Keris Budha Purwocaritro

Sebelum membicarakan keris Budha-purwocaritro, kita sepakati dahulu bahwa yang dimaksud keris Budha-purwocaritro dalam konteks ini adalah bukan keris keropos yang berasal dari keris larungan (keris yang dibuang ke sungai). Namun merupakan keris penemuan dalam tanah yang memiliki bentuk dan ciri-ciri khusus. Keris Budha-purwocaritro ini keris yang terpendam dijaman dahulu, kemudian ditemukan oleh pencari pasir, pembuat bata atau petani dengan secara tidak sengaja, yang kemudian dikoleksi oleh para pecinta keris melalui pengumpul dari daerah-daerah.

Keris budha-purwocaritro bentuknya bermacam-macam. Namun sudah menjadi stereotip bahwa keris yang memiliki bentuk yang khas ini oleh penggemar keris untuk yang pendek disebut Bethok budha dan Jalak budha, dan untuk yang berbentuk ramping panjang disebut keris Singasari. Karena belum diketemukan catatan yang mendukung fakta, maka tangguh keris-keris ini disebut tangguh jaman “purwocaritro” (jaman antah-berantah). Dalam kamus Bausastra Jawa-Indonesia, S. Prawiroatmodjo; Purwo artinya permulaan dan Carito artinya cerita. Tangguh purwocaritro adalah jaman dimana telah dimulainya suatu kegiatan pembuatan senjata keris, tetapi kepastian tahunnya tidak diketahui.

Daerah Penemuan
Diutarakan oleh seorang kolektor di Jakarta, keris Budha-purwocaritro ada yang berasal dari tepian muara anak sungai Bengawan Solo. Seperti daerah Pati, Kudus, Lasem, dan Tuban. Beberapa pedagang keris di Solo menyatakan tahun 1998 sering ada penemuan di Sragen dan Sungai Progo. Seorang yang pernah menekuni keris Budha-purwocaritro, menyatakan bahwa penemuan tidak hanya di tepi sungai melainkan sering pula di persawahan, seperti di Karawang, Subang (Jawa Barat), Cimanuk-Indramayu juga di Jawa Timur seperti Kediri dan pinggiran sungai Berantas.

Ketika ada informasi ditemukan pecahan gerabah atau porselin, maka biasanya ditemukan perkakas rumah tangga dan keris yang terpendam. Benda-benda lain yang ditemukan biasanya, kerangka manusia yang sudah menjadi kapur yang keras dan berkeping-keping. Kerangka tersebut belum menjadi fosil batu, karena usianya masih dibawah 2000 tahun. Penemuan pada bekas kuburan tua ini, oleh komunitas pengumpul benda temuan ini disebut “bekal kubur”.

Dari tahun ke tahun penemuan di sungai-sungai sangatlah banyak. Pada musim kemarau di salah satu sungai di daerah Kuningan (Jawa Barat), pernah terdampar keris Naga Jangkung dengan lebar gonjo hampir sejengkal, menyerupai perahu.

Di tepi sungai Cimanuk – Indramayu tersangkut cangkul secara tidak sengaja oleh pencari pasir, sebilah tombak Pataka. Sedang di daerah Mojo Agung – Jawa Timur diketemukan jalak Budha dengan pamor pedaringan kebak.

Pada temuan di Jawa Timur (tepian sungai Brantas) juga sering ditemukan kalung manik-manik (bead), uang keping tembaga, pecahan porselin, perkakas logam dan lain-lainnya. Pegumpul keris sering membeli dari penggalian longsoran tanah di pinggiran sungai Bengawan Solo. Antara lain dari temuan di anak sungai Bengawan Solo di daerah Lasem. Diperkirakan longsoran itu adalah kompleks kuburan yang luruh karena erosi sungai. Tidak jarang pula ditemukan oleh pembuat bata dan genteng pada ‘sungai mati’, (yang dimaksud ‘sungai mati’ adalah lokasi sungai yang sudah berubah atau serong dan tertimbun tanah menjadi daratan), jika di gali dalamnya berupa tanah liat yang bagus untuk bahan tembikar. Selain itu sering pula pencari pasir menemukan keris dan benda lainnya di tengah sungai yang sedang mengering, bahkan terkadang ditemukan di dalam relung-relung cadas.

Bahwa sungai pada masa itu merupakan lalulintas dan pusat keramaian menjadi alasan utama sebagai tempat tenggelamnya keris-keris ini. Disamping itu daerah-daerah yang berdekatan dengan sungai dipastikan banyak peninggalan alat-alat praktis kebutuhan manusia terutama senjata. Baik itu senjata sebagai alat bela diri maupun keris sebagai ageman (status social dan piandel).

