Bagaimana bisa seorang yang menyetubuhi jin lalu memiliki keturunan? Kisah berikut merupakan kesaksian dari salah seorang yang pernah bekerja di sebuah perusahaan penebangan kayu. Saat bertugas dia terjebak ke dunia lain milik para jin. Adelin, Direktur Keuangan PT Keang Nam Deveploment Indonesia (KNDI), adalah salah seorang sosok yang kontroversial dalam kacamata hokum pidana. Setelah Jaksa menuntutnya sepuluh tahun kurungan, ternyata dibebaskan tanpa syarat oleh Majelis Hakim Pengadilan Negara Medan. Ini suatu perkara yang dianggap sangat menyakitkan nurani keadilan, mengingat kasus korupsi Adelin Lis dengan nilai yang sangat besar.
Tulisan berikut ini memang bukanlah kisah tentang Adelin Lis. Tetapi aku pernah bekerja di perusahaan miliknya. Hampir tiga tahun aku menjadi karyawan pada PT KNDI, yakni sebuah perusahaan pengolahan kayu berskala besar yang cukup bonafid di daerah Mandailing Natal (Madina), Sumut. Kalau Adelin Lis, orang yang misterius dalam bidang penegakan hukum, sementara aku sendiri mengalami kejadian misterius ketika bekerja di perusahaan tersebut.
Pertama kali masuk kerja, aku ditempatkan diunit Tely, yakni melakukan tugas mencatat dan mengadakan kelompok-kelompok kayu yang sudah diolah menjadi bahan bangunan ke dalam masing-masing jenis dan tipe serta ukuran yang sama.
Jumlah karyawan kurang lebih 500 orang. Mereka punya tugas di bidang masing-masing. Meskipun demikian, di antara mereka ada yang punya tugas rangkap. Dan aku sendiri sering ditugaskan rangkap pula terutama kalau ada karyawan yang berhalangan karena sakit. Tugas yang kurasa cukup berat dan punya resiko tinggi adalah kalau diperintahkan mengadakan survey di lapangan guna meneliti pohon-pohon kayu di areal hutan yang sesuai dengan HPH dari Menteri Kehutanan. Menandai pohon yang akan ditebang di tengah hutan belantara yang masih perawan.
Hari itu, dengan ditemani oleh rekan seprofesi yang akrab kupanggil Bang Ucok Regar, aku ditugaskan melakukan penelitian ke sebuah areal hutan. Tanpa bisa menolak, Bang Ucok berangkat duluan ke sana. Aku sendiri janji akan menyusul sejam kemudian. Soalnya, masih ada urusan yang akan kukerjakan di lokasi pabrik.
Setelah urusan tersebut selesai, dengan mengendarai sepeda motor perusahaan, aku segera menyusul rekanku itu. Lokasi hutan yang akan kutuju sekitar 75 km dari pabrik. Tepatnya berbatasan dengan sebuah desa bernama Umang-Umang. Desa itu pernah kukunjungi dengan tugas yang sama. Jalan kesana merupakan jalan darurat yang dirintis oleh pihak perusahaan. Dari desa terpencil tersebut, kayu tebangan diangkut menggunakan truk khusus atau lengging. Hari itu, cuaca cerah dan cukup panas. Dengan kecepatan sedang, kupacu sepeda motor menyusul Bang Ucok. Mendekati sebuah tikungan, tiba-tiba mesin mati dan sepeda motor berhenti tepat di bawah sebatang pohon yang berdaun rindang. Segera kuperiksa apa penyebabnya. Hampir setengah jam aku mengutak-atik mesin, namun tidak kutemukan juga. Mesin sepeda motor tetap saja tak mau dihidupkan.
“Dasar sepeda motor sialan!” Makiku dalam hati sambil kemudian duduk istirahat di bawah pohon rindang itu. Aku mulai berpikir untuk mengadakan kontak dengan pihak manajemen atasanku, ketika dihadapanku melintas seorang pria tua mengenakan pakaian agak aneh. Tampangnya terlihat sangat kumuh seperti gelandangan.
“Cucu mau kemana?” Sapanya sambil berhenti melangkah. Dia menatapku.
“Ke desa Umang-Umang, Kek!” Sahutku sambil bangkit berdiri.
“Lalu kenapa berhenti di sini?”
“Mesin motorku ngadat, Kek!” Jawabku sambil mendekati sepeda motor.
