Jalan Setapak Meraih Kesucian

Mati penasaran, kebalikan dari mati sempurna. Dalam kajian Kejawen, mati dalam puncak kesempurnaan adalah mati moksa atau mosca atau mukswa. Yakni warangka (raga) manjing curigo (ruh). Raga yang suci, adalah yang tunduk kepada kesucian Dzat yang terderivasi ke dalam ruh. Ruh suci/roh kudus (ruhul kuddus) sebagai retasan dari hakikat Dzat, memiliki 20 sifat yang senada dengan 20 sifat Dzat, misalnya kodrat, iradat, berkehendak, mandiri, abadi, dst. Sebaliknya, ruh yang tunduk kepada raga hanya akan menjadi budak nafsu duniawi, sebagaimana sifat hakikat ragawi, yang akan hancur, tidak abadi, dan destruktif. Menjadi raga yang nista, berbanding terbalik dengan gelombang Dzat Yang Maha Suci. Oleh karena itu, menjadi tugas utama manusia, yakni memenangkan perang Baratayudha di Padang Kurusetra, antara Pendawa (kebaikan yang lahir dari akal budi dan panca indera) dengan musuhnya Kurawa (nafsu angkara murka). Perang inilah yang dimaksud pula dalam ajaran Islam sebagai Jihad Fii Sabilillah, bukan perang antar agama, atau segala bentuk terorisme.

Adapun ajaran untuk menggapai kesucian diri, atau Jihad secara Kejawen, yakni mengendalikan hawa nafsu, serta menjalankan budi (bebuden) yang luhur nilai kemanusiannya (habluminannas) yakni ; rela (rilo), ikhlas (legowo), menerima/qonaah (narimo ing pandum), jujur dan benar (temen lan bener), menjaga kesusilaan (trapsilo) dan jalan hidup yang mengutamakan budi yang luhur (lakutama). Adalah pitutur sebagai pengingat-ingat agar supaya manusia selalu eling atau selalu mengingat Tuhan untuk menjaga kesucian dirinya, seperti dalam falsafah Kejawen berikut ini :

“jagad bumi alam kabeh sumurupo marang badan, badan sumurupo marang budi, budi sumurupo marang napsu, napsu sumurupo marang nyowo, nyowo sumurupo marang rahso, rahso sumurupo marang cahyo, cahyo sumurupo marang atmo, atmo sumurupo marang ingsun, ingsun jumeneng pribadi”

(jagad bumi seisinya pahamilah badan, badan pahamilah budi, budi pahamilah nafsu, nafsu pahamilah nyawa, nyawa pahamilah karsa, karsa pahamilah rahsa, rahsa pahamilah cahya, cahya pahamilah Yang Hidup, Yang Hidup pahamilah Aku, Aku berdiri sendiri (Dzat).

Artinya, bahwa manusia sebagai derivasi terakhir yang berasal dari Dzat Sang Pencipta harus (wajib) memiliki kesadaran mikrokosmis dan makrokosmis yakni “sangkan paraning dumadi” serta tunduk, patuh dan hormat (manembah) kepada Dzat Tuhan Pencipta jagad raya.
Selain kesadaran di atas, untuk menggapai kesucian manusia harus tetap berada di dalam koridor yang merupakan “jalan tembus” menuju Yang Maha Kuasa. Adalah 7 perkara yang harus dicegah, yakni;
1.       Jangan ceroboh, tetapi harus rajin sesuci.
2.       Jangan mengumbar nafsu makan, tetapi makanlah jika sudah merasa lapar.
3.       Jangan kebanyakan minum, tetapi minum lah jika sudah merasa haus.
4.       Jangan gemar tidur, tetapi tidur lah jika sudah merasa kantuk.
5.       Jangan banyak omong, tetapi bicara lah dengan melihat situasi dan kondisi.
6.       Jangan mengumbar nafsu seks, kecuali jika sudah merasa sangat rindu.
7.      Jangan selalu bersenang-senang hati dan hanya demi membuat senang orang-orang, walaupun  sedang memperoleh kesenangan, asal tidak meninggalkan duga kira.