Sungai sebagai lalulintas juga memungkinkan terjadinya peperangan atau perampokan, sehingga beberapa senjata terjatuh dan terbengkalai di tepi sungai.

Kuburan-kuburan tua sering di temukan dipinggiran sungai, biasanya posisi kerangka kepala selalu menghadap ke Timur sesuai tradisi penguburan pada masa itu. Berita para pengumpul keris Budha-purwocaritro dari tahun ke tahun menyatakan, penemuan di muara Bengawan Solo dan tepian sepanjang sungai Brantas masih memegang rekor. Sering pula, keris Budha-purwacaritro jenis pendek (Bethok, Jalak) terbenam pada lahan persawahan seperti di Kediri, Tulung Agung, desa Panggul, Trenggalek, Pare dan di daerah Mojo Agung pinggiran kota Malang. Daerah-daerah ini kemungkinan adalah merupakan pusat keramaian pada masa itu. Keris pendek selebar sandal jepit dengan hiasan pendita kembar ditemukan di sungai kecil Lodoyo desa Sumber Agung – Blitar (1975?), kemudian disimpan di desa Jimbe (terakhir saya berkunjung tahun 1993) letaknya diantara Tulung Agung dan Blitar. Hingga saat ini disimpan di samping rumah kepala desa dengan papan bertuliskan “Sanggar Kekunoan”. Oleh penduduk disekitarnya keris itu disebut keris Umyang Jimbe.

Sanggar ini diziarahi oleh mereka dari segala penjuru kota yang percaya pada tuah Umyang Jimbe. Begitu pula, apakah keris Budha-purwocaritro yang kita bicarakan dalam tulisan ini adalah betul di buat pada jaman Singosari?

Profesi Spesialis yang di”agung”kan

Dalam perspektif historis Asia diperkirakan abad 5M (Masehi) perkembangan teknologi logam maju pesat dan menjadi spesialisasi pekerjaan. Sejarah di pulau Jawa, pada jaman Mataram kuno (Mataram Hindu) disebutkan berjayanya dinasti Sanjaya yang dapat diketahui melalui Prasasti Canggal (daerah Kedu) pada 732M, Prasasti balitung 907M dan Kitab Carita Parahyangan. Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu telah mengalami kejayaan ekonomi, kemajuan teknologi logam, kesenian dan budaya. Seni pahat besi diatas batu dibuktikan dengan adanya candi-candi. Perkembangan teknologi logam telah menjadi prioritas utama dari kerajaan ini. Raja-raja yang memerintah Mataram Hindu adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya disebutkan sebagai raja yang pertama dan selanjutnya berurutan adalah Sri Maharaja Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, Rakai Kayu Wangi, Rakai Ratu Humalang dan terakhir Rakai Watukara Dyah Balitung.

"Dinasti Syailendra yang diperkirakan berdiri abad ke 8 adalah kerajaan beragama Budha. Dari sumber sejarah, kerajaan Syailendra dapat diketahui melalui peninggalan candi Kalasan dan beberapa prasasti, diantaranya adalah Prasasti Kalasan 778M yang menyebutkan seorang raja dari dinasti Syailendra telah mengalahkan raja sang Rakai Panangkaran dan mendirikan Sanggha Budha di desa kalasan, berupa “Candi Kalasan”.

"Dalam masa kerajaan Mataram Hindu para pembuat artefak logam dikenal dengan istilah sesuai dengan jenis bahannya seperti panday tamraga atau pandai tamra (pande tembaga), panday kangsa (pande perunggu), panday wsi (pande besi, panday mas (pande mas). Dalam masa yang lebih muda pande emas disebut dhatudagdha seperti disebutkan dalam kitab Slokantara. Bermacam profesi para pande logam sesuai dengan spesialisasi jenis barang yang dihasilkan seperti : Panday Dang (pembuat dandang), limus galuh (pembuat benda perhiasan emas), panday sisinghen (pembuat senjata). Pada masa kerajaan Majapahit tukang pembuat senjata tersebut disebut ‘palalandep’ (landep artinya tajam). Sejak masa itu para tukang pembuat keris diberi julukan Mpu.”

