Dalam kehidupan manusia di negara maju dan berkehidupan modern, agama dan kebatinan merupakan hal yang bersifat pribadi dan perbedaan-perbedaan pandang di dalamnya tidak dipermasalahkan selama tidak menyentuh langsung privacy mereka. Mereka menekankan pada kehidupan yang rasional dan tidak mempermasalahkan kehidupan religi dan kepercayaan seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka tidak membawa-bawa urusan agama atau urusan pribadi lainnya, tetapi lebih menekankan kepentingan bersama dan kemampuan manusia sendiri untuk mengatur dan mengusahakan jalan hidupnya sendiri. Jati diri dan kepribadian mereka sudah mapan.
Tetapi di Indonesia, kepribadian masyarakatnya masih labil. Kepribadian masyarakatnya campur aduk. Sebagian masyarakatnya masih hidup dengan memelihara budaya lama. Agama dan kebatinan merupakan bagian hidupnya. Sebagian lagi menggantikan kehidupan budaya lama dengan kehidupan yang agamis dan seringkali "memaksakan" agamanya kepada orang lain. Sebagian lagi berusaha untuk hidup rasional, tidak terkekang dalam urusan fanatisme agama. Sebagian lagi tidak peduli dengan urusan agama ataupun budaya, hidup sesuai prinsip hidupnya sendiri.
Banyak pandangan yang mengatakan bahwa kebatinan adalah aliran kepercayaan di Indonesia yang tidak termasuk sebagai agama yang diakui seperti Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu. Ini adalah persepsi yang dangkal dan keliru, karena orang hanya memandang secara harfiah saja, kebatinan tidak sesempit itu maknanya, tetapi lebih dalam dan luas. Kebatinan memiliki banyak makna dan definisi, tergantung dari sudut mana kita memandang.
Jika kebatinan hanya dipandang secara harfiahnya saja, hanya dipandang dari sisi bentuk formalnya saja, maka manusia telah memandang kebatinan secara dangkal. Seharusnya manusia bisa berpikir dan bersikap lebih kritis, jangan segala sesuatu hanya dipandang secara dangkal, jangan hanya dari kulitnya saja. Manusia harus belajar memandang dari sisi hakekatnya, arti dan maknanya.
Kebatinan tidak hanya terkait dengan keilmuan kebatinan, atau ketuhanan dan aliran kepercayaan, tetapi bersifat universal, berkaitan dengan segala sesuatu yang dirasakan manusia pada batin yang paling dalam. Kebatinan melandasi kehidupan manusia sehari-hari. Di dalam kebatinan masing-masing manusia terkandung keyakinan dan kepercayaan pribadi, pandangan dan pendapat pribadi, prinsip dan sikap hidup pribadi, yang semuanya itu menjadi bagian dari kepribadian seseorang dan juga tercermin dan melandasi perbuatan dan perilakunya sehari-hari.
Di dalam hidup berkebatinan ada laku-laku dan ritual yang dilakukan manusia, seperti laku dan ritual dalam ibadah keagamaan, merayakan hari-hari besar agama, dsb, atau laku-laku dalam kepercayaan dan tradisi seperti dalam budaya dan kepercayaan kejawen, ataupun laku-laku pribadi sesuai kebatinan masing-masing pribadi. Tetapi kebatinan tidak selalu harus ditunjukkan dengan laku-laku tertentu yang kelihatan mata, karena kebatinan terutama berisi sikap hati dan pandangan-pandangan pribadi yang semuanya tidak selalu diwujudkan dengan laku dan ritual yang kelihatan mata. Termasuk cara hidup rasional orang di negara modern, itu adalah sikap kebatinan mereka dalam hidup mereka sehari-hari.
Kebatinan adalah sesuatu yang dirasakan manusia pada batin yang paling dalam, dan terjadi pada siapa saja, termasuk pada orang-orang yang sangat tekun beribadah dan murni dalam agamanya, karena setiap agama pun mengajarkan juga tentang apa yang dirasakan hati dan batin, mengajarkan untuk selalu membersihkan hati, bagaimana harus berpikir dan bersikap, dsb. Dalam masing-masing firman dan sabda terkandung makna kebatinan yang harus dihayati dan diamalkan oleh para penganutnya. Bahkan panggilan yang dirasakan seseorang untuk beribadah, itu juga batin. Dan dalam batin itu tersimpan sebuah kekuatan yang besar jika dilatih dan diolah. Kekuatan batin menjadi kekuatan hati dalam menjalani hidup dan memperkuat keimanan seseorang.
Sebagian besar pemahaman kebatinan dan aliran kebatinan yang ada (di seluruh dunia) adalah bersifat kerohanian dan keagamaan, berisi upaya penghayatan kepercayaan manusia terhadap Tuhan (Roh Agung Alam Semesta) dengan cara pemahaman mereka masing-masing. Tujuan tertinggi penghayatan kebatinan mereka adalah untuk mencapai kesatuan dan keselarasan dengan pribadi tertinggi (Tuhan). Oleh sebab itu penganut golongan kebatinan berusaha mencapai tujuan utamanya, yaitu menyatu dengan Tuhan, menyelaraskan jiwa manusia dengan Tuhan, melalui olah batin, laku rohani dan keprihatinan, menjauhi kenikmatan hidup keduniawian, dan menyelaraskan hidup mereka dengan sifat-sifat Tuhan.
Jika kebatinan dipandang sesuai hakekatnya, sesuai arti dan maknanya seperti disebut di atas, maka yang selama ini disebut sebagai aliran-aliran agama, sekte-sekte, aliran kepercayaan, dsb, adalah bentuk-bentuk formal dari paham kebatinan ketuhanan, yang masing-masing memiliki pemahaman kebatinan sendiri-sendiri dan berbeda, tidak persis sama, antara satu dengan lainnya, walaupun masih dalam wadah agama yang sama. Karena adanya paham kebatinan yang berbeda, pandangan-pandangan dan pendapat yang berbeda, maka di dalam suatu agama terbentuklah kelompok-kelompok di dalamnya yang mewujud dalam bentuk aliran-aliran agama, sekte-sekte, lembaga-lembaga agama, ormas-ormas, dsb.
Masing-masing kelompok itu bisa juga disebut sebagai aliran kebatinan, atau aliran kepercayaan, yang berlatar belakang agama. Masing-masing paham kebatinan keagamaan di dalam kelompok-kelompok itu berbeda, tidak persis sama, dengan kelompok-kelompok yang lain, walaupun masih dalam wadah agama yang sama, apalagi jika kelompok-kelompoknya berbeda agama, atau memperbandingkannya dengan kelompok aliran kepercayaan yang bukan agama, ya sudah pasti berbeda.
Perilaku kebatinan (misalnya kejawen) yang dilakukan oleh seseorang yang beragama, seringkali memang dipertentangkan orang, dianggap bertentangan dengan agama, atau juga dianggap sebagai aliran / ajaran yang bisa merusak keimanan seseorang. Padahal, penghayatan kebatinan pada dasarnya adalah pemahaman dan penghayatan kepercayaan manusia terhadap Tuhan. Penghayatan keTuhanan itu bukanlah agama, tetapi seseorang beragama yang menjalaninya, justru bisa mendapatkan pemahaman yang dalam tentang agamanya dan Tuhan setelah mempelajari kebatinan tersebut, dan seseorang bisa mendapatkan pencerahan tentang agamanya, walaupun pencerahan itu didapatkannya dari luar agamanya.
Seringkali orang memandang istilah kebatinan secara dangkal dan mempertentangkannya dengan agama. Padahal pengertian kebatinan ini bersifat luas. Kebatinan terutama berisi pengimanan / penghayatan seseorang terhadap apa yang dirasakannya di dalam batinnya, apapun agama atau kepercayaannya, dan di dalam masing-masing agama dan kepercayaan juga terkandung suatu kebatinan yang harus dihayati dan diamalkan oleh para penganutnya. Dalam masing-masing firman dan sabda terkandung makna kebatinan yang harus dihayati dan diamalkan oleh para penganutnya. Tetapi sikap kebatinan keagamaan ini sudah banyak yang meninggalkannya, digantikan dengan ajaran tata ibadah saja atau dogma dan doktrin ke-Aku-an agama. Orang lebih memilih menjalani kehidupan formal agamis dan hanya menjalankan sisi peribadatan yang bersifat formal dan wajib saja. Sisi kebatinan dari agamanya seringkali tidak ditekuni.
