Menurut buku ”Jawa Sejati” tulisan Prof. Rustopo disebutkan pada masa tahun 1960-an, setelah Indonesia merdeka tahun 1945, komunitas penggemar keris menyadari bahwa keris harus disosialisasikan kepada khalayak umum dan tidak terkubur menjadi pengetahuan ekslusive dalam keraton. Hal ini disusul dengan dibentuknya perkumpulan Boworoso Tosanaji pada tahun 1959 yang didirikan oleh alm. KGPH. Hadiwidjojo (cucu raja Paku Buwana X) bersama alm. Go Tik Swan (terakhir mendapat gelar kraton Kanjeng Panembahan Harjonegoro).
Dari sumber lain, pada tahun 1960 tercatat pernah dilakukan pameran dan seminar pertama bersama para pemerhati keris oleh Boworoso Tosanaji di Museum Radhyapustaka dikota Surakarta, Jawa Tengah - Indonesia. Selanjutnya komunitas ini melakukan diskusi berpindah-pindah antara lain di Jl. Ngadijayan dan terkadang di Jl. Suryohamijayan.
Tahun 1972, seminar dan diskusi dipusatkan di kantor PKJT (Pusat Kesenian Jawa Tengah) yaitu di Sasono Mulyo keraton Kasunanan Surakarta.
Menurut catatan lain, pada tahun 1975, Go Tik Swan (Kanjeng Panembahan Harjonegoro) bersama teman-teman komunitas keris se Jawa Tengah antara lain KRT. Gunandar Sumodipuro, R. Ng. Atmotjurigo, R. Yudosutrisno, R. Yudo Prawiro, R. Sukatno, Slamet, Suparman, Hadi Kasman, Fauzan dan beberapa yang lainnya, mendapat fasilitas peralatan dan ruang kerja di area PKJT untuk memulai membuat keris. Kegiatan di Sasono Mulyo itu ternyata semakin menarik perhatian generasi muda. Mulailah bergabung Suprapto Suryodarmo, Drs. Murtijono, dr. Tunjung Suharso Sulaksono, dr. Herman Sukarman, Sujarwo, Joko Prasetyo, Joko Subagyo, Agus Susanto dan Hasan, mereka bergabung dengan nama Paguyuban Paniti Kadgo dengan kegiatan yang lebih khusus pada penelitian dan praktek membuat keris.
Paguyuban Paniti Kadgo menjadi sebuah acuan untuk melestarikan keris yang kemudian mendapat tempat di kampus Akademi Seni Karawitan Indonesia, Sasono Mulyo, Keraton Surakarta. (Karawitan = sastra dan lagu Jawa yang berkaitan dengan gamelan Jawa).
Dari catatan yang ada ternyata secara autodidak, keris juga dikerjakan oleh beberapa seniman (empu) antara lain Sumodadi (alm.) di Wlingi – Blitar, Jawa Timur, Ki Pakurodji di Magetan – Madiun, Jawa Timur, Djeno Harumbrodjo (alm) - Jogyakarta, yang awalnya diprakarsai oleh Dietrich Dressert dari Jerman, yang mendorong agar Djeno Harumbrojo menekuni kembali profesi pande besi dengan membuat keris. Djeno Harumbrodjo bersama Yosopangarso (alm) pernah aktif melakukan pengkajian dan praktek di Taman Mini Indonesia Indah – Jakarta dengan supervisor antara lain Ir. Haryono Haryoguritno.
Kemudian muncul seniman keris (empu) seperti KRT. Pauzan Pusposukadgo; KRT. Subandi Suponingrat, R. Ng. Suyanto, Yohanes Yantono, Sukamdi, KRT. Rudi Hartono Diningrat, M. Jamil, Fanani, H. Duraphi, H. Ahmad dan masih banyak lagi. Karena selain di Jawa Tengah, kini tersebar seniman keris antara lain di Malang – Jawa Timur, di Sumenep – Madura, di Denpasar – Bali yang terus aktif mengembangkan keris baru atau lebih dikenal dengan keris Kamardikan.
Sudah merupakan hal yang biasa jika keris dianggap sebagai sebuah benda yang memiliki kekuatan mistik. Anggapan ini bahkan menjadi keyakinan oleh masyarakatnya, mereka percaya adanya kekuatan itu oleh karena empu menanamkan daya dari mantera atau doa-doanya. Banyak diantara mereka menyimpan keris sebagai jimat dan diyakini membawa keberuntungan. Aspek mistik dalam dunia keris sangat menarik dibicarakan, walaupun bersifat subyektif, namun ada kalanya kekuatan itu bisa dirasa atau dilihat oleh banyak orang.
