Ki Jenggot adalah legenda masyarakat Situ Burung dan Pelabuhan Bulan. Nama-nama yang aneh ini terdapat di kawasan Katapang, Kabupaten Bandung. Ki Jenggot adalah pendekar pilih tanding. Kesaktiannya menggaung melewati batas-batas wilayah sendiri. Sehingga banyak pendekar ketika itu memilih menghindar daripada harus berurusan dengannya. Setelah wafat, Ki Jenggot dimakamkan di sudut Situ Burung dan makamnya dilarang untuk diziarahi. Mengapa ?
Kisah Ki Jenggot merupakan satu kesatuan kisah bersama legenda Situ Burung dan Pelabuhan Bulan. Pelabuhan Bulan merupakan pusat kekuatan mistis kawasan Situ Burung, yang kini tak lebih dari sebidang tanah mirip bukit mini. Dulunya, Pelabuhan Bulan adalah pulau mungil yang terletak di tengah danau yang bernama Situ Burung. Kini sudah mengering dan jadi areal pesawahan.
Di tempat inilah dahulu kala, para pembesar sering beristirahat sambil menikmati kesenian gamelan dan wayang golek. Sesekali mereka melayari danau yang kala itu berair jernih. Tatang Suparman (65), perangkat Desa Katapang, menuturkan bila Pelabuhan Bulan adalah pusatnya Situ Burung. Tak jelas benar, mengapa pulau kecil itu dinamakan Pelabuhan Bulan.
Tapi yang pasti, pada masa itu, areal tanah sekitar danau dikuasai desa. Dan untuk membiayai pemerintahan dan pembangunan desa, tanah-tanah itu disewakan kepada penduduk untuk digarap. Saratnya, si penyewa menyerahkan sekian persen hasil panen untuk lumbung desa sebagai pajak.
Hanya saja, keadaan ekonomi menyebabkan banyak warga menunggak pajak. Maka desa menarik kembali tanah-tanah itu dari penggarapnya. Situ Situ Burung sendiri, kala itu sudah dikenal sanget alias tempat angker. Konon, bila ada yang memancing di Situ Burung sambil membakar menyan hitam, ia pasti akan mendapat banyak ikan. Tentu saja, selain membakar menyan hitam tadi, ada mantera-mantera yang harus dibaca.
Pemandangan Situ Burung memang indah. Tidak heran bila banyak pelancong dan para pembesar datang untuk kongkow-kongkow di sana. Mereka pelesiran sambil melayari danau diiringi gamelan. Tatang Suparman yang juga Kaur Kesra Desa Katapang ini menceritakan, suatu ketika terjadilah musibah besar. Ketika itu, satu grup gamelan yang tengah menghibur para pembesar dari atas perahu mengalami nahas.
Entah mengapa tiba-tiba saja terjadi bencana. Muncul putaran air di sekitar mata air yang terletak dekat Pelabuhan Bulan. Putaran air itu membesar, dan menyebabkan danau bergelora. Tak pelak, perahu yang mengangkut kelompok kesenian gamelan terombang-ambing. Fatalnya, perahu pun karam, lalu tenggelam. Sinden dan para pengiringnya turut tenggelam. Jenazah mereka pun tak pernah ditemukan. “Mungkin karena mereka mati penasaran, sewaktu-waktu di Situ Burung sering terdengar suara gamelan gaib,” tutur Tatang.
Makam Ki Jenggot
Seiring perjalanan waktu, banyak yang menginginkan danau (Situ Burung) dikeringkan dan dijadikan sawah agar lebih produktif. Penguasa gaib kawasan itu setuju, dengan sarat, setiap tahu harus memberangkatkan haji dua warga Situ Burung ke tanah suci Mekkah. Itulah syarat, sekaligus menjadi tumbal untuk mengeringkan air danau. Setelah terjadi kesepakatan, maka air Situ Burung pun dikeringkan. Sumber mata air yang terletak di Pelabuhan Bulan ditutup. Lantas tanah bekas danau yang mengering itu dikavling-kavling dan dijadikan areal persawahan.