Walaupun pengertian kebatinan bersifat luas, tetapi dunia kebatinan pada masa sekarang memang sudah termasuk "haram" untuk diperbincangkan, karena orang berpandangan sempit dan dangkal tentang kebatinan. Kebatinan dalam berkeagamaan saja jarang yang menekuni, karena orang lebih suka menjalani yang bersifat formal saja. Sekalipun banyak orang hafal dan fasih ayat-ayat suci, tetapi tidak banyak yang mengerti sisi kebatinan dan spiritualnya, sehingga pengkultusan dan dogma dalam kehidupan beragama sangat mendominasi kehidupan beragama, akibatnya banyak sekali terjadi perbedaan pandang dan pertentangan di kalangan mereka sendiri. Banyaknya aliran dalam suatu agama adalah bentuk dari ketidak-seragaman kebatinan dan spiritual dari para penganut agama itu sendiri.
Perilaku kebatinan (termasuk kebatinan agama), apapun agama dan kepercayaannya, baik sekali dilakukan, supaya seseorang mengerti betul ajaran yang dianutnya, supaya tidak dangkal pemahamannya, apalagi hanya ikut-ikutan saja, tetapi materinya harus diperhatikan dan di"filter", memiliki kebijaksanaan untuk memilih yang baik dan membuang yang tidak baik, sehingga kemudian dapat menjadi pribadi yang mengerti agama dan kepercayaannya dengan benar dan mendalam, tidak mudah dibodohi, dihasut, atau diperdaya (ditunggangi / diperalat).
Tetapi pada jaman sekarang sudah banyak terjadi "pendangkalan". Ajaran kebatinan dalam agama sudah digantikan dengan ajaran tata ibadah saja. Keimanan juga dipandang secara dangkal, hanya diukur dari kerajinan ibadah saja. Padahal manusia dinilai bukan hanya dari amal atau ibadahnya saja, tetapi dari akhlaknya, sedangkan perbuatan amal dan ibadah hanyalah sebagian dari akhlak.
Pemahaman kemuliaan dalam agama sudah banyak digantikan dengan dogma dan doktrin ke-Aku-an agama. Banyak kotbah yang berisi ajaran dan aturan-aturan keagamaan, formalitas keagamaan, kewajiban beribadah, dogma dan doktrin amal dan dosa, surga dan neraka, tetapi tidak mengedepankan ajaran budi pekerti, bahkan banyak yang menghasut, memfitnah, menghalalkan segala cara asalkan tujuan "keagamaan" mereka terlaksana. Itulah sebabnya banyak orang yang hidupnya sangat agamis dan fanatis, ternyata perilakunya tidak berbudi pekerti dan jauh dari perilaku mulia, malah banyak yang menjadi musuh kemanusiaan. Akibatnya, banyak orang beragama yang sehari-harinya perilakunya tidak menunjukkan budi pekerti yang baik, karena menganggap urusan agama dan keimanan hanya terkait dengan perbuatan amal, ibadah, pahala dan dosa, dan menganggap budi pekerti hanyalah masalah tradisi sopan santun dan tata krama dalam pergaulan, menganggap budi pekerti hanyalah masalah duniawi yang tidak berhubungan dengan agama.
Jika anda kerap mencuri ayam tetangga, walaupun rajin beribadah, apakah anda merasa diri anda berakhlak baik ?
Jika anda kerap mencuri uang kantor, walaupun anda rajin beribadah, apakah anda merasa diri anda berakhlak baik ?
Jika anda kerap memarahi dan mengucapkan sumpah serapah kepada anak / istri / suami, walaupun anda rajin beribadah, apakah anda merasa diri anda berakhlak baik ? Seharusnya kita bisa membedakan perbuatan memarahi yang bertujuan menegur, menyadarkan dan mendidik, dengan perbuatan mengumbar kemarahan dan kebencian.
Jika anda kerap liar di jalan raya, melanggar aturan lalu-lintas, menerobos lampu merah, menyerobot / potong-memotong jalan orang, anda bisa lewat tetapi menambah kemacetan jalan raya, walaupun anda rajin beribadah, apakah anda merasa diri anda berakhlak baik ?
Jika anda kerap menekan upah pekerja anda, sehingga anda bisa mendapatkan hasil usaha yang lebih banyak, walaupun anda rajin beribadah, apakah anda merasa diri anda berakhlak baik ?
Jika anda kerap tidak membayar pajak, menggelapkan pajak, atau menipu perhitungan pajak, sehingga anda dapat menghemat pengeluaran, walaupun anda rajin beribadah, apakah anda merasa diri anda berakhlak baik ?
Manusia tidak menyadari bahwa budi pekerti adalah dasar dari akhlak yang mulia, dasar dari perilaku manusia yang telah mengenal agama dan Tuhan.
Manusia harus menyadari bahwa budi pekerti yang baik adalah dasar dari akhlak yang mulia.
Budi pekerti yang baik, perbuatan-perbuatan yang mulia, ditambah pengenalan akan agama dan Tuhan akan mengantarkan manusia menjadi manusia yang berakhlak mulia.
Bagaimana seseorang yang tidak berbudi pekerti, yang perbuatan-perbuatannya tidak mulia bisa dianggap sebagai orang yang berakhlak mulia ?
Apakah jika seseorang menunjukkan perilaku yang agamis, rajin beribadah, maka dia juga pasti berakhlak mulia ?
Semua perintah Tuhan, dalam agama apapun, selalu berkenaan dengan aturan budi pekerti yang harus dijalankan manusia dalam hidupnya sebagai manusia yang telah mengenal iman dan Tuhan. Larangan berbuat dosa, larangan menyalahi orang lain, larangan memfitnah, larangan berdusta, larang berzinah dan berbuat asusila, larangan mencuri, larangan membunuh, larangan menganiaya, larangan bersikap tamak, larangan menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang lain, perintah beribadah, perintah menolong orang lain, perintah menjaga kesucian hati dan kesucian perbuatan, dsb, adalah perintah-perintah budi pekerti sebagai dasar dari akhlak yang mulia, yang mengantarkan manusia menjadi mulia di mata Tuhan. Tidak ada perintah Tuhan yang bertentangan dengan ajaran budi pekerti.
Perilaku berbudi pekerti, yang diterapkan dengan mematuhi aturan dan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, adalah dasar dari kemampuan sebuah bangsa dan negara untuk meningkatkan kualitas peradabannya. Peradaban yang berisi manusia-manusia liar tidak berbudi pekerti, yang hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri, tidak akan mampu meningkatkan kualitas peradabannya menjadi lebih maju dan modern, dan akan banyak bergantung pada peranan bangsa lain yang membantu meningkatkan kualitas peradabannya.
Sejak munculnya agama, manusia terkotak-kotak menjadi kelompok-kelompok yang membenarkan dirinya sendiri, kelompoknya sendiri dan menyalahkan / merendahkan kelompok yang lain, termasuk antar kelompok manusia walaupun dalam agama yang sama. Keberadaan agama telah gagal total untuk bisa menggabungkan semua umat manusia dalam suasana rukun dan damai. Jangankan damai antar penganut agama yang berbeda, antar kelompok atau ‘aliran’ dalam satu agama yang sama pun tidak.
Tidak ada jaminan bahwa rakyat akan hidup dengan aman dan damai ketika negara sudah menjadi sebuah negara agama dan rakyatnya sudah menganut satu agama yang sama. Dari dulu sampai sekarang sejarah dunia sudah membuktikan ! Selalu saja ada perebutan kekuasaan, penindasan dan pembunuhan. Agama, walaupun sudah satu agama, tidak bisa meredam perilaku orang-orang yang berambisi pada kekuasaan dan kekayaan dan watak asusila. Agama hanya dijadikan tunggangan untuk menuju kekuasaan, dan dijadikan alat menciptakan dogma dan doktrin untuk menghakimi orang lain dan lawan-lawan politik. Bahkan lebih buruk lagi, karena agama dan dengan dalih dan nama agama, hati manusia menjadi penuh kebencian, manusia menganiaya dan membunuhi manusia lainnya !