“Apanya yang rusak?” Si kakek datang mendekat. Dia bahkan turut jongkok di dekatku.
“Entah apa yang membuatnya mogok. Saya sudah menelitinya, tapi saya tidak bisa menemukan kerusakan mesin motor ini.”
“Coba kulihat!” Si kakek bergeser ke depan sambil menyentuh busi dengan ujung telunjuk jarinya.
Sekejap aku terkejut, sebab ujung jari si kaki yang ringkih itu seperti memancarkan sinar kebiru-biruan. Anehnya, dalam hitungan detik, mesin hidup tanpa distater sama sekali. Belum habis rasa heranku, terdengar si Kakek berkata, “Kalau cucu ingin ke desa Umang-Umang, kakek ingin menumpang. Apakah boleh, Cu?”
“Tentu saja aku tak keberatan, apalagi Kakek telah membantu menghidupkan mesin sepeda motorku,” jawabku sambil berusaha menekan perasaan heran dan aneh di dalam dadaku. Ringkas cerita, pria tua itu kusilhakan duduk di jok belakang. Mungkin karena tubuhnya yang kurus, maka sepertinya aku tidak merasa membawa beban di boncengan belakang. Begitu lewat tikungan di depan, di sebelah kiri jalan nampak pohon yang lumayan tinggi dan akar-akarnya ada yang menyembul kepermukaan, bahkan melingkar-;ingkar merangkul batang pohon itu sendiri. Begitu melintas di depan pohon ini, tiba-tiba mesin sepeda motor mati lagi. Anehnya, sepeda motor membelok sendiri menuju ke arah pohon tanpa dapat kukendalikan. Tubuhku terdorong ke depan lalu membentur pohon raksasa tersebut. Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi.
Pertama kali masuk kerja, aku ditempatkan diunit Tely, yakni melakukan tugas mencatat dan mengadakan kelompok-kelompok kayu yang sudah diolah menjadi bahan bangunan ke dalam masing-masing jenis dan tipe serta ukuran yang sama.
Jumlah karyawan kurang lebih 500 orang. Mereka punya tugas di bidang masing-masing. Meskipun demikian, di antara mereka ada yang punya tugas rangkap. Dan aku sendiri sering ditugaskan rangkap pula terutama kalau ada karyawan yang berhalangan karena sakit. Tugas yang kurasa cukup berat dan punya resiko tinggi adalah kalau diperintahkan mengadakan survey di lapangan guna meneliti pohon-pohon kayu di areal hutan yang sesuai dengan HPH dari Menteri Kehutanan. Menandai pohon yang akan ditebang di tengah hutan belantara yang masih perawan.
Hari itu, dengan ditemani oleh rekan seprofesi yang akrab kupanggil Bang Ucok Regar, aku ditugaskan melakukan penelitian ke sebuah areal hutan. Tanpa bisa menolak, Bang Ucok berangkat duluan ke sana. Aku sendiri janji akan menyusul sejam kemudian. Soalnya, masih ada urusan yang akan kukerjakan di lokasi pabrik.
Setelah urusan tersebut selesai, dengan mengendarai sepeda motor perusahaan, aku segera menyusul rekanku itu. Lokasi hutan yang akan kutuju sekitar 75 km dari pabrik. Tepatnya berbatasan dengan sebuah desa bernama Umang-Umang. Desa itu pernah kukunjungi dengan tugas yang sama. Jalan kesana merupakan jalan darurat yang dirintis oleh pihak perusahaan. Dari desa terpencil tersebut, kayu tebangan diangkut menggunakan truk khusus atau lengging. Hari itu, cuaca cerah dan cukup panas. Dengan kecepatan sedang, kupacu sepeda motor menyusul Bang Ucok. Mendekati sebuah tikungan, tiba-tiba mesin mati dan sepeda motor berhenti tepat di bawah sebatang pohon yang berdaun rindang. Segera kuperiksa apa penyebabnya. Hampir setengah jam aku mengutak-atik mesin, namun tidak kutemukan juga. Mesin sepeda motor tetap saja tak mau dihidupkan.
“Dasar sepeda motor sialan!” Makiku dalam hati sambil kemudian duduk istirahat di bawah pohon rindang itu. Aku mulai berpikir untuk mengadakan kontak dengan pihak manajemen atasanku, ketika dihadapanku melintas seorang pria tua mengenakan pakaian agak aneh. Tampangnya terlihat sangat kumuh seperti gelandangan.
