Orang-orang kuno dari Jawa sejak 3000 tahun SM. yang dikenal dengan sebutan penanam padi (wet-rice cultivation). Sistem pertanian ini membutuhkan kerjasama yang erat diantara penduduk desa, yang sampai dengan saat ini masih tetap berjalan. Penduduk desa haruslah mempunyai kesadaran yang tinggi untuk pengelolaan seperti halnya pada pengaturan yang sangat rumit menjadi kerjasama yang mudah, menguntungkan semua pihak yang terlibat. Disamping sistem penanaman padi (wet-rice cultivation), orang Jawa juga sangat mengenal diantara mereka sendiri ilmu perikanan, ilmu perbintangan (astronomy), bertenun kain, batik(traditional cloth painting),gamelan (traditional music instruments) dan seni pertunjukan wayang (lather shadow puppet performance). Sebelum datangnya Hindhu dan beberapa agama besar lainnya dari dunia luar, orang Jawa telah mempunyai budaya dan kepercayaan sendiri.
Di beberapa upacara tradisional orang Jawa, ritual kuno masih tetap dilaksanakan sampai dengan saat ini. Hal ini membuktikan bahwa orang Jawa adalah sangat cermat dan pandai dalam hal melestarikan identitas berharga mereka. Disamping keberadaan mereka yang telah beragama Hindhu, Budha, Islam, Kristen dan Katolik, yang secara luas telah dikenal sebagai agama, beberapa penduduk asli masih tetap menjalankan sistem kepercayaan Kejawen atau Kebatinan sampai sekarang ini terus berlanjut.
Kejawen berasal dari kata JAWA (JAVA) : JAVANISM, adalah pengetahuan spiritual orang jawa dalam pencarian jalan hidup yang baik dan benar, sehingga orang yang mengamalkannya; berlatih dari ajaran ini dengan benar dan secara ikhlas sudah seharusnya menemukan jalan spiritual menuju kehidupan yang nyata atau URIP SEJATI (URIP = Life, SEJATI = True) mencapai keharmonisan hubungan antara pelayan dan Tuhan, yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan JUMBUHING KAWULO GUSTI (JUMBUH = a good, harmonious relation, KAWULA = servant, GUSTI = Lord, God). Hal ini adalah kenyataan; (Jawa:KASUNYATAN – The Reality,). Sedangkan Kebatinan berasal dari kata BATIN (innermost-Self, spiritual.) jadi Kebatinan berarti ilmu spirtitual yang pada umumnya mudah dimengerti sebagai ajaran kepercayaan spiritual pada satu Tuhan.
Beberapa pendapat juga banyak mengartikan bahwa Kejawen juga sangat lebih luas lagi dari sekedar Kebatinan , karena berisi tentang Kebatinan itu sendiri, cara atau jalan berpikir, seni, budaya dan tradisi, dll.. Keberadaan Kejawen itu sendiri, juga tidak bisa ditinggalkan dari cara jalan pikir dan kehidupan orang Jawa, alam semesta dan tradisi.
Pandangan umum orang Jawa yang masih berlaku sampai pada saat ini adalah konsep MAMAYU HAYUNING BAWANA – yaitu menjaga kelestarian kecantikan dunia ini yang dalam artian yang lebih luas berarti menjaga alam semesta ini untuk kesejahteraan semua mahkluk yang ada didalamnya. Secara alamnya, orang Jawa dikenal juga sebagai ahli lingkungan (environmentalist), pelestari lingkungan hidup yang sangat jelas sekali ditunjukkan dalam pengadaan tradisi dan ritual. Hidup dalam keharmonisan adalah yang utama – keharmonisan hubungan antara orang perorangan dengan masyarakatnya, keharmonisan hubungannya dengan alam semesta, keharmonisan hubungannya dengan Tuhan-nya; sebagai perwujudan TRIBAWANA. (Trinity of Universe.)
Semenjak umur masih muda, orang Jawa telah dididik secara baik oleh orang tua mereka, keluarga atau saudaranya, masyarakat, guru dll..pelajaran tentang kepercayaan kepada Tuhan, moral dan tingkah laku, etika, dll. Beberapa orang Jawa yang lebih tua selalu mengatakan bahwa agama itu baik adanya. Sejauh ini tidak ada konflik pada orang Jawa yang mengacu kepada perbedaan agama. Sampai saat ini kerajaan di Jawa, Yogyakarta & Surakarta masih tetap melaksanakan tradisi dan upacara besar seperti pada masa lampau hingga pada saat ini.
