Kramat Tajug Cilenggang

Raden Muhammad Atief (Tubagus Atief) yang juga salah satu dari panglima perang Kerajaan Banten yang dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa mendapatkan tugas untuk membantu rakyat di Tangerang tepatnya di Benteng Selatan dalam melawan penjajahan Belanda sekaligus menyiarkan agama Islam.

Raden Muhammad Atief (Tubagus Atief) sendiri adalah putra dari Sultan Ageng Tirtayasa yang ke enam. Sultan Ageng Tirtayasa sendiri berputrakan sembilan anak yaitu :

1. Sultan Haji
2. Pangeran Purbaya
3. Pangeran Setiri
4. Pangeran Jogya
5. Raden Shoheh
6. Reden Muhammad Atief (Tubagus Atief)
7. Ratu Ayu
8. Ratu Fatimah
9. Ratu Komala (meninggal sewaktu kecil)

Setelah menyelesaikan tugasnya Di Benteng Selatan kemudian Raden Muhammad Atief (Tubagus Atief) kembali ke Banten dan mendapatkan gelar Tubagus Wetan dari ayahandanya sendiri Sultan Ageng Tyrtayasa. Karena jasa-jasanya kepada masyarakat disini maka masyarakat disini menikahkan Raden Muhammad Atief (Tubagus Atief) dengan Siti Almiyah wanita asli Desa Cilenggang ini dengan mas kimpoinya Masjid Jami Al Ikhlas (dahulu Surau atau Tajug) yang sekarang masih berdiri.


Dikarenakan kondisi kesultanan Banten yang sedang mengalami kekacauan pada waktu itu yaitu adanya konflik antara Sultan Ageng Tyrtayasa dengan putranya sendiri Sultan Haji, hal ini menimbulkan kesulitan kepada Raden Muhammad Atief untuk memihak, maka Sultan Ageng Tyrtayasa memerintahkan kepada Raden Muhammad Atief (Tubagus Atief) untuk tinggal di Desa Cilenggang dengan membawa adiknya Ratu Ayu sambil tetap menyebarkan Agama Islam disini.

Dalam wasiatnya sebelum wafatnya kepada anak cucunya seandainya beliau wafat agar dimakamkan di dalam Surau atau Tajug (budaya masyarakat waktu itu dalam menyebut Surau) bersama dengan Ratu Ayu adik beliau yang wafat lebih dahulu. Dewasa ini masyarakat Desa Cilenggang pada khususnya dan masyarakat lain pada umumnya menyebut dengan istilah Kramat Tajug.

Asal muasal Gunung Puyuh Kramat Tajug

Dahulu Surau atau Tajug yang didirikan oleh Raden Muhammad Atief (Tubagus Atief) berdiri ditanah yang datar dan dikelilingi oleh persawahan. Ketika Raden Muhammad Atief (Tubagus Atief) dimakamkan di dalam Surau ini sesuai dengan wasiatnya, sebelumnya adik beliau Ratu Ayu juga dimakamkan disini. Maka lama kelamaan tanah yang tadinya datar berubah semakin meninggi yang sekarang dikenal oleh sebagian orang sebagai Gunung Puyuh. Tidak banyak orang mengetahui hal ini selain dari anak cucu keturunan Raden Muhammad Atief atau lebih dikenal sebagai Tugabus (Tb) Atief. Luas Gunung Puyuh ini diperkirakan sekarang mencapai sekitar dua hektar.

Raden Muhammad Atief (Tubagus Atief) menikah dengan Siti Almiyah memiliki empat putra yaitu :

1. Tubagus (Tb) Romadhon (dimakamkan di Kalipasir – Tangerang)
2. Tubagus (Tb) Arfah (dimakamkan di Kramat Tajug – Desa Cilenggang)
3. Tubagus (Tb) Raje (dimakamkan di Desa Kadubumbang - Cimanuk, Pandeglang)
4. Tubagus (Tb) Arja (dimakamkan di Gunung Sindur – Desa Jampang)

Keanehan lainnya adalah luas tanah dari Kramat Tajug yang sejak zaman dahulu juga berfungsi sebagai tempat pemakaman warga atau masyarakat Desa Cilenggang seakan tidak pernah sempit atau selalu cukup untuk dijadikan areal pemakaman baik oleh anak cucu dari Tubagus (Tb) Atief maupun oleh warga Desa Cilenggang sendiri.

Untuk menjaga kelestarian dari Kramat Tajug ini telah didirikan Yayasan Tubagus Atief yang diketuai oleh H. Tubagus (Tb) Imammudin dan juga Paguyuban Keluarga Muhammad Atief yang diketuai oleh H. Tubagus (Tb) Muin Basyuni dan Sekertaris Umumnya Tubagus (Tb) Moh. Sholeh Sutisna atau lebih dikenal dengan panggilan Sos Rendra

Sampai saat ini ritual ziarah masih sering dilakukan oleh keluarga dari Kramat Tajug. Setiap minggu ketiga pada setiap bulannya H. Tubagus Imammudin yang juga Ketua dari Yayasan Tubagus Atief memimpin sekitar 300 orang dari keturunan Kramat Tajug untuk ziarah dan tahlil. Dan setiap tanggal empat belas di bulan Maulid diadakan pencucian benda-benda milik dari Raden Muhammad Atief atau Tubagus (Tb) Atief.

Sampai sekarangpun masih banyak dari warga disekitar Desa Cilenggang dan masyarakat umum bahkan dari luar jawapun banyak yang datang untuk melakukan ziarah dan tirakat di Kramat Tajug.


Makam Roro Mendut

Tempat ini berupa sebuah makam keramat yang terletak di sebelah timur kota Yogyakarta, tepatnya di   wilayah Dusun Gandu, Sendangtirto, Berbah, Sleman. Saking tuanya makam ini, bahkan sebelum kota Yogyakarta terbentuk, makam ini pun telah lama berdiam di kawasan pedesaan ini.

Tempat ini berupa sebuah makam keramat yang terletak di sebelah timur kota Yogyakarta, tepatnya di wilayah Dusun Gandu, Sendangtirto, Berbah, Sleman. Saking tuanya makam ini, bahkan sebelum kota Yogyakarta terbentuk, makam ini pun telah lama berdiam di kawasan pedesaan ini.


Makam ini cukup dikenal oleh warga, apalagi mereka yang berasal dari suku Jawa, lantaran di sinilah tempat dimakamkannya jasad Roro Mendut dan Pronocitro, sebuah legenda kisah nyata cerita cinta sejati yang pernah hidup di tanah Jawa, layaknya legenda bangsa Eropa tentang Romeo dan Juliet.

“Makam tersebut memang benar makam Roro Mendut, cerita hidup yang dahulu memang pernah ada di tanah Jawa ini,” terang Rubiyo (55) sesepuh kampung Gandu, tempat dimana makam ini kini berada.

Diceritakan Rubiyo, cerita cinta dua anak manusia tersebut terjadi sekitar abad ke-17 atau kurang lebih pada tahun 1600-an, ketika jaman Kesultanan Mataram atau embrio dari Keraton Yogyakarta masih berkuasa dibawah pimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja pertamanya.

Pada masa itu, Kraton Mataram adalah kerajaan yang menguasai hampir seluruh wilayah tanah Jawa. Guna memperluas wilayahnya, daerah-daerah di pesisir utara Jawa pun dirambah, salah satu wilayah yang ingin dikuasai oleh Mataram saat itu adalah wilayah Kadipaten Pesantenan, yang kini bernama Kabupaten Pati, masuk ke dalam wilayah Propinsi Jawa Tengah.

Dalam tugas tersebut, Sultan Agung mengutus salah satu panglima tangguh Kerajaan Mataram berpangkat Tumenggung yang bernama Wiroguno untuk berangkat berperang menguasai Kadipaten Pati.

yang pernah hidup di tanah Jawa, layaknya legenda bangsa Eropa tentang Romeo dan Juliet.

“Makam tersebut memang benar makam Roro Mendut, cerita hidup yang dahulu memang pernah ada di tanah Jawa ini,” terang Rubiyo (55) sesepuh kampung Gandu, tempat dimana makam ini kini berada.

Diceritakan Rubiyo, cerita cinta dua anak manusia tersebut terjadi sekitar abad ke-17 atau kurang lebih pada tahun 1600-an, ketika jaman Kesultanan Mataram atau embrio dari Keraton Yogyakarta masih berkuasa dibawah pimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja pertamanya.

Pada masa itu, Kraton Mataram adalah kerajaan yang menguasai hampir seluruh wilayah tanah Jawa. Guna memperluas wilayahnya, daerah-daerah di pesisir utara Jawa pun dirambah, salah satu wilayah yang ingin dikuasai oleh Mataram saat itu adalah wilayah Kadipaten Pesantenan, yang kini bernama Kabupaten Pati, masuk ke dalam wilayah Propinsi Jawa Tengah.

Dalam tugas tersebut, Sultan Agung mengutus salah satu panglima tangguh Kerajaan Mataram berpangkat Tumenggung yang bernama Wiroguno untuk berangkat berperang menguasai Kadipaten Pati.

Kadipaten Pesantenan alias Kadipaten Pati ini bukanlah wilayah yang memiliki kekuatan perang yang tangguh, tak butuh waktu lama bagi Tumenggung Wiroguno untuk menguasainya. Tak dalam hitungan minggu, Pati berhasil dikuasai Tumenggung Wiroguno.

Sebagai tanda takluknya Kadipaten Pati terhadap Keraton Mataram, Adipati Pati menyerahkan upeti harta benda kepada keraton Mataram, berikut juga menyerahkan puteri angkatnya yang cantik jelita, bernama Roro Mendut. Roro Mendut adalah seorang gadis kelahiran Desa Trembagi, Pati, yang sudah sejak kecil diasuh oleh Adipati Pati ini.

Diboyonglah Roro Mendut ke Mataram dan harta benda jarahan yang lainnya. Di Mataram, Roro Mendut tinggal di lingkungan keraton. Rencananya, gadis cantik ini akan dipersunting sendiri oleh Wiroguno jika usia Roro Mendut telah matang nantinya.

Namun hasrat Sang Tumenggung bertepuk sebelah tangan, Roro Mendut enggan dipersunting oleh Wiroguno, lantaran Roro Mendut sebenarnya telah memiliki kekasih bernama Pronocitro, pemuda tampan dari daerah asalnya sana, Pati.

Diam-diam, Pronocitro pun menyusul Roro Mendut, kekasihnya. Berangkatlah pemuda ini dari Pati ke tanah Mataram. Di Yogyakarta alias Mataram, Pronocitro ini menyamar menjadi pekatik atau yang dalam bahasa Jawa berarti pegawai perawat kuda-kuda prajurit.

Mendengar kalau Pronocitro mengikutinya ke Mataram, akhirnya Roro Mendut pun meminta kepada Wriguno untuk diperbolehkan hidup di luar lingkungan keraton yang selama itu membelenggunya.

Dipilihlah daerah Sendangtirto, Berbah, yang berjarak sekitar 25 km sebelah timur Kraton Mataram, agar dirinya tetap bisa selalu bertemu dengan kekasihnya, Pronocitro, tanpa diketahui pihak istana.

Selama di pengasingannya, Roro Mendut tidak pernah di rawat oleh Wiroguno. Untuk menyambung hidupnya, gadis cantik ini hidup dengan cara berjualan rokok lintingan, yaitu rokok yang dibuat secara tradisional dari gulungan kertas yang diisi dengan tembakau.

Kala itu, rokok yang dipasarkan Roro Mendut sangat laris manis di kalangan prajurit Mataram, lantaran kertas rokok-rokok tersebut dalam proses akhir penggulungannya, selalu direkatkan dengan cara dijilat terlebih dahulu menggunakan lidah Roro Mendut yang sangat cantik dan menggoda tersebut.

Terlebih lagi, kepada setiap pembelinya, Roro Mendut yang pertama kali menghidupkan rokok tersebut. Artinya, Roro Mendut lah yang menyulutkan api, sekaligus yang pertama menghisapkan rokok tersebut untuk sang pembeli. Rokok bekas sedotan gadis muda ini konon akan lebih manis dan nikmat rasanya ketika dihisap.

Cukup lama Roro Mendut menjalin hubungan cinta sembunyi-sembunyi dengan Pronocitro melalui cara penyemaran yang demikian. Namun akhirnya, perjalanan cinta kedua muda-mudi inipun terendus juga oleh Wiroguno. Pada suatu hari, Tumenggung Wiroguno berhasil menangkap basah sejoli ini sedang berduaan.

Wiroguno naik pitam melihat kejadian tersebut. Langsung, dicabutlah keris pusaka miliknya dan menghujamkan keris tersebut ke tubuh Pronocitro. Pasangan yang sedang bermadu kasih ini pun terkejut. Melihat Pronocitro yang diserang, segeralah Roro Mendut membalikkan badannya seolah menutupi dan menjadi perisai tubuh kekasihnya.

Keris Wiroguno akhirnya menusuk punggung belakang Roro Mendut. Namun sayang, keris itupun juga akhirnya tembus sampai menusuk ke dada Pronocitro, tewaslah sepasang kekasih ini secara bersamaan. Roro Mendut tewas ketika memeluk kekasihnya, Pronocitro.