“Cucu mau kemana?” Sapanya sambil berhenti melangkah. Dia menatapku.
“Ke desa Umang-Umang, Kek!” Sahutku sambil bangkit berdiri.
“Lalu kenapa berhenti di sini?”
“Mesin motorku ngadat, Kek!” Jawabku sambil mendekati sepeda motor.
“Apanya yang rusak?” Si kakek datang mendekat. Dia bahkan turut jongkok di dekatku.
“Entah apa yang membuatnya mogok. Saya sudah menelitinya, tapi saya tidak bisa menemukan kerusakan mesin motor ini.”
“Coba kulihat!” Si kakek bergeser ke depan sambil menyentuh busi dengan ujung telunjuk jarinya.
Sekejap aku terkejut, sebab ujung jari si kaki yang ringkih itu seperti memancarkan sinar kebiru-biruan. Anehnya, dalam hitungan detik, mesin hidup tanpa distater sama sekali. Belum habis rasa heranku, terdengar si Kakek berkata, “Kalau cucu ingin ke desa Umang-Umang, kakek ingin menumpang. Apakah boleh, Cu?”
“Tentu saja aku tak keberatan, apalagi Kakek telah membantu menghidupkan mesin sepeda motorku,” jawabku sambil berusaha menekan perasaan heran dan aneh di dalam dadaku. Ringkas cerita, pria tua itu kusilhakan duduk di jok belakang. Mungkin karena tubuhnya yang kurus, maka sepertinya aku tidak merasa membawa beban di boncengan belakang. Begitu lewat tikungan di depan, di sebelah kiri jalan nampak pohon yang lumayan tinggi dan akar-akarnya ada yang menyembul kepermukaan, bahkan melingkar-;ingkar merangkul batang pohon itu sendiri. Begitu melintas di depan pohon ini, tiba-tiba mesin sepeda motor mati lagi. Anehnya, sepeda motor membelok sendiri menuju ke arah pohon tanpa dapat kukendalikan. Tubuhku terdorong ke depan lalu membentur pohon raksasa tersebut. Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi.
Apa yang terjadi kemudian? Setelah siuman, sepertinya aku sedang berada di sebuah kawasan perkotaan dan tubuhku terbaring di tempat tidur dalam ruangan yang lumayan besar digedung yang megah dan indah. Waktu itu, laiknya aku sedang bermimpi. Tapi kali ini bukan mimpi, karena ketika kucubit terasa sakit di kulitku.
“Aneh, di mana aku sekarang? Mengapa aku bisa berada di tempat ini?” Tanyaku dalam hati. Mendadak aku ingin bangkit dari tidur. Namun, pada saat bersamaan, aura mistis mulai kurasakan. Hal inilah menyebabkan bulu kuduk meremang, sebagai isyarat bahwa aku saat itu berada dan terjebak di dunia lain. Mungkin dihuni oleh makhluk gaib yang sulit ditebak. Aku masih dalam kondisi kebingungan ketika muncul di hadapanku sesosok makhluk berwujud manusia. Dia mengenakan pakaian mirip serdadu kerajaan tempo dulu dan ditangan kanannya memegang sebatang tombak yang ujungnya bercabang tiga. Dengan menggunakan bahasa isyarat, laki-laki berwajah sangar dan menakutkan ini, meminta agar aku segera mengikutinya.
Aku tak bisa membantah ajakannya, sebab kesadaranku memang sepertinya kembali terhipnotis. Akhirnya, aku berjalan beriringan dengan lelaki penjemputku. Dia membawaku masuk ke ruangan lain yang bersebelahan dengan ruang tempatku terbaring tadi. Ruangan ini lebih megah dan lebih menakjubkan lagi. Perabotannya serba antic, seperti koleksi berabad-abad yang lalu. Kursi-kursinya penuh ukiran klasik, berpasangan dengan meja batu giok beralaskan lantai marmer mengkilat, berwarna-warni.
Di sepanjang ruangan, tergantung aneka lampu kristal yang memancarkan sinar beragam aneka warna. Bersamaan dengan itu, aroma wewangian sering hinggap di hidungku. Harum sekali.
Aku masih tertegun dan terpana, berdiri mematung, ketika ruangan yang super megah tersebut dipenuhi oleh perempuan ayu dan cantik. Perangai dan perilakunya sangat kontras dengan fenomena keindahan serta kesakralan suasana di sana. Pakaian mereka sangat merangsang, nyaris telanjang. Binal dan genit ketika berpelukan dengan teman laki-lakinya.