Penciptaan keris dijaman dahulu selalu melalui prosesi yang berkaitan dengan ritual dan spiritual. Pada keris Kamardikan hal ini belum dijamah. Namun keris Kamardikan belum tentu ‘tidak memiliki’ kekuatan gaib. Marilah kita coba menganalisa proses cipta keris kamardikan secara ilmiah, menyangkut ilmu jiwa dan metafisika.
Esoteri Keris Kamardikan
Kata ‘esoteri’ sangat lazim didalam dunia perkerisan, adalah untuk menyebutkan sesuatu yang ada di dalam keris. Esoteri atau adanya kekuatan mistik keris menjadi ketertarikan penggemar keris, karena harapan akan dapat membantu penyelesaian persoalan hidupnya. Hal itu adalah wajar, karena fenomena kegaiban keris sudah tertanam sejak dahulu.
Namun, dikaji lebih dalam lagi apa yang disebut esoteri keris atau mistik keris, dalam sisi pandang penalaran (analisis kejiwaan);
1. Keris dapat dihayati sebagai jalinan persoalan yang kompleks dan sebagai pengetahuan yang amat sinengker (bhs Kawi; sinengker = penuh kerahasiaan). Tetapi bagaimana kompleks dan sinengkernya keris, suatu hal yang tak dapat diabaikan dalam 'penikmatan' kedalaman makna keris adalah, bahwa ‘sesuatu’ itu awalnya mengemuka sebagai gejala yang dapat ditangkap melalui penginderaan (visual). Lalu dicerna dalam pikiran dan terjadi ‘kesan’ (interpretasi) dari pengaruh adanya pengalaman si penikmatnya (adanya chemistry). Jika seorang mengenal keris sebagai sesuatu yang menakutkan maka kesan itu akan mempengaruhi. Daya keris secara subyektif adalah interpretation yang muncul oleh adanya perception – experience dan intellectual.
2. 'Dhapur' (bentuk keris) dan 'pamor' (motif layer) keris sebagai gejala “Visual-estetis” adalah yang pertama-tama merangsang indera penglihatan dalam proses penikmatan keris. Aspek visual-estetis atau aspek kesenirupaan itu, merupakan hal yang amat penting dan tak bisa diabaikan dalam penikmatan keris. Kemungkinan pengolahan estetika bagian-bagian keris adalah yang justru menyebabkan timbulnya daya gaib keris. Dugaan ini dapat dijadikan dasar bagi penelaahan keris dari sudut pandang senirupa. Esoteri atau kekuatan tuah keris secara kontekstual; akan dapat dijelaskan dengan adanya relasi kesenirupaan yang terjadi dalam proses penciptaan dan proses penikmatan keris. (disarikan dari “Isi keris ditinjau dari sudut pandang senirupa”; Drs. Budhiardjo Wirjodirdjo.M.Sn., Makalah; 1989).
Karena seni budaya keris ‘kontemporer’ berkembang tidak sentralistis pada keraton lagi, apalagi kekuasaan keraton sudah beralih pada bentuk negara Republik, maka keraton tidak lagi mengangkat empu (tidak yoso empu), maka keris Kamardikan akan menuju suatu persepsi, yaitu sebagai ekspresi seorang seniman dalam mengutarakan maksudnya baik bermuatan filosofis, simbolis bahkan esoteric. Istilah keterpukauan dalam visual-estetis jika dicermati akan melahirkan interpretasi atau daya tersendiri (esoteric) yang merupakan ekspresi si pencipta.
Begitu pula keangkeran ‘pemberian gelar’ atau nama pada sebilah keris (a.l. Kyahi; Kanjeng Kyahi; Kanjeng Kyahi Ageng) yang dahulu resmi secara seremonial dalam tradisi keraton, misalnya untuk pengenang jasa keris (karena si pemilik berhasil menyelesaikan tugas raja), adanya tujuan dibuatnya keris karena suatu kebutuhan spiritual dalam mengatasi situasi (seperti untuk mengusir wabah penyakit), serta adanya peristiwa-peristiwa gaib yang muncul dan berinteraksi dengan pemilik keris.
Pada masa yang akan datang, gelar keris pada keris Kamardikan akan bergeser pemahaman sebagai penanda sebuah karya (judul) untuk membedakan karya yang satu dengan yang lainnya. Kemudian nama atau gelar keris dimaksudkan sebagai titian (jembatan) untuk mengungkapkan makna simbolis-esoteric dari apa yang menjadi konsep si pembuat keris itu.