“Roro Mendut dan Pronocitro dikuburkan dalam satu kuburan. Jadi, di kuburan tersebut dimakamkan dua jasad sekaligus,” lanjut Rubiyo.

Akhirnya, sepasang kekasih ini pun dimakamkan di tempat dimana kejadian tragis itu terjadi. Keduanya pun dimakamkan dalam satu liang lahat, masih dalam keadaan saling berpelukan erat.

Pedagang Yang Ingin Sukses

“Dulu, makam Roro Mendut dan Pronocitro ini ada juru kuncinya. Namun sekarang sudah tidak ada lagi, karena juru kuncinya telah meninggal. Jadi makam tersebut sudah tidak ada yang merawat dan menjaganya,” kata ayah 3 orang anak ini.

Makam Roro Mendut dan Pronocitro ini kini terketak di sebuah kebun warga yang tidak terawat. Dibuatlah sebuah rumah kecil, yang dalam bahasa Jawa disebut cungkup. Di bangunan cungkup berukuran sekitar 4 x 5 meter tersebut di dalamnya berisi pusara Roro Mendut dan Pronocitro.

Nisan tempat dimakamkan jasad kedua insan ini tidak terbuat dari batu seperti nisan pada umumnya, malainkan hanya sederhana saja terbuat dari kayu setinggi kurang lebih setengah meter, di sekitar nisan tersebut ditutupi oleh kain kafan berwarna putih.

Diterangkan oleh Rubiyo, makam Roro Mendut dan Pronocitro ini banyak dikunjungi warga yang ingin mengalab berkah di hadapan pusara keduanya.

Walau pada hari biasa kuburan tua ini sering dikunjungi orang, namun pada hari tertentu, yaitu pada malam Jumat Kliwon atau pada malam Selasa Kliwon makam ini lebih ramai dikunjungi orang.

“Makam ini akan ramai didatangi orang pada malam Jumat Kliwon dan malam Selasa Kliwon, kadua hari inilah yang banyak dipilih orang untuk melakukan ritual dan diyakini akan membuat terkabul semua permintaan,” lanjutnya.

Dari sekian banyak permintaan, kebanyakan dari para pengalap berkah yang datang ke makam ini adalah mereka yang berprofesi sebagai padagang yang ingin bisnis serta dagangannya diberikan kelancaran.

Hal ini diyakini, karana semasa hidup, Roro Mendut adalah merupakan seorang pedagang rokok yang sukses. Jadi, tuah makam Roro Mendut ini dipercaya sangat membantu mendatangkan berkah pula bagi mereka yang berprofesi sebagai pedagang.

“Banyak yang telah sukses dengan melakukan ritual di makam ini. Yang datang tak hanya warga dari wilayah sini saja, bahkan orang-orang dari daerah yang jauh pada datang ke makam Roro Mendut ini, ingin supaya permohonannya terkabul,” terang kekek seorang cucu ini.

Ngeseks Di Kuburan

Ada serangkaian prosesi yang kudu dilakoni para peritual yang ingin mengalab berkah di makam Roro Mendut dan Pronocitro ini agar permohonan nantinya bisa terkabul.

Agar proses ritual menjadi sempurna, siapapun orangnya yang melakukan kegiatan spiritual di makam tersebut disarankan untuk melakukan serangkaian ritual sebanyak 3 kali. Bisa 3 hari berturut-turut atau bisa pula dihari yang berbeda, yang penting jumlah ritualnya genap sebanyak 3 kali.

Peritual harus membawa sesajen berupa kembang setaman dan dupa atau pula kemenyan. Selain itu, peritual juga harus menyediakan pula bedak dan rokok untuk sesajen, karena perlengkapan inilah yang sering dibawa Roro Mendut ketika berjualan rokok dahulu semasa hidupnya.

Setelah itu, barulah dupa dan kemenyan tersebut dibakar. Sambil meletakan sesajen berikut bedak dan rokok tersebut di dekat pusara nisan kayu itu, tak lupa kemudian peritual memanjatkan permohonan yang diharapkannya.

Setelah doa dan permohonan dipanjatkan di hadapan pusara Roro Mendut dan Pronocitro, para pengalab berkah ini harus melakukan prosesi ritual mengelilingi kompleks luar makam.

Perjalanan mengelilingi makam ini cukup dilakukan sekali putaran saja. Gerak putaran mengelilingi makam ini harus berlawanan arah dengan putaran jarum jam alias bergerak dengan arah putaran ke arah kiri.

Ada hal mistis berbau erotis yang harus dilakukan setiap peritual sebagai tahap terakhir menyempurnakan serangkaian ritual permohonan di makam ini. Setelah mengelilingi makam, para pengalab berkah diwajibkan melakukan persetubuhan alias melakukan hubungan seksual antara pria dan wanita.

“Memang, kegiatan berhubungan badan di makam tersebut telah berlangsung sejak lama, dari dahulu hingga sekarang. Yang datang memohon ke makam tersebut pasti datang secara berpasang-pasangan. Saya juga pernah melihatnya sendiri,” tambahnya.

Persetubuhan diakhir ritual ini dimaknakan sebagai simbol penyatuan jiwa dan cinta antara dua insan manusia, seperti halnya cinta Roro Mendut dan Pronocitro yang dibawa sampai mereka berdua mati.

“Dalam melakukan hubungan badan di makam Roro Mendut tersebut, bisa dilakukan di luar kompleks, atau di dalam cungkup itu. Yang penting harus melakukan hubungan badan seperti suami istri,” beber Rubiyo.

Namun diyakini, agar permohonannya menjadi makbul, persetubuhan yang dilakukan tersebut haruslah hubungan seks antar muhrim. Artinya, hubungan seksual tersebut haruslah hubungan badan antara suami atau istri yang sah, bukan dengan yang lainnya.

Peritual yang permohonannya terkabulkan, setelah melakukan serangkaian ritual di makam Roro Mendut dan Pronocitro ini sebanyak 3 kali, dalam mimpi tidurnya akan didatangi oleh sesosok perempuan cantik, dialah Roro Mendut. Dan bisa dirasakan, setelah itu akan terjadi kelancaran dan laris dalam usaha dagang yang digelutinya.


Syeh Siti Jenar (Lemah Abang) dalam Mengenal Tuhan

Ajaran Siti Jenar memahami Tuhan sebagai ruh yang tertinggi, ruh maulana yang utama, yang mulia yang sakti, yang suci tanpa kekurangan. Itulah Hyang Widhi, ruh maulana yang tinggi dan suci menjelma menjadi diri manusia.

Hyang Widhi itu di mana-mana, tidak di langit, tidak di bumi, tidak di utara atau selatan. Manusia tidak akan menemukan biarpun keliling dunia. Ruh maulana ada dalam diri manusia karena ruh manusia sebagai penjelmaan ruh maulana, sebagaimana dirinya yang sama-sama menggunakan hidup ini dengan indera, jasad yang akan kembali pada asalnya, busuk, kotor, hancur, tanah. Jika manusia itu mati ruhnya kembali bersatu ke asalnya, yaitu ruh maulana yang bebas dari segala penderitaan. Lebih lanjut Siti Jenar mengungkapkan sifat-sifat hakikat ruh manusia adalah ruh diri manusia yang tidak berubah, tidak berawal, tidak berakhir, tidak bermula, ruh tidak lupa dan tidak tidur, yang tidak terikat dengan rangsangan indera yang meliputi jasad manusia.

Syeh Siti Jenar mengaku bahwa, “aku adalah Allah, Allah adalah aku”. Lihatlah, Allah ada dalam diriku, aku ada dalam diri Allah.  Pengakuan Siti Jenar bukan bermaksud mengaku-aku dirinya sebagai Tuhan Allah Sang Pencipta ajali abadi, melainkan kesadarannya tetap teguh sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan. Siti Jenar merasa bahwa dirinya bersatu dengan “ruh” Tuhan. Memang ada persamaan antara ruh manusia dengan “ruh” Tuhan atau Zat. Keduanya bersatu di dalam diri manusia. Persatuan antara ruh Tuhan dengan ruh manusia terbatas pada persatuan manusia denganNya. Persatuannya merupakan persatuan Zat sifat, ruh bersatu dengan Zat sifat Tuhan dalam gelombang energi dan frekuensi yang sama. Inilah prinsip kemanunggalan dalam ajaran tentang manunggaling kawula Gusti atau jumbuhing kawula Gusti. Bersatunya dua menjadi satu, atau dwi tunggal. Diumpamakan wiji wonten salebeting wit.

Pandangan Syeh Lemah Abang Tentang Manusia

Dalam memandang hakikat manusia Siti Jenar membedakan antara jiwa dan akal. Jiwa merupakan suara hati nurani manusia yang merupakan ungkapan dari zat Tuhan, maka hati nurani harus ditaati dan dituruti perintahnya. Jiwa merupakan kehendak Tuhan, juga merupakan penjelmaan dari Hyang Widdhi (Tuhan) di dalam jiwa, sehingga raga dianggap sebagai wajah Hyang Widdhi. Jiwa yang berasal dari Tuhan itu mempunyai sifat zat Tuhan yakni kekal, sesudah manusia raganya mati maka lepaslah jiwa dari belenggu raganya. Demikian pula akal merupakan kehendak, tetapi angan-angan dan ingatan yang kebenarannya tidak sepenuhnya dapat dipercaya, karena selalu berubah-ubah.

erbedaan karakter jiwa dan akal yang bertolak belakang dalam pandangan Siti Jenar, disebabkan oleh adanya garis demarkasi yang menjadi pemisah antara sifat hakikat jiwa dan akal-budi. Jiwa terletak di luar nafsu, sementara akal-budi letaknya berada di dalam nafsu. Mengenai perbedaan jiwa dan akal, dalam wirayat Saloka Jati diungkapkan bahwa akal-budi umpama kodhok kinemulan ing leng atau wit jroning wiji (pohon ada di dalam biji). Sedangkan jiwa umpama kodhok angemuli ing leng atau wiji jroning wit (biji ada di dalam pohon).

Bagi Syeh Siti Jenar, proses timbulnya pengetahuan datang secara bersamaan dengan munculnya kesadaran subyek terhadap obyek. Maka pengetahuan mengenai kebenaran Tuhan akan diperoleh seseorang bersama dengan penyadaran diri orang itu. Jika ingin mengetahui Tuhanmu, ketahuilah (terlebih dahulu) dirimu sendiri. Syeh Lemah bang percaya bahwa kebenaran yang diperoleh dari hal-hal di atas ilmu pengetahuan, mengenai wahyu dan Tuhan bersifat intuitif. Kemampuan intuitif ini ada bersamaan dengan munculnya kesadaran dalam diri seseorang.

Pandangan Syeh Lemah Bang Tentang Kehidupan Dunia

Pandangan Syeh Jenar tentang dunia adalah bahwa hidup di dunia ini sesungguhnya adalah mati. Dikatakan demikian karena hidup di dunia ini ada surga dan neraka yang tidak bisa ditolak oleh manusia. Manusia yang mendapatkan surga mereka akan mendapatkan kebahagiaan, ketenangan, kesenangan. Sebaliknya rasa bingung, kalut, muak, risih, menderita itu termasuk neraka.  Jika manusia hidup mulia, sehat, cukup pangan, sandang, papan maka ia dalam surga. Tetapi kesenangan atau surga di dunia ini bersifat sementara atau sekejap saja, karena betapapun juga manusia dan sarana kehidupannya pasti akan menemui kehancuran.

    Syeh Jenar mengumpamakan bahwa manusia hidup ini sesungguhnya mayat yang gentayangan untuk mencari pangan pakaian dan papan serta mengejar kekayaan yang dapat menyenangkan jasmani. Manusia bergembira atas apa yang ia raih, yang memuaskan dan menyenangkan jiwanya, padahal ia tidak sadar bahwa semua kesenangan itu akan binasa. Namun begitu manusia suka sombong dan bangga atas kepemilikan kekayaan, tetapi tidak menyadari bahwa dirinya adalah bangkai. Manusia justru merasa dirinya mulia dan bahagia, karena manusia tidak menyadari bahwa harta bendanya merupakan penggoda manusia yang menyebabkan keterikatannya pada dunia.

Jika manusia tidak menyadari itu semua, hidup ini sesungguhnya derita. Pandangan seperti itu menjadikan  sikap dan pandangan Siti Jenar menjadi ekstrim dalam memandang kehidupan dunia. Hidup di dunia ini adalah mati, tempat baik dan buruk, sakit dan sehat, mujur dan celaka, bahagia dan sempurna, surga dan neraka, semua bercampur aduk menjadi satu. Dengan adanya peraturan maka manusia menjadi terbebani sejak lahir hingga mati. Maka Syeh Siti Jenar sangat menekankan pada upaya manusia untuk hidup yang abadi agar tahan mengalami hidup di dunia ini. Siti Jenar kemudian mengajarkan bagaimana mencari kamoksan (mukswa/mosca) yakni mati sempurna beserta raganya lenyap masuk ke dalam ruh (warongko manjing curigo). Hidup ini mati, karena mati itu hidup yang sesungguhnya karena manusia bebas dari segala beban dan derita. Karena hidup sesudah kematian adalah hidup yang sejati, dan abadi.