Keberadaanku di tempat itu seperti tidak diketahui mereka. Bahkan, laki-laki seradu yang tadi menjemputku tidak kulihat batang hidungnya. Dan aku hanya melongo saja berdiri mematung. Menyaksikan seks bebas yang berlangsung di hadapan mata. Persis seperti nonton film blue.
Belum habis rasa heran dan bingungku, di hadapanku telah berdiri seorang perempuan agak tua, bertubuh gendut dengan rias wajah yang sangat mencolok. Di sebelahnya turut pula berdiri seorang perempuan muda yang cantik dan ayu.
Cukup lama perempuan gendut ini menatap wajahku. Seperti ingin menaksir wajah dan penampilanku saja. Dengan bahasa isyarat, dia ingin tahu siapa namaku. Lalu aku jawab pula dengan bahasa isyarat. Entah mengerti atau tidak, dia kemudian bertanya, “Anak muda, mengapa kau sampai berada di tempat hunian kami ini?”
Laiknya orang tunarungu, aku menjelaskan dengan bahsa isyarat bahwa aku tak sengaja berada di tempat mereka. Alasannya, karena sepeda motorku menabrak sebatang pohon di pinggir jalan. Dan kuungkapkan juga, bahwa sepeda motorku mogok. Lalu dibantu oleh seorang kakek, dan bersama pria tua itu menuju desa Umang-Umang.
Nampaknya si nenek paham, dan mengatakan, pria tua itu adalah ayahnya yang ingin mencari suami untuk cucuknya. Dan dia menunjuk perempuan di sebelahnya sebagai cucu si kakek.
Komunikasi menggunakan bahasa isyarat berlangsung dengan lancar tanpa menemui kendala yang berarti. Aneh, memang! Saat itu, aku juga sempat memastikan bahwa mereka berasal dari komunitas makhluk dari dunia lain, yang tidak bisa bicara. Kalaupun mereka berbicara, maka aku tidak akan mengerti dan memahaminya.
Ketika perempuan gendut mengisyaratkan bahwa pria tua yang menolongku menghidupkan mesin motorku itu adalah kakeknya, maka aku mulai curiga. Entah apa yang akan mereka lakukan terhadao diriku.
“Apakah kau bersedia kukawinkan dengan putri tunggalku ini?” Tanya perempuan gendut itu dalam bahasa isyarat yang mendadak saja bisa kumengerti dan kupahami. Secepatnya aku memberi isyarat bahwa aku telah punya isteri. Bahkan, aku juga memberi isyarat bahwa sangat mustahil makhluk Tuhan berbeda alam untuk menyatu dalam sebuah perkawinan.
“Siapa bilang?” Tanya si perempuan gendut. Kali ini bukan lagi dengan bahasa isyarat, melainkan dengan kata-kata dalam bahasa Melayu.
Hal ini membuatku terperangah. Ternyata dia mampu berbicara dengan bahasa Melayu, dengan logat dan gaya Mandailing Klasik.
“Aneh, di mana aku sekarang? Mengapa aku bisa berada di tempat ini?” Tanyaku dalam hati. Mendadak aku ingin bangkit dari tidur. Namun, pada saat bersamaan, aura mistis mulai kurasakan. Hal inilah menyebabkan bulu kuduk meremang, sebagai isyarat bahwa aku saat itu berada dan terjebak di dunia lain. Mungkin dihuni oleh makhluk gaib yang sulit ditebak. Aku masih dalam kondisi kebingungan ketika muncul di hadapanku sesosok makhluk berwujud manusia. Dia mengenakan pakaian mirip serdadu kerajaan tempo dulu dan ditangan kanannya memegang sebatang tombak yang ujungnya bercabang tiga. Dengan menggunakan bahasa isyarat, laki-laki berwajah sangar dan menakutkan ini, meminta agar aku segera mengikutinya.
Aku tak bisa membantah ajakannya, sebab kesadaranku memang sepertinya kembali terhipnotis. Akhirnya, aku berjalan beriringan dengan lelaki penjemputku. Dia membawaku masuk ke ruangan lain yang bersebelahan dengan ruang tempatku terbaring tadi. Ruangan ini lebih megah dan lebih menakjubkan lagi. Perabotannya serba antic, seperti koleksi berabad-abad yang lalu. Kursi-kursinya penuh ukiran klasik, berpasangan dengan meja batu giok beralaskan lantai marmer mengkilat, berwarna-warni.