Demikian pula, di dalam hidup ini jangan sampai kita terlibat dalam 8 perkara berikut;
1.       Mengumbar hawa nafsu.
2.       Mengumbar kesenangan.
3.       Suka bermusuhan dan tindak aniaya.
4.       Berulah yang meresahkan.
5.       Tindakan nista.
6.       Perbuatan dengki hati.
7.       Bermalas-malas dalam berkarya dan bekerja.
8.       Enggan menderita dan prihatin.
Sebab perbuatan yang jahat dan tingkah laku buruk hanya akan menjadi aral rintangan dalam meraih rencana dan cita-cita, seperti digambarkan dalam rumus bahasa berikut ini;
1.       Nistapapa; orang nista pasti mendapat kesusahan.
2.       Dhustalara; orang pendusta pasti mendapat sakit lahir atau batin.
3.       Dorasangsara; gemar bertikai pasti mendapat sengsara.
4.       Niayapati; orang aniaya pasti mendapatkan kematian.

PERBUATAN, PASTI MENIMBULKAN “RESONANSI”
Demikian lah, sebab pada dasarnya perilaku hidup itu ibarat suara yang kita kumandang akan menimbulkan gema, artinya apapun perbuatan kita kepada orang lain, sejatinya akan berbalik mengenai diri kita sendiri. Jika perbuatan kita baik pada orang lain, maka akan menimbulkan “gema” berupa kebaikan yang lebih besar yang akan kita dapatkan dari orang lainnya lagi. Hal ini dapat dipahami sebagaimana dalam peribahasa;

Barang siapa menabur angin, akan menuai badai,
Siapa menanam, akan mengetam,
Barang siapa gemar menolong, akan selalu mendapatkan kemudahan,
Barang siapa gemar sedekah kepada yang susah, rejekinya akan menjadi lapang.
Orang pelit, pailit
Pemurah hati, mukti

PERILAKU TAPA BRATA

Idealnya, setiap orang sepanjang hidupnya dapat melaksanakan “tapa brata” atau mesu-budi, menahan hawa nafsu, yg mempunyai kesamaan dengan hakikat puasa seperti di bawah ini;
1.   Tapa/puasanya badan/raga; harus anoraga; rendah hati; gemar berbuat baik.
2.   Tapa/puasanya hati; nerima apa adanya; qonaah; tak punya niat/prasangka  buruk, tidak iri hati.
3.   Tapa/puasanya nafsu; ikhlas dan sabar dalam menerima musibah, serta memberi maaf kepada orang  lain.
4.   Tapa/puasanya sukma; jujur.
5.   Tapa/puasanya rahsa; mengerem sembarang kemauan, serta kuat prihatin dan menderita.
6.   Tapa/puasanya cahya; eneng-ening; tirakat atau bertapa dalam keheningan, kebeningan, dan kesucian.
7.   Tapa/puasanya hidup (gesang); eling (selalu ingat/sadar makro-mikrokosmos) dan selalu waspada dari segala perilaku buruk.

Selain itu, anggota badan (raga) juga memiliki tanggungjawab masing-masing sebagai wujud dari hakikat puasa atau tapa brata ;
1.   Tapa/puasanya netro/mata; mencegah tidur, dan menutup mata dari nafsu selalu ingin memiliki/menguasai.
2.   Tapa/puasanya karno/telinga; mencegah hawa nafsu, enggan mendengar yang tak ada manfaatnya atau yang buruk-buruk.
3.   Tapa/puasanya grono/hidung; mencegah sikap gemar membau, dan enggan “ngisap-isap” keburukan orang lain.
4.   Tapa/puasanya lisan/mulut; mencegah makan, dan tidak menggunjing  keburukan orang lain.
5.   Tapa/puasanya puruso/kemaluan; mencegah syahwat, tidak sembarangan ngentot/rakit/ngewe/senggama/zina.
6.   Tapa/puasanya asto/tangan; mencegah curi-mencuri, rampok, nyopet, korupsi, dan tidak suka cengkiling; jail dan menyakiti orang lain.
7.   Tapa/puasanya suku/kaki; mencegah langkah menuju perbuatan jahat, atau kegiatan negatif, tetapi harus gemar berjalan sembari “semadi” yakni berjalan sebari eling lan waspodo.

