Sepasang Buaya Jelmaan Bidadari Menjaga Kawah Gunung Kelud

Desa Sugihwaras merupakan perkampungan penduduk yang paling dekat dengan lereng Gunung Kelud. Warga desa ini memiliki warisan kebudayaan tersendiri yakni  mempersembahkan sesaji di kaki anak gunung. Persembahan sesaji ini sebagai simbol rasa terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa.

“Sejak dahulu, setiap tahun, warga di sini selalu mempersembahkan sesaji di tepi kawah. Tapi, setelah dari kawah muncul anak gunung, persembahannya sesaji dipindah ke kaki anak gunung. Tujuan kita memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, supaya warga desa terhindar dari malapetaka, makmur, dan tetap hidup rukun,” ungkap Sinto, salah seorang sesepuh desa yang ditemui penulis. Sementara itu, menurut keterangan juru kunci Gunung Kelud,  Mbah Ronggo, “Syarat utama, larung sesaji ke kawah itu harus ada cok bakal dan jenang sengkala. Itu wajib!”

Apa yang terjadi jika syarat ini dilanggar? Seperti yang berlaku pada 2007 silam. Kala itu  larung sesaji kurang lengkap. Alhasil, ritual sesaji yang dilakukan itu nyaris saja membawa bencana. Terlebih lagi ritual dilakukan di bulan Ruwah menurut kalender Jawa. Padahal, menurut perhitungan Mbah Ronggo, bulan Ruwah kurang baik untuk larung sesaji. Lebih bagus lagi, kalau dilaksanakan di bulan Suro. Tapi, ketika itu Mbah Ronggo hanya diam saja. Karena ia memang tidak diajak musyawarah oleh pihak panitia. Maka supaya lebih sempurna lagi, Mbah Ronggo terus melaksanakan selamatan lagi di tepi kawah, tujuannya untuk melengkapi supaya lebih sempurna.

Untuk meredam amuk Gunung Kelud ketika itu, tak kurang dari 25 paranormal yang berada di sekitarnya menggelar ritual di sekitar danau kawah untuk meminta agar bencana letusan gunung api tidak terjadi. Sebagai salah satu gunung berapi yang masih aktif di Jawa, Gunung Kelud memang masih menyimpan misteri. Seperti Merapi yang bertengger di ujung utara Yogyakarta, Kelud di Jawa Timur juga sering kurda. Kalau sedang mengamuk, juga amat ganas.

Gunung Kelud berada sekitar 35 kilometer dari Kediri. Kalau ditempuh dari Blitar, jaraknya lebih kurang 24 kilometer. Di puncak Kelud, terdapat danau kawah, volumenya mencapai jutaan meter kubik. Punggung Kelud, merupakan daerah pertanian yang subur. Berupa perkebunan dan jadi lahan produksi tanaman pangan bagi penduduk di sekitarnya.

Meski sehari-hari tampak tenang dan damai, setiap saat wilayah itu mungkin sekali tiba-tiba bisa menjadi wilayah yang mengerikan. Yakni ketika Kelud mengamuk. Uniknya, Kelud biasa meletus pada malam hari.
Yang tak kalah unik, sebelum meletus, Kelud selalu memberi tanda dengan suara gemuruh lebih dulu. Kemudian melontarkan berbagai material yang panasnya bisa mencapai 300 hingga 500 derajat Celcius. Daya rusaknya juga amat dahsyat seperti mengamuknya ‘wedhus gembel’ Merapi. Meluluhlantakkan daerah sekitarnya dan bisa merenggut banyak korban jiwa.

Sejak tahun 1000 Kelud telah meletus sebanyak 23 kali. Interval letusannya rata-rata berlangsung setiap 15 tahun sekali. Paling pendek 3 tahun, berlangsung pada tahun 1848, kemudian disusul pada 1851. Tapi Kelud pernah bersikap manis selama sekitar 37 tahun. Selama itu, ‘sakit batuk’ pun belum pernah. Apalagi sampai ‘muntah berat’. Hal ini berlangsung pada 1864 hingga 1901.

Entah apa yang membuat Kelud selama 37 tahun tak pernah sakit-sakitan. Barangkali para ‘penunggunya’ merasa enjoy karena warga sekitarnya rutin mengirim ‘makanan kesehatan’ berupa berbagai jenis sesaji, seperti yang kerap dilakukan oleh warga desa Sugihwaras tersebut.