Dari spesialisasi profesi tersebut, keris selain memiliki fungsi tehnomik sebagai senjata tikam, juga memiliki sosioteknik yaitu sebagai tanda status social. Keris juga berfungsi sebagai benda ritual atau ideologis dinyatakan pada penemuan Prasasti Poh 905M : “sajining manusuk sima wdihan sang hyang brahma yu 1 mas ma 1 wdihan sang hyang susuk kulumpang yu 4 mas ma 4 wadung 1 rimwas 1 patupatuk 1 lukai 1 tamilan 1 linggis 4 tatah 1 wangkyul 1 kris 1 kampit 1 gulumi 1”. Dalam kaitannya dengan upacara sima atau upacara patok tanah.

Catatan-catatan etnografis masa lalu menunjukkan bahwa empu keris atau pande besi secara khusus memiliki kedudukan penting dalam masyarakat karena dianggap memiliki kesaktian dan tidak sembarang atau setiap orang dapat menjadi empu. Oleh karena itu sangat menarik bahwa, seperti disebutkan di dalam kitab Slokantara, pande besi termasuk salah satu golongan masyarakat ‘candala’. Tempat pembuatan benda-benda logam pada abad ke 9 di sebut ‘gusalyan’ (besalen) dari istilah ‘paryyen’ (jawa kuno) menjadi ‘paron’. Tempat-tempat tersebut dianggap sacral karena memiliki aspek simbolik-regilius dimana ‘paron’ adalah lambang ’bumi’ dan ‘palu’ merupakan jatuhnya bahan besi (meteor) yang ditumbukkan, sebagai lambang terrestrial dan celestial yaitu simbolik dari persatuan “bapa akasa” dan “ibu bumi”. Artinya dalam pengertian ini adalah bahwa selain fungsi teknomik dan sosioteknik, keris juga dianggap sebagai benda sakral yang dihasilkan dari pemahaman religious tentang ‘manunggaling kawulo gusti’.

Pada keris Budha-purwocaritro, symbol-symbol itu sangat terlihat. Antara lain : memiliki desain teknomik tinggi sebagai senjata tikam dengan gonjo yang luar biasa kerasnya. Gonjo yang didasari filosofi “lingga-Yoni” pada keris ini jelas merupakan fungsi teknomik, yaitu untuk menahan genggaman tangan ketika menusukkan bilahnya. Desain sosioteknik yang kreatif, seperti pluntiran kembang kacang, greneng yang plastis bagai rumbai-rumbai (greneng menyanyi) yang dinamis dan kruwingan-kruwingan yang sangat estetis mencerminkan symbol kebesaran. Penggarapan yang professional pada keris Budha-purwocaritro yang masih bersatu dengan ukir (tangkai) emasnya adalah symbol status social dari pemiliknya pada masa itu.

Keterkaitan dengan Sejarah kerajaan-kerajaan

Geografi historis menyatakan bahwa Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah dengan pusatnya disebut Bhumi Mataram yang merupakan tempat yang subur dikelilingi pegunungan seperti : pegunungan Serayu, gunung Prau, gunung Sindoro, gunung Sumbing, gunung Ungaran, gunung Merapi, gunung Merbabu, gunung Sewu, gunung Kidul, pegunungan Kendang dan lalulintas sungainya antara lain adalah sungai Bogowonto, sungai Progo, sungai Elo dan yang terlebar adalah sungai Bengawan Solo.

Peninggalan-peninggalan masa dinasti Sanjaya adalah candi-candi di dataran tinggi Dieng (dari asal kata 'Di Hyang' yang artinya 'kediaman nenek moyang') antara lain adalah candi Arjuna, Semar, sebelah kiri berturutan candi Srikandi, Puntodewo dan Sembodro. Kemudian peninggalan dari Sri Maharaja Rakai Pikatan yang mendirikan candi Loro Jonggrang, Prambanan.

Peninggalan dari kerajaan dinasti Syailendra yang beragama Budha antara lain candi Kalasan 778M dan pada masa kejayaan raja Samarottungga membangun candi Borobudur, dimana setelah Borobudur selesai raja Samarottungga meninggal dunia, digantikan putranya Balaputra Dewa dari permasuri Pramodhawardhani.

Raja Mataram terakhir adalah Sri Maharaja Rakai Wawa, pada waktu itu memerintah dibantu oleh penasehatnya yaitu Mpu Sindok yang menjabat sebagai Rakryan I Hino.

Rakryan I Hino adalah jabatan tertinggi dibawah raja, yang dibawahnya adalah Rakryan I Halu dan Rakryan I Sirikan. Pola jabatan tri tunggal ini berlanjut hingga pada jaman kerajaan Majapahit.