Tapa/maladihening/mesu budi/puasa seperti di atas dapat diumpamakan dalam gaya bahasa personifikasi, yang memiliki nilai falsafah yang sangat tinggi dan mendalam sbb;

“Katimbang turu, becik tangi. Katimbang tangi, becik melek. Katimbang melek, becik lungguh. Katimbang lungguh, becik ngadeg. Katimbang ngadeg, becik lumakuo”.
(Daripada tidur lebih baik bangun. Daripada bangun lebih baik melek. Daripada melek lebih baik duduk. Daripada duduk lebih baik berdiri. Daripada berdiri lebih baik melangkah lah)

Untuk meraih kesempurnaan dalam melaksanakan tata laku di atas, hendaknya setiap langkah kita selalu eling dan waspada. Agar supaya setelah menjadi manusia pinunjul tidak menjadi sombong dan takabut, sebaliknya justru harus disembunyikan semua kelebihan tersebut, dan tidak kentara oleh orang lain, sehingga setiap jengkal kelemahan tidak memancing hinaan orang lain. Untuk itu manusia pinunjul harus;

1.       Solahbawa, harga diri, perbuatan, harus selalu di jaga
2.       Keluarnya ucapan harus dibuat yang mendinginkan, menyejukkan, dan menentramkan lawan bicara
3.       Raut wajah yang manis, penuh kelembutan dan kasih sayang.


Inilah sejatinya tata krama dalam ajaran Kejawen. Kesempurnaan dalam melaksanakan langkah-langkah di atas, seyogyanya menimbang situasi dan kondisi, menimbang waktu dan tempat secara tepat, tidak asal-asalan. Karena sekalipun “isi”nya berkualitas, tetapi bungkusnya jelek, maka “isi”nya menjadi tidak berharga. Dengan kata lain, jangan mengabaikan (dugoprayoga) duga kira, bagaimana seharusnya yang baik. Sebab sesempurnanya manusia tetap memiliki kekurangan atau kelemahan, sehingga manakala kelemahan dan kekurangan tersebut diketahui orang lain tidak akan menjadi “batu sandungan”. Seperti dalam ungkapan sebagai berikut;

1.       Kusutnya pakaian; tertutup oleh derajat (harga diri) yang luhur.
2.       Terpelesetnya lidah, tertutup oleh manisnya tutur kata.
3.       Kecewanya warna, tertutup oleh budi pekerti.
4.       Cacadnya raga, tertutup oleh air muka yang ramah.
5.       Keterbatasan, tertutup oleh sabar dan bijaksana.

Oleh karena itu, meraih kesempurnaan dalam konteks ini diartikan kesempurnaan dalam melaksanakan tapa brata. Kegagalan melaksanakan tapa brata, dapat membawa manusia kepada zaman “paniksaning gesang” tidak lain adalah nerakanya dunia, seperti di bawah ini;

1.       Zamannya kemelaratan,  dimulai dari perilaku boros
2.       Zamannya menderita aib, dimulai dari watak lupa terlena, tanpa awas.
3.       Zamannya kebodohan, dimulai dari sikap malas dan enggan.
4.       Zamannya angkara, dimulai dengan sikap mau menang sendiri
5.       Zamannya sengsara, dimulai dari perilaku yang kacau.
6.       Zamannya penyakit, diawali dari kenyang makan.
7.       Zamannya kecelakaan, diawali dari perbuatan mencelakai orang lain.

Sebaliknya, “ganjaraning gesang” atau “surganya dunia”,  lebih dari sekedar kemuliaan hidup itu sendiri, yakni;
1.       Zamannya keberuntungan, awalnya dari sikap hati-hati, tidak ceroboh.
2.       Zamannya kabrajan, awalnya dari budi luhur dan belas kasih.
3.       Zamannya keluhuran, awalnya dari giat andap asor, sopan santun.
4.       Zamannya kebijaksanaan, awalnya dari telaten bibinau.
5.       Zamannya kesaktian (kasekten), awalnya dari puruita dan tapabrata.
6.       Zamannya karaharjan (ketentraman-keselamatan), awalnya dari eling dan waspada.
7.       Zamannya kayuswan (umur panjang), awalnya sabar, qonaah, narimo, legowo, tapa.