Kritik dan pengkerdilan pasti muncul terhadap keris-keris Kamardikan yang keluar ‘pakem’ atau tidak menuruti pedoman pokok (eksentris). Namun dibalik kritik tersebut, sebaliknya keris Kamardikan kontemporer yang keluar dari ‘pakem’ akan menjadi kekuatan budaya konseptual yang lebih unggul untuk menembus pasar modern.
Kualitas Keris Kamardikan
Pada beberapa pameran keris, telah sering ditampilkan keris tangguh Kamardikan dalam variant klasik. (Disebut klasik karena keris yang ditampilkan masih merupakan duplikasi/mutrani bentuk keris tua seperti dapur Pasopati gaya PB X, Sardulo Mangsah - PB IX, Megantoro - Majapahit, dlsb).
Dimasa mendatang keris Kamardikan selain bentuknya yang mungkin mulai bergeser dari keris tua, juga akan unggul pula terhadap kualitas bahan, teknik dan konsepnya.
Ditinjau kualitas dan tekniknya bisa dinilai, pada:
1. Batasan tradisional, yo-mor-jo-si-ngun yang sudah mengendap (dianggap baku), akan tereksplorasi dalam karya keris Kamardikan kontemporer yang canggih. Empu yang terlatih menduplikat keris tua dan mampu menangkap nilai estetikanya secara tradisional akan "melahirkan keris yang unggul" dengan gaya khas karyanya.
2. Material/bahan, kemungkinan kembali pada teknik mendaur pasir pantai seperti proses pembuatan keris kuno, masih dapat dilakukan (eksperimen dari KRT. Subandi Suponingrat dan Dietrich Dresscher) atau mengimport besi atau baja dengan spesifikasi dan standar yang teruji dari luar negeri. Seperti bahan baja DAKS dari Daido Steel, seri Ns. 1045 dari Nippon Steel atau St. 60 dari Bohler serta beberapa jenis bahan nikel heterogen (9% Ni) untuk bahan pamornya yang setara dengan bahan dari meteor. Pada akhir-akhir ini eksperimentasi dengan mendatangkan bahan iron meteorite juga dilakukan, seperti iron meteorit dari Namibia – Afrika bernama Gibeon meteorit, Campo del Cielo dari Argentina, Nantan dari Guang Ji - China, Mundrabilla – West Australia, Baby Uruacu – Brazilia dan juga Muonionalusta dlsb. Standarisasi bahan tersebut akan dapat menuju suatu kepastian data spesifikasi sebagai jaminan standart kualitas (internasional).
3. Ekspresi, demi sistematika kerja yang tertata, bisa dilakukan ritual-ritual pada setiap tahapannya. Karena problemnya bukan tata cara ritual yang baku seperti tradisi kuno dengan mantera-mantera, akan tetapi lebih utama adalah sikap batin sang seniman. Empu Sukamdi lebih menyukai pelaksanaan tidak menggunakan sarana sesaji, akan tetapi dengan meditasi mengheningkan cipta untuk nembung (permisi kepada alam), njawab (menyapa lingkungan makhluk halus), panyuwunan (permohonan kepada Tuhan YME); Sementara empu Daliman lebih mantap dengan cara Katholik. Arca Bunda Maria sengaja dipajang di besalennya. Sementara beberapa seniman melakukan finishing touchnya masih dengan ritual kejawen seperti sepuh jilat (quenching dengan dijilat). Dari sikap batin itu, muncul greget atau keterpukauan yang tertanam pada keris sebagai perwujudan (imaji) bersatunya penghayatan, experience dan intelligency (Leo Tollstoy). "Mekanisme instingtif, inspiratif/ilham dan intuitif adalah yang sering terpakai dalam proses penciptaan karya seni dibandingkan dengan proses "formal" nya. Karena bagi seniman atau kreatornya, pengenalan obyektif atas dunia luar dengan segala azasnya, justru menjadi muatan esotericnya; sehingga karya yang diciptakan merupakan tangkapan atas sesuatu yang di luar dirinya yang dapat diesensikan sebagai memiliki persesuaian yang berada di dalam dirinya sendiri". (Drs. Budihardjo Wirjodirdjo M.Sn.)
Tidak berbeda dengan yang diutarakan pada tata cara tradisional yang sering dipenuhi prosesi panjang. Prinsip-prinsip dasar tata cara itu telah menjadi singkat tatkala dipraktekkan oleh para seniman (empu keris) Kamardikan. Mengacu prinsip: ada "subyek" (manusia) dan "obyek" (keris) yang diciptakan melalui sebuah proses penciptaan yang melibatkan imajinasi dan penjiwaannya. Bahwa perkerisan masa kini telah mampu menjamah fenomena esoteris, sebagai hal yang selalu dipertanyakan sebenarnya sudah terjawab.