Syeh Siti Jenar Mengkritik Ulama dan Para Santrinya

Alasan yang mendasari mengapa Syeh Siti Jenar mengkritik habis-habisan para ulama dan santrinya karena dalam kacamata Syeh Siti, mereka hanya berkutat pada amalan syariat (sembah raga). Padahal masih banyak tugas manusia yang lebih utama harus dilakukan untuk mencapai tataran kemuliaan yang sejati. Dogma-dogma, dan ketakutan neraka serta bujuk rayu surga justru membelenggu raga, akal budi, dan jiwa manusia. Maka manusia menjadi terkungkung rutinitas lalu lupa akan tugas-tugas beratnya. Manusia demikian menjadi gagal dalam upaya menemukan Tuhannya.

Kritik Syeh Lemah Bang Atas Konsep Surga-Neraka

Konsep surga-neraka dalam ajaran Siti Jenar berbeda sekali dengan apa yang diajarkan oleh para ulama. Menurut Syeh Siti Jenar, surga dan neraka adalah dalam hidup ini. Sementara para ulama mengajarkan surga dan neraka merupakan balasan yang diberikan kepada manusia atas amalnya yang bakal diterima kelak sesudah kematian (akherat).

Menurut Syeh Siti, orang mukmin telah keliru karena mengerjakan shalat jungkir balik, mengharap-harap surga, sedang surga sesudah kematian itu tidak ada, shalat itu tidak perlu dan orang tidak perlu mengajak orang lain untuk shalat. Shalat minta apa, minta rizki ? Tuhan toh tidak memberi lantaran shalat.

Santri yang menjual ilmu dengan siapa pun mau menyembah Tuhan di masjid, di dalamnya terdapat Tuhan yang bohong. Para ulama telah menyesatkan manusia dengan menipu mereka jungkir balik lima kali, pagi, siang, sore, malam hanya untuk memohon-mohon imbalan surga kelak. Sehingga orang banyak tergiur oleh omongan palsunya, dan orang menjadi gelisah tak enak ketika terlambat mengerjakan shalat. Orang seperti itu sungguh bodoh dan tak tau diri, jikalau pun seseorang menyadari bahwa shalat itu dilakukan karena merupakan kebutuhan diri manusia sendiri untuk menyembah Tuhannya, manusia ternyata tidak menyadari keserakahannya; dengan minta-minta imbalan/hadiah surga. Orang-orang telah terbius oleh para ulama, sehingga mereka suka berzikir, dan disibukkan oleh kegiatan menghitung-hitung pahalanya tiap hari. Sebaliknya, lupa bahwa sejatinya kebaikan itu harus diimplementasikan kepada sesama (habluminannas).

Lebih lanjut Syekh Siti Jenar menuduh para ulama dan murid mereka sebagai orang dungu dan dangkal ilmu, karena menafsirkan surga sebagai balasan yang nanti diterima di akhirat. Penafsiran demikian adalah penafsiran yang sangat sempit. Hidup para ulama adalah hidup asal hidup, tidak mengerti hakekat, tetapi jika disuruh mati mereka menolak mentah-mentah. Surga dan neraka letaknya pada manusia masing-masing. Orang bergelimang harta, hidupnya merasa selalu terancam oleh para pesaing bisnisnya, tidur tak nyeyak, makan tak enak, jalan pun gelisah, itulah neraka. Sebaliknya, seorang petani di lereng gunung terpencil, hasil bercocok tanam cukup untuk makan sekeluarga, menempati rumah kecil yang tenang, tiap sore dapat duduk bersantai di halaman rumah sambil memandang hamparan sawah hijau menghampar, hatinya sesejuk udaranya, tenang jiwanya, itulah surga. Kehidupan ini telah memberi manusia mana surga mana neraka.

Syeh Siti Jenar memandang alam semesta sebagai makrokosmos dan mikrokosmos (manusia) sekurangnya kedua hal ini merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang sama-sama akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi. Manusia terdiri  atas jiwa dan raga yang intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan zat Tuhan.

Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yang dilengkapi pancaindera, sebagai organ tubuh seperti daging, otot, darah, dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yang suatu saat, setelah manusia terlepas dari kematian di dunia ini, akan kembali berubah asalnya yaitu unsur bumi (tanah).

Syeh Lemah Bang, mengatakan bahwa;

“Bukan kehendak angan-angan, bukan ingatan, pikiran atau niat, hawa nafsu pun bukan, bukan pula kekosongan atau kehampaan. Penampilanku sebagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampur debu, nafasku terhembus di segala penjuru dunia, tanah, api, air, kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru. Bumi langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, manusialah yang memberi nama”.

Kesimpulan

    Pandangan Syeh Lemah Bang; tentang terlepasnya manusia dari belenggu alam kematian yakni hidup di alam dunia ini, berawal dari konsepnya tentang  ketuhanan, manusia dan alam. Manusia adalah jelmaan zat Tuhan. Hubungan jiwa dari Tuhan dan raga, berakhir sesudah  manusia menemui ajal atau kematian duniawi. Sesudah itu manusia bisa manunggal dengan Tuhan dalam keabadian. Pada saat itu semua bentuk badan wadag (jasad) atau kebutuhan jasmanisah ditinggal karena jasad merupakan barang baru (hawadist) yang dikenai kerusakan dan semacam barang pinjaman yang harus dikembalikan kepada yang punya yaitu Tuhan sendiri.

Terlepas dari ajaran Siti Jenar yang sangat ekstrim memandang dunia sebagai bentuk penderitaan total yang harus segera ditinggalkan rupanya terinspirasi oleh ajaran seorang sufi dari Bagdad, Hussein Ibnu Al Hallaj, yang menolak segala kehidupan dunia. Hal ini berbeda dengan konsep Islam secara umum yang memadang hidup di dunia sebagai khalifah Tuhan.

Pandangan Kejawen Tentang Kehidupan di Dunia

Pandangan Kejawen tentang makna hidup manusia  dunia ditampilkan secara rinci, realistis, logis dan mengena di dalam hati nurani; bahwa hidup ini diumpamakan hanya sekedar mampir ngombe, mampir minum, hidup dalam waktu sekejab, dibanding kelak hidup di alam keabadian setelah raga ini mati. Tetapi tugas manusia sungguh berat, karena jasad adalah pinjaman Tuhan. Tuhan meminjamkan raga kepada ruh, tetapi ruh harus mempertanggungjawabkan “barang” pinjamannya itu. Pada awalnya Tuhan Yang Mahasuci meminjamkan jasad kepada ruh dalam keadaan suci, apabila waktu “kontrak” peminjaman sudah habis, maka ruh diminta tanggungjawabnya, ruh harus mengembalikan jasad pinjamannya dalam keadaan yang suci seperti semula. Ruh dengan jasadnya diijinkan Tuhan “turun” ke bumi, tetapi dibebani tugas yakni menjaga barang pinjaman tersebut agar dalam kondisi baik dan suci setelah kembali kepada pemiliknya, yakni Gusti Ingkang Akaryo Jagad. Ruh dan jasad menyatu dalam wujud yang dinamakan manusia. Tempat untuk mengekspresikan dan mengartikulasikan diri manusia adalah tempat pinjaman Tuhan juga yang dinamakan bumi berikut segala macam isinya; atau mercapada. Karena bumi bersifat “pinjaman” Tuhan, maka bumi juga bersifat tidak kekal.

Betapa Maha Pemurahnya Tuhan itu, bersedia meminjamkan jasad, berikut tempat tinggal dan segala isinya menjadi fasilitas manusia boleh digunakan secara gratis. Tuhan hanya menuntut tanggungjawab manusia saja, agar supaya menjaga semua barang pinjaman Tuhan tersebut, serta manusia diperbolehkan memanfaatkan semua fasilitas yang Tuhan sediakan dengan cara tidak merusak barang pinjaman dan semua fasilitasnya.

Itulah tanggungjawab manusia yang sesungguhnya hidup di dunia ini; yakni menjaga barang “titipan” atau “pinjaman”, serta boleh memanfaatkan semua fasilitas yang disediakan Tuhan untuk manusia dengan tanpa merusak, dan tentu saja menjaganya agar tetap utuh, tidak rusak, dan kembali seperti semula dalam keadaan suci. Itulah “perjanjian” gaib antara Tuhan dengan manusia makhlukNya. Untuk menjaga klausul perjanjian tetap dapat terlaksana, maka Tuhan membuat rumus atau “aturan-main“ yang harus dilaksanakan oleh pihak peminjam yakni manusia. Rumus Tuhan ini yang disebut pula sebagai kodrat Tuhan; berbentuk hukum sebab-akibat. Pengingkaran atas isi atau “klausul kontrak” tersebut berupa akibat sebagai konsekuensi logisnya. Misalnya; keburukan akan berbuah keburukan, kebaikan akan berbuah kebaikan pula. Barang siapa menanam, maka mengetam. Perbuatan suka memudahkan akan berbuah sering dimudahkan. Suka mempersulit akan berbuah sering dipersulit.

Konsep Kejawen Tentang Pahala dan Dosa  serta Pandangan Kejawen tentang Kebaikan-Keburukan

Ajaran Kejawen tidak pernah menganjurkan seseorang menghitung-hitung pahala dalam setiap beribadat. Bagi Kejawen, motifasi beribadat atau melakukan perbuatan baik kepada sesama bukan karena tergiur surga. Demikian pula dalam melaksanakan sembahyang manembah kepada Tuhan Yang Maha Suci bukan karena takut neraka dan tergiur iming-iming surga. Kejawen memiliki tingkat kesadaran bahwa kebaikan-kebaikan yang dilakukan seseorang kepada sesama bukan atas alasan ketakutan dan intimidasi dosa-neraka, melainkan kesadaran kosmik bahwa setiap perbuatan baik kepada sesama merupakan sikap adil dan baik pada diri sendiri. Kebaikan kita pada sesama adalah KEBUTUHAN diri kita sendiri. Kebaikan akan berbuah kebaikan. Karena setiap kebaikan yang kita lakukan pada sesama akan kembali untuk diri kita sendiri, bahkan satu kebaikan akan kembali pada diri kita secara berlipat. Demikian juga sebaliknya, setiap kejahatan akan berbuah kejahatan pula. Kita suka mempersulit orang lain, maka dalam urusan-urusan kita akan sering menemukan kesulitan. Kita gemar menolong dan membantu sesama, maka hidup kita akan selalu mendapatkan kemudahan.

Menurut pandangan Kejawen, kebiasaan mengharap dan menghitung pahala terhadap setiap perbuatan baik hanya akan membuat keikhlasan seseorang menjadi tidak sempurna. Kebiasaan itu juga mencerminkan sikap yang serakah, lancang, picik, dan tidak tahu diri. Karena menyembah Tuhan adalah kebutuhan manusia, bukan kebutuhan Tuhan. Mengapa seseorang masih juga mengharap-harap pahala dalam memenuhi kebutuhan pribadinya sendiri ? Dapat dibayangkan, jika kita menjadi mahasiswa maka butuh bimbingan dalam menyusun skripsi dari dosen pembimbing, maka betapa lancang, serakah, dan tak tahu diri jika kita masih berharap-harap supaya dosen pembimbing tersebut bersedia memberikan uang kepada kita sebagai upah. Dapat diumpamakan pula misalnya; kita mengharap-harapkan upah dari seseorang yang bersedia menolong kita..?

Ajaran Kejawen memandang bahwa seseorang yang menyembah Tuhan dengan tanpa pengharapan akan mendapat pahala atau surga dan bukan atas alasan takut dosa atau neraka, adalah sebuah bentuk KEMULIAAN HIDUP YANG SEJATI. Sebaliknya, menyembah Tuhan, berangkat dari kesadaran bahwa manusia hidup di dunia ini selalu berhutang kenikmatan dan anugrah dari Tuhan. Dalam satu detik seseorang akan kesulitan mengucapkan satu kalimat sukur, padahal dalam sedetik itu manusia adanya telah berhutang puluhan atau bahkan ratusan kenikmatan dan anugerah Tuhan. Maka seseorang menjadi tidak etis, lancang dan tak tahu diri jika dalam bersembahyang pun manusia masih menjadikannya sebagai sarana memohon sesuatu kepada Tuhan. Tuhan tempat meminta, tetapi manusia lah yang tak tahu diri tiada habisnya meminta-minta. Dalam sikap demikian ketenangan dan kebahagiaan hidup yang sejati akan sangat sulit didapatkan.

Sembahyang tidak lain sebagai cara mengungkapkan rasa berterimakasihnya kepada Tuhan. Namun demikian ajaran Kejawen memandang bahwa rasa sukur kepada Tuhan melalui sembahyang atau ucapan saja tidak lah cukup, tetapi lebih utama harus diartikulasikan dan diimplementasikan ke dalam bentuk tindakan atau perbuatan baik kepada sesama dalam kehidupan sehari-harinya. Jika Tuhan memberikan kesehatan kepada seseorang, maka sebagai wujud rasa sukurnya orang itu harus membantu dan menolong orang lain yang sedang sakit atau menderita.

Itu lah pandangan yang menjadi dasar Kejawen bahwa menyembah Tuhan, dan berbuat baik pada sesama, bukanlah KEWAJIBAN (perintah) yang datang dari Tuhan, melainkan diri kita sendiri yang mewajibkan.