Dan terhadap orang-orang yang berbeda agama, atau masih satu agama tetapi berbeda aliran, mengapa pula harus menghasut, menganiaya dan membunuhi orang lain yang berbeda pandangan dan keyakinan ? Semua mahluk adalah ciptaan Tuhan dan semuanya ditempatkan di bumi untuk hidup bersama. Apakah kita akan membunuhi semua mahluk ciptaanNya yang tidak sejalan dengan kita ? Siapa yang memberi kita kuasa untuk membunuh ? Tuhan ? ataukah iblis di dalam diri kita sendiri ?
Seorang anak yang ingin dikasihi oleh orang tuanya, haruslah dia bersikap berbakti, patuh dan dekat kepada orang tuanya, bukannya menganiaya dan membunuhi anak-anak yang lain supaya dia kemudian menjadi anak orang tuanya satu-satunya. Apakah anda akan memuliakan seorang anak anda yang menindas dan membunuhi anak-anak anda yang lain karena berbeda pandangan dan karena dia ingin menjadi anak anda satu-satunya ? Apakah kemudian anda akan berkata : "Inilah anakku satu-satunya yang berbakti kepadaku" ? Apakah anda setuju dengan perbuatannya yang membunuhi anak-anak anda yang lain ? Siapakah yang memberinya kuasa untuk membunuh ? Anda kah ? ataukah iblis di dalam dirinya sendiri ?
Janganlah kita sombong dengan menganggap segala sesuatunya sudah benar karena kita sudah beragama, atau karena kita beribadah. Iblis hadir dimana-mana. Jangan kita termakan, atau malah menumbuh-suburkan sifat-sifat iblis dalam diri kita : kebencian dan tipu daya. Jangan hidup di bawah kungkungan sifat-sifat iblis. Bersihkanlah hidup kita dari sifat-sifat iblis, bersih lahir, hati dan batin. Jangan sampai terulang cerita jatuhnya Adam dan Hawa ke dalam dosa. Jangan juga terulang cerita Kain membunuh saudaranya Habil. Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Tuhan, tetapi iblis tetap saja punya kesempatan untuk menyesatkan manusia. Jangan sampai karena kesombongan agama, kemudian kita malah menjadi bala tentara iblis di dunia. Jangan biarkan kuasa kegelapan menguasai kita.
Jangan mengkiblatkan agama dan iman kepada seseorang, karena kiblat iman dan agama adalah kepada Tuhan !
Agama hanya bermanfaat bagi orang-orang yang mau menerima, mengimani dan menjalankannya dengan benar. Adanya keberagaman kehidupan mahluk ciptaan Tuhan yang bermacam-macam itu justru menjadi ajang pembuktian apakah dalam kehidupan ini seseorang termasuk sebagai mahluk Tuhan yang mulia, berdasarkan keimanan, kepribadian, dan perilakunya, ataukah, walaupun beragama dan beribadah, tetapi termasuk sebagai mahluk liar dan berakhlak rendah yang tak berharga di mata Tuhan.
Mudah-mudahan ini bisa menjadi kebijaksanaan bagi kita, menjadi kebijaksanaan yang bersifat kesepuhan.
Tuhan tidak bisa diklaim sebagai milik seseorang atau segolongan orang, atau diklaim sebagai milik agama tertentu, apalagi sampai mengkafirkan atau menganiaya dan membunuhi orang lain dengan dalih agama atau mengatasnamakan Tuhan.
Tuhan yang berkuasa atau semua mahluk ciptaanNya, bukan kita yang berkuasa memiliki atau menguasai Tuhan.
Tuhan tidak berada di bawah agama, justru agama diberikan supaya manusia dapat mengenal Tuhan.
Mengapa agama gagal total ?
Sebenarnya kesalahannya tidak terletak pada agamanya, tetapi manusianya. Manusia yang berpikiran dangkal, yang menghayati dan mengamalkan agama hanya secara sempit. Manusia yang menjalankan agamanya hanya berdasarkan ajaran, dogma dan doktrin agama dan fanatisme sempit, ke-Aku-an beragama dan cinta diri, dan manusia-manusia yang memper-Tuhan-kan dirinya sendiri, yang menganggap pemikiran dan kata-katanya adalah kebenaran mutlak yang harus diikuti oleh orang lain dan akan mengatai orang lain sebagai murtad atau kafir jika tidak sejalan dengan kata-katanya, yang menghalalkan segala cara untuk berkuasa atas agama dan menunggangi agama untuk hasratnya berkuasa dan memaksakan kuasanya atas orang lain.
Hubungan manusia dengan Tuhan tidak bisa dicapai dengan doktrinasi agama, atau menghafalkan dan mem-beo segala macam doa dan ayat, atau juga membunuhi manusia lain yang tidak sejalan. Dan segala macam laku ibadah yang kelihatan mata tidaklah dapat dijadikan ukuran keimanan seseorang. Keimanan seseorang harus terlihat dari akhlaknya yang baik dan dari perbuatannya yang juga baik, yang mencerminkan manusia yang berpribadi dan berakhlak mulia, yang mencerminkan hidup manusia yang telah mengenal Allah. Dengan demikian agama dan hubungan manusia dengan Tuhannya akan menjadi bersifat pribadi. Orang yang telah dalam pemahaman kebatinannya tentang agamanya akan menemukan bahwa agama adalah bersifat pribadi antara dirinya dengan Tuhan, sehingga agama tidak dapat dipaksakan kepada orang lain.
Kegagalan agama terletak pada kegagalannya, melalui pemuka-pemuka agamanya, dalam membina kebatinan para pemeluknya. Kegagalan yang justru menjauhkan manusia dari sikap arif bijaksana dan berbudi luhur. Seringkali kegagalan itu juga menyebabkan para penganutnya menjadi munafik, selain karena adanya kekurangan yang tidak didapatkannya dari agamanya, mereka menutup-nutupi keberatannya atas aturan agama atau aturan-aturan dari pemuka agama yang membelenggunya, dan berusaha mempercantik diri supaya hal itu tidak tampak di hadapan orang lain, karena takut disebut kafir atau tidak beriman.
Bahkan karena adanya ketidak-seragaman kebatinan pada para penganut agama itu pula yang menyebabkan munculnya banyak aliran / sekte di dalam suatu agama, dan masing-masing memiliki ke-Aku-an sendiri-sendiri, sehingga manusia terkotak-kotak menjadi kelompok-kelompok yang memuliakan kelompoknya sendiri dan menyalahkan / merendahkan, bahkan menghakimi kelompok yang lain, walaupun masih dalam lingkup agama yang sama.
Agama dan kebatinan sebenarnya memiliki keterkaitan yang kuat. Tetapi orang sering mencampur-adukan 2 hal tersebut yang seharusnya berbeda. Tidak hanya di dalam kelompok kebatinan dan spiritual, di dalam kehidupan beragama pun ada saja orang yang melakukan pencarian spiritual mengenai kebenaran sejati, kebenaran agama, kebenaran Tuhan, ataupun tentang aspek kebijaksanaan yang lain. Dalam prakteknya, agama adalah jalan menuju spiritual. Ada juga yang mendapatkan pencerahan dan memiliki pemahaman yang dalam atas agama setelah melakukan pencarian spiritual. Pencapaian spiritual itulah yang menentukan kedalaman pengetahuan dan kebijaksanaan keagamaan seseorang, tetapi jalan yang ditempuh untuk spiritualitas itulah yang seringkali dipertentangkan orang.
Apakah spiritual berada di luar lingkup agama ?
Apakah kita harus mendalami agama saja untuk memahami kebenaran Tuhan ?
