Keris Budaya Nusantara

Thailand, Filipina, Kamboja, dan Brunei Darussalam. Jadi, boleh dikatakan budaya keris dapat dijumpai di semua daerah bekas wilayah kekuasan dan wilayah yang dipengaruhi Kerajaan Majapahit. Itulah sebabnya beberapa ahli budaya menyebutkan, keris adalah budaya Nusantara.

Keris ber-dapur Jalak Buda yang diperkirakan dibuat pada abad ke-6. Keris tertua dibuat di Pulau Jawa, diduga sekitar abad ke-6 atau ke-7. Di kalangan penggemarnya, keris buatan masa itu disebut keris Buda. Sesuai dengan kedudukannya sebagai sebuah karya awal sebuah budaya, bentuknya masih sederhana. Tetapi bahan besinya menurut ukuran zamannya, tergolong pilihan, dan cara pembuatannya diperkirakan tidak jauh berbeda dengan cara pembuatan keris yang kita kenal sekarang. Keris Buda hampir tidak berpamor. Seandainya ada pamor pada bilah keris itu, maka pamor itu selalu tergolong pamor tiban, yaitu pamor yang bentuk gambarannya tidak direncanakan oleh Sang Empu.
Sesuai dengan perkembangan budaya masyarakatnya, bentuk bilah keris juga mengikuti kemajuan zaman. Bentuk bilah yang semula relatif gemuk, pendek, dan tebal, secara berangsur menjadi menjadi lebih tipis, lebih langsing, lebih panjang, dan dengan sendirinya makin lama makin menjadi lebih indah.
Ricikan atau komponen keris yang semula hanya berupa gandik, pejetan, dan sogokan, dari zaman ke zaman bertambah menjadi aneka macam. Misalnya, kembang kacang, lambe gajah, jalen, jalu memet, lis-lisan, ada-ada, janur, greneng, tingil, pundak sategal, dan sebagainya.
Meskipun dari segi bentuk dan pemilihan bahan baku, keris selalui mengalami perkembangan, pola pokok cara pembuatannya hampir tidak pernah berubah. Pada dasarnya, pola pokok proses pembuatan keris: membersihkan logam bahan besi yang akan digunakan, mempersatukan besi dan pamor, dan kemudian memberinya bentuk sehingga disebut keris.
Pada zaman sekarang pembuatan keris masih tetap dilakukan secara tradisional di daerah Yogyakarta, Surakarta, Madura, Luwu (Sulawesi Tenggara), Taman Mini Indonesia Indah (Jakarta), Kelantan (Malaysia), dan Bandar Sri Begawan (Brunai Darussalam). Pembuatan keris masa kini masih tetap menggunakan kaidah-kaidah lama. Beberapa di antar para empu dan pandai keris itu bahkan masih tetap membaca mantera dan doa, serta melakukan puasa selama masa pembuatan kerisnya.
Karena budaya keris ini tersebar luas di seluruh Nusantara, Benda ini mempunyai banyak nama padanan. Di pulau Bali keris disebut kedutan. Di Sulawesi, selain menyebut keris, orang juga menamakannya selle atau tappi. Di Filipina, keris dinamakan sundang. Di beberapa daerah benda itu disebut kerih, karieh, atau kres. Demikian pula bagian-bagian kelengkapan keris juga banyak mempunyai padanan. Walaupun demikian bentuk keris buatan daerah mana pun masih tetap memiliki bentuk yang serupa. Dan, juga bentuk bagian-bagiannya pun tidak jauh berbeda.

Bukan Alat Pembunuh
Walaupun oleh sebagian peneliti dan penulis bangsa Barat keris digolongkan sebagai jenis senjata tikam, sebenarnya keris dibuat bukan semata-mata untuk membunuh. Keris lebih bersifat sebagai senjata dalam pengertian simbolik, senjata dalam artian spiritual. Untuk ‘sipat kandel,’ kata orang Jawa. Karenanya oleh sebagian orang keris juga dianggap memiliki kekuatan gaib.
Keris seindah ini, tentu amat sayang jika sampai membunuh orang Bagi yang percaya, keris tertentu dapat menambah keberanian dan rasa percaya diri seseorang, dalam hal ini pemilik keris itu. Keris juga dapat menghindarkan serangan wabah penyakit dan hama tanaman. Keris dapat pula menyingkirkan dan menangkal gangguan makhluk halus. Keris juga dipercaya dapat membantu pemiliknya memudahkan pemiliknya memudahkan mencari  dipercaya dapat dimanfaatkan tuahnya, sehingga benda itu dianggap bisa memberikan bantuan keselamatan bagi pemilik dan orang-orang sekitarnya.
Memang ada keris-keris yang benar-benar digunakan untuk membunuh orang, misalnya keris yang pada zaman dulu dipakai oleh algojo keraton guna melaksanakan hukuman bagi terpidana mati. Begitu pula keris-keris yang dibuat untuk prajurit rendahan. Namun kegunaan keris sebagai alat pembunuh ini pun sifatnya seremonial dan khusus, misalnya Kanjeng Kyai Balabar milik Pangeran Puger. Pada abad ke-18 keris ber-dapur Pasopati itu digunakan oleh Sunan Amangkurat Amral untuk menghukum mati Trunojoyo di alun-alun Kartasura.
Keris adalah benda seni yang meliputi seni tempa, seni ukir, seni pahat, seni bentuk, serta seni perlambang,. Pembuatannya selalu disertai doa-doa tertentu, berbagai mantera, serta upacara dan sesaji khusus. Doa pertama seorang empu ketika akam mulai menempa keris adalah memohon kepada Yang Maha Kuasa, agar keris buatannya tidak akan mencelakakan pemiliknya maupun orang lain. Doa-doa itu juga diikuti dengan tapa brata dan lelaku, antara lain tidak tidur, tidak makan, tidak menyentuh lawan jenis pada saat-saat tertentu.

