yang dalam bahasa Madura disebut latthong. Namun ada juga bujuk yang diberi nama sesuai atau mirip nama aslinya, seperti Bujuk Sara di Desa Martajasah, Kecamatan Kota, Bangkalan, nama asli ulama tersebut adalah Siti Maisaroh.
Terdapat ratusan bujuk atau makam yang tersebar di empat kabupaten di Madura dari Bangkalan, Sampang, Parnekasan, dan Sumenep. Namun dari jumlah itu, ada beberapa saja yang seringkali dikunjungi peziarah lokal maupun dari luar Madura. Banyaknya peziarah yang dating ke suatu lokasi bujuk, bergantung pengaruh dan kharismatik kyai tersebut semasa hidupnya.
Berdasarkan catatan penulis, ada sejumlah makam yang seringkali dijadikan salah satu tujuan wisata religi di Madura, di antaranya makam Syaikhona Kolil dan Siti Maisaroh di Desa Martajasah, Kecamatan Kota, Bangkalan, komplek pemakaman kerajaan Bangkalan, Air mata Ibu di Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya Bangkalan, komplek makam Batu Ampar, Desa Batu Ampar, Kecamatan Proppo, Pamekasan, komplek pernakaman kerajaan Sumenep, Asta Tinggi di Desa Kebun Agung, Kecamatan Kota, Sumenep dan pemakaman Sayyid Yusuf di Desa Talango. kecamatan Talango Sumenep.
Usia makam tersebut dari puluhan hingga ratusan tahun. Berdasarkan silsilahnya. Sebagian besar makam tersebut adalah keturunan bangsa Arab yang sengaja datang ke Madura untuk menyebarkan Islam. Sebagaian mereka juga masih mempunyai hubungan darah dengan Wali Songo. Sebagian lagi merupakan sisilah keluarga kerajaan Jawa dan Madura yang juga dianggap berperan dalam menyebarkan luaskan Islam di Madura.
Bujuk Latthong misalnya ternyata masih cicit atau generasi ketiga Bujuk Banyu Sangka di Kecamatan Tanjung Bumi, Bangkalan, sementara Bujuk Banyu Sangka juga masih mempunyai hubungan darah dengan ulama yang dimakamkan di kawasan Luar Batang Jakarta Utara.
Sementara Bujuk Bindere Saud di kompleks pemakaman Asta Tinggih di Sumenep masih mempunyai garis keturunan dengan Raden Fattah. Raja Kerajaan Demak. Sementara Syaikhona Kholil Bangkalan juga masih mempunyai garis keturunan dengan Sunan Kudus dan Sunan Ampel.
Budayawan asal Madura, Zawawi Imron sedikit meragukan sebagaian adanya bujuk tersebut memang benar makam seorang kyai, pasalnya tidak didukung literatur sejarah yang kuat, kecuali yang ada di kornplek pemakaman kerajaan seperti di Astatinggi dan makarn Jokotole di Surnenep, serta Air Mata Ibu di Bangkalan. Bisa saja makam tersebut bukanlah milik seorang pemuka agama, namun hanya sesorang yang dihormati dan dianggap sebagai sesepuh daerah.
“Mungkin juga makam tersebut adalah milik sesepuh suatu keluarga yang seringkali dikunjungi oleh kalangan keluarganya sendiri, namun masyarakat menganggapnya makam milik orang berpengaruh atau berjasa di daerahnya, kabar itu menyebar dari mulut ke mulut sehingga sampai sekarang banyak dikunjungi oleh orang,” kata pen yair yang mempunyai julukan Si Celurit Emas ini.
Namun menurutnya, perilaku masyarakat untuk berziarah ke makam tidak ada salahnya, selain untuk mengingat akan kematian, mendoakan orang di dalam kubur dalam keyakinan sebagian orang Islam itu diperbolehkan, justru dianjurkan.
Sebagian besar kondisi lokasi wisata religi di Madura sangat sederhana, bahkan terkesan sama sekali tidak tersentuh penanganan dari pemerintah setempat. Hal itu dapat terlihat dari banyaknya kelompok pengemis yang seringkali membuat peziarah merasa terganggu jalan akses menuju lokasi, hingga penataan pedagang kaki lima yang tidak teratur. Biaya pemeliharaan lokasi hanya berasal dari dana yang dikumpulkan secara sukarela dari peziarah yang datang.