Ziarah ke Makam Embah Kuwu Sangkan

Ziarah atau berkunjung ke makam pada dasarnya merupakan salah satu rangkaian kegiatan religius manusia. Rachmat Subagio (1980) mengartikan bahwa ziarah mengandaikan kondisi manusia sebagai pengembara di dunia yang hanya mampir ngombe. Ziarah menuju ke tempat suci, pepundhan, pura, watu kelumpang, makam leluhur, nenek moyang atau cikal bakal desa. Orang yang berziarah ke makam pada umumnya dihubung-kan dengan tokoh orang keramat yang dimakamkan di tempat itu. Dalam kepercayaan orang Jawa, yang Koentjaraningrat menyebutkan dengan istilah agami Jawa (1984:325) yang termasuk orang keramat antara lain guru-guru agama, tokoh-tokoh historis maupun setengah historis, tokoh-tokoh pahlawan dari cerita mitologi yang dikenal melalui pertunjukan wayang dan lain-lain, juga tokoh-tokoh yang menjadi terkenal karena suatu kejadian tertentu.

Bagi orang yang memiliki kesenangan melakukan ziarah ke tempat-tempat yang mereka anggap sebagai makam ulama, wali maupun makam tokoh sejarah yang telah memiliki pengaruh kuat di suatu daerah seperti halnya makam keramat Embah Kuwu Sangkan di Kampung Talun, Desa Cirebon Girang, bukanlah tempat yang asing.

Para peziarah seperti ini umumnya telah mengetahui kekeramatan tokoh yang dimakam-kan di tempat ini. Bahkan peziarah seperti ini melakukan ziarah secara berantai dari suatu makam keramat ke makam keramat yang lainnya.

Riwayat Embah Kuwu Sangkan
Embah Kuwu Sangkan adalah anak pertama Prabu Siliwangi dari hasil perkawinan dengan Nyai Mas Subanglarang, yaitu putri Mangkubumi Mertasinga Cirebon. Embah Kuwu Sangkan dilahirkan pada tahun 1423 Masehi di keraton Pajajaran. Semasa remajanya ia bersama adiknya bernama Nyai Mas Ratu Rara Santang pergi meninggalkan keraton Pajajaran, karena mereka memiliki keyakinan yang berbeda dengan ayahnya.

Dalam pengembaraannya, mereka mencari seorang guru yang sesuai dengan petunjuk dalam mimpinya. Mereka bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad Saw yang memerintahkan untuk mencari ajaran syariat Islam yang dapat menyelamatkan manusia di dunia maupun di akhirat. Akhir dari pengembaraannya, dan berdasarkan beberapa petunjuk, akhirnya mereka bertemu dengan Syech Nurul Jati di Gunung Jati yang mampu mengajarkan syariat Islam di antaranya mengajarkan tentang Dua Kalimah Syahadat, Sholawat, membaca Al-Qur’an, Dzikir, Sholat, Zakat, Puasa , Kitab Piqih, Ibadah Haji dan lain sebagainya.

Setelah dianggap cukup menimba ilmu tentang Syariat Islam, akhirnya ia diberi kesempatan oleh Syech Nurul Jati untuk menyebar-kan ajaran Islam dan membuka pemukiman baru baik di wilayah Cirebon maupun daerah sekitarnya.

Motivasi Peziarah
Peziarah datang berkunjung dengan rombongan besar maupun perorangan tentu didorong oleh berbagai motivasi atau niat yang berlainan antara satu dengan lainnya, yang masing-masing mempunyai motivasi yang belum tentu sama, tergantung apa yang akan “diminta dan kepentingan”. Peziarah yang datang berkunjung ini kebanyakan mendengar dan diberitahu oleh teman, tetangga atau kerabatnya tentang “kekeramatan, karisma” Embah Kuwu Sangkan yang dapat memberi harapan untuk hidup yang lebih baik dan lain sebagainya Motivasi mereka untuk berziarah itu ada karena kemauan sendiri, tetapi ada juga yang diajak atau dianjurkan teman, tetangga atau kerabatnya yang merasa berhasil. Oleh karena itu, cara mereka berkunjung itu ada yang seorang diri, mengajak teman atau saudara, ada pula secara berombongan.

Peziarah yang mengunjungi tempat keramat, termasuk mereka yang datang ke makam keramat Embah Kuwu Sangkan pada umumnya dilandasi oleh niat, tujuan yang didorong oleh kemauan batin yang mantap.

Berdasarkan kenyataan di-lapangan terdapat berbagai macam motivasi para peziarah datang ke makam keramat tersebut. Salah satu di antara motivasi peziarah datang berkunjung ke makam Embah Kuwu Sangkan adalah untuk menenangkan bathin. Motivasi ini didukung oleh persepsi yang menyebutkan bahwa makam Embah Kuwu Sangkan itu adalah tempat yang sakral. Para peziarah merasa menemukan tempat yang cocok dengan maksud atau niat mereka datang ke tempat ini.

Bapak Ukri (bukan nama sebenarnya) yang berusia 53 tahun, adalah peziarah dari Indramayu menjelaskan, “saya ke ke tempat ini bermaksud menenangkan bathin, karena banyak masalah yang mengganggu pikiran saya”. Ia yang berprofesi sebagai pedagang onderdil motor bekas. Dalam kehidupan keluarga ada permasalah yang melilit, di antaranya selain usahanya bangkrut juga ia perlu biaya untuk anak. Selama di makam keramat ini ia sudah melakukan puasa selama 37 hari. Menurutnya, ia berpuasa atas kemauan sendiri. Selain berpuasa. Ia melakukan sholat malam atau Sholat Tasbih, kemudian dzikir. Setelah beberapa kali melakukan kegiatan tersebut, Bapak Ukri sedikit demi sedikit pengalami perubahan dalam kehidupannya, bahkan akhirnya ia mendapat pekerjaan diperusahaan swasta. Selanjutnya, menurut bapak Ukri , ia selalu melaksanakan wirid, di antaranya :

Wirid sebelum sholat fardu (qobla) dan sesudah sholat fardlu (ba’da) yang lima waktu, yaitu 2 s/d 4 rakaat sebelum dan sesudah sholat Maghrib, 2 s/d 4 rakaat sebelum dan sesudah sholat Isya, 2 s/d 4 rakaat sebelum dan sesudah sholat Subuh, 2 s/d 4 rakaat sebelum dan sesudah sholat dhuhur, 2 s/d 4 rakaat sebelum sholat Ashar.

Sesudah matahari naik sepenggal kira-kira pukul 06.00, shalat Isroq, Isti’adah dan Istikharah.
Sholat Dhuha yang waktunya kurang lebih sampai pukul 11.00 sebanyak 8 rakaat
Sholat Tasbih, dilakukan setiap malam
Sholat yang merupakan bagian penutup diteruskan dengan wirid dzikir sebanyak-banyaknya.

Setelah sembahyang Magrib dilakukan wirid Dzikir sekurang-kurangnya 165 kali, dilanjutkan dengan khotaman dan witir-witir lainnya samapai waktunya shalat Isya. Kemudian dilakukan sholat malam hari, yaitu sholat Tahiyatul Masjid dan Syukrul wudhu sebelum kering air wudlu, sholat hayat yang lebih baik dilaksanakan di malam hari, sholat Taubat yang gunanya untuk mencuci dosa yang telah diperbuat oleh manusia, sholat Tahajud yaitu 40 malam mandi 40 kali tiap-tipa malam, 40 malam “melek” (tidak tidur), 40 hari berpuasa, 40 hari tidak makan nasi atau ‘niis’, 40 hari tidak makan garam, 40 hari tidak minum, dan lain-lain.

Peziarah lain yang mengaku bernama Karwati (bukan nama sebenarnya), usia 36 Tahun. Ia berasal dari Majalengka menyebutkan, ia datang ke Cirebon pada mulanya hanya diajak oleh tetangga. Sejak awal ia merasa tidak memiliki motivasi datang ke makam Embah Kuwu Sangkan, namun setelah beberapa kali datang makam keramat tersebut ia berperasaan lain. Sejak itulah memiliki itikad untuk merubah nasibnya. Ia di makam Embah Kuwu Sangkan bermalam sambil melakukan sembahyang malam dan membaca wirid dan dzikir. Wirid yang ia baca atau diamalkan dimakam itu bukan wirid seperti yang dianjurkan melainkan yang dia miliki sendiri. Setelah sholat subuh di masjid, biasanya ia membaca wirid dimakam keramat itu sampai pagi sekitar pukul 06.15. Kegiatan dimakam dilakukan kembali setelah sholat Isya hingga larut malam. Ia tidak tidur di makam, melainkan di mesjid yang letaknya berdampingan dengan komplek makam keramat. Untuk keperluan makan tinggal pergi ke warung yang berada di dekat mesjid itu juga. Menurut pengakuannya, ia sering pergi ke tempat-tempat yang menurutnya merupakan tempat sakral. Menurutnya, baru ia pulang kerumah apabila setelah mendapat ilapat (ilham). Hingga sekarang, menurut pengakuan-nya kehidupannya sudah ada sedikit perubahan.

Motivasi peziarah yang lainnya menyebutkan bahwa ia datang ke makam Embah Kuwu Sangkan bermaksud untuk merubah nasib. Motivasi seperti ini disebutkan oleh Bapak Badru (bukan nama sebenarnya) 47 tahun peziarah dari Cirebon Utara yang profesinya sebagai buruh bangunan maupun Eko ( 23 tahun) yang belum memiliki pekerjaan tetap berziarah ke makam ini niatnya untuk mencari keberkahan sehingga ada perubahan pada nasibnya. Bapak Badru baru mengetahui bahwa makam keramat Embah Kuwu Sangkan itu sebagai makam yang banyak dikunjungi peziarah setelah diberitahu oleh teman sekerjanya. Namun terdorong oleh niatnya untuk mencoba melakukan ziarah sambil mencoba berusaha mengubah nasibnya, ia mengatakan:

“Saya datang ke makam wali ini bermaksud berziarah, semoga dengan perantaraan ziarah ini ada perubahan kepada nasib saya. Semoga ada rizki saya dengan sebab ziarah ini).

Hal serupa dikatakan oleh Ibu Martina dari Probolinggo, Jatim ini bermaksud ziarah dan berharap dengan berziarah imudah-mudahan dapat menemukan kecocokan dalam berdagang. Katanya, selama berziarah ia sudah berpuasa 12 hari. Dengan berziarah ini mudah-mudahan menemukan jalan yang tepat sehingga ada kemajuan dalam usahanya. Keinginan Ibu Martina ini didorong karena telah menyaksikan temannya yang mencoba berdagang bermacam barang, tapi belum mendapat kecocokan “jodoh”. Setelah berziarah, dan mendapat jodoh, ia berubah usahanya dengan berjualan bakso tahu, ternyata jualannya ada perubahan dan mengalami kemajuan.

Berlainan dengan Bapak Agus (40 tahun), ia berasal dari Sukabumi dan bekerja pegawai swasta, yakni dibidang bangunan. Selama berumah tangga ia belum mendapatka keturunan. Kesana-kemari ia telah berupaya baik ke dokter ataupun ke pengobatan Alternatif tetapi belum membuahkan hasil. Karena ia penasaran ia tekun beribadah, kemudian berziarah ke makam keramat Embah Kuwu Sangkan dan berdoa Kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Secara berulang kali, ia berziarah sambil memohon barokah kepada Yang Maha Kuasa. Berkat kebesaran Yang Maha Kuasa, istri Bapak Agus dikaruniai anak. Menurut pengakuannya, sejak itu Bapak Agus sering ziarah ke makam Embah Kuwu Sangkan, baik untuk keperluan urusan keluarga maupun usaha. Sejak itu pula usahanya mengalami kemajuan.

Peziarah lainnya yang mengaku bernama Ibu Sumarni ( 50 Tahun) berasal dari Indramayu. Menuturkan, ia berziarah ke makam Embah Kuwu Sangkan ini karena ingin berubah nasib, usahanya selalu gagal dan rugi atau dibohongi orang. Ia pada mulanya berziarah ke makam keramat Embah Kuwu Sangkan karena diberitahu oleh orang lain. Tetangganya dulu, yang sehari-harinya bekerja sebagai berjualan di Bandung setelah berziarah ke makam keramai ini jualan semakin laris. Bahkan sekarang sudah bisa membeli rumah kontraknya. Menurut Ibu Sumarni menuturkan keinginannya:

“Mudah-mudahan doa saya dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa, saya hanya ikhtiar sedangkan yang menentukan hanya Dia. Oleh karena itu, semoga menjadi jalan untuk membuka rizki saya”.

Ibu Sumarni bermalam di makam keramat Embah Kuwun Sangkan. Kegiatan yang dilakukan selama semalam yakni sholat Tasbih sembahyah dilanjutjkan dengan membaca wirid-wirid atau zikir. Setelah sembahyang subuh kembali membaca doa wirid dan tak henti-henti berzikir. Sebelum pulang, terlebih dahulu minta “air doa” . Air tersebut untuk diminum atau dipakai mandi.