Di sepanjang ruangan, tergantung aneka lampu kristal yang memancarkan sinar beragam aneka warna. Bersamaan dengan itu, aroma wewangian sering hinggap di hidungku. Harum sekali.
Aku masih tertegun dan terpana, berdiri mematung, ketika ruangan yang super megah tersebut dipenuhi oleh perempuan ayu dan cantik. Perangai dan perilakunya sangat kontras dengan fenomena keindahan serta kesakralan suasana di sana. Pakaian mereka sangat merangsang, nyaris telanjang. Binal dan genit ketika berpelukan dengan teman laki-lakinya.
Keberadaanku di tempat itu seperti tidak diketahui mereka. Bahkan, laki-laki seradu yang tadi menjemputku tidak kulihat batang hidungnya. Dan aku hanya melongo saja berdiri mematung. Menyaksikan seks bebas yang berlangsung di hadapan mata. Persis seperti nonton film blue.
Belum habis rasa heran dan bingungku, di hadapanku telah berdiri seorang perempuan agak tua, bertubuh gendut dengan rias wajah yang sangat mencolok. Di sebelahnya turut pula berdiri seorang perempuan muda yang cantik dan ayu.
Cukup lama perempuan gendut ini menatap wajahku. Seperti ingin menaksir wajah dan penampilanku saja. Dengan bahasa isyarat, dia ingin tahu siapa namaku. Lalu aku jawab pula dengan bahasa isyarat. Entah mengerti atau tidak, dia kemudian bertanya, “Anak muda, mengapa kau sampai berada di tempat hunian kami ini?”
Laiknya orang tunarungu, aku menjelaskan dengan bahsa isyarat bahwa aku tak sengaja berada di tempat mereka. Alasannya, karena sepeda motorku menabrak sebatang pohon di pinggir jalan. Dan kuungkapkan juga, bahwa sepeda motorku mogok. Lalu dibantu oleh seorang kakek, dan bersama pria tua itu menuju desa Umang-Umang.
Nampaknya si nenek paham, dan mengatakan, pria tua itu adalah ayahnya yang ingin mencari suami untuk cucuknya. Dan dia menunjuk perempuan di sebelahnya sebagai cucu si kakek.
Komunikasi menggunakan bahasa isyarat berlangsung dengan lancar tanpa menemui kendala yang berarti. Aneh, memang! Saat itu, aku juga sempat memastikan bahwa mereka berasal dari komunitas makhluk dari dunia lain, yang tidak bisa bicara. Kalaupun mereka berbicara, maka aku tidak akan mengerti dan memahaminya.
Ketika perempuan gendut mengisyaratkan bahwa pria tua yang menolongku menghidupkan mesin motorku itu adalah kakeknya, maka aku mulai curiga. Entah apa yang akan mereka lakukan terhadao diriku.
“Apakah kau bersedia kukawinkan dengan putri tunggalku ini?” Tanya perempuan gendut itu dalam bahasa isyarat yang mendadak saja bisa kumengerti dan kupahami. Secepatnya aku memberi isyarat bahwa aku telah punya isteri. Bahkan, aku juga memberi isyarat bahwa sangat mustahil makhluk Tuhan berbeda alam untuk menyatu dalam sebuah perkawinan.
“Siapa bilang?” Tanya si perempuan gendut. Kali ini bukan lagi dengan bahasa isyarat, melainkan dengan kata-kata dalam bahasa Melayu.
Hal ini membuatku terperangah. Ternyata dia mampu berbicara dengan bahasa Melayu, dengan logat dan gaya Mandailing Klasik.
Aku makin terheran-heran ketika dia mengatakan bahwa perkawinan makhluk dari kalangan jin dan manusia sudah sering terjadi sejak era kenabian tempo dulu. Dia mengambil contoh dengan peristiwa Nabi Sulaiman yang menikahi Ratu Balqis, yang dipercaya berasal dari komunitas bangsa jin.
Aku bingung, karena aku tak tahu persis apakah Ratu Balgis memang berasal dari bangsa jin. Entahlah apakah perempuan gendut ini hanya mengarang-ngarang untuk meyakinkan diriku, bahwa perkainan manusia dengan jin bukan mustahil adanya.