Mpu Sindok kemudian naik tahta dan memindahkan kerajaannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur tepatnya disamping muara sungai Brantas dengan nama Medang Kamulan, ber-ibukota Watan Mas. Catalan yang pernah saya temukan adalah bahwa pemindahan disebabkan karena bencana gunung Merapi menghancurkan tatanan wilayah kerajaan (1006M?). Wilayah kekuasaan kerajaan Medang Kamulan mencakup Nganjuk (sebelah barat), Pasuruan (sebelah timur), Surabaya (sebelah utara) dan Malang (sebelah selatan).

Dalam kejayaannya Medang Kamulan menguasai seluruh Jawa Timur. Sumber berita ini didapat dari tulisan berita asing dari China dan India, serta beberapa prasasti seperti: Prasasti desa Tangeran (sekarang Jombang) menyatakan Mpu Sindok memerintah bersama permaisuri Sri Wardani Pu Khin mulai tahun 933M; Prasasti daerah Bangil; Prasasti Mpu Sindok dari Lor (dekat Nganjuk) tahun 939M dimana Mpu Sindok memerintahkan membuat candi Jayamrata dan Jayastambho di desa Anyok Lodang sebagai tugu kemenangan. Nama kerajaan Kamulan juga disebut oleh Dr. J.G. de Casparis: Prasasti Indonesia, terutama di bagian yang menjelaskan tentang upacara pemujaan leluhur Srada bagian De betekenis van Kamulan" hal. 70.

Kerajaan Medang Kamulan pada akhirnya dihancurkan oleh Sriwijaya yang bekerja sama dengan kerajaan kecil di Jawa Tengah, yaitu Kerajaan Wurawari (di daerah Madiun?). Raja yang berkuasa waktu itu adalah Dharmawangsa keturunan dinasti Mpu Sindok. Penyerangan ke Medang Kamulan dilakukan pada saat raja Dharmawangsa mengadakan perkawinan putrinya dengan Erlangga, anak raja Udayana dari pulau Bali. Dharmawangsa tewas, namun Erlangga muda dapat melarikan diri bersama rombongan setianya yang dipimpin oleh Narottama.

Pada tahun 1016-1019M, Erlangga mengolah batin di hutan Wonogiri, mempersiapkan segala sesuatunya untuk merebut kekuasaan. Akhirnya pada tahun 1028-1035M, Erlangga mulai menghadapi lawan-lawannya dari kerajaan Wurawari, kerajaan Wengker dan Raja Putri yang bernama Rangda Indirah. Peperangan dengan Rangda Indirah diceritakan melalui cerita rakyat Calon Arang. Erlangga berhasil menjadi raja menyandang gelar Rakai Halu Sri Lakeswara Dharmawangsa Erlangga Teguh Ananta Wirakramatunggadewa, hingga 1048M. Medang Kamulan akhirnya berjaya. Pada akhir pemerintahan Erlangga, untuk menghindari perang saudara peta kekuasaannya dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Kediri dengan ibukota Daha diperintah Jaya Warsa dan kerajaan Jenggala dengan ibukota Kahuripan diperintah oleh Jayeng Rana. Lokasi kerajaan dibelah sungai Brantas sebagai batas pemisahnya. Konsepnya diatur oleh mpu Baradah. Sejarah ini diketahui melalui prasasti-prasasti antara lain: Prasasti Keting 1104M, Prasasti Ngantang 1135M, Prasati Jaring 1181M dan Prasasti Kamulan 1194M.

Berita tentang kerajaan Kediri yang didapat dari berita asing China dalam buku Chu fan chi karangan Chu ju kua (1220M) dan buku Ling wa tai ta (1778M) yang ditulis kembali oleh Chu ik fei, banyak menerangkan kondisi Kediri pada abad 12M sampai 13M. Dalam buku tersebut raja Jayabaya dinyatakan sebagai raja terbesar kerajaan Kediri. Membangun singgasana baru di desa Pamenang, sehingga pada masa Jayabaya kerajaan Kediri sering disebut kerajaan Pamenang. Peninggalan kesusasteraan dan keseniannya sangat bermutu, peninggalan epigrafik itu seperti kitab Bharatayudha karya mpu Sedah dan mpu Panuluh, kitab Arjuna Wiwaha karya mpu Kanwa, Smaradhana karya mpu Dharmaja, kitab Hariwangsa, kitab Wrttassancaya dan Lubdhaka karya mpu Tanakung dan kitab Bhomakavya yang tidak jelas pengarangnya. Kitab Bharatayudha diilhami perang saudara antara kerajaan Kediri dan Jenggala. Raja Jayabaya selain sebagai raja Kediri terbesar, juga terkenal sebagai ahli nujum dan meninggalkan beberapa tulisan yang disebut Jongko Joyoboyo. Dalam ramalannya raja Jayabaya menyatakan akan ada ratu adil di negara ini.