Ketika itu terjadilah rebutan penguasaan sumber mata air yang terletak di Pelabuhan Bulan. Sebab sumber mata air itu berhubungan dengan Situ Patenggang. Bila sumber mata air tidak ditutup, ada kemungkinan danau Situ Patenggang di Ciwidey, akan mengering. Karena itulah, pendekar di sana meminta agar mata air Situ Burung ditutup lalu dijadikan sawah. Sebaliknya, untuk mengairi sawah di Situ Burung, air Situ Patenggang akan dialirkan melalui mata air yang ada di Pelabuhan Bulan.
Terjadilah pertarungan antar pendekar saat memperebutkan mata air tersebut. Dalam pertarungan yang terjadi di Pelabuhan Bulan, banyak pendekar berguguran. Jumlah mereka banyak. Setelah tewas, para pendekar itu dimakamkan secara massal di sudut danau. Kini lokasi pemakaman itu menjadi bangunan STM di blok Ceuri, Situ Burung. Bukti kuburan massal itu adalah saat penggalian sumur di sekolah itu beberapa waktu lalu. Para penggali menemukan tulang belulang dan tengkorak manusia dalam jumlah banyak.
Nah, untuk menghentikan pertumpahan darah ketika itu, para pendekar Situ Burung berikrar, bila jagoan mereka Ki Jenggot bisa dikalahkan, maka mata air Pelabuhan Bulan akan diserahkan. Akhirnya dalam sebuah pertarungan, Ki Jenggot yang terkenal sebagai pendekar pilih tanding bisa dikalahkan.
Kabarnya, Ki Jenggot sengaja mengalah supaya tidak terjadi pertumpahan darah lagi. Mayatnya lalu dimakamkan di Blok Pasung, tak jauh dari Pelabuhan Bulan. Hingga kini makam Ki Jenggot masih ada dan dikeramatkan orang. Namun uniknya, makam itu tak pernah terlihat diziarahi orang. Sebab warga di sana termasuk keturunan Ki Jenggot tidak membolehkan makamnya diziarahi.
Menurut H Saidin, anak buyut Ki Jenggot, selain oleh anggota keluarga, orang lain tidak boleh menziarahi makamnya. Dengan alasan untuk menghindari adanya pengkultusan terhadap sosok Ki Jenggot. “Jangan sampai ada yang menyalahgunakan ziarah kubur untuk perbuatan syirik,” tandas H Saidin. Makam Ki Jenggot sendiri, kata H Saidin, sering menunjukkan kejanggalan. Misalnya, bila tangan dimasukkan ke dalam tanah makam, ketika dicabut selalu muncul bau harum yang merebak ke mana-mana.
Kisah Ki Jenggot merupakan satu kesatuan kisah bersama legenda Situ Burung dan Pelabuhan Bulan. Pelabuhan Bulan merupakan pusat kekuatan mistis kawasan Situ Burung, yang kini tak lebih dari sebidang tanah mirip bukit mini. Dulunya, Pelabuhan Bulan adalah pulau mungil yang terletak di tengah danau yang bernama Situ Burung. Kini sudah mengering dan jadi areal pesawahan.
Di tempat inilah dahulu kala, para pembesar sering beristirahat sambil menikmati kesenian gamelan dan wayang golek. Sesekali mereka melayari danau yang kala itu berair jernih. Tatang Suparman (65), perangkat Desa Katapang, menuturkan bila Pelabuhan Bulan adalah pusatnya Situ Burung. Tak jelas benar, mengapa pulau kecil itu dinamakan Pelabuhan Bulan.
Tapi yang pasti, pada masa itu, areal tanah sekitar danau dikuasai desa. Dan untuk membiayai pemerintahan dan pembangunan desa, tanah-tanah itu disewakan kepada penduduk untuk digarap. Saratnya, si penyewa menyerahkan sekian persen hasil panen untuk lumbung desa sebagai pajak.
Hanya saja, keadaan ekonomi menyebabkan banyak warga menunggak pajak. Maka desa menarik kembali tanah-tanah itu dari penggarapnya. Situ Situ Burung sendiri, kala itu sudah dikenal sanget alias tempat angker. Konon, bila ada yang memancing di Situ Burung sambil membakar menyan hitam, ia pasti akan mendapat banyak ikan. Tentu saja, selain membakar menyan hitam tadi, ada mantera-mantera yang harus dibaca.