Peziarah lainnya, Bapak Purwoto (45 Tahun) dari Cilacap menuturkan motivasi berziarah ke makam keramat Embah Kuwu Sangkan ingin menyembuhkan adik perempuannya yang strees. Menurut ceritanya, awalnya adik perempuannya selalu mengurung diri di kamar, seolah-olah dirinya merasa putus asa (apatis), ia tidak mau melakukan apa-apa. Suatu ketika ia ada yang melamar, dan tak lama kemudian ia menikah. Setelah menikah malah justru ia menjadi-jadi, sehingga dapat dikatakan meresahkan tetangga sekitar. Puncaknya, suami menjadi tidak betah dan tidak bertanggung Jawab. Akhirnya, yang bertanggung-jawab Bapak Purwoto sebagai anak yang terua ini. Karena merasa bertanggungjawab, ia kesana-kemari berusaha menyembuhkan adiknya yang malang itu, baik berobat ke dokter jiwa, maupun ke orang pintar. Tapi usahanya nihil, dan nyaris putus asa.

Katanya, ia mengetahui ke makam keramat ini dari teman sekerjanya di kantor. Setelah berziarah ke makam keramat Embah Kuwu Sangkan, kondisi jiwa adiknya menjadi tenang dan terbuka pikirannya karena banyak berdoa dan zikir memohon kepada yang punya-Nya.

Menurut pengakuan peziarah, pada umumnya motivasi mereka berziarah kemakam menginginkan kelancaran dalam arti tidak ada gangguan atau sesuatu hal yang akan menyebabkan usahanya mengalami kegagalan. Pernyataan demikian di lontarkan oleh Bapak Bambang (50 Tahun) berasal dari Tegal. Ia berziarah ke makam keramat Embah Kuwu Sangkan bersama rombongan seprofesinya sebagai pengusaha kecil-kecilan di bidang pertukangan, terutama pemasangan Gypsum di setiap perumahan. Karena sekarang mengalami persaingan yang ketat antar seprofesinya, maka usahanya mengalami kembang kempis. Oleh karena ia, mencoba ziarah ke makam keramat Embah Kuwu Sangkan. Ia bersama rombongan, mengetahui ke makam keramat ini atas petunjuk seorang teman yang bekerja di PLN.

Bapak Bambang seorang tukang ojeg menyebutkan bahwa ia datang ke makam keramat ini sudah tiga hari. Selama di makam keramat Embah Kuwu Sangkan mereka melakukan sholat malam secara berjamaah dan membaca doa, wirid serta zkikir seperti umumnya dilaksanakan oleh peziarah lainnya. Setelah pajar, mereka melakukan sholat Subuh dan memohon doa restu kepada Allah SWT agar maksudnya dikabul.

Berziarah berarti mengunjungi atau mendatangi ke makam untuk mendoakan. Berziarah dianjurkan oleh Rasulullah, tetapi sebatas untuk mengingatkan kepada kita bahwa setiap makhluk hidup yang bernyawa akan mengalami mati, dan ada kehidupan tentu ada kematian. Oleh karena kita harus selalu mempersiapkan segalanya untuk bekal di akhirat nanti. Bagi yang shaleh dan beramal baik, selalu di dikenang dan dijadikan tauladan, sehingga tidak sedikit orang yang berkunjung ke makam tersebut untuk mendoakan agar yang bersangkutan ditempatkan disisi-Nya, dan sebagainya. Makam yang dikunjungi adalah makam seorang ajengan atau Kyai. Seorang tokoh yang tekun dan menyebarkan ajaran agama Islam serta dimitoskan oleh masyarakat yang percaya dan meyakininya sebagai penuntun hidup, yakni Pangeran Walangsungsang atau disebut Embah Kuwu Sangkan.

Tatacara berziarah menurut ajaran Islam diatur dalam kitab fiqih, di antaranya bila memasuki makam pertama-tama mengucapkan:

“Assalaamu’alaikum ya ahladiyaari minal mu’miniina wa innaa in syaa-allaahu bikum laahiquun(a). As-aalullaahalanaa wa lakumul’aafiyah.”

Artinya semoga kesejahteraan selalu ada pada kalian, wahai penghuni kampung orang-orang yang beriman, Sesungguhnya kami jika Allah menghendaki akan bertemu dengan kalian. Kami memohon kepada Allah kesejahteraan untuk kami dan untuk kalian semua.

Bila memasuki ke tahan pekuburan dan mencari makam yang dikehendaki misalnya makam orang tua atau makam para wali Allah mengucapkan:

”Assalamu’alaikum ayyatuhal arwaahul faaniyatu wal abdaanul baaliyatu wa’izhaamun nakhirah, allatii kharajat minaddun yaa wahiya billaahi mu’minah. Allaahumma adkhil’alaihim rauhan minka wasalaaman minnii”

Artinya, Semoga keselamatan selalu ada pada kalian, wahai para ruh yang telah rusak dan badan yang telah busuk serta tulang-tulang yang telah hancur, yang telah keluar dari dunia dalam keadaan beriman kepada Allah. Ya Allah, masukkanlah kepada mereka rasa kenyamanan dari-Mu dan keselamatan dariku.

Setelah di atas makam mengharap ke timur berarti berhadapan dengan mayat kemudian membaca Al-fatihah dan Surat Yasiin atau bacaan Tahlil. Setelah itu membaca doa yang maksudnya agar pahala bacaan-bacaan bisa diterima oleh ahli kubur. Bacaan doa untuk ahli kubur sebagai berikut:

“Bismillaahirrahmaanirrahim.Alhamdulillaahi raabil’aalamiin. Allahumma taqabbal wa aushiltsawaaba maaqara’naa liruuhi sayyidinaa muhammadin washshahaabati wattabi’iina wa mujtahidiina wal muqallidiina wal mushannifiina wal ulamaa-il ‘aamiliina wa arwahi aabaa-inaawa ummahaatinaa wa ajdaadinaa wajaddaatinaa wa a’maaminaa wa’ammaatinaa wa akhwaalinaa wakhaalaatinaa wa ustaadzinaa wa amwaatil muslimina wal muslimaati wal mu’miniina wal mu’minaat. Allahummaghfir lahum warhamhum wa’aafihim wa’fu ‘anhum wa nawwir qubuurahum wa adkhilhumul jannata ma’al abraari burahmatika yaa arhamarraahimiina wa hamdu lillaahi rabbil’aalamiin”.

Artinya: Dengan menyebut nama Allah Yang maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah seru sekalian alam. Ya Allah, terimalah dan sampaikanlah pahala dari semua yang telah kami baca kepada Ruh Jungjunan kita Nabi Muhammad saw, para sahabat, para Tabi’in, para Mujtahid, orang-orang yang taqlid dan para pengarang kitab-kitab agama, para ulama yang mengamalkan ilmunya, dan kepada para arwah bapak kami, ibu kami, nenek-nenek kami, paman-paman kami, dan kepada arwah guru-guru kami dan semua orang-orang Islam serta orang-orang Mukmin yang telah meninggal dunia. Ya Allah, ampunilah mereka, kasihanilah mereka, berilah kesejahteraan mereka, hapuskanlah dosa-dosa mereka, sinarilah kuburan mereka dan masukanlah mereka ke dalam sorga bersama-sama orang yang baik, berbat rahmat-Mu, wahai Dzat Yang maha Pengasih. Dan segala puji bagi Allah seru sekalian alam.

Itulah tatacara berziarah ke makam yang dianjurkan oleh Rasulullah kepada umatnya. Ber-ziarah dianjurkan dan sunat hukumnya. Itu setelah keadaan berubah di mana umat Islam sudah kuat memegang Aqidah. Adapun larangan apabila berziarah ke makam tidak boleh menginjak atau menduduki kuburan, apalagi dibagian kepalanya. Seseorang yang sudah meninggal tidak boleh dibicarakan kejelekannya.

Peziarah mendoakan ahli kubur memang sewajarnya, bukan sebaliknya peziarah mohon bantuan sesuatu kepada ahli kubur. Dalam hal berziarah/mengunjungi atau mendoakan ahli kubur ada dua pendapat: pertama, untuk mendoakan ahli kubur tidak selalu harus diucapkan di depan kuburan orang tersebut. Alasannya, doa itu bukan tali, walaupun disampaikan dari rumah, masjid, dan sebagainya tentu akan sampai kepada Tuhan; kedua, memang doa itu bukan tali tetapi ada tempat utama dan ada pula tempat yang lebih utama. Doa yang disampaikan dari rumah itu pun baik, tapi lebih utama jika secara langsung diucapkan di depan makam orang yang dimaksud. Di depan makam setidaknya akan membantu hati lebih khusuk dalam memanjatkan doa.

Secara tidak disadari kegiatan peziarah dapat saja tergelincir kepada praktek syirik (menyekutukan Allah) yang bertentangan dengan aqidah Islam. Untuk mencegah dan menanggulangi hal tersebut, perlu adanya pembinaan atau pengarahan dari pemuka agama secara perlahan-lahan.

Sebenarnya bergantung pada motivasi itu sendiri, bila sebatas ingin mendoakan ahli kubur agar diberikan berkah dan diampuni dosanya oleh Allah SWT mungkin tidak tergolong menyekutukan Allah. Tapi bila motivasinya ngalap berkah (mencari berkah) atau mohon bantuan sesuatu yang dari sudah meninggal, tentu masalahnya menjadi lain. Jangankan untuk mengurusi atau membantu orang lain (yang masih hidup), untuk mempertanggungjawabkan diri sendiri pun repot. Jadi, sudah sewajarnya orang yang masih hidup mendoakan kepada orang yang sudah meninggal. Membaca ayat-ayat suci Al-Quran atau mendoakan orang yang sudah meninggal dunia termasuk pula ibadah. Bagi siapa saja yang membacakan ayat-ayatt suci tersebut tentu mendapat pahala dan berkah dari Allah swt.

Oleh karena itu, bergantung dari mana kita memandang segala sesuatu itu. Tidak dapat kita pungkiri, bahwa ada kesalahpahaman dalam memandang tetang ziarah itu. Kesalahpahaman itu semakin lama semakin merebak sehingga sulit dibedakan, mana yang dianjurkan dan mana yang dilarang.

Terlepas dari itu semua, ziarah itu sudah merupakan kebiasaan atau tradisi masyarakat yang sulit ditinggalkan atau dihilangkan. Biarlah itu hilang dengan sendirinya. Akan tetapi, selama kegiatan itu tidak menyesatkan dan tidak keluar dari rambu atau aturan-aturan yang ada, itu tidak menjadi masalah. Atau, selama masih memiliki nilai budaya yang dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat pendukungnya.

Berziarah atau mengunjungi makam keramat merupakan suatu upaya untuk mencari berkah dari Allah swt. Bagi yang memiliki motivasi lain, kegiatan itu sangat bertentangan dengan ajaran Islam karena termasuk menyekutukan Tuhan. Perbuatan itu tidak dibenarkan karena hukumnya dosa besar.

Peziarah hendaknya pandai memilah-milah agar jangan sampai terjerumus menjadi umat yang rugi. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman yang baik. Bagi yang belum dapat memahami, bila dirasakan besar manfaatnya maupun sebaliknya, merupakan suatu resiko yang harus diterimanya. Namun atas keyakinan, mereka siap melakukan apa saja walaupun memerlukan pengorbanan moril maupun materil. Secara materi misalnya, tidak sedikit jumlah biaya yang harus dikeluarkan, walaupun maksud dan tujuan yang diinginkan belum tentu terkabul. Rupanya masalah itu tidak menjadi problema, karena menyadari bahwa segala suatu itu perlu upaya, walaupun yang menentukan segalanya Allah Swt.

Tidak dapat dipungkiri, itulah salahsatu sistem kepercayaan yang ada dan berkembang di masyarakat kita. Namun itu merupakan nilai budaya bangsa yang sarat dengan nilai luhur.

Makam Keramat Godog

Terletak di Desa Lebak Agung, Kecamatan Karangpawitan. Sunan Godog dikenal dengan sebutan Prabu Kiansantang yang hidup pada abad ke 15 masehi, pada masa kerajaan yang diperintah oleh Prabu Siliwangi yang beragama Hindu. Beliau mempunyai dua anak diantaranya bernama Kiansantang (Sunan Rahmat) yang terkenal dengan kesaktiannya. Dia termasuk penyebar agama Islam di Pulau Jawa khususnya di kerajaan Padjadjaran. Setelah menyebarkan agama Islam di daerah Garut, Sunan Rahmat kembali kedaerah Godog dan menetap sampai akhir hayatnya.

Sekarang makam tersebut banyak dikunjungi oleh para peziarah dan merupakan obyek wisata makam Godog. Adapun daya tarik yang terdapat di makam Godog (Sunan Rahmat) berupa makam yang dikeramatkan dan barang pusaka peninggalan masa lalu yang dirawat dengan baik, seperti golok, keris dan yang lainnya. Barang-barang tersebut setiap setahun sekali dicuci dengan air bunga-bungaan dan digosok dengan minyak wangi supaya tidak berkarat. Biasanya dilakukan setiap tanggal 12 Mulud yang disebut upacara Ngalungsur atau panjang jimat, sekaligus merupakan atraksi wisata ritual. Untuk mencapai makam Godog diperlukan waktu 40 menit atau kira-kira 11 Km dari pusat kota.