Jika bercermin pada kepercayaan Jawa (kejawen), imajinasi yang menjamah sebuah benda akan tertanam oleh sebab induksi dari konsentrasi sang seniman (empu keris) sebagai kehendak, maka energi yang tertanam akan tertangkap oleh penikmatnya. Bisa berupa getaran/daya atau suatu gambaran/persepsi sesuai pengalaman dan inteligensi masing-masing penikmatnya. Gambaran atau kesan itu kita mengerti sebagai 'esoteric'.
Interpretasi esoteric, bisa digolongkan dalam 5 (lima) aliran, antara lain:
1. Daya atau energi dari imajinasi yang tertanam pada keris dideteksi secara elektromagnetis (pendulum, aura dll). Dengan perabaan energi/daya akan menyentuh cakra-cakra manusia sebagai getaran dan atau penangkapan dengan foto aura. (Reiki; foto Kirlian dll).
2. Daya yang di"personifikasi"kan melalui gambaran figur-figur makhluk halus atas dasar kekuatan visualisasi onderbewustnya (bawah sadar), hal ini terjadi karena ingatan dan wawasan. Maka ada “kawruh tayuh keris” (pengetahuan menebak kekuatan keris) seperti telah dikenal sebagai tradisi sampai kini dengan cara pokok yaitu mencari isyarat/impian.
3. Penginderaan visual-estetis, munculnya suatu greget atau keterpukauan oleh hasil ekspresi dari wujud yang tertanam melalui proses intuitif, kreatif dan reka ulang ingatan/penghayatan dalam sentuhan pada karya.
4. Pemahaman semiotik, antara lain simbol (tanda) yang dipahami sebagai maksud yang melahirkan harapan. Seperti lingkaran-lingkaran motif pamor udan-mas sebagai harapan kerejekian, garis lurus bertumpuk sebagai singkir dan metafora pamor rondoru (motif seperti gambar daun palm), blarak sinered, junjung drajat dll, sebagai symbol kemuliaan, derajat dan kemakmuran.
5. Pesan filosofis sebagai esoteric yang dapat memberi keyakinan (pesan psikhis) pada pemiliknya. Dapur jangkung (bentuk keris luk 3) sebagai kekuatan yang dapat menumpu terjangkaunya cita-cita, dapur sengkelat (luk 13) untuk memantapkan keyakinannya dalam meraih kepangkatan, Kalamisani (keris lurus) sebagai ‘pameling’ (mengingatkan) agar selalu hidup dalam ketakwaan untuk mendapat ketentraman lahir dan batin, dll. (R. Ng. Atmotjurigo).
Melalui pengetahuan tentang simbolisme keris itu, maka senirupa keris dapat merupakan tanggapan terhadap nilai yang kompleks dari perkerisan itu sendiri, terkecuali fungsi keris dalam tradisi busana. Keris Kamardikan yang kontemporer mungkin saja tidak terikat lagi pada warangka standar, karena akan lebih mengutamakan kebebasan dalam ekspresinya dari sekedar berfungsi sebagai pelengkap busana.
Budaya perkerisan yang hiruk-pikuk dengan sejarah dan tradisi yang bersumber dari kekuasan/keraton tetap menjadi target konservasi. Sementara keris Kamardikan kontemporer akan semakin affluent karena diikuti pengembangan asesorinya secara kreatif, sehingga akan mudah dinikmati oleh para awam keris.
Seniman atau empu keris masa kini sudah cukup menguasai kaidah ‘pakem’ karena sering mutrani (menduplikasi), tidak diragukan ketika dihadapkan dengan keris-keris tua, karena pada hakekatnya penguasaan terhadap ‘pakem’ dan pemahaman terhadap nilai-nilai tradisi keris tetap menjiwai para empu dalam berkarya (essensi).
Keris akan menjadi kaya aliran sebagai "variant klasik" dan sebagai "karya kontemporer", bukan mati salah satunya, melainkan akan tumbuh dimasa mendatang sebagai sebuah bentuk pelestarian.
"Tingkat intelektual seniman keris Kamardikan, sikap batin dan keinginannya mengutarakan suatu maksud (seperti filosofis, simbolis, reka inspirasi dan hal-hal esoteric lainnya) dalam 'penciptaan' karya, merupakan proses yang sama seperti pada 'proses penciptaan' keris tua oleh para empu keris jaman dahulu". (sequencetial - essensinya sama tetapi beda kurun waktu penciptaannya).