Apakah agama adalah satu-satunya jalan untuk memahami kebenaran Tuhan ?
Bagaimana kita tahu kebenaran Tuhan kalau tidak memiliki kebijaksanaan spiritual ?
Bagaimana kita tahu kebenaran agama kalau tidak memiliki kebijaksanaan spiritual ?
Mengerti tentang kegaiban yang dialami manusia saja tidak mampu, bagaimana dapat mengerti dan mengenal Tuhan, yang sejatinya adalah sumber segala kegaiban. Itulah keterbatasan pikiran dan akal budi manusia. Karena itulah Allah membekali manusia dengan roh, supaya dengan rohnya manusia dapat mengerti kegaiban hidup dan mengenal Allah dan jalan yang benar menuju Allah, supaya manusia tidak hanya berkeras diri membela ajaran-ajaran dan dogma-doktrin yang membelenggu akal sehat, yang dia sendiri tidak mengetahui kebenarannya (bisanya hanya percaya saja pada ajaran agamanya), dan supaya manusia memiliki hikmat kebijaksanaan dalam dirinya tentang Allah dan kebenaranNya.
Seharusnya segala macam agama dan ibadah membawa manusia kepada akhlak yang mulia.
Itulah tujuan diberikannya agama kepada manusia, yaitu supaya manusia mengenal Tuhan-nya, tidak lagi hidup seperti manusia yang tidak mengenal Tuhan, dan untuk menjadi sarana dalam membina hubungan pribadi manusia dengan Tuhan-nya.
Agama itu pada dasarnya mengajar manusia untuk mengenal Tuhan (Gusti Allah).
Agama adalah jalan.
Tujuannya adalah Tuhan.
Secara roh dan batinnya, manusia mengenal suatu Roh Agung yang disebut Tuhan. Tetapi manusia tidak dapat mengenal Tuhan secara langsung dan tidak dapat mencapai-Nya secara langsung, sehingga manusia tidak dapat mengenal Allah dengan benar. Manusia hanya bisa percaya saja, sesuai panggilan batinnya, dan sesuai ajaran dalam kepercayaan / agama. Sesuai panggilan batinnya manusia mencari Tuhan, tetapi karena ketidak-tahuan tentang Allah yang benar, maka banyak manusia yang jatuh ke dalam jalan penyembahan yang salah.
Semua suku dan semua kultur memiliki cara untuk mendekati Tuhannya. Mengapa harus dipertentangkan ?
Tetapi karena manusia tidak dapat mengenal Tuhan secara langsung, karena ketidak-tahuan manusia tentang Allah yang benar, maka jalan yang ditempuhnya juga sendiri-sendiri, tidak sama.
Orang yang memahami agama dengan baik pasti toleran, karena sama-sama tidak tahu Allah yang benar (bisanya hanya percaya saja pada ajaran agamanya), tetapi sama-sama punya tujuan yang sama : Tuhan.
Tetapi seringkali manusia salah dalam memahami agama, seolah-olah agama adalah tujuan, sehingga banyak orang yang "memper-Tuhan-kan" agama. Seolah-olah jika sudah menganut suatu agama, maka tujuannya sudah tercapai dan kemudian memaksakan agamanya itu kepada orang lain dan meng-kafir-kan agama lain yang tidak sejalan. Orang buta menuntun orang buta.
Banyak orang yang membuat agama menjadi tujuan, bukan menjadikan agama sebagai jalan mencapai Tuhan. Kesucian hati dan kepribadian yang mulia, yang menuntun dan mengarahkan manusia menjadi mahluk berakhlak mulia tidak diutamakan. Manusia lebih mengutamakan kehormatan diri, ke-Aku-an dan cinta diri. Akibatnya banyak orang yang memaksakan agamanya kepada orang lain, dan menghakimi agama yang lain sebagai sesat, menganiaya dan membunuh dengan nama agama dan Tuhan, tidak memuliakan agama dan Tuhan, malah perbuatannya itu menjadikan nama agama dan Tuhan menjadi hina dan nista. Bahkan ada juga yang tidak mengutamakan kemuliaan, yang menghasut dan memfitnah agama dan kepercayaan lain untuk menjadikan agamanya banyak pengikutnya.
Agamis vs Religius
Agamis dipahami sebagai sikap perilaku manusia yang menonjol sekali (terlihat) perilakunya sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya dan dalam kehidupannya sehari-hari tergambar juga kerajinannya dalam beribadah formal.
Pada kalangan agamis, mereka menjaga benar semua perilaku, perbuatan, ucapan dan penampilan, supaya sesuai dan tidak menyimpang dari ajaran agamanya dan banyak juga yang ucapan dan penampilannya mengikuti tradisi budaya dalam agamanya, sehingga walaupun hanya sekilas saja, orang lain akan dapat melihat / mengetahui keagamaannya.
Sebagian besar kalangan agamis secara psikologis menganggap bahwa agama adalah perwujudan dari Tuhan dan perintah-perintahNya, sehingga mereka akan melakukan apa saja untuk "memuliakan" agamanya.
Tetapi sayangnya ada sebagian dari kalangan agamis ini yang hanya mengedepankan sisi formal peribadatan saja dan menganggap keimanan hanya terkait dengan kerajinan beribadah formal dan pemenuhan kewajiban agama yang bersifat formal. Sebagian dari mereka tidak menjaga "kesucian" perbuatan-perbuatan mereka karena menganggap bahwa semua perbuatan jeleknya akan dapat "ditebus" , dapat "dicuci", dengan "pahala" dari kerajinan beribadah dan pemenuhan kewajiban formal.
Religius dipahami sebagai sikap perilaku manusia yang tidak menonjolkan perilaku agamis dan peribadatan formal, tetapi dalam kehidupannya sehari-hari mereka memegang teguh kepercayaannya dan menjaga kesucian perbuatan sesuai dengan kepercayaan yang mereka anut.
Kalangan religius memandang bahwa agama, ibadah, kepercayaan dan juga akhlak adalah masalah hati, batin, yang semuanya tidak harus tercermin dalam peribadatan formal dan perbuatan-perbuatan yang kelihatan mata. Mereka menganggap bahwa manusia tidak dinilai hanya dari amal atau ibadahnya saja, tetapi juga dari akhlaknya. Karena itu ibadah mereka tidak harus semua tercermin dalam peribadatan dan kepercayaan formal. Ibadah mereka yang sesungguhnya ada di dalam hati.
Kalangan religius tidak mengedepankan kehidupan agamis dan peribadatan formal dan perbuatan-perbuatan agamis lain yang kelihatan mata, tetapi lebih mengutamakan untuk memegang teguh kepercayaannya dan menjaga kelurusan perbuatan-perbuatan mereka sesuai kepercayaan yang mereka anut. Walaupun juga menjalankan peribadatan formal, tetapi mereka memiliki ‘kebijaksanaan’ sendiri mengenai keTuhanan, yaitu kehidupan kepercayaan yang didasari pada kepercayaan ketuhanan dan nilai-nilai budi pekerti yang diajarkan dalam agamanya, yang semuanya menyatu di dalam hati menjadi kepercayaan yang bersifat pribadi, yang mengisi hidup mereka dan dijalankan sepenuh hati, walaupun sikap kepercayaannya itu tidak kelihatan di mata orang lain.
Itulah cerminan dari sikap kebatinan dan perilaku manusia yang terkait dengan kehidupan berkepercayaan, beragama dan berketuhanan.
Sebagian orang lebih cenderung mengedepankan kehidupan yang agamis.
Sebagian lagi lebih cenderung mengedepankan kehidupan yang tidak agamis, tetapi mereka religius.
Sebagian lainnya membina kehidupan yang agamis dan religius.
Sebagian lainnya tidak mementingkan urusan agama dan religi, lebih mengedepankan kepentingan duniawinya.
Sebagian lainnya tidak mementingkan urusan agama dan religi, hidup dengan prinsip hidupnya sendiri.
Sebagian lainnya tidak mau mengedepankan sikap percaya kepada Tuhan, juga tidak mau berketuhanan, lebih mengedepankan kehidupan yang rasional dan mengedepankan kemampuan manusia sendiri dalam hidupnya.