Namun, keadaan seperti itu tidak terjadi pada lokasi komplek pemakaman kerajaan seperti Asta Tinggi di Sumenep, dan Air Mata Ibu di Bangkalan yang sudah masuk dalam cagar budaya. Namun apapun alasannya, pemerintah wajib memperhatikan kelestarian lokasi pemakaman sebagai salah satu potensi wisata religius, karena secara tidak langsung dengan semakin banyaknya peziarah yang datang akan merangsang pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar.
Beberapa bulan menjelang bulan Ramadhan, makam-makam tersebut biasanya ramai dikunjungi peziarah lokal maupun dari luar Madura seperti Jawa dan Kalimantan. Mereka mendatangi lokasi makam dengan berombongan menggunakan bus pariwisata atau dengan menggunakan mobil pribadi.
Menurutnya, budaya sebagian orang Islam memilih waktu ziarah sebelum bulan puasa, agar saat bulan puasa nanti hati sudah bersih dan siap menjalankan puasa. Hal tersebut diamini salah seorang peziarah asal Surabaya, Said Abdullah.
Menurut Said, selain sebagai persiapan bulan puasa, berziarah ke makam ulama juga sebagai upaya mencari berkah karena diyakini, berdoa di samping makam orang-orang yang mempunyai keilmuan dan kedekatan kepada Tuhan, doanya akan mudah dikabulkan. “Berziarah ke makam ulama adalah agenda rutin tahunan jamaah kami menjelang bulan puasa, di samping sekedar refreshing ke tempat-tempat yang dianggap keramat di Madura,” kata pria yang mengaku sudah beberapa kali bersama rombongan Jamaah Sholawat Nariyahnya berziarah ke makam-makam wali di Madura ini.
Sebagian besar lokasi pemakaman di Madura kental sekali dengan cerita mistis dan unik baik itu berkaitan dengan kehidupan ulama bersangkutan, atau dengan tempat atau orang yang ada di sekitar lokasi pemakaman.
Di makam Bujuk Nepa di Desa Betiyoh, Kecamatan Banyuates, Sampang, misalnya, menurut cerita masyarakat sekitar, ulama yang dimakamkan di situ adalah Kyai Abdul Majid atau biasa dikenal dengan Sunan Segara. Konon, pemilik makam tidak mau makamnya yang terletak di tengah hutan yang dipenuhi ratusan kera di pesisir pantai Desa Nepa tersebut diberi batu nisan. “Pernah beberapa kali dipasang akhirnya batu tersebut hilang, atau Si juru kunci bermimpi agar dia mencabut batu nisan yang dipasang,” kata salah satu warga Desa Nepa, Maryam. Akhirnya masyarakat hanya memberinya tanda seadanya dengan kain atau bendera tepat di bawah pohon yang diyakini sebagai tempat Kyai Abdul Majid dimakamkan.
Sejumlah benda di sekitar pemakaman juga seringkali dikultuskan sebagai barang yang menyimpan kekuatan tertentu, seperti air dari sumur di komplek pemakaman Air Mata Ibu di Bangkalan. Konon, tempat tersebut dinamakan Air Mata Ibu karena permaisuri raja Arosbaya yakni Syarifah Ambami yang juga masih cucu dari sunan Giri mendoakan keturunannya agar menjadi penguasa Madura di lokasi tersebut dengan menangis. Karena banyaknya tangisan air mata seorang ibu tersebut, hingga menjadi sumber air. Sumber air tersebut kini banyak diyakini masyarakat sebagai air mujarab yang dapat menyembuhkan segala penyakit.
Air yang diyakini mujarab juga ditemukan di sekitar komplek pemakaman Asta Tinggi Sumenep. Di sana sumber air yang diyakini mujarab bahkan dapat diambil dari bongkahan batu yang terus menerus mengeluarkan air, bukan dari dalam tanah seperti sumber mata air pada umumnya.