Makam Raja Raja Mataram Imogiri Bantul

Makam Pajimatan Imogiri terletak di Desa Pajimatan, Kalurahan Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Posisinya berjarak sekitar 17km arah tenggara Kota Yogyakarta. Makam seluas 10 hektar ini terletak di atas Bukit Merak setinggi 35-100 meter dari atas permukaan laut. Lokasi makam harus ditempuh menaiki jalan bertangga yang cukup tinggi, dengan jumlah sekitar 364 anak tangga.

Makam ini dibangun pada tahun 1645 oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja ketiga Dinasti Mataram Islam. Tempat ini kemudian dikenal dengan nama Pajimatan Imogiri, dimana Sultan Agung dimakamkan ketika wafat pada tanggal 6 April 1645. Makam Sultan Agung sendiri menjadi induk makam dan disebut Kasultanangungan, terletak di bagiah tengah paling atas.

Pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, Makam Imogiri pun dibagi menjadi 2 bagian. Bagian sebelah barat dipergunakan sebagai makam raja-raja Kasunanan Surakarta yang dianggap lebih tua. Sementara bagian sebelah timur dipergunakan sebagai makam raja-raja Kasultanan Yogyakarta. Semua raja-raja Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta disemayamkan di makam ini, kecuali Sri Sultan Hamengkubuwono II yang dimakamkan di Kotagede.

Makam Imogiri mengalami pemugaran pada masa Sultan Hamengku Buwono VI dan Sultan Hamengku Buwono VII, dimulai sejak tahun 1890. Pemugaran ini menambahkan elemen dekoratif bernuansa Bali, karena para pekerja pemugaran kebanyakan berasal dari Pulau Bali.

Di Depan gerbang Makam Kasultananagungan terdapat 4 buah tempayan berukuran besar. Tempayan di sisi paling kiri bernama Nyai Danumurti yang berasal dari Sriwijaya (Palembang). Di sebelah kanannya diberi nama Kyai Danumaya yang berasal dari Aceh. Tempayan berikutnya bernama Kyai Mendhung, berasal dari Ngerum, Istambul (Turki). Tempayan di sisi paling kanan bernama Nyai Siyem yang berasal dari Siam (Thailand). Keempat tempayan ini hanya dikuras setahun sekali pada bulan Sura atau Muharram.

Yang menarik adalah, Makam Imogiri – juga disebut Pajimatan Imogiri – terbagi menjadi tiga bagian. Jika kita datang menghadap ke makam itu, maka pada bagian tengah adalah makam Sultan Agung dan Susuhunan Paku Buwono I. Lalu di sebelah kanan berderet bangunan makam para sultan Kraton Yogyakarta, mulai dari Sultan Hamengku Buwono I, II, III yang disebut Kasuwargan. Disusul di sebelah kanan makam Sultan Hamengku Buwono IV,V, dan VI yang dinamakan Besiaran. Dan paling akhir di sisi paling kanan adalah makam Sultan HB VII, VIII, dan IX yang disebut Saptorenggo.

Pada sisi kiri berturut-turut adalah makam para sunan dari Kraton Surakarta, mulai dari Susuhunan Paku Buwono III (abang Sultan HB I) hingga Susuhunan Paku Buwono XI.

Khusus makam Sultan Hamengku Buwono II, jenazahnya dimakamkan di Makam Senopaten di Kotagede, Yogyakarta, di dekat makam raja Mataram I, Panembahan Senopati yang ketika muda bernama Sutawijaya atau Panembahan Loring Pasar.

Memasuki makam raja-raja Mataram jelas tidak sama dengan memasuki pemakaman umum. Setiap makam raja memiliki bangunan khusus dan berada di tataran yang khusus pula. Sebagai contoh, untuk masuk ke makam Sultan Agung, maka selain harus mengenakan pakaian adat Jawa (peranakan), kita harus melepas alas kaki, juga harus melalui tiga pintu gerbang.

Bahkan yang bisa langsung berziarah ke nisan para raja itu pun terbatas pada keluarga dekat raja atau masyarakat lain yang mendapat izin khusus dari pihak Kraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta.

Oleh karena itu, peziarah awam yang tidak siap mengenakan pakaian adat Jawa, terpaksa hanya bisa melihat pintu gerbang pertama yang dibuat dari kayu jati berukir dan bertuliskan huruf Jawa berusia ratusan tahun, dengan grendel dan gembok pintu kuno.

Hanya para juru kunci pemakaman itu yang bisa membuka gerbang tersebut. Jika toh masyarakat awam bisa melihat ”isi” di balik pintu gerbang pertama, itu pun ketika keluarga raja datang, pintu gerbang dibuka lebar, dan masyarakat bisa melongok sebentar sebelum gerbang itu ditutup. Rasa penasaran itu pula yang menyebabkan misteri makam raja Mataram tetap terpelihara.

Percaya atau tidak, setiap bulan Sura (Muharram), banyak peziarah yang datang ke Makam Imogiri. Meskipun di dalam ajaran Islam tidak dikenal ritual membakar kemenyan, toh para peziarah banyak yang membakar kemenyan wangi dan dupa wangi di sana. Akulturasi budaya antara Hindu, Jawa, dan Islam begitu kental di pemakaman raja-raja Mataram ini. Akulturasi budaya itu justru menciptakan kedamaian.

Tidak ada konflik di sana. Semua mengalir dalam damai. Dan malam-malam penuh doa itu pun berjalan lancar hingga pagi. Para peziarah pulang dengan hati lapang dengan harapan: semoga permohonan ini diterima oleh Yang di Atas.

Sah-sah saja jika di Makam Imogiri itu dibangun sebuah mesjid dan di samping mesjid ada makam Kyai Tumenggung Tjitrokoesoemo, seorang arsitek zaman pemerintahan Sultan Agung yang membangun Makam Imogiri tersebut. Lalu, ada pula lonceng gereja yang selalu didentangkan untuk menunjukkan waktu. Dua bangunan itu masih tampak baru.

Makam Imogiri dibuka setiap hari Senin jam 10.00-13.00, Jum’at jam 13.30-16.00, tanggal 1 dan 8 bulan Syawal jam 10.30-13.00, serta tanggal 10 bulan Besar jam 10.30-13.00. Selama bulan Ramadhan (Poso), makam ini ditutup untuk umum.


 

SEO Stats powered by MyPagerank.Net

 Subscribe in a reader

Add to Google Reader or Homepage

Powered by FeedBurner

Waris Djati

↑ Grab this Headline Animator

My Ping in TotalPing.com Protected by Copyscape Online Copyright Protection Software DMCA.com Literature Blogs
Literature blog Submit Your Site To The Web's Top 50 Search Engines for Free! free web site traffic and promotion Submitdomainname.com Sonic Run: Internet Search Engine
eXTReMe Tracker
free search engine website submission top optimization