Di Jalan Pramuka berjarak sekitar 1 km kearah barat daya Terminal
Bus Harjamukti pada sisi barat Kali Sipadu terdapat Petilasan Sunan
Kalijaga. Lokasi ini sangat mudah dicapai dengan berbagai kendaraan, ± 5
km dari pusat kota Cirebon dengan waktu tempuh ± 20 menit. Lokasi yang
berada di tengah pemukiman penduduk Kampung Kalijaga, Kelurahan
Kalijaga, Kecamatan Harjamukti.
Kawasan komplek Petilasan Sunan Kaligaga luasnya ± 20.000 m2.
Kawasan ini dilalui dua aliran sungai, yang masing-masing mempunyai dua
sampai tiga nama yang berbeda. Sungai dimaksud adalah Kali Simandung dan
Kali Mesjid, yang alirannya kemudian bertemu di Kali Cawang. Kali ini
oleh masyarakat setempat digunakan untuk mandi dam cuci pakaian, dahulu
kali ini juga dapat digunakan untu wudlu. Pada kawasan itu terdapat
bangunan patilasan, sumur kuno, mesjid keramat, makam dan selebihnya
berupa semacam hutan lindung yang dihuni kera.
Bangunan Petilasan Kalijaga oleh penduduk setempat disebut Pesarean
(dari kata Jawa yang berarti tempat beristirahat). Bangunan ini
berdenah bentuk huruf L terdiri tiga ruangan. Ruangan pertama merupakan
tempat bagi para penziarah untuk memanjatkan doa, yang dapat dimasuki
melalui pintu pertama yang disebut Pintu Bacem. Ruang kedua merupakan
tempat beberapa makam kuno, dan ruangan ketiga merupakan bekas tempat
tidur Sunan Kalijaga yang ditutup dengan kelambu.
Pada sebelah barat bangunan terdapat makam pengikut dan kerabat
Sunan Kalijaga. Bagian ini dibatasi dengan dengan kuta kosod (susunan
bata merah) setinggi ± 120 cm dan tebal ± 90 cm. Menurut cerita rakyat,
ketika Cirebon “dikuasai” VOC, lokasi ini pernah dijadikan tempat
pertemuan para panglima perang Kesultanan Kanoman, Kasepuhan, dan
Mataram untuk menyusun strategi melawan mereka.
Bangunan Mesjid Keramat di kompleks petilasan Sunan Kalijaga dahulu
dindingnya terbuat dari kayu dan aber atap daun kelapa (welit, blarak).
Sekarang sudah diganti dengan dinding bata diplester dan beratap
genting. Di pinggir kali dekat mesjid terdapat Sumur Kuno. Konon sumur
kuno ini umurnya sudah mencapai ratusan tahun. Sumur ini juga disebut
Sumur Wasiat. Di dekat Kali Simandung terdapat makam keramat dengan
tokoh yang dimakamkan adalah Syech Khotim. Beliau adalah kepercayaan
Sunan Kalijaga.
Hutan lindung di kawasan petilasan Sunan Kalijaga, ditumbuhi
beberapa jenis pohon besar, seperti bebang, repilang, rengas, dan
albasia. Kerimbunan pepohonan ini mendominasi pemandangan. Pada
rindangnya pepohonan tersebut akan tampak kera-kera yang saling
bergelantungan dan berkejaran. Pada pagi hari mereka turun, dan duduk
berbaris di tepi kali, ada juga diantaranya yang tampak mencari kutu.
Mereka juga akan turun, jika ada pengunjung, terutama yang terlihat
membawa makanan. Pada saat ini populasi mereka sekitar 72 ekor. Hutan
lindung ini disebut Taman Kera Kalijaga.
Kondisi sekarang ini, keberadaan pohon besar cenderung semakin
berkurang, tergusur permukiman dan tempat usaha. Akibatnya, kera-kera
penghuni kekurangan pangan, sehingga kerapkali memasuki rumah penduduk,
bahkan ada di antarannya dengan cara merusak atap. Kerusakan “habitat”
ini pula yang menyebabkan sebagian diantara mereka bermigrasi ke kampung
lain.
Salah satu keistimewaan kawasan ini juga memiliki beberapa legenda,
di antaranya legenda Si Lorong yang berhubungan dengan pembuatan kain
tenun, legenda satu orang raja dengan 11 punggawa, legenda si Mandung
(Syekh Khotim), legenda kera dan Legenda Jimat Layang Kalimursadat.
Menurut cerita tutur, Sunan Kalijaga pernah menetap beberapa kali
di Cirebon cukup lama dalam kurun waktu yang berbeda. Kedatangannya yang
pertama bertujuan untuk menimba ilmu. Kedatangan yang kedua dalam
rangka melaksanakan tugas sebagai wali. Kali terakhir Sunan Kalijaga
menetap di Cirebon dalam rangka merintis pembangunan Kerajaan Cirebon.
Konon, dahulu Sunan Kalijaga sempat mengajar membuat kain tenun pada
masyarakat setempat, sehingga hampir semua penduduk dapat melakukannya.
Lambat laun daerah itupun berkembang menjadi “sentra” jual beli kain
tenun. Akan tetapi, sejak kedatangan Belanda dan dilanjutkan oleh
pendudukan Jepang, aktifitas pembuatan kain tenun semakin menyurut,
hingga tidak nampak lagi. Masih menurut cerita tutur, Sunan Kalijaga
terkenal sebagai ahli membatik dan sempat mengajarkannya kepada
masyarakat setempat. Nyi Rupi’ah adalah orang terakhir yang
mempertahankan pembuatan batik tulis khas Kalijaga. Sangat disayangkan
sekali mulai tahun 1972 masyarakat setempat berhenti melakukan kegiatan
membuat batik.