Pada masa pemerintahan raja Jayabaya juga dikenal mpu panday wsi yang serba bisa dan berprofesi sebagai pujangga dan ahli strategi bernama mpu Kuturan, dinyatakan dalam kisahnya empu Kuturan merantau ke pulau Bali dengan wahana daun kluwih yang dalam bahasa Jawa; 'nitih godong kluwih' dan membawa serta binatang kesayangannya yaitu kijang mas. Kemudian pada jaman Majapahit oleh Mpu Supa keris Nagasasra dimuati pula gambar kijang mas dipahatkan dibawah badan naga, sebagai monumen untuk menghargai empu Kuturan.

Pada Prasasti Kamulan 1194M diketahui raja Kediri terakhir adalah raja Kertajaya (1190-1222M) atau dengan sebutan Ratu Dandang Gendis. Pada masa akhir pemerintahannya kestabilan kerajaan menurun, karena raja Kertajaya mengurangi hak-hak kaum Brahmana, sehingga kaum Brahmana melakukan pertentangan. Saat itulah Ken Arok di Tumapel (dekat kota Malang) telah menjadi raja kecil setelah membunuh Akuwu Tunggul Ametung dengan keris ciptaan empu Gandring yang sebelumnya dibunuh pula. Ken Arok merebut Kendedes yang cantik dari Tunggul Ametung dan menjadi raja di Tumapel. Hingga kemudian datang kaum Brahmana yang tersingkir dalam pertentangannya dengan raja Kertajaya dari Kediri. Mereka minta bantuan kepada Ken Arok, maka terjadilah peperangan di dekat Ganter yang disebut perang Ganter (1222M). Pasukan Kediri hancur, sedangkan raja Kertajaya tak diketahui rimbanya. Saat itulah Ken Arok berjaya dan merubah kerajaan Tumapel menjadi kerajaan Singasari (1222M), serta merta Ken Arok sebagai raja bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi dengan memproklamirkan dinasti barunya bernama dinasti Girindrawangsa. Hal ini dilakukan untuk meninggalkan jejak masa lalunya. Sumber-sumber sejarah tentang Singasari diambil dari Kitab Pararaton, Kitab Negarakretagama, prasasti-prasasti pada tahun 1248M, berita dari China tentang kaisar Kubilai Khan yang pernah menyerang kerajaan Singasari serta peninggalan purbakala seperti candi Kidal, candi Jago dan candi Singasari.

Pada pemerintahan raja Kertanegara (1268-1292M), kerajaan Singasari dinyatakan berjaya dan meluaskan daerah hingga pulau Bali. Kerajaan Singasari memperluas hubungan luar negerinya hingga ke Campa. Mengadakan ekspedisi Pamalayu (1275M dan 1286M) sebagai upaya raja Kertanegara melakukan perluasan menjadi Nusantara, serta untuk melemahkan Sriwijaya. Jawa Barat dapat dikuasai pada 1289M.

Raja Kertanegara berbaik terhadap lawan-lawan politiknya seperti mengangkat Ardharaja, putra Jayakatwang (keturunan Raja Kediri) menjadi menantu, serta Raden Wijaya cucu Mahesa Cempaka, juga sebagai menantu yang pada akhirnya menjadi raja Majapahit.

Kerajaan Singasari sudah merupakan embrio Nusantara, (pemikiran ini kemudian dilanjutkan oleh Majapahit, Gajah Mada) kebudayaannya berkembang dengan seni pahat yang indah seperti ditemukannya patung Ken Dedes sebagai jilmaan Dewi Prajnaparamita lambang kesempurnaan ilmu, patung raja Kertanegara sebagai Jaka Dolok yang ditemukan dekat Surabaya serta patung Amoghapasa perwujudan raja Kertanegara yang ketika itu dikirim ke Dharmacraya ibukota kerajaan Melayu (sekarang berada di Museum Nasional Jakarta). Pada prasasti Butak (1294M) juga diceritakan tentang masa keruntuhan Singasari dan tentang perjuangan Raden Wijaya ketika merintis berdirinya kerajaan Majapahit.