Pergeseran budaya sentralistik keraton (pengagungan) mungkin akan terjadi menuju budaya progresif dengan pemaknaan yang bebas, seperti munculnya muatan kritik sosial pada post¬modern (happening art, environmental art, dll.) dalam senirupa Barat. Perkembangan keris Kamardikan kontemporer tidak akan lepas dari tuntutan pemenuhan sisi ketertarikan (interesting demand), untuk beradaptasi dengan modernisasi, dan akan menjadi sebuah senirupa yang baru lahir dari Nusantara.
Dari sumber lain, pada tahun 1960 tercatat pernah dilakukan pameran dan seminar pertama bersama para pemerhati keris oleh Boworoso Tosanaji di Museum Radhyapustaka dikota Surakarta, Jawa Tengah - Indonesia. Selanjutnya komunitas ini melakukan diskusi berpindah-pindah antara lain di Jl. Ngadijayan dan terkadang di Jl. Suryohamijayan.
Tahun 1972, seminar dan diskusi dipusatkan di kantor PKJT (Pusat Kesenian Jawa Tengah) yaitu di Sasono Mulyo keraton Kasunanan Surakarta.
Menurut catatan lain, pada tahun 1975, Go Tik Swan (Kanjeng Panembahan Harjonegoro) bersama teman-teman komunitas keris se Jawa Tengah antara lain KRT. Gunandar Sumodipuro, R. Ng. Atmotjurigo, R. Yudosutrisno, R. Yudo Prawiro, R. Sukatno, Slamet, Suparman, Hadi Kasman, Fauzan dan beberapa yang lainnya, mendapat fasilitas peralatan dan ruang kerja di area PKJT untuk memulai membuat keris. Kegiatan di Sasono Mulyo itu ternyata semakin menarik perhatian generasi muda. Mulailah bergabung Suprapto Suryodarmo, Drs. Murtijono, dr. Tunjung Suharso Sulaksono, dr. Herman Sukarman, Sujarwo, Joko Prasetyo, Joko Subagyo, Agus Susanto dan Hasan, mereka bergabung dengan nama Paguyuban Paniti Kadgo dengan kegiatan yang lebih khusus pada penelitian dan praktek membuat keris.
Paguyuban Paniti Kadgo menjadi sebuah acuan untuk melestarikan keris yang kemudian mendapat tempat di kampus Akademi Seni Karawitan Indonesia, Sasono Mulyo, Keraton Surakarta. (Karawitan = sastra dan lagu Jawa yang berkaitan dengan gamelan Jawa).
Dari catatan yang ada ternyata secara autodidak, keris juga dikerjakan oleh beberapa seniman (empu) antara lain Sumodadi (alm.) di Wlingi – Blitar, Jawa Timur, Ki Pakurodji di Magetan – Madiun, Jawa Timur, Djeno Harumbrodjo (alm) - Jogyakarta, yang awalnya diprakarsai oleh Dietrich Dressert dari Jerman, yang mendorong agar Djeno Harumbrojo menekuni kembali profesi pande besi dengan membuat keris. Djeno Harumbrodjo bersama Yosopangarso (alm) pernah aktif melakukan pengkajian dan praktek di Taman Mini Indonesia Indah – Jakarta dengan supervisor antara lain Ir. Haryono Haryoguritno.
Kemudian muncul seniman keris (empu) seperti KRT. Pauzan Pusposukadgo; KRT. Subandi Suponingrat, R. Ng. Suyanto, Yohanes Yantono, Sukamdi, KRT. Rudi Hartono Diningrat, M. Jamil, Fanani, H. Duraphi, H. Ahmad dan masih banyak lagi. Karena selain di Jawa Tengah, kini tersebar seniman keris antara lain di Malang – Jawa Timur, di Sumenep – Madura, di Denpasar – Bali yang terus aktif mengembangkan keris baru atau lebih dikenal dengan keris Kamardikan.
Sudah merupakan hal yang biasa jika keris dianggap sebagai sebuah benda yang memiliki kekuatan mistik. Anggapan ini bahkan menjadi keyakinan oleh masyarakatnya, mereka percaya adanya kekuatan itu oleh karena empu menanamkan daya dari mantera atau doa-doanya. Banyak diantara mereka menyimpan keris sebagai jimat dan diyakini membawa keberuntungan. Aspek mistik dalam dunia keris sangat menarik dibicarakan, walaupun bersifat subyektif, namun ada kalanya kekuatan itu bisa dirasa atau dilihat oleh banyak orang.
Penciptaan keris dijaman dahulu selalu melalui prosesi yang berkaitan dengan ritual dan spiritual. Pada keris Kamardikan hal ini belum dijamah. Namun keris Kamardikan belum tentu ‘tidak memiliki’ kekuatan gaib. Marilah kita coba menganalisa proses cipta keris kamardikan secara ilmiah, menyangkut ilmu jiwa dan metafisika.