“Kami memang dari bangsa jin yang tidak alim!” Ungkap perempuan gendut itu. “Asal kau tahu saja…kami memang selalu mengadakan perkawinan silang dengan manusia. Hal ini guna memperoleh keturunan yang lebih bermutu dan berkwalitas. Karena kami dari bangsa jin di kawasan ini ingin mensejajarkan diri dengan makhluk manusia yang kami anggap lebih tinggi derajatnya dari bangsa jin,” tambahnya menjelaskan dengan panjang lebar.
Cukup lama aku termenung dan tertegun. Aku menjadi sangat bodoh, sebab tak mampu berkomentar. Aku hanya bisa manggut-manggut, seolah-olah memahami apa yang dijelaskannya barusan. “Bagaimana? Apakah kamu bersedia membantu kami?” Perempuan itu menatapku dalam-dalam.
“Gimana ya…?” Aku masih bingung. “Soalnya, tadi telah saya katakan, bahwa saya telah berumah tangga,” kataku menjelaskan sejujurnya.
“Itu tidak bisa dijadikan dalih. Karena di bumi, manusia banyak yang punya isteri lebih dari satu!” Kata si perempuan gendut sambil nyengir sinis. Aku terbungkam. Ternyata dia cukup banyak mengetahui tentang ulah manusia selama ini. Tapi, aku sungguh tak sudi menikah dengan makhluk halis, meski putrid si gendut itu sangatlah cantik jelita.
Karena aku masih tetap menolak tawarannya, akhirnya aku diamankan di sebuah ruangan khusus dalam kondisi tertutup dan terkunci. Di dalam ruangan itu fasilitasnya sangat lengkap sekali, sehingga aku merasa berada dalam tahanan rumah. Namun, sewaktu berada kesendirian, aku mulai teringat isteriku di rumah yang kutitipkan pada ibu di Medan.
Aku masih coba membayangkan wajah Rini, isteriku, ketika pintu terbuka dan wajah perempuan cantik dan ayu yang tadi menemani perempuan gendut itu muncul sambil mengulum senyum. Gadis yang katanya cucu dari pria tua yang menolongku tersebut berjalan dengan langkah terukur bagai seorang pragawati. Dia datang menghampiriku yang sedang duduk dibibir tempat tidur. Kini dia mengenakan gaun terusan yang agak tipis tanpa BH dan celana dalam, sehingga apa yang berada dibaliknya menjadi terlihat sekali. Lekuk-lekuk tubuh yang sensual dan padat, serta bukit kembar di dadanya nampak jelas menonjol.
Sejenak ruangan kamar dengan aroma semerbak wewangian itu berubah sangat sunyi. Begitu sunyinya sehingga suara helaan nafasku yang tergetar oleh keindahan wanita di hadapnku seaakan-akan terdengar gemanya. Aku tidak ingin dikatakan munafik. Aaat itu gairah birahiku melonjak tajam. Disamping melihat ada perempuan cantik sekamar denganku, ini juga karena aku sudah cukup lama bekerja di tengah hutan belantara jauh dari godaan seks terhadap wanita cantik. Apalagi perempuan muda di hadapanku kini mulai melucuti pakaiannya, sehingga tubuhnya bugil tanpa sehelai benangpun.
Singkat cerita, saat itu aku tak mampu membendung gejolak libidoku. Dan apa yang terjadi selanjutnya, tak perlu kuceritakan secara rinci. Aku seperti anjing kelaparan yang begitu bergairah menikmati mangsanya. Bahkan, hubungan terlarang tersebut terjadi berulang kali, hingga aku pingsan alias tak sadarkan diri. Mungkin akibat kecapekan atau karena pengaruh lainnya.
Aku bingung, karena aku tak tahu persis apakah Ratu Balgis memang berasal dari bangsa jin. Entahlah apakah perempuan gendut ini hanya mengarang-ngarang untuk meyakinkan diriku, bahwa perkainan manusia dengan jin bukan mustahil adanya.
“Kami memang dari bangsa jin yang tidak alim!” Ungkap perempuan gendut itu. “Asal kau tahu saja…kami memang selalu mengadakan perkawinan silang dengan manusia. Hal ini guna memperoleh keturunan yang lebih bermutu dan berkwalitas. Karena kami dari bangsa jin di kawasan ini ingin mensejajarkan diri dengan makhluk manusia yang kami anggap lebih tinggi derajatnya dari bangsa jin,” tambahnya menjelaskan dengan panjang lebar.
