Daerah Cimahi, kaya dengan mitos mengenai suatu tempat, seperti
pertigaan Jl. Raya Barat dan jl. Gatot Subroto Cimahi dulu pada masa
kolonial belanda terdapat tanda yang diperuntukan tempat pergantian kuda
dan kereta yang akan melanjutkan kembali perjalanan ke tempat
tujuannya. Kuda dan kereta itu nagog menunggu giliran mengantarkan
penumpang. Oleh sebab itu, terkenal dengfan daerah tempat kuda dan
kereta itu dengan sebutan ’Tagog’, dan hingga sekarang daerah tersebut
masih disebut ’Tagog’. Masih banyak mitos tempat lainnya.
Daerah Cimahi kaya akan mitos dengan orang-orang suci (hagiografi)
yang disakralkan oleh masyarakatnya. Salah satu cerita tentang orang
suci itu, adalah mitos tentang Mbah Tumpang dan Mbah Nurkarim
Nalataruna. Konon diyakini oleh masyarakat Cimahi, Mbah Tumpang adalah
bekas prajurit Mataram yang melarikan diri bersama dengan Dipati Ukur
setelah menyerang Batavia pada awal abad ke-17, yang kemudian menetap di
daerah Cimahi. Ada yang berpendapat bahwa antara Mbah Tumpang dengan
Mbah Nurkarim Nalataruna bersaudara.
Tentang kesaktian Mbah Tumpang, diceritakan orang bahwa suatu
ketika ia dikunjungi oleh oleh Mbah Puyuh (Raden Tubagus Kanjeng
Ariringan) yang bertamu dengan membawa buah nangka. Sewaktu buah nagka
tersebut akan dipotong oleh Mbah Tumpang, tiba-tiba buah nangka itu
berubah menjadi binatang. Tindakan itu dibalas oleh Mbah Nurkarim
Nalataruna dengan membuat Mbah Puyuh menempel di pelupuh (lantai dari
kayu), sehingga Mbah Puyuh tidak bisa pulang. Cerita berakhir dengan
permintaan maaf Mbah Puyuh kepada Mbah Tumpang atas perbuatannya,
sehingga ia bisa pulang. Pada masa kolonial Hindia Belanda, ketika
perayaan ulang tahun Ratu Belanda di Cimahi, masyarakat sekitar Cimahi
biasanya mengadakan karnaval. Dalam karnaval itu harus disediakan seekor
kuda tanpa penunggang (kuda kosong). Ketika karnaval berlangsung dan
berjalan keliling alun-alun, kuda tanpa penunggang itu kelihatan letih
sekan-akan sedang membawa beban berat masyarakat Cimahi percaya
sebenarnya kuda itu ditunggangi Mbah Tumpang yang berkenan hadir dalam
acara tersebut. Suatu ketika tradisi menyediakan kuda tanpa penunggang
lupa dilaksanakan, maka musibahpun terjadi. Bahkan begitu sakralnya
tokoh Mbah Tumpang, juga Mbah Nurkarim Nalataruna, menimbulkan keyakinan
dalam masyarakat bahwa seekor burung akan jatuh jika melintas di atas
makamnya.
Selain Mbah Tumpang dan Mbah Nurkarim Nalataruna, ada beberapa
tokoh legendaris lain yang disakralkan oleh masyarakat Cimahi, seperti
Mbah Dalem Wirasuta (Syekh Langlangbuana), Syekh Damiri, Mbah Koneng (Ki
Koneng), Mbah Gede Santen, Mbah Tubagus, dan sebagainya.
Makam Mbah Tumpang berada di Jln. Gandawijaya, Pasar Antri,
Kecamatan Cimahi Selatan. Terletak pada kordinat Latitude -6.876644
dan Longitude 107.540274. Makam Mbah Tumpang berada di dalam sebuah
bangunan setengah permanen. Jirat makam tiga tingkat dengan diplester
semen. Sangat disayangkan penyemenan ini akan menghilangkan kekunoaan
(keaslian) dari makam tokoh yang sangat dihormati dan disakralkan oleh
masyarakat Cimahi. Nisan makam terbuat dari batu.