Esoteri Keris Kamardikan
Kata ‘esoteri’ sangat lazim didalam dunia perkerisan, adalah untuk menyebutkan sesuatu yang ada di dalam keris. Esoteri atau adanya kekuatan mistik keris menjadi ketertarikan penggemar keris, karena harapan akan dapat membantu penyelesaian persoalan hidupnya. Hal itu adalah wajar, karena fenomena kegaiban keris sudah tertanam sejak dahulu.
Namun, dikaji lebih dalam lagi apa yang disebut esoteri keris atau mistik keris, dalam sisi pandang penalaran (analisis kejiwaan);
1. Keris dapat dihayati sebagai jalinan persoalan yang kompleks dan sebagai pengetahuan yang amat sinengker (bhs Kawi; sinengker = penuh kerahasiaan). Tetapi bagaimana kompleks dan sinengkernya keris, suatu hal yang tak dapat diabaikan dalam 'penikmatan' kedalaman makna keris adalah, bahwa ‘sesuatu’ itu awalnya mengemuka sebagai gejala yang dapat ditangkap melalui penginderaan (visual). Lalu dicerna dalam pikiran dan terjadi ‘kesan’ (interpretasi) dari pengaruh adanya pengalaman si penikmatnya (adanya chemistry). Jika seorang mengenal keris sebagai sesuatu yang menakutkan maka kesan itu akan mempengaruhi. Daya keris secara subyektif adalah interpretation yang muncul oleh adanya perception – experience dan intellectual.
2. 'Dhapur' (bentuk keris) dan 'pamor' (motif layer) keris sebagai gejala “Visual-estetis” adalah yang pertama-tama merangsang indera penglihatan dalam proses penikmatan keris. Aspek visual-estetis atau aspek kesenirupaan itu, merupakan hal yang amat penting dan tak bisa diabaikan dalam penikmatan keris. Kemungkinan pengolahan estetika bagian-bagian keris adalah yang justru menyebabkan timbulnya daya gaib keris. Dugaan ini dapat dijadikan dasar bagi penelaahan keris dari sudut pandang senirupa. Esoteri atau kekuatan tuah keris secara kontekstual; akan dapat dijelaskan dengan adanya relasi kesenirupaan yang terjadi dalam proses penciptaan dan proses penikmatan keris. (disarikan dari “Isi keris ditinjau dari sudut pandang senirupa”; Drs. Budhiardjo Wirjodirdjo.M.Sn., Makalah; 1989).
Karena seni budaya keris ‘kontemporer’ berkembang tidak sentralistis pada keraton lagi, apalagi kekuasaan keraton sudah beralih pada bentuk negara Republik, maka keraton tidak lagi mengangkat empu (tidak yoso empu), maka keris Kamardikan akan menuju suatu persepsi, yaitu sebagai ekspresi seorang seniman dalam mengutarakan maksudnya baik bermuatan filosofis, simbolis bahkan esoteric. Istilah keterpukauan dalam visual-estetis jika dicermati akan melahirkan interpretasi atau daya tersendiri (esoteric) yang merupakan ekspresi si pencipta.
Begitu pula keangkeran ‘pemberian gelar’ atau nama pada sebilah keris (a.l. Kyahi; Kanjeng Kyahi; Kanjeng Kyahi Ageng) yang dahulu resmi secara seremonial dalam tradisi keraton, misalnya untuk pengenang jasa keris (karena si pemilik berhasil menyelesaikan tugas raja), adanya tujuan dibuatnya keris karena suatu kebutuhan spiritual dalam mengatasi situasi (seperti untuk mengusir wabah penyakit), serta adanya peristiwa-peristiwa gaib yang muncul dan berinteraksi dengan pemilik keris.
Pada masa yang akan datang, gelar keris pada keris Kamardikan akan bergeser pemahaman sebagai penanda sebuah karya (judul) untuk membedakan karya yang satu dengan yang lainnya. Kemudian nama atau gelar keris dimaksudkan sebagai titian (jembatan) untuk mengungkapkan makna simbolis-esoteric dari apa yang menjadi konsep si pembuat keris itu.
Kritik dan pengkerdilan pasti muncul terhadap keris-keris Kamardikan yang keluar ‘pakem’ atau tidak menuruti pedoman pokok (eksentris). Namun dibalik kritik tersebut, sebaliknya keris Kamardikan kontemporer yang keluar dari ‘pakem’ akan menjadi kekuatan budaya konseptual yang lebih unggul untuk menembus pasar modern.