Cukup lama aku termenung dan tertegun. Aku menjadi sangat bodoh, sebab tak mampu berkomentar. Aku hanya bisa manggut-manggut, seolah-olah memahami apa yang dijelaskannya barusan. “Bagaimana? Apakah kamu bersedia membantu kami?” Perempuan itu menatapku dalam-dalam.
“Gimana ya…?” Aku masih bingung. “Soalnya, tadi telah saya katakan, bahwa saya telah berumah tangga,” kataku menjelaskan sejujurnya.
“Itu tidak bisa dijadikan dalih. Karena di bumi, manusia banyak yang punya isteri lebih dari satu!” Kata si perempuan gendut sambil nyengir sinis. Aku terbungkam. Ternyata dia cukup banyak mengetahui tentang ulah manusia selama ini. Tapi, aku sungguh tak sudi menikah dengan makhluk halis, meski putrid si gendut itu sangatlah cantik jelita.
Karena aku masih tetap menolak tawarannya, akhirnya aku diamankan di sebuah ruangan khusus dalam kondisi tertutup dan terkunci. Di dalam ruangan itu fasilitasnya sangat lengkap sekali, sehingga aku merasa berada dalam tahanan rumah. Namun, sewaktu berada kesendirian, aku mulai teringat isteriku di rumah yang kutitipkan pada ibu di Medan.
Aku masih coba membayangkan wajah Rini, isteriku, ketika pintu terbuka dan wajah perempuan cantik dan ayu yang tadi menemani perempuan gendut itu muncul sambil mengulum senyum. Gadis yang katanya cucu dari pria tua yang menolongku tersebut berjalan dengan langkah terukur bagai seorang pragawati. Dia datang menghampiriku yang sedang duduk dibibir tempat tidur. Kini dia mengenakan gaun terusan yang agak tipis tanpa BH dan celana dalam, sehingga apa yang berada dibaliknya menjadi terlihat sekali. Lekuk-lekuk tubuh yang sensual dan padat, serta bukit kembar di dadanya nampak jelas menonjol.
Sejenak ruangan kamar dengan aroma semerbak wewangian itu berubah sangat sunyi. Begitu sunyinya sehingga suara helaan nafasku yang tergetar oleh keindahan wanita di hadapnku seaakan-akan terdengar gemanya. Aku tidak ingin dikatakan munafik. Aaat itu gairah birahiku melonjak tajam. Disamping melihat ada perempuan cantik sekamar denganku, ini juga karena aku sudah cukup lama bekerja di tengah hutan belantara jauh dari godaan seks terhadap wanita cantik. Apalagi perempuan muda di hadapanku kini mulai melucuti pakaiannya, sehingga tubuhnya bugil tanpa sehelai benangpun.
Singkat cerita, saat itu aku tak mampu membendung gejolak libidoku. Dan apa yang terjadi selanjutnya, tak perlu kuceritakan secara rinci. Aku seperti anjing kelaparan yang begitu bergairah menikmati mangsanya. Bahkan, hubungan terlarang tersebut terjadi berulang kali, hingga aku pingsan alias tak sadarkan diri. Mungkin akibat kecapekan atau karena pengaruh lainnya.
Begitu siuman, aku merasa malu dalam keadaan tubuhku yang telanjang, sebab di dihadapanku ada beberapa orang pria. Mereka adalah pekerja yang melintas di tempat itu, mengangkut kayu gelondongan dengan truk. Katanya, aku ditemui dipinggir jalan di bawah pohon beringin. Ketika itu aku terkapar di sana dalam keadaan setengah sadar. Tidak jauh dari situ, mereka juga menemukan sepeda motorku dalam kondisi berantakan. Karena itulah, untuk sementara aku dinyatakan mengalami kecelakaan, menabrak pohon di pinggir jalan. Namun satu hal yang membuat mereka bingung, kenapa aku bisa terbaring dalam keadaan telanjang bulat.
Rupanya, aku telah dikerjai oleh penunggu pohon beringin tua yang dipercayai sangat angker itu. Menurut cerita, kejadian serupa seperti yang kualami pernah juga dialami oleh para pekerja penebangan pohon di tempat itu. Bahkan, suatu ketika ada yang tewas meregang nyawa dalam kondisi alat vital membengkak seukuran biji kelapa.