Menurut catatan, sudah sebanyak 3 kali Kelud sempat ngamuk berat. Yakni pada tahun  1919, 1951 dan 1966. Uniknya, kalau direka-reka, angka tahun meletusnya itu amat menarik, yakni selalu mengiringi peristiwa besar yang terjadi di Tanah Jawa (Baca juga: Indonesia-Pen). Misalkan saja, letusan 1951, seolah menandai Pemberontakan Madiun. Kemudian ledakan pada 1966, terjadi setahun setelah terjadinya G30S/ PKI. Pada tiga ledakan itu, material yang dimuntahkan meluncur ke bawah melalui Kali Badak, Kali Ngobo, Kali Putih, Kali Semut dan Kali Ngoto.

Nama Gunung Kelud berasal dari Jarwodhosok, yakni dari kata “ke” (kebak) dan “lud” (ludira). Hal ini berarti bila murka, bisa merenggut banyak kurban jiwa tak berdosa. Menurut kepercayaan penduduk sekitar, kawah gunung ini dijaga sepasang buaya putih, yang konon merupakan jelmaan bidadari.

Legenda menceritakan, zaman dahulu kala ada dua bidadari sedang mandi di telaga tersebut. Karena terlena, dua bidadari ini melakukan perbuatan seperti yang biasa terjadi pada manusia modern, yakni berbuat intim dengan sesama jenis. Jadi, kedua bidadari itu tergolong penganut lesbian.

Perbuatan tersebut rupanya diketahui oleh dewa. Karena kesal, sang dewa pun mengutuk kedua bidadari tersebut, “Kelakuan kalian mirip buaya.” Karena dewa memang penguasa jagad, kata-katanya yang ampuh itu membuat dua bidadari tersebut seketika berubah menjadi dua ekor buaya. Konon, hingga kini mereka menjadi penunggu danau Gunung Kelud.

Letusan Kelud pada 1586 menelan korban hingga 10 ribu orang meninggal. Pada letusan 19 Mei 1919 memakan korban 5.110 jiwa. Sedang letusan 26 April 1966 menelan korban jiwa 212 meninggal, 74 hilang dan 89 luka-luka.

Menurut sesepuh desa di sekitar gunung ini, para korban itu sedang dikersakke dua bidadari penunggu kawah. Bila laki-laki diperlakukan sebagai suami dan yang perempuan diangkat sebagai saudara. Warga menengarai, bila Kelud akan meletus biasanya ada dua sorot sinar terang masuk ke kawah. Atau banyak burung gagak berterbangan di pedesaan.

Ketika penulis berkunjung ke gunung ini beberapa waktu lalu, penulis bertemu dengan seorang pria tua yang tengah duduk bersila dengan komat-kamit membaca doa. Tempatnya bersila masih di tepi anak gunung, sepi, karena memang tidak termasuk tempat tujuan wisatawan.

Pria ini mengaku berasal dari Yogyakarta, dan tidak mau menyebutkan namanya. Katanya dia sering ke tepi anak gunung ketika masih berwujud kawah dengan tujuan ngalap berkah. Disamping itu, dia juga mengaku sudah melihat tanda-tanda akan terjadi bencana besar di Jawa Timur. Mungkinkah itu berkait dengan letusan

Gunung Kelud? Ditanyakan hal ini, pria berwajah bersih itu hanya tersenyum penuh makna. Bagi yang percaya, memang banyak cara untuk ngalap berkah di gunung ini. Setiap tahunan sekali, Bupati Blitar juga rutin ke sana. Hal ini termasuk tradisi yang dilakukan sejak dulu, sepertinya rasanya kurang enak kalau setiap tahun tidak ke Gunung Kelud.


 

SEO Stats powered by MyPagerank.Net

 Subscribe in a reader

Add to Google Reader or Homepage

Powered by FeedBurner

Waris Djati

↑ Grab this Headline Animator

My Ping in TotalPing.com Protected by Copyscape Online Copyright Protection Software DMCA.com Literature Blogs
Literature blog Submit Your Site To The Web's Top 50 Search Engines for Free! free web site traffic and promotion Submitdomainname.com Sonic Run: Internet Search Engine
eXTReMe Tracker
free search engine website submission top optimization