Keris PENDEK dan Keris RAMPING
Keris-keris pendek sudah ditemukan ada yang berpamor, akan tetapi banyak yang keleng, besinya berserat berwarna kelabu kehijauan dengan bentuk tanpa sogokan, disebut Bethok Buddha dan yang memakai sogokan disebut Jalak Buddha,

Kita juga mengenal keris sajen dengan bentuk tangkai berbadan manusia, dalam beberapa buku Belanda disebut keris Majapahit, namun ada pula yang menyebut "keris sajen", atau keris picit. Keris sajen justru jarang sekali ditemukan dalam kontek keris penemuan terpendam ini. Perlu penelitian, apakah betul keris sajen adalah bentuk keris yang disebutkan dalam Prasasti Poh (905M). Atau mungkin jaman yang lebih muda, karena tradisi ruwatan berkembang lagi dengan pesat pada jaman Majapahit, seperti ruwatan Pangur (meratakan gigi anak-anak memasuki usia 8 th), ruwatan Bersih Desa, upacara Srada (nyadran) yang juga menggunakan keris sebagai salah satu sesajinya.

Pada prasasti-prasasti yang telah ditemukan, bentuk keris tidak pernah dijelaskan. Penemuan prasasti yang menyebutkan kata "kris" atau keris hanya terdapat dalam prasasti-prasasti tua jaman Mataram Kuno pada abad 8 dan 9, seperti Prasasti Kwak 1 pada 879M; Prasasti Taragal 880M (diperkirakan kata Tegal dari Taragal); Prasasti Taji 901M dan Prasasti Poh 905M. Prasasti-prasasti yang ditemukan setelah itu tidak lagi menyinggung kata "kris" atau keris melainkan tentang keadaan dan situasi kerajaan serta beberapa kisah raja-raja.

Namun penuturan Suprapto Suryodarmo 1986 yang dikutip dari makalah; Peran Keris Dalam Sejarah, Drs. Bagyo Suharyono MHum. disebutkan:"keris yang tadinya berbentuk gemuk pendek berbadan lebar cenderung seperti keris Budha atau Katga pada masa ini berubah ramping walaupun juga masih tampak dempak dan sangkuk. Contohnya keris-keris Jenggala dan Singhasari, dalam relief di Candi Panataran, keris sudah lebih ramping bentuknya".

Kata gemuk pendek keris Budha mungkin yang dimaksud adalah Bethok dan Jalak Budha. Serta memiliki pengertian sebagai sebutan jaman pembuatannya masa kerajaan beragama Buddha. Dimana abad 8 - 9M kerajaan yang ada adalah Mataram Kuno, dinasti Syailendra, dimana raja Samarotungga (812-833M) membangun Borobudur sebagai indikasi jaman kerajaan beragama Buddha. Penyebutan keris Jenggala dan Singhasari kemungkinan secara umum keris sudah berbentuk ramping. Akan tetapi keris budha-purwocaritro yang ditemukan di Lasem pinggiran anak Bengawan Solo, sungai Porong dan di daerah Salam - Gemolong juga berbentuk ramping dengan prototype yang sama. Padahal lokasi ini berada di Jawa Tengah, keris ramping juga ditemukan di tepian Bengawan Solo desa Kedung Banteng - Sragen yang bukan daerah kerajaan Singasari. Karena ditemukan masih di sekitar sungai Bengawan Solo, bisa jadi indikasi tangguh keris itu masih tangguh Mataram Kuno.

Walau disebutkan pada candi Penataran ada relief gambaran keris yang sudah berubah bentuk dari pendek menjadi bentuk yang panjang. Bisa jadi memang sebelumnya sudah ada perubahan bentuk yang berkembang menjadi panjang. Seperti penemuan di tepian sungai Brantas yang juga berbentuk panjang, serta dapat diindikasikan sebagai tangguh Medang Kamulan atau Kediri. Sesuai dengan beberapa kutipan dibawah ini;

"Keturunan dinasti Syailendra yaitu Mpu Sindok memindahkan kerajaan dengan sebutan kerajaan Medang Kamulan di dekat muara sungai Brantas, dari Jawa Tengah ke Jawa Timur".

"Selanjutnya pemerintahan raja Erlangga keturunan raja Udayana dari Bali, menantu Dharmawangsa raja terakhir medang Kamulan meluaskan perdagangan hingga ke Benggala, Celyon, Chola, Campa dan Burma. Pada Prasasti Kolagen dinyatakan Erlangga memerintahkan untuk pembuatan tanggul-tanggul ditepi sungai Brantas agar kapal-kapal besar dapat masuk menyusuri lalulintas sungai”.

Pada akhir pemerintahan Erlangga (1048M), ia membagi pemerintahannya menjadi kerajaan Kediri dan kerajaan Jenggala dengan pemisah sungai Brantas.

Sungai Brantas masih disebut lagi pada prasasti tersebut digambarkan sebagai bandar laut dan pusat keramaian. Hal ini merupakan indikasi jaman Medang Kamulan, bahwa keris budha-purwocaritro lebih banyak ditemukan di area sungai, dibandingkan di daratan.