KASUNYATAN; adalah kenyataan dari segala bentuk dan manifestasinya, dari yang berbentuk sangat halus sekali sampai dengan yang paling kasar sekali, adalah pemahaman dari kesatuan bagian yang utuh tidak hanya berwujud sebuah benda, tetapi merupakan sebuah elemen yang memberikan keberadaan sebagai sebuah kesatuan. Di dalam Kejawen kita tidak menemui perbedaan pandangan dualistis yang menyebabkan pembedaan antara Pencipta dan Yang diciptakan dan tidak hanya disitu saja, hubungan diantaranya adalah berupa sebuah perpaduan antara mikrokosmos dan makrokosmos yang telah secara dengan jelas dan sungguh menyatu.
Didalam konteks ini manusia keberadaannya adalah nol – tidak ada, akan tetapi merupakan sebuah mikrokosmos yang berisi segala manifestasi makrokosmos didalamnya dan oleh karena itu manusia adalah seperti sebuah tempat yang sangat potensial untuk keharmonisan alam jagat raya dengan dirinya, antara jasmani dan rokhaninya. Dia adalah titik temu yang memungkinkan sekali dari hukum rasional dan iirasional atau yang nalar dan yang tidak nalar, yang diketahui dan yang tidak diketahui, antara manusia dengan Tuhannya. Disamping itu, mikrokosmos yang kecil ini, yaitu manusia, didalamnya terdapat beragam tingkatan kenyataan secara mikrokosmik, mereka juga mewakili kahadiran makrokosmos, pada dasarnya memang merupakan fenomena yang berbeda, tetapi bagaimanapun juga secara substansi bayak persamaan didalam intinya.
Oleh karena itu manusia Jawa sangat jelas memandang sesuatu dari dunia “ini” dan atau “itu”, disana tidak ditemukan ruang untuk jenis pembedaan makna itu, seperti pandangan hidup orang negara Barat. Pasangan yang berlawanan seperti obyek dan subyek, jasmani dan rokhani, positif dan negatif, pada orang pandangan Jawa berubah menjadi sesuatu yang sangat berbeda arti dan maknanya. Pada dasarnya mereka menghilangkan karakter yang berlawanan dengan dirinya dan menjadi ukuran yang sangat relatif yang dipakai untuk menghubungkan mereka dan mereka berdiri sebagai intisari yang berlaku diantara mereka. Pada poin ini etika menjadi masalah yang sangat tidak relevan dibandingkan dengan paham diatas, oleh karena itu orang Jawa sering mengatakannya dengan; kuwi nyatane ngono; itu adalah kenyataan; that’s the reality, dan ini dan hanya satu-satunya paham yang kita anut selama ini.
Kejawen berasal dari kata JAWA (JAVA) : JAVANISM, adalah pengetahuan spiritual orang jawa dalam pencarian jalan hidup yang baik dan benar, sehingga orang yang mengamalkannya; berlatih dari ajaran ini dengan benar dan secara ikhlas sudah seharusnya menemukan jalan spiritual menuju kehidupan yang nyata atau URIP SEJATI (URIP = Life, SEJATI = True) mencapai keharmonisan hubungan antara pelayan dan Tuhan, yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan JUMBUHING KAWULO GUSTI (JUMBUH = a good, harmonious relation, KAWULA = servant, GUSTI = Lord, God). Hal ini adalah kenyataan; (Jawa:KASUNYATAN – The Reality,). Sedangkan Kebatinan berasal dari kata BATIN (innermost-Self, spiritual.) jadi Kebatinan berarti ilmu spirtitual yang pada umumnya mudah dimengerti sebagai ajaran kepercayaan spiritual pada satu Tuhan.
Beberapa pendapat juga banyak mengartikan bahwa Kejawen juga sangat lebih luas lagi dari sekedar Kebatinan , karena berisi tentang Kebatinan itu sendiri, cara atau jalan berpikir, seni, budaya dan tradisi, dll.. Keberadaan Kejawen itu sendiri, juga tidak bisa ditinggalkan dari cara jalan pikir dan kehidupan orang Jawa, alam semesta dan tradisi.