Sebagian lainnya berperilaku munafik, sok suci, sok agamis, sok religius, karena sebenarnya mereka tidak suci, tidak agamis dan juga tidak religius, hanya supaya kelihatan baik saja di mata orang lain.
Tetapi di Indonesia, kepribadian masyarakatnya masih labil. Kepribadian masyarakatnya campur aduk. Sebagian masyarakatnya masih hidup dengan memelihara budaya lama. Agama dan kebatinan merupakan bagian hidupnya. Sebagian lagi menggantikan kehidupan budaya lama dengan kehidupan yang agamis dan seringkali "memaksakan" agamanya kepada orang lain. Sebagian lagi berusaha untuk hidup rasional, tidak terkekang dalam urusan fanatisme agama. Sebagian lagi tidak peduli dengan urusan agama ataupun budaya, hidup sesuai prinsip hidupnya sendiri.
Banyak pandangan yang mengatakan bahwa kebatinan adalah aliran kepercayaan di Indonesia yang tidak termasuk sebagai agama yang diakui seperti Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu. Ini adalah persepsi yang dangkal dan keliru, karena orang hanya memandang secara harfiah saja, kebatinan tidak sesempit itu maknanya, tetapi lebih dalam dan luas. Kebatinan memiliki banyak makna dan definisi, tergantung dari sudut mana kita memandang.
Jika kebatinan hanya dipandang secara harfiahnya saja, hanya dipandang dari sisi bentuk formalnya saja, maka manusia telah memandang kebatinan secara dangkal. Seharusnya manusia bisa berpikir dan bersikap lebih kritis, jangan segala sesuatu hanya dipandang secara dangkal, jangan hanya dari kulitnya saja. Manusia harus belajar memandang dari sisi hakekatnya, arti dan maknanya.
Kebatinan tidak hanya terkait dengan keilmuan kebatinan, atau ketuhanan dan aliran kepercayaan, tetapi bersifat universal, berkaitan dengan segala sesuatu yang dirasakan manusia pada batin yang paling dalam. Kebatinan melandasi kehidupan manusia sehari-hari. Di dalam kebatinan masing-masing manusia terkandung keyakinan dan kepercayaan pribadi, pandangan dan pendapat pribadi, prinsip dan sikap hidup pribadi, yang semuanya itu menjadi bagian dari kepribadian seseorang dan juga tercermin dan melandasi perbuatan dan perilakunya sehari-hari.
Di dalam hidup berkebatinan ada laku-laku dan ritual yang dilakukan manusia, seperti laku dan ritual dalam ibadah keagamaan, merayakan hari-hari besar agama, dsb, atau laku-laku dalam kepercayaan dan tradisi seperti dalam budaya dan kepercayaan kejawen, ataupun laku-laku pribadi sesuai kebatinan masing-masing pribadi. Tetapi kebatinan tidak selalu harus ditunjukkan dengan laku-laku tertentu yang kelihatan mata, karena kebatinan terutama berisi sikap hati dan pandangan-pandangan pribadi yang semuanya tidak selalu diwujudkan dengan laku dan ritual yang kelihatan mata. Termasuk cara hidup rasional orang di negara modern, itu adalah sikap kebatinan mereka dalam hidup mereka sehari-hari.
Kebatinan adalah sesuatu yang dirasakan manusia pada batin yang paling dalam, dan terjadi pada siapa saja, termasuk pada orang-orang yang sangat tekun beribadah dan murni dalam agamanya, karena setiap agama pun mengajarkan juga tentang apa yang dirasakan hati dan batin, mengajarkan untuk selalu membersihkan hati, bagaimana harus berpikir dan bersikap, dsb. Dalam masing-masing firman dan sabda terkandung makna kebatinan yang harus dihayati dan diamalkan oleh para penganutnya. Bahkan panggilan yang dirasakan seseorang untuk beribadah, itu juga batin. Dan dalam batin itu tersimpan sebuah kekuatan yang besar jika dilatih dan diolah. Kekuatan batin menjadi kekuatan hati dalam menjalani hidup dan memperkuat keimanan seseorang.
Sebagian besar pemahaman kebatinan dan aliran kebatinan yang ada (di seluruh dunia) adalah bersifat kerohanian dan keagamaan, berisi upaya penghayatan kepercayaan manusia terhadap Tuhan (Roh Agung Alam Semesta) dengan cara pemahaman mereka masing-masing. Tujuan tertinggi penghayatan kebatinan mereka adalah untuk mencapai kesatuan dan keselarasan dengan pribadi tertinggi (Tuhan). Oleh sebab itu penganut golongan kebatinan berusaha mencapai tujuan utamanya, yaitu menyatu dengan Tuhan, menyelaraskan jiwa manusia dengan Tuhan, melalui olah batin, laku rohani dan keprihatinan, menjauhi kenikmatan hidup keduniawian, dan menyelaraskan hidup mereka dengan sifat-sifat Tuhan.
Jika kebatinan dipandang sesuai hakekatnya, sesuai arti dan maknanya seperti disebut di atas, maka yang selama ini disebut sebagai aliran-aliran agama, sekte-sekte, aliran kepercayaan, dsb, adalah bentuk-bentuk formal dari paham kebatinan ketuhanan, yang masing-masing memiliki pemahaman kebatinan sendiri-sendiri dan berbeda, tidak persis sama, antara satu dengan lainnya, walaupun masih dalam wadah agama yang sama. Karena adanya paham kebatinan yang berbeda, pandangan-pandangan dan pendapat yang berbeda, maka di dalam suatu agama terbentuklah kelompok-kelompok di dalamnya yang mewujud dalam bentuk aliran-aliran agama, sekte-sekte, lembaga-lembaga agama, ormas-ormas, dsb.
Masing-masing kelompok itu bisa juga disebut sebagai aliran kebatinan, atau aliran kepercayaan, yang berlatar belakang agama. Masing-masing paham kebatinan keagamaan di dalam kelompok-kelompok itu berbeda, tidak persis sama, dengan kelompok-kelompok yang lain, walaupun masih dalam wadah agama yang sama, apalagi jika kelompok-kelompoknya berbeda agama, atau memperbandingkannya dengan kelompok aliran kepercayaan yang bukan agama, ya sudah pasti berbeda.
Perilaku kebatinan (misalnya kejawen) yang dilakukan oleh seseorang yang beragama, seringkali memang dipertentangkan orang, dianggap bertentangan dengan agama, atau juga dianggap sebagai aliran / ajaran yang bisa merusak keimanan seseorang. Padahal, penghayatan kebatinan pada dasarnya adalah pemahaman dan penghayatan kepercayaan manusia terhadap Tuhan. Penghayatan keTuhanan itu bukanlah agama, tetapi seseorang beragama yang menjalaninya, justru bisa mendapatkan pemahaman yang dalam tentang agamanya dan Tuhan setelah mempelajari kebatinan tersebut, dan seseorang bisa mendapatkan pencerahan tentang agamanya, walaupun pencerahan itu didapatkannya dari luar agamanya.
Seringkali orang memandang istilah kebatinan secara dangkal dan mempertentangkannya dengan agama. Padahal pengertian kebatinan ini bersifat luas. Kebatinan terutama berisi pengimanan / penghayatan seseorang terhadap apa yang dirasakannya di dalam batinnya, apapun agama atau kepercayaannya, dan di dalam masing-masing agama dan kepercayaan juga terkandung suatu kebatinan yang harus dihayati dan diamalkan oleh para penganutnya. Dalam masing-masing firman dan sabda terkandung makna kebatinan yang harus dihayati dan diamalkan oleh para penganutnya. Tetapi sikap kebatinan keagamaan ini sudah banyak yang meninggalkannya, digantikan dengan ajaran tata ibadah saja atau dogma dan doktrin ke-Aku-an agama. Orang lebih memilih menjalani kehidupan formal agamis dan hanya menjalankan sisi peribadatan yang bersifat formal dan wajib saja. Sisi kebatinan dari agamanya seringkali tidak ditekuni.