Berpijak dari data-data tersebut diatas menjelaskan bahwa keris ramping atau panjang belum tentu diciptakan pada jaman Jenggala dan Singasari, melainkan sudah diciptakan pada jaman Mataram kuno-Medang Kamulan.

Sesuai fungsi keris saat itu diciptakan sebagai senjata tikam yang pada akhirnya berkembang sebagai benda ideologis. Perkembangan benda ideologis pasti termuati nilai falsafah dan seni. Kembang kacang yang dibuat seperti belalai gajah adalah transformasi dari bentuk Ganesha, sebagai dewa lambang keilmuan dan teknologi.

Simbol-simbol ideologis bisa dilihat pada relief fragmen keris ataupun tombak. Seperti koleksi alm. Harjonegoro berbentuk bethok ber-relief fragmen Arjuna Wiwaha mengangkat cerita dari karya sastra empu Kanwa. Bethok tersebut bernama K.K. Arjuno Wiwoho, tangguh Kediri.


Keris asli atau pemalsuan

Menentukan keaslian keris tua ini butuh jam terbang yang tinggi, hingga paham ciri-ciri yang dapat menjadi pedoman. Empu Sukamdi dari Solo cenderung mengamati dari aspek estetika. Bahwa apakah keris tua itu tangguh jaman Budha, Mataram kuno ataupun Singasari memiliki rumus baku keris yang pasti. Antara lain rumus condong leleh sebagai pedoman menilai sebilah keris (condong leleh adalah kemiringan sebilah keris). Merupakan rumusan yang mungkin dalam seni rupa barat setara dengan apa yang disebut "Golden Section". Jika diteliti dari simpul-simpul garis condong leleh keris Jalak Buddha hingga keris tangguh Surakarta, dipastikan memiliki pedoman pokok yang tetap dan konsisten. Pedoman pokok itu biasanya dimiliki oleh seorang ahli keris karena keterlatihan "rasa" atau "pakulinan" (bhsJw; kebiasaan). Jika keris tidak sesuai rancang bangun yang baku, maka diduga keris itu palsu (buatan sekarang yang diproses seperti keris tua).

Pedoman condong leleh bisa menjadi panduan karena, yaitu: Pertama, adalah pengaruh adanya produksi warangka dan pendok. Demi kepraktisan, masa itu dibuatlah blad kemiringan (condong leleh), dari keris karya mpu master. Kedua, empu-empu berikutnya ketika membuat keris, merasa lebih nyaman ngepaske (merujuk) pada warangka yang mengikuti standar condong leleh itu. Pengaruh dari produksi massal warangka (sheat) maupun pendoknya (cover penutup kayu) memang memungkinkan terjadinya keseragaman condong leleh pada setiap jamannya.

Keris budha-purwocaritro sudah ditemukan ada yang berpamor miring. Selain pamor miringnya yang spesifik, pada pamor beras utah, teknik pelapisan dari keris-keris budha-purwocaritro juga tidak sama dengan teknik pada tangguh yang lebih muda. Jika dipelajari, pedaringan kebak pada keris budha-purwocaritro pecahan wos wutahnya lebih banyak menyatu, alurnya seperti telah terpotong-potong lembut.

Teknik pamor wos wutah (beras tumpah) adalah pola dasar pamor mlumah, cara pelapisannya menghasilkan berjenis-jenis nama pamor lain jika dilakukan cacahan dan perusakan agar meliuk-liuk. Begitu pula teknik wos wutah dari tangguh Surakarta yang divariasi dengan kubangan-kubangan gebagan (gedagan) dan cacahannya memiliki ciri yang khas. Teknik wos wutah keris budha-purwocaritro (Singasari?) dan tangguh Surakarta memiliki kecanggihan yang berbeda. Pada keris budha-purwocaritro tidak menampakkan gelombang gebagan (nginden) walau tekniknya juga dengan kubangan gebagan, ini menunjukkan bahwa kubangannya setelah selesai digebag, dilipat sekali lagi sebelum disatukan dengan baja (ati, slorok). Jika pecahan pamor mlumahnya diamati dengan cermat, keris dari kedua tangguh ini sebetulnya sulit dipalsukan atau ditiru.

Pecahan pamor wos wutah merupakan "aksara tali rasa" (dalam ilmu kejawen). Alurnya ritmik dan dinamis. Terbentuknya pecahan pamor itu 'sangat alamiah' itulah yang disebut pamor jwalono, yang sudah ahli bisa membaca dengan "rasa" karena aksara itu merupakan ilham Illahi.