Pandangan umum orang Jawa yang masih berlaku sampai pada saat ini adalah konsep MAMAYU HAYUNING BAWANA – yaitu menjaga kelestarian kecantikan dunia ini yang dalam artian yang lebih luas berarti menjaga alam semesta ini untuk kesejahteraan semua mahkluk yang ada didalamnya. Secara alamnya, orang Jawa dikenal juga sebagai ahli lingkungan (environmentalist), pelestari lingkungan hidup yang sangat jelas sekali ditunjukkan dalam pengadaan tradisi dan ritual. Hidup dalam keharmonisan adalah yang utama – keharmonisan hubungan antara orang perorangan dengan masyarakatnya, keharmonisan hubungannya dengan alam semesta, keharmonisan hubungannya dengan Tuhan-nya; sebagai perwujudan TRIBAWANA. (Trinity of Universe.)
Semenjak umur masih muda, orang Jawa telah dididik secara baik oleh orang tua mereka, keluarga atau saudaranya, masyarakat, guru dll..pelajaran tentang kepercayaan kepada Tuhan, moral dan tingkah laku, etika, dll. Beberapa orang Jawa yang lebih tua selalu mengatakan bahwa agama itu baik adanya. Sejauh ini tidak ada konflik pada orang Jawa yang mengacu kepada perbedaan agama. Sampai saat ini kerajaan di Jawa, Yogyakarta & Surakarta masih tetap melaksanakan tradisi dan upacara besar seperti pada masa lampau hingga pada saat ini.
KASUNYATAN; adalah kenyataan dari segala bentuk dan manifestasinya, dari yang berbentuk sangat halus sekali sampai dengan yang paling kasar sekali, adalah pemahaman dari kesatuan bagian yang utuh tidak hanya berwujud sebuah benda, tetapi merupakan sebuah elemen yang memberikan keberadaan sebagai sebuah kesatuan. Di dalam Kejawen kita tidak menemui perbedaan pandangan dualistis yang menyebabkan pembedaan antara Pencipta dan Yang diciptakan dan tidak hanya disitu saja, hubungan diantaranya adalah berupa sebuah perpaduan antara mikrokosmos dan makrokosmos yang telah secara dengan jelas dan sungguh menyatu.
Didalam konteks ini manusia keberadaannya adalah nol – tidak ada, akan tetapi merupakan sebuah mikrokosmos yang berisi segala manifestasi makrokosmos didalamnya dan oleh karena itu manusia adalah seperti sebuah tempat yang sangat potensial untuk keharmonisan alam jagat raya dengan dirinya, antara jasmani dan rokhaninya. Dia adalah titik temu yang memungkinkan sekali dari hukum rasional dan iirasional atau yang nalar dan yang tidak nalar, yang diketahui dan yang tidak diketahui, antara manusia dengan Tuhannya. Disamping itu, mikrokosmos yang kecil ini, yaitu manusia, didalamnya terdapat beragam tingkatan kenyataan secara mikrokosmik, mereka juga mewakili kahadiran makrokosmos, pada dasarnya memang merupakan fenomena yang berbeda, tetapi bagaimanapun juga secara substansi bayak persamaan didalam intinya.
Oleh karena itu manusia Jawa sangat jelas memandang sesuatu dari dunia “ini” dan atau “itu”, disana tidak ditemukan ruang untuk jenis pembedaan makna itu, seperti pandangan hidup orang negara Barat. Pasangan yang berlawanan seperti obyek dan subyek, jasmani dan rokhani, positif dan negatif, pada orang pandangan Jawa berubah menjadi sesuatu yang sangat berbeda arti dan maknanya. Pada dasarnya mereka menghilangkan karakter yang berlawanan dengan dirinya dan menjadi ukuran yang sangat relatif yang dipakai untuk menghubungkan mereka dan mereka berdiri sebagai intisari yang berlaku diantara mereka. Pada poin ini etika menjadi masalah yang sangat tidak relevan dibandingkan dengan paham diatas, oleh karena itu orang Jawa sering mengatakannya dengan; kuwi nyatane ngono; itu adalah kenyataan; that’s the reality, dan ini dan hanya satu-satunya paham yang kita anut selama ini.