SHALAT/SEMBAHYANG DHAIM

Sebagai tulisan penutup, Sabdalangit berusaha memaparkan garis besar TAPA BRATA, agar supaya mudah diingat dan gampang dicerna bagi para pembaca yang masih awam tentang ajaran Kejawen.
Selain dipaparkan di atas, sejalan dengan bertambahnya usia, seyogyanya hidup itu sembari mencari ciptasasmita, “tuah” atau petunjuk yang tumbuh jiwa yang matang dan dari dalam lubuk budi yang suci. Pada dasarnya, tumbuhnya budipekerti (bebuden)  yang luhur, berasal dari tumbuhnya rasa eling, tumbuhnya kebiasaan tapa, tumbuhnya sikap hati-hati,  tumbuhnya “tidak punya rasa punya”,  tumbuhnya kesentausaan, tumbuhnya kesadaran diri pribadi, tumbuhnya “lapang dada”, tumbuhnya ketenangan batin, tumbuhnya sikap manembah (tawadhu’). Pertumbuhan itu berkorelasi positif atau sejalan dengan usia seseorang.
Akan tetapi, jika semakin lanjut usia seseorang akan tetapi perkembangannya berbanding terbalik, mempunyai korelasi negatif, yakni justru memiliki tabiat dan karakter seperti anak kecil, ia merupakan produk topobroto yang gagal. Untuk mencegahnya tidak lain harus selalu mencegah hawa nafsu, serta mengupayakan dengan sungguh-sungguh untuk meraih kesempurnaan ilmu. Begitu pentingnya hingga adalah “wewarah” yang juga merupakan nasehat yang hiperbolis, sbb;


“ageng-agenging dosa punika tiyang ulah ilmu makripat ingkang magel. Awit saking dereng kabuko ing pambudi, dados boten superep ing suraosipun”

            Bagi yang sudah lulus, dapat menerima semua ilmu, tentu akan menemui kemuliaan “sangkan paran ing dumadi”. Siapa yang sunguh-sungguh mengetahui Tuhannya, sesungguhnya dapat mengetahui di dalam badanya sendiri. Siapa yang sungguh-sunggun mengetahui badannya sendiri, sesungguhnya mengetahui Tuhannya. Artinya siapa yang mengetahui Tuhannya, ia lah yang mengetahui semua ilmu kajaten (makrifat). Siapa yang sunguh-sungguh mengetahui sejatinya badannya sendiri, ia lah yang dapat mengetahui akan hidup jiwa raganya sendiri. Kita harus selalu ingat bahwa hidup ini tidak akan menemui sejatinya “ajal”, sebab kematian hanyalah terkelupasnya isi dari kulit. “Isi” badan melepas “kulit” yang telah rusak, kemudian “isi” bertugas melanjutkan perjalanan ke alam keabadian.  Hanya raga yang suci yang tidak akan rusak dan mampu menyertai perjalanan “isi”. Sebab raga yang suci, berada dalam gelombang Dzat Illahi yang Maha Abadi.


Maka dari itu, jangan terputus dalam lautan “manembah” kepada Gusti Pangeran Ingkang Sinembah. Agar supaya menggapai “peleburan” tertinggi, lebur dening pangastuti; yakni raga dan jiwa melebur ke dalam Cahaya yang Suci; di sanalah manusia dan Dzat menyatu dalam irama yang sama; yakni manunggaling kawulo gusti. Dengan sarana selalu mengosongkan panca indra, serta menyeiramakan diri pada Sariraning Bathara, Dzat Yang Maha Agung, yang disebut sebagai “PANGABEKTI INGKANG LANGGENG” (shalat dhaim) sujud, manembah (shalat) tanpa kenal waktu, sambung-menyambung dalam irama nafas, selalu eling dan menyebut Dzat Yang serba Maha. Adalah ungkapan;


“salat ngiras nyambut damel, lenggah sinambi lumampah, lumajeng salebeting kendel, ambisu kaliyan wicanten, kesahan kaliyan tilem, tilem kaliyan melek.
(sembahyang sambil bekerja, duduk sambil berjalan, berjalan di dalam diam, membisu dengan bicara, bepergian dengan tidur, tidur sembari melek).

Jika ajaran ini dilaksanakan secara sungguh-sungguh, berkat Tuhan Yang Maha Wisesa, setiap orang dapat meraih kesempurnaan Waluyo Jati, Paworing Kawulo Gusti, TIDAK TERGANTUNG APA AGAMANYA.