Walaupun pengertian kebatinan bersifat luas, tetapi dunia kebatinan pada masa sekarang memang sudah termasuk "haram" untuk diperbincangkan, karena orang berpandangan sempit dan dangkal tentang kebatinan. Kebatinan dalam berkeagamaan saja jarang yang menekuni, karena orang lebih suka menjalani yang bersifat formal saja. Sekalipun banyak orang hafal dan fasih ayat-ayat suci, tetapi tidak banyak yang mengerti sisi kebatinan dan spiritualnya, sehingga pengkultusan dan dogma dalam kehidupan beragama sangat mendominasi kehidupan beragama, akibatnya banyak sekali terjadi perbedaan pandang dan pertentangan di kalangan mereka sendiri. Banyaknya aliran dalam suatu agama adalah bentuk dari ketidak-seragaman kebatinan dan spiritual dari para penganut agama itu sendiri.
Perilaku kebatinan (termasuk kebatinan agama), apapun agama dan kepercayaannya, baik sekali dilakukan, supaya seseorang mengerti betul ajaran yang dianutnya, supaya tidak dangkal pemahamannya, apalagi hanya ikut-ikutan saja, tetapi materinya harus diperhatikan dan di"filter", memiliki kebijaksanaan untuk memilih yang baik dan membuang yang tidak baik, sehingga kemudian dapat menjadi pribadi yang mengerti agama dan kepercayaannya dengan benar dan mendalam, tidak mudah dibodohi, dihasut, atau diperdaya (ditunggangi / diperalat).
Tetapi pada jaman sekarang sudah banyak terjadi "pendangkalan". Ajaran kebatinan dalam agama sudah digantikan dengan ajaran tata ibadah saja. Keimanan juga dipandang secara dangkal, hanya diukur dari kerajinan ibadah saja. Padahal manusia dinilai bukan hanya dari amal atau ibadahnya saja, tetapi dari akhlaknya, sedangkan perbuatan amal dan ibadah hanyalah sebagian dari akhlak.
Pemahaman kemuliaan dalam agama sudah banyak digantikan dengan dogma dan doktrin ke-Aku-an agama. Banyak kotbah yang berisi ajaran dan aturan-aturan keagamaan, formalitas keagamaan, kewajiban beribadah, dogma dan doktrin amal dan dosa, surga dan neraka, tetapi tidak mengedepankan ajaran budi pekerti, bahkan banyak yang menghasut, memfitnah, menghalalkan segala cara asalkan tujuan "keagamaan" mereka terlaksana. Itulah sebabnya banyak orang yang hidupnya sangat agamis dan fanatis, ternyata perilakunya tidak berbudi pekerti dan jauh dari perilaku mulia, malah banyak yang menjadi musuh kemanusiaan. Akibatnya, banyak orang beragama yang sehari-harinya perilakunya tidak menunjukkan budi pekerti yang baik, karena menganggap urusan agama dan keimanan hanya terkait dengan perbuatan amal, ibadah, pahala dan dosa, dan menganggap budi pekerti hanyalah masalah tradisi sopan santun dan tata krama dalam pergaulan, menganggap budi pekerti hanyalah masalah duniawi yang tidak berhubungan dengan agama.
Jika anda kerap mencuri ayam tetangga, walaupun rajin beribadah, apakah anda merasa diri anda berakhlak baik ?
Jika anda kerap mencuri uang kantor, walaupun anda rajin beribadah, apakah anda merasa diri anda berakhlak baik ?
Jika anda kerap memarahi dan mengucapkan sumpah serapah kepada anak / istri / suami, walaupun anda rajin beribadah, apakah anda merasa diri anda berakhlak baik ? Seharusnya kita bisa membedakan perbuatan memarahi yang bertujuan menegur, menyadarkan dan mendidik, dengan perbuatan mengumbar kemarahan dan kebencian.
Jika anda kerap liar di jalan raya, melanggar aturan lalu-lintas, menerobos lampu merah, menyerobot / potong-memotong jalan orang, anda bisa lewat tetapi menambah kemacetan jalan raya, walaupun anda rajin beribadah, apakah anda merasa diri anda berakhlak baik ?
Jika anda kerap menekan upah pekerja anda, sehingga anda bisa mendapatkan hasil usaha yang lebih banyak, walaupun anda rajin beribadah, apakah anda merasa diri anda berakhlak baik ?
Jika anda kerap tidak membayar pajak, menggelapkan pajak, atau menipu perhitungan pajak, sehingga anda dapat menghemat pengeluaran, walaupun anda rajin beribadah, apakah anda merasa diri anda berakhlak baik ?
Manusia tidak menyadari bahwa budi pekerti adalah dasar dari akhlak yang mulia, dasar dari perilaku manusia yang telah mengenal agama dan Tuhan.
Manusia harus menyadari bahwa budi pekerti yang baik adalah dasar dari akhlak yang mulia.
Budi pekerti yang baik, perbuatan-perbuatan yang mulia, ditambah pengenalan akan agama dan Tuhan akan mengantarkan manusia menjadi manusia yang berakhlak mulia.
Bagaimana seseorang yang tidak berbudi pekerti, yang perbuatan-perbuatannya tidak mulia bisa dianggap sebagai orang yang berakhlak mulia ?
Apakah jika seseorang menunjukkan perilaku yang agamis, rajin beribadah, maka dia juga pasti berakhlak mulia ?
Semua perintah Tuhan, dalam agama apapun, selalu berkenaan dengan aturan budi pekerti yang harus dijalankan manusia dalam hidupnya sebagai manusia yang telah mengenal iman dan Tuhan. Larangan berbuat dosa, larangan menyalahi orang lain, larangan memfitnah, larangan berdusta, larang berzinah dan berbuat asusila, larangan mencuri, larangan membunuh, larangan menganiaya, larangan bersikap tamak, larangan menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang lain, perintah beribadah, perintah menolong orang lain, perintah menjaga kesucian hati dan kesucian perbuatan, dsb, adalah perintah-perintah budi pekerti sebagai dasar dari akhlak yang mulia, yang mengantarkan manusia menjadi mulia di mata Tuhan. Tidak ada perintah Tuhan yang bertentangan dengan ajaran budi pekerti.
Perilaku berbudi pekerti, yang diterapkan dengan mematuhi aturan dan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, adalah dasar dari kemampuan sebuah bangsa dan negara untuk meningkatkan kualitas peradabannya. Peradaban yang berisi manusia-manusia liar tidak berbudi pekerti, yang hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri, tidak akan mampu meningkatkan kualitas peradabannya menjadi lebih maju dan modern, dan akan banyak bergantung pada peranan bangsa lain yang membantu meningkatkan kualitas peradabannya.
Sejak munculnya agama, manusia terkotak-kotak menjadi kelompok-kelompok yang membenarkan dirinya sendiri, kelompoknya sendiri dan menyalahkan / merendahkan kelompok yang lain, termasuk antar kelompok manusia walaupun dalam agama yang sama. Keberadaan agama telah gagal total untuk bisa menggabungkan semua umat manusia dalam suasana rukun dan damai. Jangankan damai antar penganut agama yang berbeda, antar kelompok atau ‘aliran’ dalam satu agama yang sama pun tidak.
Tidak ada jaminan bahwa rakyat akan hidup dengan aman dan damai ketika negara sudah menjadi sebuah negara agama dan rakyatnya sudah menganut satu agama yang sama. Dari dulu sampai sekarang sejarah dunia sudah membuktikan ! Selalu saja ada perebutan kekuasaan, penindasan dan pembunuhan. Agama, walaupun sudah satu agama, tidak bisa meredam perilaku orang-orang yang berambisi pada kekuasaan dan kekayaan dan watak asusila. Agama hanya dijadikan tunggangan untuk menuju kekuasaan, dan dijadikan alat menciptakan dogma dan doktrin untuk menghakimi orang lain dan lawan-lawan politik. Bahkan lebih buruk lagi, karena agama dan dengan dalih dan nama agama, hati manusia menjadi penuh kebencian, manusia menganiaya dan membunuhi manusia lainnya !
