Habib Hasan bin Idrus Al-Habsyi pada masa hidupnya terkenal sebagai "Pasak" Banjar. Ia hidup sezaman dengan tokoh berpengaruh lainnya, mufti ternama Kalimantan, Surgi Besar H Jamaluddin, sekitar abad ke 19.
Pihak keluarga tidak memiliki catatan tahun kelahiran Habib Hasan. Dari informasi orang-orang tua, yang diketahui pasti adalah Habib Hasan kelahiran Sambas. Sang ayah, Sayyid Idrus bin Hasan Al-Habsyi, diperkirakan datang ke Banjarmasin tahun-tahun terakhir menjelang runtuhnya Kesultanan Banjar.
Pada tahun 1855, pada susunan pemerintahan di Banjarmasin saat jabatan residen dipegang oleh A Van der Ven dan kekuasaan mangkubumi ditangan Pangeran Tamjidillah, tak tertera nama Sayyid Idrus. Wakil tokoh orang Arab yang tercatat ikut dalam elite pemerintahan hanya Pangeran Syarif Husien bin Muhammad Baharun, sebagai salah satu anggota pengadilan perdata dan pidana.
Nama Sayyid Idrus baru muncul pada tahun 1860-an, ketika kerajaan Banjar di hapus secara sepihak oleh Belanda. Ketika terjadinya perang Banjar, Sayyid Idrus diakui sebagai Hoofd der Arabieren (kepala orang Arab).
Keluarga Habib Idrus tinggal di Ujung Murung. Ujung Murung adalah perkampungan Arab di zaman penjajahan. Didepan rumah mereka mengalir sungai Martapura, yang tersambung dengan sungai Barito. Beberapa meter dari kediaman beliau berdiri sebuah surau kecil yang diberi nama "Langgar (Mushola) Noor". Langgar Noor binaan keluarga Sayyid Idrus dan dilanjutkan oleh Habib Hasan.
Sayyid Idrus pada tahun 1296 H (sekitar tahun 1876 M), Habib Hasan menggantikan sang ayah sebagai tokoh ulama keturunan Arab di Banjarmasin. Kharismatik yang dimiliki Habib Hasan membuat pejabat Belanda segan dan dihormati. "Habib Hasan dianggap Belanda sebagai "Raja tak Bermahkota."
Di masyarakat ia dikenal dengan sebutan Habib Ujung Murung. Bersama sahabatnya H Jamaluddin yang adalah keturunan Syech Muhammad Arsyad Al-Banjari, mereka dipercaya umat sebagai tempat bertanya berbagai persoalan.
Pada suatu ketika masyarakat bingung menunggu penentuan kapan hari H datangnya Idul Fitri, maka pemuka masyarakat dan ulama kemudian mengunjungi kediaman Habib Hasan di Ujung Murung. "Sudahkan kalian ke Kiai Jamal.?" ujar Habib Hasan.
Kemudian warga pun mengikuti petunjuk Habib Hasan untuk menanyakan perihal berakhirnya puasa Ramadhan ke Kiai Jamal (Surgi Mufti H Jamaluddin). Setelah tiba dikediaman beliau, lagi-lagi rombongan ulama dan pemuka masyarakat Banjar mendapatkan pertanyaan serupa. "Sudahkah kalian mendatangi Habib Ujung Murung.?"
Setelah kejadian itu, rombongan akhirnya diminta menunggu isyarat dari keduanya. Habib Ujung Murung dan Surgi Mufti bertemu dan bermusyawarah. Hasilnya "Tunggulah hari itu. Jika beduk dibunyikan pertanda puasa Ramadhan telah berakhir.
Sebagai tokoh berpengaruh dizamannya, Habib Hasan pernah melindungi pelarian Ratu Zaleha, pejuang Perang Banjar cucu Pahlawan Nasional Pangeran Antasari. Ratu Zaleha yang diburu tentara Belanda, tiba-tiba muncul dan menemui Habib Hasan, lantas beliau disembunyikan dibawah ranjang Habib Hasan.
Tentara Belanda yang telah mendapatkan informasi tersebut kemudian mendatangi kediaman Habib Hasan. Dengan penuh keyakinan dan tidak gentar sedikit pun Habib Hasan menghadapi pasukan tentara bersenjata itu. "Silahkan periksa seluruh isi rumah ini." ujarnya.