Terdapat 7 buah makam yang terdiri dari makam Kiai Santang yang terdapat pada ruang utama, makam Sembah Dalem Sarepeun Suci, Makam Sembah Dalem Sarepeun Agung, Sembah Dalem Kholipah Agung, dan Santuwaan Marjaya Suci yang kesemuanya berada pada ruang tertutup dengan ruangan yang berbeda dengan Makam Kiai Santang Kemudian di sebelah luar terdapat makam Syek Dora dan makam Sembah Pager Jaya yang berada pada ruang terbuka dengan letak yang terpisah. Sembah Pager jaya adalah penjaga makam pertama makam Godog dan keturunannya juga merupakan juru kunci atau kuncen makam tersebut. Sesepuh juru kunci kawasan Makam Keramat Godog adalah bapak H. Ahmad Endang.

Hal yang menarik dari Makam Keramat Godog salah satunya adalah mengenai sejarah atau legendanya yang menceritakan tentang Kiansantang atau Syek Sunan Rohmat. Kiansantang menurut sejarahnya merupakan putra dari Prabu Siliwangi dari 3 bersaudara yaitu Dewi Rara Santang dan Walang Sungsang. Kiansantang lahir pada tahun 1315 Masehi di Padjadjaran yang sekarang Bogor. Pada usia 22 tahun tepatnya tahun 1337 masehi Kiansantang diangkat menjadi Dalem Bogor ke II. Dari kecil hingga dewasa yaitu sampai usia 33 tahun tepatnya tahun 1348 masehi, Prabu Kiansantang belum ada yang menandingi kegagahannya dan kesaktiannya di sejagat pulau Jawa. Prabu Kiansantang meninggalkan Padjadjaran menuju tanah Mekah untuk bertemu tandingannya yaitu Sayyidina Ali.

Setelah bertemu dengan Sayyidina Ali Kiansantang yang diganti namanya Galantrang Setra merasa terkalahkan dan enggan sehingga Galantrang Setra masuk Islam. Setelah itu Kiansantang bermaksud pulang ke Padjadjaran untuk menengok ayahnya Prabu Siliwangi dan saudara-saudaranya. Karena pada waktu itu Kiansantang belum bisa menyebarkan agama Islam dengan sempurna karena belum menguasai ajaran agama Islam beliau kembali ke Kota Mekah. Pada tahun 1362 masehi Prabu Kiansantang kembali ke tanah Jawa untuk menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa.


Makna sekar Dhandhanggula Siraman

Di dalam tradisi Jawa, khususnya di dalam rangkaian tatacara pernikahan, dikenal adanya upacara siraman. Upacara siraman adalah sebuah upacara yang dilaksanakan untuk membuka rangkaian acara pernikahan, yaitu dengan memandikan calon pengantin. Pelaksanaan upacara ini biasanya sehari sebelum upacara temu/panggih dilaksanakan.

Meski akhir-akhir ini sudah jarang ditemui, di dalam upacara siraman biasanya dilantunkan Sekar/Tembang Macapat Dhandhanggula Siraman. Tembang tersebut digunakan untuk mengiringi ketika calon pengantin dimandikan. Bukan hanya sebagai pemanis, namun pelantunan Sekar Dhandhanggula Siraman tersebut dimaksudkan sebagai doa, permohonan, harapan, serta petuah bagi calon pengantin. Itulah salah satu kelebihan orang Jawa, yang mampu merakit banyak hal di dalam sebuah tembang.

Sekar/Tembang/Lagu Macapat Dhandhanggula Siraman terdiri dari 7 pada (bait). Hal ini disesuaikan dengan jumlah beborèh (lulur) yang digunakan pada saat memandikan pengantin, dimana masing-masing dibedakan menurut warna. Adapun warna beborèh tersebut adalah merah (rekta), hitam (langking), kuning (jenar), biru, ungu (wungu), putih (séta), dan hijau (wilis). Di dalam penggunaannya juga tidak asal saja, melainkan diurutkan dari merah, hitam, kuning, biru, ungu, putih, dan terakhir hijau.

Masing-masing warna memiliki makna, maksud, dan tujuan tersendiri, seperti yang terungkap di dalam Sekar Dhandhanggula Siraman berikut ini.

1.    Gya siniram hangganya Sang Putri, Tirta wening kang amawa cahya, Beborèh rekta warnané, Ginosok hangganipun, Sinarengan mantra kang mijil, Larut memalanira, Ngaléla dinulu, Watak setya tinarbuka, Tangguh tanggon teguh tumanggaping kardi, Santosa budinira.

Segeralah disiram tubuh sang putri, Dengan air jernih yang berkilauan, Diluluri dengan lulur berwarna merah, Sembari digosok badannya, Disertai dengan doa dan pujian syukur yang terucapkan, Larutlah segala sakit dan luka, Sungguh mempesona bila dipandang, Berwatak setia dan terbuka, Tangguh, bisa dipercaya, teguh, cekatan dalam menyelesaikan pekerjaan/kewajiban, Sentosa/kuat dalam berpendirian.

2.    Sumamburat cahyanya nelahi, Ngégla cetha katon angaléla, Datan sisip pamawasé, Langking beborèhipun, Puji harja mijil pangèsthi, Prawira watakira, Luhur budinipun, Tuhu tresna mring sasama, Luluh lulus lila legawa tan lali, Kalis ing sambékala.

Samar-samar terlihatlah cahaya menyinari, Tampak indah mempesona, Hitam warna lulurnya, Doa mohon keselamatan terucapkan, Berwatak berani laksana ksatria, Berbudi pekerti luhur, Sungguh-sungguh mengasihi sesama, Pandai membaur, tulus, sert selalu berbuat baik dengan ikhlas dan sepenuh hati, Terhindar dari segala marabahaya.

3.    Angenguwung malengkung kaèksi, Gilar-gilar sumunar ing warna, Mancorong jenar urubé, Warna jenar puniku, Watak sabar ingkang pinanggih, Utama lan narima, Waspadèng pandulu, Mardu mardawa micara, Mawuhara tata, titi, tatas, titis, Dadya tepa tuladha.

Tampak membubung tinggi seolah melengkung, Bersinar terang dalam nuansa warna, Berpijar cahaya berwarna kuning, Warna kuning itu melambangkan watak yang selalu sabar, Berperilaku terpuji dan berserah diri kepada kehendak Tuhan, Memiliki sifat dan sikap yang selalu waspada dan hati-hati, Lemah-lembut dan menyenangkan dalam berbicara, Dalam bercakap-cakap menggunakan bahawa yang baik, berhati-hati, serta tiada hal penting yang terlewatkan, Sehingga mampu  menjadi suri-teladan.

4.    Katon  padhang  sumilaking  warni, Surya, candra, daru lan kartika, Dadya sajuga soroté, Beborèh warna biru, Setya tuhu ajrih lan asih, Tresna marang sudarma, Bekti watakipun, Trap susila anuraga, Datan sisip nggènira manembah Gusti, Bagya mulya sinedya.

Tampaklah terang benderang dalam nuansa warna-warni, Matahari, rembulan, komet dan bintang-gemintang, Semua sinar cahayanya menyatu, Lulur berwarna biru, Melambangkan kesetiaan, selalu menghormati dalam kasih sayang, Senantiasa mencintai kedua orang tua, Dan selalu berbakti kepada mereka, Sopan dan santun dalam bersikap, Tiada pernah lupa bersyukurdan berdoa  kepada Tuhan, Senantiasa mengupayakan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup.

5.    Ganda arum ingkang angebeki, Warna-warna warnining kang sekar, Katingal wening tirtané, Wungu beborèhipun, Mengku werdi ingkang sejati, Lega lila ing nala, Éklas watakipun, Wahyu mulya kang sinedya, Bagus alus tulus lair trusing batin, Mulya tekèng delahan.

Bau harum yang semerbak memenuhi, Berasal dari beraneka macam bunga, Air pun terlihat jernih, Lulur berwarna ungu, Mengandung makna yang mendalam, Tiada pernah berkeluh-kesah meski hanya di dalam hati, Ikhlas sepenuh hati menjadi wataknya, Mengharap dan mengupayakan turunnya berkah, Terpuji dan halus tingkah laku, tulus lahir maupun batin, Terpandang dan dihargai hingga akhir hayat.

6.    Werdi agung pralambanging urip, Amancurat cahya kang katingal, Warna séta beborèhé, Langgeng nggènnya amengku, Datan wudhar dènnya angèsthi, Manembah Maha Nata, Gusti Maha Agung, Netepi jejering titah, Amung pasrah-sumarah ngarsa Hyang Widhi, Sandika ngèstu pada.

Makna luhur perlambang dan gambaran hidup, Terlihat memancar laksana cahaya, Lulur berwarna putih, Abadilah dalam kebersamaan, Tak pernah berhenti dalam berdoa dan bersyukur, Berbakti kepada Sang Maha Raja (Tuhan), Tuhan Yang Maha Agung, Memenuhi kewajiban sebagai umat manusia, Selalu berserah diri di hadapan Ilahi, Serta bersedia dan siap melaksanakan/menerima kehendak-Nya.

7.    Paripurna nggènira sesuci, Siram jamas reresik sarira, Kang minangka pungkasané, Wilis beborèhipun, Wicaksana wataking jalmi, Kéblat panembahira, Pana ing pandulu, Cinaketan mring Hyang Suksma, Lekasira pantes tinulad sasami, Purwa madya wasana.

Selesai sudah dalam bersuci, Mandi keramas membersihkan diri, Yang menjadi penutup, Lulur berwarna hijau, Bijaksanalah sebagai manusia, Tekun dalam bersujud syukur, Waspada, berhati-hati dalam berpikir dan bertindak, Dengan demikian pasti akan selalu dilindungi oleh Tuhan, Segala tingkah lakunya akan pantas menjadi suri-teladan, Dari awal, pertengahan, hingga akhir hayatnya.


Hakikat Manusia

Hakikat Manusia,terdiri atas dua bagian, yaitu tentang Kesadaran Diri dan Kesadaran Universal.

Kesadaran Diri
Didalam filsafat kontemporer secara hakiki terpusat pada pribadi manusia. Boleh jadi, tanpa situasi historis kita tidak bisa memahami apa dan esensi diri yang sebenarnya. Al Qur'an membuka pintu dunia baru, tentang kesadaran diri secara berurutan sampai kepada kesadaran yang universal. Ungkapan ini tidak terikat oleh suatu aliran tertentu. Saat dimana muncul ketikan dihadapkan persoalan manusia terdorong untuk memikirkan eksistensi. Dimana keberadaannya bagaikan terlempar begitu saja. "Aku" yang kehilangan arah, berpaling dari dirinya sendiri, ia mawas diri dan menyelidiki dirinya. Demikianlah suatu motif yang mula-mula bersifat historis dan psikologis berubah menjadi suatu pertanyaan filosofis yang mendesak: "Siapakah aku ini? Dengan kegembiraan dan harapanku? Apakah tujuan hidup ini? Apakah artinya? Mengapa aku bereksistensi? Dan bukannya tidak bereksistensi?"

Mengemukakan masalah mengenai pribadi dalam ungkapan-ungkapan tersebut, berarti mengemukakan masalah kebebasan, masalah tanggung jawab. Hal ini membawa kita kepada penelitian mengenai dasar dari asal usul. Baik dari sisi kebebasan maupun dari sisi tanggung jawab. Hal tersebut akhirnya memunculkan masalah ketuhanan. Apakah Allah itu masuk dalam definisi manusia atau tidak? Apakah eksistensi manusia itu bersifat teosentris ataupun antroposentris? Partisipasi ataupun cukup dalam dirinya sendiri? Ada apakah dengan pernyataan ulama populer "man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu?" (barang siapa tahu akan dirinya, maka ia tahu akan Tuhannya).

Dalam arti yang sebenarnya, kata "eksistensi" berarti data kosmis, sejauh manusia yang terlibat secara aktif di dalamnya. Hubungan erat antara masalah manusia dan masalah ketuhanan, terlihat baik pada mereka yang mengingkari Allah maupun pada mereka yang mengikuti-Nya. Kecenderungan tersebut pada dasarnya merupakan naluri manusia yang tidak bisa dipungkiri dan merupakan fitrah manusia.

Mengatakan bahwa setiap pribadi memiliki naluri religiusitas dalam pengertian apapun, baik yang sejati maupun yang palsu. Sebenarnya adalah sama dengan mengatakan bahwa setiap pribadi memiliki naluri untuk berkepercayaan. Dalam tinjauan antropologi budaya, Naluri itu muncul berbarengan dengan hasrat memperoleh kejelasan tentang hidup ini sendiri dan alam sekitar yang menjadi lingkungan hidup itu. Karena itu setiap orang dan masyarakat pasti mempunyai keinsafan tertentu tentang apa yang dianggap "pusat" atau "sentral" dalam hidup seperti dikatakan oleh Mircea Elidae:

"Setiap orang cenderung, meskipun tanpa disadari mengarah kepusat dan menuju pusat sendiri, dimana ia akan menemukan hakekat yang utuh yaitu rasa kesucian. Keinginan yang begitu mendalam berakar dalam diri manusia untuk menemukan dirinya pada inti wujud hakiki itu di pusat alam, tempat komunikasi dengan langit menjelaskan penggunaan dimana akan ungkapan pusat alam semesta"

Disini kita akan mencoba menelusuri secara beruntun dari dasar sekali. Al Qur'an menyebutkan dalam Surat Adz Dzariat 21:

"Dan juga pada dirimu, maka apakah kamu tiada memperhatikan"

Juga dalam surat Al Hijir 28-29:

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya Ruh (cipataan)Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud". (QS Al Hijir 28-29).