Dan terhadap orang-orang yang berbeda agama, atau masih satu agama tetapi berbeda aliran, mengapa pula harus menghasut, menganiaya dan membunuhi orang lain yang berbeda pandangan dan keyakinan ? Semua mahluk adalah ciptaan Tuhan dan semuanya ditempatkan di bumi untuk hidup bersama. Apakah kita akan membunuhi semua mahluk ciptaanNya yang tidak sejalan dengan kita ? Siapa yang memberi kita kuasa untuk membunuh ? Tuhan ? ataukah iblis di dalam diri kita sendiri ?
Seorang anak yang ingin dikasihi oleh orang tuanya, haruslah dia bersikap berbakti, patuh dan dekat kepada orang tuanya, bukannya menganiaya dan membunuhi anak-anak yang lain supaya dia kemudian menjadi anak orang tuanya satu-satunya. Apakah anda akan memuliakan seorang anak anda yang menindas dan membunuhi anak-anak anda yang lain karena berbeda pandangan dan karena dia ingin menjadi anak anda satu-satunya ? Apakah kemudian anda akan berkata : "Inilah anakku satu-satunya yang berbakti kepadaku" ? Apakah anda setuju dengan perbuatannya yang membunuhi anak-anak anda yang lain ? Siapakah yang memberinya kuasa untuk membunuh ? Anda kah ? ataukah iblis di dalam dirinya sendiri ?
Janganlah kita sombong dengan menganggap segala sesuatunya sudah benar karena kita sudah beragama, atau karena kita beribadah. Iblis hadir dimana-mana. Jangan kita termakan, atau malah menumbuh-suburkan sifat-sifat iblis dalam diri kita : kebencian dan tipu daya. Jangan hidup di bawah kungkungan sifat-sifat iblis. Bersihkanlah hidup kita dari sifat-sifat iblis, bersih lahir, hati dan batin. Jangan sampai terulang cerita jatuhnya Adam dan Hawa ke dalam dosa. Jangan juga terulang cerita Kain membunuh saudaranya Habil. Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Tuhan, tetapi iblis tetap saja punya kesempatan untuk menyesatkan manusia. Jangan sampai karena kesombongan agama, kemudian kita malah menjadi bala tentara iblis di dunia. Jangan biarkan kuasa kegelapan menguasai kita.
Jangan mengkiblatkan agama dan iman kepada seseorang, karena kiblat iman dan agama adalah kepada Tuhan !
Agama hanya bermanfaat bagi orang-orang yang mau menerima, mengimani dan menjalankannya dengan benar. Adanya keberagaman kehidupan mahluk ciptaan Tuhan yang bermacam-macam itu justru menjadi ajang pembuktian apakah dalam kehidupan ini seseorang termasuk sebagai mahluk Tuhan yang mulia, berdasarkan keimanan, kepribadian, dan perilakunya, ataukah, walaupun beragama dan beribadah, tetapi termasuk sebagai mahluk liar dan berakhlak rendah yang tak berharga di mata Tuhan.
Mudah-mudahan ini bisa menjadi kebijaksanaan bagi kita, menjadi kebijaksanaan yang bersifat kesepuhan.
Tuhan tidak bisa diklaim sebagai milik seseorang atau segolongan orang, atau diklaim sebagai milik agama tertentu, apalagi sampai mengkafirkan atau menganiaya dan membunuhi orang lain dengan dalih agama atau mengatasnamakan Tuhan.
Tuhan yang berkuasa atau semua mahluk ciptaanNya, bukan kita yang berkuasa memiliki atau menguasai Tuhan.
Tuhan tidak berada di bawah agama, justru agama diberikan supaya manusia dapat mengenal Tuhan.
Mengapa agama gagal total ?
Sebenarnya kesalahannya tidak terletak pada agamanya, tetapi manusianya. Manusia yang berpikiran dangkal, yang menghayati dan mengamalkan agama hanya secara sempit. Manusia yang menjalankan agamanya hanya berdasarkan ajaran, dogma dan doktrin agama dan fanatisme sempit, ke-Aku-an beragama dan cinta diri, dan manusia-manusia yang memper-Tuhan-kan dirinya sendiri, yang menganggap pemikiran dan kata-katanya adalah kebenaran mutlak yang harus diikuti oleh orang lain dan akan mengatai orang lain sebagai murtad atau kafir jika tidak sejalan dengan kata-katanya, yang menghalalkan segala cara untuk berkuasa atas agama dan menunggangi agama untuk hasratnya berkuasa dan memaksakan kuasanya atas orang lain.
Hubungan manusia dengan Tuhan tidak bisa dicapai dengan doktrinasi agama, atau menghafalkan dan mem-beo segala macam doa dan ayat, atau juga membunuhi manusia lain yang tidak sejalan. Dan segala macam laku ibadah yang kelihatan mata tidaklah dapat dijadikan ukuran keimanan seseorang. Keimanan seseorang harus terlihat dari akhlaknya yang baik dan dari perbuatannya yang juga baik, yang mencerminkan manusia yang berpribadi dan berakhlak mulia, yang mencerminkan hidup manusia yang telah mengenal Allah. Dengan demikian agama dan hubungan manusia dengan Tuhannya akan menjadi bersifat pribadi. Orang yang telah dalam pemahaman kebatinannya tentang agamanya akan menemukan bahwa agama adalah bersifat pribadi antara dirinya dengan Tuhan, sehingga agama tidak dapat dipaksakan kepada orang lain.
Kegagalan agama terletak pada kegagalannya, melalui pemuka-pemuka agamanya, dalam membina kebatinan para pemeluknya. Kegagalan yang justru menjauhkan manusia dari sikap arif bijaksana dan berbudi luhur. Seringkali kegagalan itu juga menyebabkan para penganutnya menjadi munafik, selain karena adanya kekurangan yang tidak didapatkannya dari agamanya, mereka menutup-nutupi keberatannya atas aturan agama atau aturan-aturan dari pemuka agama yang membelenggunya, dan berusaha mempercantik diri supaya hal itu tidak tampak di hadapan orang lain, karena takut disebut kafir atau tidak beriman.
Bahkan karena adanya ketidak-seragaman kebatinan pada para penganut agama itu pula yang menyebabkan munculnya banyak aliran / sekte di dalam suatu agama, dan masing-masing memiliki ke-Aku-an sendiri-sendiri, sehingga manusia terkotak-kotak menjadi kelompok-kelompok yang memuliakan kelompoknya sendiri dan menyalahkan / merendahkan, bahkan menghakimi kelompok yang lain, walaupun masih dalam lingkup agama yang sama.
Agama dan kebatinan sebenarnya memiliki keterkaitan yang kuat. Tetapi orang sering mencampur-adukan 2 hal tersebut yang seharusnya berbeda. Tidak hanya di dalam kelompok kebatinan dan spiritual, di dalam kehidupan beragama pun ada saja orang yang melakukan pencarian spiritual mengenai kebenaran sejati, kebenaran agama, kebenaran Tuhan, ataupun tentang aspek kebijaksanaan yang lain. Dalam prakteknya, agama adalah jalan menuju spiritual. Ada juga yang mendapatkan pencerahan dan memiliki pemahaman yang dalam atas agama setelah melakukan pencarian spiritual. Pencapaian spiritual itulah yang menentukan kedalaman pengetahuan dan kebijaksanaan keagamaan seseorang, tetapi jalan yang ditempuh untuk spiritualitas itulah yang seringkali dipertentangkan orang.
Apakah spiritual berada di luar lingkup agama ?
Apakah kita harus mendalami agama saja untuk memahami kebenaran Tuhan ?
Apakah agama adalah satu-satunya jalan untuk memahami kebenaran Tuhan ?
Bagaimana kita tahu kebenaran Tuhan kalau tidak memiliki kebijaksanaan spiritual ?
Bagaimana kita tahu kebenaran agama kalau tidak memiliki kebijaksanaan spiritual ?
