Magelang – Riwayat penyebaran agama Islam di Magelang Jawa Tengah agaknya berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Sejumlah kisah tentang ulama yang dimakamkan di daerah ini menandakan Islam telah berkembang pada awal berdirinya Mataram Islam.
Komplek Makam Raden Santri |
Sesuai kondisinya, bukit itu bernama Gunungpring. Dalam bahasa Jawa, pring bermakna bambu. Desa tempat bukit berada pun bernama Gunungpring dan berjarak satu kilometer dari jalan raya Magelang-Yogyakarta.
Pangeran Singasari atau Kiai Raden Santri adalah salah satu putra Ki Ageng Pemanahan, pendiri kerajaan Mataram Islam. Berbeda dengan saudaranya, Panembahan Senopati, yang meneruskan memimpin kerajaan, Kiai Raden Santri lebih memilih menyebarkan Islam hingga pelosok daerah di Jawa Tengah.
Menurut Kiai Abdul Qowaid atau mbah Qowaid, 65 tahun, seorang keturunan Kyai Raden Santri, awalnya kakek buyutnya itu berkeliling Jawa Tengah untuk menyebarkan Islam sebelum akhirnya menetap di Gunungpring. “Disini pengikutnya bertambah banyak,” kata dia pada Tempo, Kamis (26/8) sore.
Untuk mencapai makam Kiai Raden Santri, peziarah harus menapaki deretan anak tangga sepanjang setengah kilometer. Di kanan-kiri tangga, berderet kios yang menjajakan aneka makanan, pakaian, buku doa hingga perlengkapan ibadah. Di bulan Ramadan seperti saat ini, kios itu memilih tutup meliburkan diri.
Makam itu berada dalam komplek bangunan pemakaman. Selain terdapat sebuah Musalla yang diberi nama Pangeran Singasari, dalam cungkup itu pun terdapat makam keturunan Kyai Raden Santri. Diantaranya adalah Kiai Krapyak III (keturunan ketiga), Kyai Haji Harun (keturunan keempat) dan Kiai Abdullah Sajad (keturunan kelima).
Adapun Kiai Krapyak I (keturunan pertama) dimakamkan di Watucongol – berjarak satu kilometer dari Gunungpring- dan Kiai Krapyak II (keturunan kedua) dimakamkan di Kalibawang Yogyakarta.
Kiai Abdul Qowaid mengaku sebagai putera dari Kiai Abdullah Sajad (keturunan kelima). “Saya yang bungsu,” kata dia.
Di bulan Ramadan seperti saat ini, banyak orang berdiam di dalam cungkup. Tak jarang, para peziarah yang datang dari berbagai daerah itu berdiam hingga berbulan-bulan lamanya. Mereka menghabiskan waktu dengan beribadah, membaca al Quran dan membaca doa. “Pada malam Jumat jumlahnya lebih banyak lagi,” kata Anwar, seorang peziarah asal Sleman Yogyakarta.
Lelaki yang telah berdiam selama sebulan di cungkup itu menuturkan, layaknya makam Wali Songo, makam Kiai Raden Santri merupakan salah satu makam ulama yang menjadi tujuan peziarah. Di hari biasa di luar bulan Ramadan, peziarah datang berombongan dengan menggunakan bus.
Bahkan karena kedekatan silsilahnya dengan Panembahan Senopati, pada waktu tertentu keluarga Kraton Yogyakarta juga datang berziarah ke makam itu. Seperti diketahui, Panembahan Senopati merupakan raja Mataram Islam yang menurunkan keturunan raja-raja di Kraton Surakarta dan Yogyakarta.
Mbah Qowaid mengingatkan, meski terbilang putra Ki Ageng Pemanahan dan saudara dari Panembahan Senopati, namun Kiai Raden Santri telah melepas gelar ningrat yang disandangnya. Bahkan untuk anak cucunya. Dengan sepenuh hati, Kiai Raden Santri telah mengabdikan hidupnya untuk penyebaran Islam. “Ah tidak usah, saya ini orang biasa,” kata dia tertawa saat ditanya gelar ningratnya.