Kualitas Keris Kamardikan
Pada beberapa pameran keris, telah sering ditampilkan keris tangguh Kamardikan dalam variant klasik. (Disebut klasik karena keris yang ditampilkan masih merupakan duplikasi/mutrani bentuk keris tua seperti dapur Pasopati gaya PB X, Sardulo Mangsah - PB IX, Megantoro - Majapahit, dlsb).
Dimasa mendatang keris Kamardikan selain bentuknya yang mungkin mulai bergeser dari keris tua, juga akan unggul pula terhadap kualitas bahan, teknik dan konsepnya.
Ditinjau kualitas dan tekniknya bisa dinilai, pada:
1. Batasan tradisional, yo-mor-jo-si-ngun yang sudah mengendap (dianggap baku), akan tereksplorasi dalam karya keris Kamardikan kontemporer yang canggih. Empu yang terlatih menduplikat keris tua dan mampu menangkap nilai estetikanya secara tradisional akan "melahirkan keris yang unggul" dengan gaya khas karyanya.
2. Material/bahan, kemungkinan kembali pada teknik mendaur pasir pantai seperti proses pembuatan keris kuno, masih dapat dilakukan (eksperimen dari KRT. Subandi Suponingrat dan Dietrich Dresscher) atau mengimport besi atau baja dengan spesifikasi dan standar yang teruji dari luar negeri. Seperti bahan baja DAKS dari Daido Steel, seri Ns. 1045 dari Nippon Steel atau St. 60 dari Bohler serta beberapa jenis bahan nikel heterogen (9% Ni) untuk bahan pamornya yang setara dengan bahan dari meteor. Pada akhir-akhir ini eksperimentasi dengan mendatangkan bahan iron meteorite juga dilakukan, seperti iron meteorit dari Namibia – Afrika bernama Gibeon meteorit, Campo del Cielo dari Argentina, Nantan dari Guang Ji - China, Mundrabilla – West Australia, Baby Uruacu – Brazilia dan juga Muonionalusta dlsb. Standarisasi bahan tersebut akan dapat menuju suatu kepastian data spesifikasi sebagai jaminan standart kualitas (internasional).
3. Ekspresi, demi sistematika kerja yang tertata, bisa dilakukan ritual-ritual pada setiap tahapannya. Karena problemnya bukan tata cara ritual yang baku seperti tradisi kuno dengan mantera-mantera, akan tetapi lebih utama adalah sikap batin sang seniman. Empu Sukamdi lebih menyukai pelaksanaan tidak menggunakan sarana sesaji, akan tetapi dengan meditasi mengheningkan cipta untuk nembung (permisi kepada alam), njawab (menyapa lingkungan makhluk halus), panyuwunan (permohonan kepada Tuhan YME); Sementara empu Daliman lebih mantap dengan cara Katholik. Arca Bunda Maria sengaja dipajang di besalennya. Sementara beberapa seniman melakukan finishing touchnya masih dengan ritual kejawen seperti sepuh jilat (quenching dengan dijilat). Dari sikap batin itu, muncul greget atau keterpukauan yang tertanam pada keris sebagai perwujudan (imaji) bersatunya penghayatan, experience dan intelligency (Leo Tollstoy). "Mekanisme instingtif, inspiratif/ilham dan intuitif adalah yang sering terpakai dalam proses penciptaan karya seni dibandingkan dengan proses "formal" nya. Karena bagi seniman atau kreatornya, pengenalan obyektif atas dunia luar dengan segala azasnya, justru menjadi muatan esotericnya; sehingga karya yang diciptakan merupakan tangkapan atas sesuatu yang di luar dirinya yang dapat diesensikan sebagai memiliki persesuaian yang berada di dalam dirinya sendiri". (Drs. Budihardjo Wirjodirdjo M.Sn.)
Tidak berbeda dengan yang diutarakan pada tata cara tradisional yang sering dipenuhi prosesi panjang. Prinsip-prinsip dasar tata cara itu telah menjadi singkat tatkala dipraktekkan oleh para seniman (empu keris) Kamardikan. Mengacu prinsip: ada "subyek" (manusia) dan "obyek" (keris) yang diciptakan melalui sebuah proses penciptaan yang melibatkan imajinasi dan penjiwaannya. Bahwa perkerisan masa kini telah mampu menjamah fenomena esoteris, sebagai hal yang selalu dipertanyakan sebenarnya sudah terjawab.
Jika bercermin pada kepercayaan Jawa (kejawen), imajinasi yang menjamah sebuah benda akan tertanam oleh sebab induksi dari konsentrasi sang seniman (empu keris) sebagai kehendak, maka energi yang tertanam akan tertangkap oleh penikmatnya. Bisa berupa getaran/daya atau suatu gambaran/persepsi sesuai pengalaman dan inteligensi masing-masing penikmatnya. Gambaran atau kesan itu kita mengerti sebagai 'esoteric'.