Mengerti tentang kegaiban yang dialami manusia saja tidak mampu, bagaimana dapat mengerti dan mengenal Tuhan, yang sejatinya adalah sumber segala kegaiban. Itulah keterbatasan pikiran dan akal budi manusia. Karena itulah Allah membekali manusia dengan roh, supaya dengan rohnya manusia dapat mengerti kegaiban hidup dan mengenal Allah dan jalan yang benar menuju Allah, supaya manusia tidak hanya berkeras diri membela ajaran-ajaran dan dogma-doktrin yang membelenggu akal sehat, yang dia sendiri tidak mengetahui kebenarannya (bisanya hanya percaya saja pada ajaran agamanya), dan supaya manusia memiliki hikmat kebijaksanaan dalam dirinya tentang Allah dan kebenaranNya.
Seharusnya segala macam agama dan ibadah membawa manusia kepada akhlak yang mulia.
Itulah tujuan diberikannya agama kepada manusia, yaitu supaya manusia mengenal Tuhan-nya, tidak lagi hidup seperti manusia yang tidak mengenal Tuhan, dan untuk menjadi sarana dalam membina hubungan pribadi manusia dengan Tuhan-nya.
Agama itu pada dasarnya mengajar manusia untuk mengenal Tuhan (Gusti Allah).
Agama adalah jalan.
Tujuannya adalah Tuhan.
Secara roh dan batinnya, manusia mengenal suatu Roh Agung yang disebut Tuhan. Tetapi manusia tidak dapat mengenal Tuhan secara langsung dan tidak dapat mencapai-Nya secara langsung, sehingga manusia tidak dapat mengenal Allah dengan benar. Manusia hanya bisa percaya saja, sesuai panggilan batinnya, dan sesuai ajaran dalam kepercayaan / agama. Sesuai panggilan batinnya manusia mencari Tuhan, tetapi karena ketidak-tahuan tentang Allah yang benar, maka banyak manusia yang jatuh ke dalam jalan penyembahan yang salah.
Semua suku dan semua kultur memiliki cara untuk mendekati Tuhannya. Mengapa harus dipertentangkan ?
Tetapi karena manusia tidak dapat mengenal Tuhan secara langsung, karena ketidak-tahuan manusia tentang Allah yang benar, maka jalan yang ditempuhnya juga sendiri-sendiri, tidak sama.
Orang yang memahami agama dengan baik pasti toleran, karena sama-sama tidak tahu Allah yang benar (bisanya hanya percaya saja pada ajaran agamanya), tetapi sama-sama punya tujuan yang sama : Tuhan.
Tetapi seringkali manusia salah dalam memahami agama, seolah-olah agama adalah tujuan, sehingga banyak orang yang "memper-Tuhan-kan" agama. Seolah-olah jika sudah menganut suatu agama, maka tujuannya sudah tercapai dan kemudian memaksakan agamanya itu kepada orang lain dan meng-kafir-kan agama lain yang tidak sejalan. Orang buta menuntun orang buta.
Banyak orang yang membuat agama menjadi tujuan, bukan menjadikan agama sebagai jalan mencapai Tuhan. Kesucian hati dan kepribadian yang mulia, yang menuntun dan mengarahkan manusia menjadi mahluk berakhlak mulia tidak diutamakan. Manusia lebih mengutamakan kehormatan diri, ke-Aku-an dan cinta diri. Akibatnya banyak orang yang memaksakan agamanya kepada orang lain, dan menghakimi agama yang lain sebagai sesat, menganiaya dan membunuh dengan nama agama dan Tuhan, tidak memuliakan agama dan Tuhan, malah perbuatannya itu menjadikan nama agama dan Tuhan menjadi hina dan nista. Bahkan ada juga yang tidak mengutamakan kemuliaan, yang menghasut dan memfitnah agama dan kepercayaan lain untuk menjadikan agamanya banyak pengikutnya.
Agamis vs Religius
Agamis dipahami sebagai sikap perilaku manusia yang menonjol sekali (terlihat) perilakunya sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya dan dalam kehidupannya sehari-hari tergambar juga kerajinannya dalam beribadah formal.
Pada kalangan agamis, mereka menjaga benar semua perilaku, perbuatan, ucapan dan penampilan, supaya sesuai dan tidak menyimpang dari ajaran agamanya dan banyak juga yang ucapan dan penampilannya mengikuti tradisi budaya dalam agamanya, sehingga walaupun hanya sekilas saja, orang lain akan dapat melihat / mengetahui keagamaannya.
Sebagian besar kalangan agamis secara psikologis menganggap bahwa agama adalah perwujudan dari Tuhan dan perintah-perintahNya, sehingga mereka akan melakukan apa saja untuk "memuliakan" agamanya.
Tetapi sayangnya ada sebagian dari kalangan agamis ini yang hanya mengedepankan sisi formal peribadatan saja dan menganggap keimanan hanya terkait dengan kerajinan beribadah formal dan pemenuhan kewajiban agama yang bersifat formal. Sebagian dari mereka tidak menjaga "kesucian" perbuatan-perbuatan mereka karena menganggap bahwa semua perbuatan jeleknya akan dapat "ditebus" , dapat "dicuci", dengan "pahala" dari kerajinan beribadah dan pemenuhan kewajiban formal.
Religius dipahami sebagai sikap perilaku manusia yang tidak menonjolkan perilaku agamis dan peribadatan formal, tetapi dalam kehidupannya sehari-hari mereka memegang teguh kepercayaannya dan menjaga kesucian perbuatan sesuai dengan kepercayaan yang mereka anut.
Kalangan religius memandang bahwa agama, ibadah, kepercayaan dan juga akhlak adalah masalah hati, batin, yang semuanya tidak harus tercermin dalam peribadatan formal dan perbuatan-perbuatan yang kelihatan mata. Mereka menganggap bahwa manusia tidak dinilai hanya dari amal atau ibadahnya saja, tetapi juga dari akhlaknya. Karena itu ibadah mereka tidak harus semua tercermin dalam peribadatan dan kepercayaan formal. Ibadah mereka yang sesungguhnya ada di dalam hati.
Kalangan religius tidak mengedepankan kehidupan agamis dan peribadatan formal dan perbuatan-perbuatan agamis lain yang kelihatan mata, tetapi lebih mengutamakan untuk memegang teguh kepercayaannya dan menjaga kelurusan perbuatan-perbuatan mereka sesuai kepercayaan yang mereka anut. Walaupun juga menjalankan peribadatan formal, tetapi mereka memiliki ‘kebijaksanaan’ sendiri mengenai keTuhanan, yaitu kehidupan kepercayaan yang didasari pada kepercayaan ketuhanan dan nilai-nilai budi pekerti yang diajarkan dalam agamanya, yang semuanya menyatu di dalam hati menjadi kepercayaan yang bersifat pribadi, yang mengisi hidup mereka dan dijalankan sepenuh hati, walaupun sikap kepercayaannya itu tidak kelihatan di mata orang lain.
Itulah cerminan dari sikap kebatinan dan perilaku manusia yang terkait dengan kehidupan berkepercayaan, beragama dan berketuhanan.
Sebagian orang lebih cenderung mengedepankan kehidupan yang agamis.
Sebagian lagi lebih cenderung mengedepankan kehidupan yang tidak agamis, tetapi mereka religius.
Sebagian lainnya membina kehidupan yang agamis dan religius.
Sebagian lainnya tidak mementingkan urusan agama dan religi, lebih mengedepankan kepentingan duniawinya.
Sebagian lainnya tidak mementingkan urusan agama dan religi, hidup dengan prinsip hidupnya sendiri.
Sebagian lainnya tidak mau mengedepankan sikap percaya kepada Tuhan, juga tidak mau berketuhanan, lebih mengedepankan kehidupan yang rasional dan mengedepankan kemampuan manusia sendiri dalam hidupnya.
Sebagian lainnya berperilaku munafik, sok suci, sok agamis, sok religius, karena sebenarnya mereka tidak suci, tidak agamis dan juga tidak religius, hanya supaya kelihatan baik saja di mata orang lain.