Bahan baku pembuatan keris adalah besi, baja, dan bahan pamor. Bahan pamor ini ada empat macam.
Pertama, batu meteorit atau batu bintang yang mengandung unsur titanium. Bahan pamor yang kedua adalah nikel. Sedangkan bahan pamor lainnya adalah senyawa besi yang digunakan sebagai bahan pokok. Biasanya, pamor jenis ketiga ini adalah besi yang yang disebut pamor Luwu. Sedangkan bahan yang keempat adalah senyawa besi dari daerah lain, yang bila dicampurkan pada bahan besi dari daerah tertentu akan menimbulkan nuansa warna serta pemanpilan yang berbeda.

Besi dan pamor ditempa berulang-ulang lalu dibuat berlapis-lapis. Pada zaman ini, umumnya paling sedikit 64 lapisan. Untuk pembuatan keris berkualitas sederhana diperlukan lapisan sebanyak 128 buah. Sedangkan yang kualitas baik harus dibuat lebih 2.000 lapisan. Baru setelah itu, untuk mendapat ketajamanan yang baik, disisipkan lapisan baja di tengahnya.

Segala benda yang tipis akan menjadi jauh lebih kuat bilamana benda itu dibuat berlapis-lapis. Teori ini sudah dikenal oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lampau. Mereka menemukan teori ini, dan mempraktikkannya, sekitar 7 atau 8 abad sebelum teknologi pembuatan tripleks atau kayu lapis (plywood) ditemukan dan diproduksi orang Barat pada awal abad ke-16.

Pemilihan akan batu meteorit yang mengandung unsur titanium, juga merupakan penemuan nenek moyang kita yang mengagumkan. Karena titanium ternyata memiliki banyak keunggulan dibandingkan jenis unsur logam lainnya. Unsur titanium itu keras, kuat, ringan, tahan panas, dan juga tahan karat. Dalam peradaban modern sekarang, titanium dimanfaatkan orang untuk membuat pelapis hidung pesawat angkasa luar, serta ujung roket dan peluru kendali antar benua.

Kaitannya dengan Budaya Lain
Selain berfungsi sebagai senjata, baik secara fisik maupun secara spiritual, keris juga merupakan salah satu kelengkapan pakaian adat -- baik di Pulau Jawa, maupun di pulau-pulau lain di luar Jawa. Selin itu masih ada beberapa fungsi keris lainnya, dalam budaya Indonesia, dan juga budaya Malaysia, Brunai, serta Thailand Selatan. Pada masa silam keris dapat berfungsi sebagai benda upacara, sebagai tanda ikatan keluarga atau dinasti, sebagai atribut suatu jabatan tertentu, sebagai lambang kekuasaan tertentu, dan sebagai wakil atau utusan pribadi pemiliknya. Pada zaman dulu, seorang utusan raja baru dipandang sah bilamana ia membawa serta salah satu keris milik raja yang mengutusnya. Bilamana seorang pegawai kerajaan (abdidalem) menduduki jabatan tertentu, pada upacara wisuda ia akan mendapat sebilah keris jabatan dari atasannya. Sampai kini, di kerajaan Brunei Darussalam, tradisi semacam itu masih tetap dilestarikan.

Dulu, kekuasaan seorang raja baru akan dipandang sah oleh rakyatnya manakala raja mengenakan salah satu keris pusaka kerajaan pada saat penobatan. Di Pulau Jawa, terutama pada masyarakat suku bangsa Jawa di Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur, kalau pengantin pria berhalangan hadir pada upacara pernikahan, ia boleh mewakilkan dirinya dengan sebilah keris miliknya. Jadi, keris itulah yang akan dipersandingkan dengan pengantin putri di pelaminan. Adat yang demikian juga ada di pada masyarakat Bali. Di Sumatra Barat seorang pemuda yang hendak berangkat merantau biasanya dibekali sebilah  keris oleh orang tuanya, sebagai perwujudan ikatan keluarga dan doa restu orang tua.
Keris sajen, atau keris sesaji, yang pada sebagian buku keris yang ditulis orang barat sering disebut keris Majapahit Dari berbagai prasasti yang ditemukan di Pulau Jawa diketahui bahwa keris pernah juga menjadi salah satu kelengkapan sesaji pada upacara keagamaan pada waktu itu. Bahkan di desa-desa tertentu di Pulau Jawa, pada akhir masa penjajahan Belanda, untuk melaksanakan upacara bersih desa masih pula disertakan sebilah keris kecil yang disebut keris sajen. Bersih desa adalah suatu upacara selamatan tradisional untuk memohon pada Yang Maha Kuasa agar warga desa, termasuk sawah ladangnya, terhindar dari gangguan penyakit dan hama tanaman, terlindung dari ancaman berbagai bencana alam. Upacara ini juga dimaksudkan untuk memperbaharui semacam kesepakatan atau agreement dengan makhluk halus penghuni desa itu (Sing Mbahureksa - Bhs. Jawa) untuk tidak saling mengganggu dengan penduduk desa. Keris sajen adalah keris kecil yang dibuat amat sederhana. Keris ini dalam berbagai buku yang ditulis orang Barat disebut sebagai keris Majapahit.

Jadi, penyebutan keris kecil yang sederhana itu sebagai keris Majapahit oleh sebagian orang Barat adalah salah! Yang benar adalah keris sajen. Atau, keris sesaji. Memang, budaya keris amat erat kaitannya dengan berbagai budaya lain dalam masyarakat berbagai suku bangsa di Indonesia.