Interpretasi esoteric, bisa digolongkan dalam 5 (lima) aliran, antara lain:
1. Daya atau energi dari imajinasi yang tertanam pada keris dideteksi secara elektromagnetis (pendulum, aura dll). Dengan perabaan energi/daya akan menyentuh cakra-cakra manusia sebagai getaran dan atau penangkapan dengan foto aura. (Reiki; foto Kirlian dll).
2. Daya yang di"personifikasi"kan melalui gambaran figur-figur makhluk halus atas dasar kekuatan visualisasi onderbewustnya (bawah sadar), hal ini terjadi karena ingatan dan wawasan. Maka ada “kawruh tayuh keris” (pengetahuan menebak kekuatan keris) seperti telah dikenal sebagai tradisi sampai kini dengan cara pokok yaitu mencari isyarat/impian.
3. Penginderaan visual-estetis, munculnya suatu greget atau keterpukauan oleh hasil ekspresi dari wujud yang tertanam melalui proses intuitif, kreatif dan reka ulang ingatan/penghayatan dalam sentuhan pada karya.
4. Pemahaman semiotik, antara lain simbol (tanda) yang dipahami sebagai maksud yang melahirkan harapan. Seperti lingkaran-lingkaran motif pamor udan-mas sebagai harapan kerejekian, garis lurus bertumpuk sebagai singkir dan metafora pamor rondoru (motif seperti gambar daun palm), blarak sinered, junjung drajat dll, sebagai symbol kemuliaan, derajat dan kemakmuran.
5. Pesan filosofis sebagai esoteric yang dapat memberi keyakinan (pesan psikhis) pada pemiliknya. Dapur jangkung (bentuk keris luk 3) sebagai kekuatan yang dapat menumpu terjangkaunya cita-cita, dapur sengkelat (luk 13) untuk memantapkan keyakinannya dalam meraih kepangkatan, Kalamisani (keris lurus) sebagai ‘pameling’ (mengingatkan) agar selalu hidup dalam ketakwaan untuk mendapat ketentraman lahir dan batin, dll. (R. Ng. Atmotjurigo).
Melalui pengetahuan tentang simbolisme keris itu, maka senirupa keris dapat merupakan tanggapan terhadap nilai yang kompleks dari perkerisan itu sendiri, terkecuali fungsi keris dalam tradisi busana. Keris Kamardikan yang kontemporer mungkin saja tidak terikat lagi pada warangka standar, karena akan lebih mengutamakan kebebasan dalam ekspresinya dari sekedar berfungsi sebagai pelengkap busana.
Budaya perkerisan yang hiruk-pikuk dengan sejarah dan tradisi yang bersumber dari kekuasan/keraton tetap menjadi target konservasi. Sementara keris Kamardikan kontemporer akan semakin affluent karena diikuti pengembangan asesorinya secara kreatif, sehingga akan mudah dinikmati oleh para awam keris.
Seniman atau empu keris masa kini sudah cukup menguasai kaidah ‘pakem’ karena sering mutrani (menduplikasi), tidak diragukan ketika dihadapkan dengan keris-keris tua, karena pada hakekatnya penguasaan terhadap ‘pakem’ dan pemahaman terhadap nilai-nilai tradisi keris tetap menjiwai para empu dalam berkarya (essensi).
Keris akan menjadi kaya aliran sebagai "variant klasik" dan sebagai "karya kontemporer", bukan mati salah satunya, melainkan akan tumbuh dimasa mendatang sebagai sebuah bentuk pelestarian.
"Tingkat intelektual seniman keris Kamardikan, sikap batin dan keinginannya mengutarakan suatu maksud (seperti filosofis, simbolis, reka inspirasi dan hal-hal esoteric lainnya) dalam 'penciptaan' karya, merupakan proses yang sama seperti pada 'proses penciptaan' keris tua oleh para empu keris jaman dahulu". (sequencetial - essensinya sama tetapi beda kurun waktu penciptaannya).
Pergeseran budaya sentralistik keraton (pengagungan) mungkin akan terjadi menuju budaya progresif dengan pemaknaan yang bebas, seperti munculnya muatan kritik sosial pada post¬modern (happening art, environmental art, dll.) dalam senirupa Barat. Perkembangan keris Kamardikan kontemporer tidak akan lepas dari tuntutan pemenuhan sisi ketertarikan (interesting demand), untuk beradaptasi dengan modernisasi, dan akan menjadi sebuah senirupa yang baru lahir dari Nusantara.