Karena merasa trauma atas kejadian serupa, maka akhirnya aku memutuskan untuk hengkang dari perusahaan tersebut. Aku memilih kembali ke kota Medan, dan ingin mencari pekerjaan yang lebih laik.
Setelah peristiwa itu, aku juga mengalami suatu keanehan. Cukup lama aku tak mampu memberi nafkah batin ke isteriku. Lebih aneh lagi, kurang sembilan bulan kemudian,. aku dan isteriku sering mendengar tangisan bayi dekat tempat tidur kami. Kami sibuk mencarinya hingga ke bawah kolong ranjang ranjang.
Menduga rumah itu telah dihuni oleh setan, aku memutuskan cari kontrakan lain. Di tempat yang baru, tangisan bayi itu masih terdengar. Artinya dia terus mengikuti kemana aku pindah. Karena keanehan ini, akhirnya mempertanyakannya kepada Pak Suparlan, orang pintar di lingkungan tempat tinggalku.
“Itu darah dagingmu…!” Jawab Pak Suparlan yang menguasai ilmu gaib. Tentu saja aku bingung dan heran. Apa mungkin persetubuhan gaibku dengan sosok perempuan jin bisa membuat kehamilan? Untuk menjaga ketenangan dalam rumah tangga, aku minta pada sang paranormal agar memberikan solusi menghilangkan suara tangisan bayi tersebut, sehingga tidak terdengar lari. “Kalau sekedar meredam suara tangisnya mungkin bisa, tapi kalau untuk mengusirnya tidak mungkin. Karena dia adalah darah dagingmu yang akan terus membayangi langkahmu kapan dan di mana saja.” Ungkap Pak Suparlan. Aku semakin tak mengerti. Tapi kuserahkan semua ini hanya kepada Allah SWT. Wallahualam.
Postingan ini berdasarkan kisah nyata, adapun nama-nama pelaku dalam kisah ini sengaja disamarkan untuk menghormati privacy yang bersangkutan.
Rupanya, aku telah dikerjai oleh penunggu pohon beringin tua yang dipercayai sangat angker itu. Menurut cerita, kejadian serupa seperti yang kualami pernah juga dialami oleh para pekerja penebangan pohon di tempat itu. Bahkan, suatu ketika ada yang tewas meregang nyawa dalam kondisi alat vital membengkak seukuran biji kelapa.
Karena merasa trauma atas kejadian serupa, maka akhirnya aku memutuskan untuk hengkang dari perusahaan tersebut. Aku memilih kembali ke kota Medan, dan ingin mencari pekerjaan yang lebih laik.
Setelah peristiwa itu, aku juga mengalami suatu keanehan. Cukup lama aku tak mampu memberi nafkah batin ke isteriku. Lebih aneh lagi, kurang sembilan bulan kemudian,. aku dan isteriku sering mendengar tangisan bayi dekat tempat tidur kami. Kami sibuk mencarinya hingga ke bawah kolong ranjang ranjang.
Menduga rumah itu telah dihuni oleh setan, aku memutuskan cari kontrakan lain. Di tempat yang baru, tangisan bayi itu masih terdengar. Artinya dia terus mengikuti kemana aku pindah. Karena keanehan ini, akhirnya mempertanyakannya kepada Pak Suparlan, orang pintar di lingkungan tempat tinggalku.
“Itu darah dagingmu…!” Jawab Pak Suparlan yang menguasai ilmu gaib. Tentu saja aku bingung dan heran. Apa mungkin persetubuhan gaibku dengan sosok perempuan jin bisa membuat kehamilan? Untuk menjaga ketenangan dalam rumah tangga, aku minta pada sang paranormal agar memberikan solusi menghilangkan suara tangisan bayi tersebut, sehingga tidak terdengar lari. “Kalau sekedar meredam suara tangisnya mungkin bisa, tapi kalau untuk mengusirnya tidak mungkin. Karena dia adalah darah dagingmu yang akan terus membayangi langkahmu kapan dan di mana saja.” Ungkap Pak Suparlan. Aku semakin tak mengerti. Tapi kuserahkan semua ini hanya kepada Allah SWT. Wallahualam.
Postingan ini berdasarkan kisah nyata, adapun nama-nama pelaku dalam kisah ini sengaja disamarkan untuk menghormati privacy yang bersangkutan.