Setelah setiap sudut rumah diperiksa, Belanda itu tidak menemukan buruannya. Mereka pun meninggalkan rumah Habib Hasan tanpa hasil.
Untuk menghindari kecurigaan lebih lanjut dari spion-spion Belanda, Ratu Zaleha kemudian diungsikan lagi pada suatu malam dengan menggunakan perahu yang sudah siap menjemput didepan rumah Habib Hasan. Tak jelas kemana perahu itu membawa Ratu Zaleha.
Habib Hasan memiliki saudara yakni Syarifah Mahani. Sang adik ini menikah dengan Habib Muhammad bin Agil Al-Habsyi. Kemudian Habib Muhammad sering berdialog dengan Habib Hasan dan Surgi Mufti. Panglima Batur, pejuang Perang Banjar, lainnya yang mati syahid dihukum gantung oleh Belanda berguru ilmu kepada Habib Muhammad.
Nama neneknya yaitu Syarifah Fetum anak pasangan Habib Muhammad bin Agil Al-Habsyi dengan Syarifah Mahani binti Idrus Al-Habsyi, dulu memiliki catatan Perang Banjar yang ditulis dalam bahasa Arab Melayu. Buku berharga itu hilang ketika keluarga mereka mengungsi ke kampung lain pada saat jembatan Coen (Jembatan Dewi, sekarang Jembatan Ahmad Yani) meledak ketika Jepang masuk ke Banjarmasin, Februari 1942. Dari sang nenek, mantan Rabithah Alawiyyin kota Banjarmasin ini banyak mendapat cerita tentang leluhurnya yang bermukim di Ujung Murung.
Ratu Zaleha akhirnya ditangkap tahun 1905 dan di asingkan ke Bogor. Sebelumnya, suami Ratu Zaleha , Gusti Muhammad Arsyad juga ditangkap Belanda dan diasingkan ke Bogor. Mereka hidup puluhan tahun di kawasan Empang Bogor sebelum akhirnya dikembalikan ke Banjarmasin setelah tua dan sakit-sakitan. Ratu Zaleha kembali ke Banjarmasin tahun 1937 dan meninggal dunia pada tahun 1957.
Sebagaimana tahun lahirnya, kapan persisnya Habib Hasan meninggal dunia, pihak keluarga tidak memiliki catatan. Ada sebuah foto yang memperlihatakan Habib Hasan berdampingan dengan Gusti Muhammad Arsyad di penghujung Perang Banjar tahun 1904.
Saat Habib Hasan meninggal dunia, Surgi Mufti menanggis. Kehilangan sahabat terbaiknya membuat Surgi Mufti sangan bersedih. Habib Hasan dimakamkan di Turbah Sungai Jingah, Banjarmasin yang merupakan alkah (pemakaman) khusus keluarga Habaib.
Habib Hasan meninggalkan dua orang anak, yakni Husien dan Abubakar dan tiga anak perempuan , yaitu Syarifah Sehah, Syarifah Aisyah dan Syarifah Noor. Husien tidak meneruskan keturunan garis laki-laki, karena empat anaknya perempuan semua, yakni Syarifah Mariam, Syarifah Sidah, Syarifah Mastora dan Syarifah Salmah.
Dari jalur salah satu putri Habib Hasan tersebut, muncul Habib Abdullah bin Ahmad Al-Hamid, tokoh Alawiyyin di Pal Satu, Kelurahan Sungai Baru. Ibunya, Syarifah Aminah binti Umar Al-Habsyi adalah cucu Husien. Begitu pula ayahnya, Habib Ahmad bin Abdullah Al-Hamid adalah cucu Husien juga. Habib Abdullah menyimpan rapi foto sang leluruh.
Abubakar, anak Habib Hasan lainnya yang tinggal di Kampung Alalak, melanjutkan silisilah dzuriat keluarga Habib Ujung Murung dari jalur laki-laki, yakni tiga putra: Salim, Agil dan Ibrahim. Anak Ibrahim, Idrus 69 tahun, keturunan langsung Habib Hasan tertua yang masih hidup hingga saat ini.