Pemandangan Situ Burung memang indah. Tidak heran bila banyak pelancong dan para pembesar datang untuk kongkow-kongkow di sana. Mereka pelesiran sambil melayari danau diiringi gamelan. Tatang Suparman yang juga Kaur Kesra Desa Katapang ini menceritakan, suatu ketika terjadilah musibah besar. Ketika itu, satu grup gamelan yang tengah menghibur para pembesar dari atas perahu mengalami nahas.
Entah mengapa tiba-tiba saja terjadi bencana. Muncul putaran air di sekitar mata air yang terletak dekat Pelabuhan Bulan. Putaran air itu membesar, dan menyebabkan danau bergelora. Tak pelak, perahu yang mengangkut kelompok kesenian gamelan terombang-ambing. Fatalnya, perahu pun karam, lalu tenggelam. Sinden dan para pengiringnya turut tenggelam. Jenazah mereka pun tak pernah ditemukan. “Mungkin karena mereka mati penasaran, sewaktu-waktu di Situ Burung sering terdengar suara gamelan gaib,” tutur Tatang.
Makam Ki Jenggot
Seiring perjalanan waktu, banyak yang menginginkan danau (Situ Burung) dikeringkan dan dijadikan sawah agar lebih produktif. Penguasa gaib kawasan itu setuju, dengan sarat, setiap tahu harus memberangkatkan haji dua warga Situ Burung ke tanah suci Mekkah. Itulah syarat, sekaligus menjadi tumbal untuk mengeringkan air danau. Setelah terjadi kesepakatan, maka air Situ Burung pun dikeringkan. Sumber mata air yang terletak di Pelabuhan Bulan ditutup. Lantas tanah bekas danau yang mengering itu dikavling-kavling dan dijadikan areal persawahan.
Ketika itu terjadilah rebutan penguasaan sumber mata air yang terletak di Pelabuhan Bulan. Sebab sumber mata air itu berhubungan dengan Situ Patenggang. Bila sumber mata air tidak ditutup, ada kemungkinan danau Situ Patenggang di Ciwidey, akan mengering. Karena itulah, pendekar di sana meminta agar mata air Situ Burung ditutup lalu dijadikan sawah. Sebaliknya, untuk mengairi sawah di Situ Burung, air Situ Patenggang akan dialirkan melalui mata air yang ada di Pelabuhan Bulan.
Terjadilah pertarungan antar pendekar saat memperebutkan mata air tersebut. Dalam pertarungan yang terjadi di Pelabuhan Bulan, banyak pendekar berguguran. Jumlah mereka banyak. Setelah tewas, para pendekar itu dimakamkan secara massal di sudut danau. Kini lokasi pemakaman itu menjadi bangunan STM di blok Ceuri, Situ Burung. Bukti kuburan massal itu adalah saat penggalian sumur di sekolah itu beberapa waktu lalu. Para penggali menemukan tulang belulang dan tengkorak manusia dalam jumlah banyak.
Nah, untuk menghentikan pertumpahan darah ketika itu, para pendekar Situ Burung berikrar, bila jagoan mereka Ki Jenggot bisa dikalahkan, maka mata air Pelabuhan Bulan akan diserahkan. Akhirnya dalam sebuah pertarungan, Ki Jenggot yang terkenal sebagai pendekar pilih tanding bisa dikalahkan.
Kabarnya, Ki Jenggot sengaja mengalah supaya tidak terjadi pertumpahan darah lagi. Mayatnya lalu dimakamkan di Blok Pasung, tak jauh dari Pelabuhan Bulan. Hingga kini makam Ki Jenggot masih ada dan dikeramatkan orang. Namun uniknya, makam itu tak pernah terlihat diziarahi orang. Sebab warga di sana termasuk keturunan Ki Jenggot tidak membolehkan makamnya diziarahi.
Menurut H Saidin, anak buyut Ki Jenggot, selain oleh anggota keluarga, orang lain tidak boleh menziarahi makamnya. Dengan alasan untuk menghindari adanya pengkultusan terhadap sosok Ki Jenggot. “Jangan sampai ada yang menyalahgunakan ziarah kubur untuk perbuatan syirik,” tandas H Saidin. Makam Ki Jenggot sendiri, kata H Saidin, sering menunjukkan kejanggalan. Misalnya, bila tangan dimasukkan ke dalam tanah makam, ketika dicabut selalu muncul bau harum yang merebak ke mana-mana.