Dalam kerangka ini kita mengambil garis yang jelas dari peristiwa kejadian manusia, dimana para makhluk baik itu setan maupun malaikat mempertanyakan kebijakan Allah yang akan menciptakan manusia, yang menurut pandangan malaikat "manusia" adalah makhluk yang selalu membuat keonaran dan pertumbahan darah (QS Al Baqarah 30). Tidak kalah sengitnya setan memprotes keberadaan manusia yang dipandang rendah, yang hanya diciptakan dari unsur tanah, sambil membanggakan dirinya yang dibuat dari api.

Dalam keadaan ini para malaikat gigit jari dan begitu terheran-heran: rahasia macam apa ini? Bumi yang hina-dina dipanggil kehadirat Zat yang maha tak terjangkau dengan segenap kehormatan dan kemuliaan ini.

Kelembutan illahi dan kebijakan Tuhan berbisik lembut ke dalam relung rahasia dan misteri malaikat,

"Aku tahu apa yang tidak kalian ketahui" (QS:2:30).

Raga manusia termasuk kedalam derajat terendah, sementara ruh manusia termasuk ke dalam derajat tertinggi. Hikmah yang terkandung dalam hal ini ialah bahwa manusia mesti mengemban beban amanat pengetahuan tentang Allah. Karena itu mereka harus mempunyai kekuatan dalam kedua dunia ini untuk mencapai kesempurnaan. Sebab tidak sesuatupun di dunia ini yang memiliki kekuatan yang mampu mengemban beban amanat. Mereka mempunyai kekuatan ini melalui esensi sifat-sifatnya (sifat-sifat ruhnya), bukan melalui raganya.

Karena ruh manusia berkaitan dengan derajat tertinggi dari yang tinggi, tidak satupun di dunia ruh yang menyamai kekuatannya, entah itu malaikat maupun setan sekalipun atau segala sesuatu lainnya. Demikian pula, jiwa manusia berkaitan dengan derajat yang paling rendah, sehingga tidak sesuatupun di dunia jiwa bisa mempunyai kekuatannya, entah itu hewan dan binatang buas atau yang lainnya. Ketika mengaduk dan mengolah tanah, semua sifat hewan dan binatang buas, semua sifat setan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda mati diaktualisasikan. Hanya saja, tanah itu dipilih untuk mengejawantahkan sifat "dua tangan-Ku". Karena masing-masing sifat tercela ini hanyalah sekedar kulit luarnya saja, di dalam setiap sifat itu ada mutiara dan permata berupa sifat illahi.

Penjelasan diatas merupakan urutan ungkapan mengenai hakekat diri yang sebenarnya, dimana manusia sebagai makhluk yang sangat lemah dan hina disisi lain dinobatkan sebagai "khalifah" (wakil Allah). Bertugas mengatur alam semesta dan merupakan wakil Allah untuk menjadi saksi-Nya serta mengungkapkan rahasia-rahasia firman-Nya. Para mahkluk yang lain tidak melihat ada dimensi yang tidak bisa dijangkau olehnya, ia hanya mampu melihat pada tingkat yang paling rendah dalam diri manusia. Sementara ia terhijab oleh ketinggian derajat manusia yang berasal dari tiupan illahi (QS Al Hijir 28-29).

Ungkapan hakikat manusia mengacu kepada kecenderungan tertentu secara berurutan dalam memahami manusia. Hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah. Yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri.

Al Ghazaly yang hidup pada abad pertengahan tidak terlepas dari kecenderungan umum pada zamannya dalam memandang manusia. Didalam buku buku filsafatnya ia mengatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap, tidak berubah-ubah yaitu An nafs (jiwanya). Yang dimaksud an nafs adalah substansi yang berdiri sendiri, tidak bertempat dan merupakan tempat pengetahuan intelektual (al makulat) yang berasal dari alam malakut atau alam amr. Ini menunjukkkan esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisik. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat. Dan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri. Keberadaannya tergantung kepada fisik. Alam al amr atau alam malakut adalah realitas diluar jangkauan indra dan imaginasi, tanpa tempat, arah dan ruang. Sebagai lawan dari alam al khalq atau alam mulk yaitu dunia tubuh dan aksiden-aksidennya esensi manusia, dengan demikian an nafs adalah substansi immaterial yang berdiri sendiri dan merupakan subyek yang mengetahui (Bashirah).

Untuk membuktikan adanya substansi immaterial yang disebut an nafs, Al Ghazaly mengemukakan beberapa argumen. Persoalan kenabian, ganjaran perbuatan manusia dan seluruh berita tentang akhirat tidak ada artinya apabila an nafs tidak ada, sebab seluruh ajaran agama hanya ditujukan kepada yang ada (al maujud) yang dapat memahaminya. Yang mempunyai kemampuan bukanlah fisik manusia sebab apabila fisik manusia mempunyai kemampuan memahami, objek-obyek fisik lainnya juga mesti mempunyai kemampuan memahami. Kenyataan tidak demikian. Argumen bersifat keagamaan ini , bagaimanapun tidak dapat meyakinkan orang yang ragu terhadap kenabian dan hari akhirat. Karena untuk mempercayai argumen ini orang terlebih dahulu harus percaya akan kenabian dan hari akhirat.

Selain itu Al Ghazaly juga mengemukakan pembuktian dengan kenyataan faktual dan kesederhanaan langsung, yang kelihatannya tidak berbeda dengan argumen-argumen yang dibuat oleh Ibnu Sina (wafat 1037) untuk tujuan yang sama, melalui pembuktian dengan kenyataan faktual. Al Ghazaly memperlihatkan bahwa; diantara makhluk-makhluk hidup terdapat perbedaan-perbedaan yang menunjukkan tingkat kemampuan masing-masing. Keistimewaan makhluk hidup dari benda mati adalah sifat geraknya. Benda mati mempunyai gerak monoton dan didasari oleh prinsip alam. Sedangkan tumbuhan makhluk hidup yang paling rendah tingkatannya, selain mempunyai gerak yang monoton, juga mempunyai kemampuan bergerak secara bervariasi. Prinsip tersebut disebut jiwa vegetatif. Jenis hewan mempunyai prinsip yang lebih tinggi dari pada tumbuh-tumbuhan, yang menyebabkan hewan, selain kemampuan bisa bergerak bervariasi juga mempunyai rasa. Prinsip ini disebut jiwa sensitif. Dalam kenyataan manusia juga mempunyai kelebihan dari hewan. Manusia selain mempunyai kelebihan dari hewan. Manusia juga mempunyai semua yang dimiliki jenis-jenis makhluk tersebut, disamping mampu berpikir dan serta mempunyai pilihan untuk berbuat dan untuk tidak berbuat. Ini berarti manusia mempunyai prinsip yang memungkinkan berpikir dan memilih. Prinsip ini disebut an nafs al insaniyyat. Prinsip inilah yang betul-betul membedakan manusia dari segala makhluk lainnya.

Argumen kesadaran langsung yang dikemukakan seorang manusia menghentikan segala aktivitas fisiknya1, sehingga ia berada dalam keadaan tenang dan hampa aktivitas. Ketika ia menghilangkan segala aktivitasnya, menurut Al Ghazaly, ada sesuatu yang tidak hilang di dalam dirinya yaitu "kesadaran" yakni kesadaran akan dirinya. Ia sadar bahwa ia ada. Bahkan ia sadar bahwa ia sadar. Pusat kesadaran itulah yang disebut an nafs al insaniyyat (diri sejati). Dikatakan dalam suatu tafsir shafwatu at tafasir karangan Prof. As Shabuny dalam surat Al Qiyamah ayat 14:

"akan tetapi di dalam diri manusia ada bashirah (yang tahu)."

Kata bashirah ini disebut sebagai yang tahu atas segala gerak manusia yang sekalipun sangat rahasia. Ia biasa menyebut diri (wujud)-nya adalah "Aku".

Wujud "Aku" yang memiliki sifat tahu yang memperhatikan dirinya atas perilaku hati, kegundahan, kebohongan, kecurangan, serta kebaikan. Ia tidak pernah bersekongkol dengan perasaan dan pikiran, ia jujur dan suci, sehingga manusia, setan dan jin tidak bisa menembus alam ini karena ia sangat dekat dengan Allah sekalipun manusia itu jahat dan kafir. Adalah pernyataan Allah atas pengangkatan sebagai wakil Allah, sehingga Allah menyebut tentang "Aku" ini sebagai ruh-Ku. Yang oleh As Shabuny sebagai penghormatan yang maha tinggi seperti penghormatan Allah terhadap Baitullah (rumah Allah).

Ketika itu yang disadari bukan fisik dan yang sadarpun bukan fisik. Kesadaran disini tidak melalui alat, tetapi bersifat langsung. Oleh karena itu subyek yang sadar itu jelas bukan fisik dan bukan fungsi fisik melainkan sesuatu substansi yang berbeda dengan fisik.

Mungkin juga dikatakan disini tidak bersifat langsung, tetapi melalui perantara, yaitu melalui perbuatanku. Dalam perbuatanku ada yang mendahului, yaitu kesadaran akan aku yang menjadi subyek perbuatan itu. Kesadaran disini bagaimanapun bersifat langsung dan terlepas dari aktivitas fisik. Dengan demikian subyek yang sadar, yang menjadi esensi manusia itu nyata ada dan merupakan substansi yang berbeda dengan fisik. Hal ini terbukti ketika manusia kehilangan aktivitas pada moment menjelang tidur. Sang "Aku" (kesadaran) mengetahui dengan sadar peristiwa yang dialami pada saat bermimpi. Begitupun Kehidupan keruhanian dalam mendasari kesadaran ihsan dengan menghentikan aktivitas fisik sebagai kendali sahwati, maka yang timbul adalah kesadaran diri yang mampu menembus alam malakut dan uluhiah. Dimana manusia mencapai puncak eksistensi yang sejati. Kesejatian inilah yang di tuntut oleh Allah dalam hal melakukan peribadatan, apakah puasa, zakat, dan shalat. Dengan konteks "ihklaskanlah peribadatanmu dengan tidak melakukan kesyirikan sedikitpun" (QS. Az Zumar 11 & 14). Aktivitas ruhani yang diajarkan oleh Allah adalah peribadatan saum yang mana manusia dalam sementara waktu diwajibkan mengendalikan emosinya dan aktivitas keinginan hawa nafsu selama satu bulan di bulan ramadhan. Selama satu bulan penuh menahan rasa dan keinginan ragawi, samar-samar akan terjadi proses transformasi kejiwaan yang tadinya emosional berubah menjadi ketenangan, dan fisik seolah tidak lagi menuruti keinginannya, sehingga sang fisik mengikuti kehendak-kehendak diri yang sejati. Maka oleh Allah dikatakan mereka itu telah mendapatkan karunia lailatul qadar, dimana ia mampu menembus seluruh semesta ruhani dan kembali sebagai manusia sejati dan fitrah. Keadaan Fitrah ini diungkap Al Qur'an, bahwa apabila telah terjadi fitrah pada diri manusia maka sesungguhnya fitrah itu sama dengan kehendak Allah (QS. 30:30):

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."

Dalam hal ini manusia tersebut mendapat karunia kepatuhan dan ketaqwaan seperti patuhnya alam semesta serta patuhnya tubuh manusia, dimana dimengerti bahwa tidak pernah dirinya merencanakan ada, kemudian kenapa aku ini laki-laki? Atau nafas ini mengalir keluar masuk tanpa aku kehendaki dan bisakah aku menangguhkan jangan keburu tua dulu. Hal ini merupakan renungan hakiki, kenapa pikiran ini tidak sepatuh alam dan tubuh yang diselimuti kekuasaan Allah. Ia begitu tampak jelas dalam gerakan dan keberadaan alam dan diri ini.

Dengan argumen di atas bahwa an nafs berdiri sendiri dipertegas bahwa ia tidak bertempat, baik didalam badan maupun diluar badan. Karena an nafs bukan materi maka dengan sendirinya tidak mengambil ruang dan tidak mempunyai tempat. Sifat dasar an nafs tidak mengandung kemungkinan bertempat. Artinya pernyataan tempat tidak sesuai dihubungkan kepada an nafs, sebagaimana tidak sesuai sifat mengetahui atau tidak mengetahui diletakkan pada benda mati. Al Ghazaly tidak menerima pandangan bahwa an nafs berada di luar badan. Sebab an nafs dalam keadaan demikian, menurutnya tidak mungkin mengatur badan, tetapi kalau an nafs berada di dalam badan keberatan lain akan timbul. An nafs bertempat di dalam badan tidak terlepas dua kemungkinan, yaitu bertempat pada seluruh badan atau pada sebagiannya saja. Kalau bertempat pada seluruh badan, an nafs semestinya menyusut atau berpindah, jika sebagian anggauta tubuh manusia terpotong dan ini tidak mungkin.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa esensi atau hakikat manusia adalah substansi immaterial yang berdiri sendiri, bersifat illahi (berasal dari alam amr), tidak bertempat di dalam badan, bersifat sederhana, mempunyai kemampuan mengetahui dan menggerakkan badan, diciptakan (tidak kadim) dan bersifat kekal pada dirinya. Ia berusaha menunjukkan bahwa kesadaran jiwa dan sifat-sifat dasarnya tidak dapat diperoleh melalui akalnya saja, tetapi dengan akal dan sara' . Untuk itu selain kutipan ayat 29 surat Al Hijir di atas juga ayat-ayat yang lain yang menerangkan esensi manusia seperti surat Ali Imron 169:

"Jangan engkau sangka orang-orang yang terbunuh pada jalan Allah itu mati, mereka itu hidup dan diberi rezeki disisi Tuhan."