Kwalitas teknik keris penemuan palsu dapat dibedakan, antara lain pada: detail penggarapan serta tehnik pelipatan besi yang tidak kreatif. Seperti telah diutarakan, bahwa profesionalisme dan spesialisasi yang "diagungkan" pada abad 8 - 9M, mengkondisikan terciptanya keris yang "agung" pula, seperti pada keris-keris budha-purwocaritro.

Selain itu, keris budha-purwocaritro yang asli jika diamati korosinya, ada beberapa ciri yang tidak dapat ditiru yaitu efek korosi berupa "untug cacing" serta sobekan berserat atau sering disebut "sesetan" besi.

Satu hal yang mengherankan pada keris budha-purwocaritro yang asli adalah antara bilah, gonjo dan metuknya sangat rapat seolah menyatu. Gonjo wulungnya terbuat dari bahan yang istimewa. Keris budha-purwocaritro yang ditemukan di Jawa Barat sering kali hanya tinggal gonjo wulungnya saja, bilahnya sudah habis. Sementara keris prosesan baru tidak bisa mencapai kerapatan gonjo, bilah dan metuk yang sempurna.

Jika dibeli dalam keadaan kotor bisa dibedakan yang terpendam di daerah basah memiliki patina keras berwarna hitam legam seperti aspal, sementara yang di daerah kering terbungkus lagi oleh korosi berwarna coklat bata. Patina keris yang asli, selain keras juga berbau wengur yang amat sangat jika direndam dalam air jeruk. Pendapat ini dikuatkan oleh Sumartono (kolektor) dan David Mangkujoyo (ahli jamas pusaka) yang mengatakan, bahwa patina pada keris budha-purwocaritro yang asli selain berbau wengur, jika dibakar patinanya hanya membara, sementara keris yang palsu jika dibakar patinanya keluar nyala apinya.

Jika ditemukan masih menyatu dengan hiasan emas, akan lebih mudah menentukan keasliannya, karena bahan emasnya berbeda dengan emas jaman sekarang. Apalagi biasanya pengerjaannya sangat rumit dan sulit. Jika keris budha-purwocaritro didapat masih berikut hiasan-hiasan emasnya, akan lebih mudah untuk membedakan keasliannya. Karena emas tua tidak dapat ditiru, terutama pada warna patina emasnya yang kemerahan (bhs.Jw; ngunir bosok) dan terkadang sebaliknya berwarna kuning muda (bhs.Jw; tai enom).

Lagi pula, tehnik kriya emas yang rumit sangat menguji kesabaran. Karena di jaman dahulu pengabdian dan kelayakan hidup para empu sudah terjamin. Inilah penyebab panday mas sekarang tidak dapat mencapai kwalitas tinggi seperti di jaman dahulu. Harga keris budha-purwocaritro yang masih utuh sangat mahal, karena usianya yang hampir 1000 tahun. Berbeda dengan kolektor domestik, pembeli dari luar negeri seperti dari Prancis, Jerman maupun Belanda lebih suka keris yang masih berpatina atau berkarbon tebal. Mereka memperlakukannya seperti barang-barang perunggu, tidak dibersihkan melainkan langsung dicoating (dilapisi pelindung terbuat dari cairan toloen dicampur plastik pvc). Patina dari keris juga dicoating dengan bahan tertentu untuk menjaga nilai autentiknya. Pasir dan tanah yang menempel disikat pelan-pelan dengan air, hingga batas patina yang keras dan legam, setelah kering disemprot cairan tersebut.

Sesuai penuturan Hibertus Sadirin: "Secara arkeologis harus memperhatikan nilai-nilai keautentikan yang terkandung didalamnya, termasuk dalam hal ini patina benda cagar budaya yang tidak boleh rusak karena konservasi".(Suatu Kajian Tehnis Arkeologis dari Aspek Tehnologi Pembuatan dan Perawatannya, Hr. Sadirin, 1997).

Keris budha-purwocaritro masih menyimpan misteri, sehingga belum ada pengamat keris Indonesia tertarik untuk mengadakan penelitian mendalam. Padahal meneliti keris budha-purwocaritro dari temuan satu dengan temuan yang lain sering mendapatkan kesimpulan yang berbeda atau bahkan berbantahan dengan dasar-dasar "tangguh" ataupun "pengetahuan keris" yang sudah mapan.

Keris budha-purwocaritro selain memiliki tehnik penggarapan yang prima, ternyata telah mencatatkan suatu nilai, bahwa patron keris tersebut telah mempengaruhi "estetika" keris-keris pada jaman berikutnya.