"Katakan jiwa itu dari amr Tuhanku." (QS. Al Isra 85).

Ayat yang pertama menunjukkan kekekalan jiwa dan ayat yang kedua untuk menunjukkan bahwa ia berasal dari dunia yang sangat dekat dengan Allah, alam amr.

Pembangkitan kesadaran akan diri, dikatakan para ulama kerohanian sebagai ajang mujahadah untuk menemukan kesejatian, dan dengan kesejatian itu pula manusia akan mencapai hakikat "diri" serta terbukanya kebenaran adanya Allah secara hakiki, yakni makrifatullah.

Periode pertengahan kejayaaan Islam di Jawa, berlangsung semaraknya hidup berkerohanian yang dipelopori para dai (wali songo) masa itu. Namun kita melihat kelebihan dan kekurangan metode yang diajarkan, masih banyak menyesuaikan budaya masyarakat kerohanian Hindu. Sehingga peribadatan yang masih tersisa sekarang kelihatan asimilasi peninggalan Hindu dan Budha. Akan tetapi kita melihat dengan jernih ajaran yang disampaikan oleh beliau dengan tetap memurnikan ketauhidan kita kepada Allah. Misalnya dalam mantra berbahasa Jawa, tentang perenungan hakiki manusia serta penyadaran dan pencarian kesejatian yang dikatakan dalam Al Qur'an sebagai "bashirah"(Aku yang mengetahui).

Bismillahirrahmanirrahim (dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang). Melebu Allah. Metu Allah (masuknya nafas karena Allah ... keluarnya nafas karena Allah). Anekadaken urip iku Allah (yang mengadakan hidup itu Allah). Utek dunungno kodrate Allah (otak letakkan atas kodrat Allah). Ya Hu ... Allah Ya Hu ... Allah Ya Hu ... Allah (ya hu ... Allah ya hu ... Allah ya hu ... Allah). Nabi Muhammad iku utusane Allah (nabi Muhammad itu rasullullah).

Artinya: (perlu diketahui dalam membaca kalimat mantra ini diperlukan penghayatan dan pendalaman makna yang hakiki).

Masuk dan keluarnya nafas ini adalah kodrat Allah yang tidak bisa dicegah. Manusia hanya menerima dengan pasrah atas kekuasaan Allah yang meliputi nafas. Sehingga fikiran ini diajak patuh dan pasrah bersamaan dengan patuhnya nafas tanpa reserve (totalitas). Yang mengadakan hidup pada manusia (semesta) itu adalah Allah. Dimana seluruh makhluk, apakah itu binatang, manusia, tumbuhan serta bumi, matahari semuanya bergerak dinamis atas sifat hidup Allah (Al Hayyu). Otak adalah merupakan bentuk kekuasaan Allah atas manusia, yang mana manusia diwajibkan berfikir dan berkontemplasi untuk menyatakan sebagai wakil Allah (khalifah) maka dengan itu otak harus sesuai dengan kehendak-kehendak Allah (perintah Allah).

Wahai zat yang tidak sama dengan makhluknya.
Aku bersaksi bahwa nabi Muhammad itu rasulullah.

Disini kita melihat sejarah manusia ketika mensikapi atas dirinya dalam pencarian diri sejati secara universal. Al Qur'an telah memaparkan sebelum para pemikir barat memulai.


Kampung Naga

Kampung Naga adalah perkampungan masyarakat yang masih kuat memegang adat istiadat karuhun (leluhur). Kehidupan masyarakatnya bersahaja dan penuh kearifan tradisi. Keunikan Kampung Naga dengan segala aspeknya, merupakan sebuah perbedaan mencolok dengan masyarakat lain di luar Kampung Naga.

Kampung Naga secara administratif masuk dalam wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah sebelah barat oleh leuweung karamat (hutan keramat).


Di dalam hutan inilah terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah Selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah Utara dan Timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Kampung ini merupakan miniatur masyarakat sunda tempo dulu. Perkembangan teknologi yang demikian ganas, tak dapat menembus kampung ini.

Memasuki wilayah Kampung Naga, orang harus melewati sekitar 360 anak tangga. Jumlah 360 itu memiliki cerita yang unik. Ternyata, anak tangga yang menukik turun menuju lembah Kampung Naga ini tak pernah sama hitungannya. Setiap orang yang mencoba menghitungnya, pasti selalu berbeda.

Ada yang menghitung kurang dari 360 anak tangga, tapi tidak sedikit yang menghitung lebih dari itu. Bahkan pernah ada dua orang orang yang penasaran, lantas mereka menghitung secara bersamaan. Namun tetap saja mereka tidak bisa memperoleh jumlah hitungan yang sama. Semua ini merupakan teka-teki bagi pengunjung yang datang kesana.

Rumah Panggung

Kampung Naga diapit oleh tebing dan sungai yang mengalir disepanjang kawasan tersebut. Sungai inipun mereka manfaatkan sebagai kolam ikan. Setiap 3 bulan sekali mereka menanam dan menggambil ikan dari kubangan (leuwi) yang dibuat khusus oleh masyarakat setempat.

Ornamen bangunan di Kampung Naga sangat langka kita temukan pada masyarakat sunda dewasa ini. Rumah itu berbentuk panggung dan posisinya seragam antara rumah satu dengan yang lain. Bahan baku utamanya berupa kayu, bambu serta atap injuk dari pohon aren yang diambil langsung dari hutan sekitar Kampung Naga. Dan secara keseluruhan, berjumlah 111 bangunan, yang terdiri dari 109 rumah hunian sebuah mesjid dan sebuah aula pertemuan yang kesemuanya menghadap arah Timur.

Menurut Punduh Kampung Naga, Abah Maun, alasan mendirikan rumah panggung adalah untuk menghindari kecemburuan sosial masyarakat. Lagi pula jika mendirikan rumah permanen akan mengeluarkan biaya yang cukup besar. “Untuk jumlahnya masyarakat Kampung Naga tidak akan yang sudah ada, karena keterbatasan lahan serta telah menjadi hukum adat,” katanya.

Sedang alasan mengapa semua bangunan menghadap arah timur, Abah Maun menjelaskan bahwa selain menyesuaikan dengan keadaan lahan dan menjaga kebersihan, juga agar sinar matahari bisa langsung sampai ke dalam rumah-rumah tanpa terhalangi oleh bangunan lain. Untuk membuat sebuah rumah atau memperbaikinya, hampir semua masyarakat ikut bergotong royong dalam pengerjaannya, sehingga pada proses pengerjaanya tidak menggunakan kuli bangunan.

Sebelum memasuki Kampung Naga, pengunjung sangat dianjurkan untuk meminta ijin terlebih dahulu pada sesepuh kampung. Selain meminta persetujuannya, diharap masyarakat kampung naga tidak merasa terganggu oleh kedatangan pengunjung. Seorang pemandu wisata Kampung Naga juga mengingatkan bagi pengunjung yang ingin memotret agar meminta ijin dulu, sebab hal itu tidak dilakukan, foto-fotonya tidak akan jadi atau terbakar.

Di sebelah utara Kampung Naga, berderet kolam-kolam ikan yang sengaja dibuat warga. Memang telah menggunakan tembok untuk pinggirnya, namun hampir disetiap kolam memiliki jamban (pacilingan) yang masih terbuat dari anyamam bambu. Jamban tersebut dipergunakan warga sebagai tempat MCK. Meski sederhana namun masyarakat naga telah memandang kesehatan sebagi suatu kebutuhan utama.

Hasil sensus penduduk tahun 2004 masyarakat Kampung Naga kurang lebih 326 jiwa, yang terdiri dari 106 kepala keluarga. Mayoritas dari mereka bermata pencaharian petani, disamping ada yang berdagang dan merantau ke luar kampung.

Kampung Naga, menurut kepercayaan masyarakatnya, adalah keturunan kerajaan Galunggung masa Islam. Mereka keturunan Sembah Dalem Singaparana, anak Prabu Rajadipuntang, Raja Galunggung VII. Prabu Rajadipuntang adalah Raja Galunggung terakhir yang menyingkir ke arah daerah Linggawangi. Menurut catatan sejarah, Kerajaan Galunggung runtuh di tangan Prabu Rajadipuntang pada 1520-an karena diserang oleh Kerajaan Pajajaran di bawah Prabu Surawisesa (1535-1543).

Saat itu ada perebutan kuasa antara kerajaan Islam dan asli. Kerajaan Galunggung telah menjadi pemeluk agama Islam dan berarti tidak lagi menjadikan Pajajaran sebagai pusat. Menghadapi serangan itu, Prabu Rajadipuntang menyelamatkan harta pusaka dan menyerahkannya pada anak bungsunya yang bernama Singaparana. Untuk melaksanakan tugas itu Singaparana dibekali ilmu kadigdayaan yang membuat dirinya bisa nyumput buni dina caang (bersembunyi di keramaian).

Hutan Larangan

Kampung Naga diapit dua bukit dan di sisi Sungai Ciwulan. Di seberang sungai itu terdapat bukit kecil yang dipenuhi pohon-pohon yang tampaknya berumur sangat tua. Itulah hutan yang oleh masyarakat Kampung Naga disebut dengan Leuweung Larangan atau hutan larangan. Sementara di sebelah barat atau di belakang perkampungan terdapat Leuweung Keramat.

Leuweung Larangan, yang terletak di sebelah timur pemukiman, disebut sebagai hutan tempat para dedemit. Para dedemit itu mulanya menempati areal yang dihuni masyarakat Kampung Naga. Namun oleh Mbah Dalem Singaparana, para dedemit itu dipindahkan ke hutan tersebut. Leuweung Larangan merupakan tempat yang sama-sekali dilarang untuk diinjak oleh siapa pun, khususnya warga Kampung Naga. Jangankan memasukinya, menginjakkan sebelah kaki pun merupakan merupakan pantangan yang sangat keras.

Secara kosmologis, masyarakat Kampung Naga memilah dunia dalam tiga wilayah, yaitu Leuweung Keramat (tempat nenek moyang mereka dimakamkan) yang ada di sebelah barat. Lalu wilayah perkampungan tempat mereka hidup dan bercocok tanam yang terletak di tengah-tengah. Dan Leuweung Larangan tempat yang dihuni para dedemit yang terdapat di sebelah timur.

Posisi perkampungan tidak secara langsung berhubungan dengan kedua hutan tersebut. Leuweung Larangan dibatasi oleh sebuah Sungai Ciwulan, sedangkan Leuweung Keramat dibatasi oleh tempat masjid, ruang pertemuan dan Bumi Ageung (tempat penyimpanan harta pusaka). Leuweung Larangan di arah timur dan leweung Keramat di arah barat merupakan sumber kekuatan sakral kehidupan keseharian mereka.

Sedangkan Leuweung Larangan merupakan wilayah kacau, tempat semua dedemit dan roh jahat berada. Leweung Karamat berada di sebelah barat adalah sumber kebaikan; masjid dan harta pusaka menjadi penghubung untuk mengalirkan kesakralan ke arah barat. Hutan Keramat dan Bumi Ageung yang berada di bagian barat masjid, di posisi kiblat, secara simbolis menunjukkan negosiasi ajaran Islam dan tradisi lokal.

Menghadap ke kiblat berarti membayangkan penghadapan pada Kabah yang harus melalui penghadapan terhadap harta pusaka dan hutan keramat. Keinginan mendapatkan kesakralan Kabah didahului oleh penghubungan diri terhadap nenek moyang yang dikuburkan di Leuweung Keramat.

Kosmologi ruang seperti ini barangkali yang menjadi dasar penolakan mereka terhadap warganya yang telah berhaji. Berhaji berarti berziarah secara langsung ke makam Orang Suci. Yang berhaji telah secara langsung berhubungan karena itu tak lagi membutuhkan kiblat yang dibungkus Bumi Ageung dan Leuweung Keramat.

Bumi Ageung

Melihat kompisisi dan kedudukan Bumi Ageung tersebut memperlihatkan garis kosmologis yang tegas, yaitu bahwa seluruh rumah berpusat pada Bumi Ageung dan Bumi Ageung berhubungan atau berpusat pada Leuweung Keramat, tempat nenek moyang atau makam para Karuhun. Pandangan kosmologis yang menempatkan manusia (bumi tempat manusia berada) dalam impitan antara yang sakral (Leuweung Keramat) dan yang kacau (Leuweung Larangan), telah memosisikan manusia di antara dua keadaan tersebut.

Hal tersebut tampak pada pandangan mereka tentang kosmologi waktu, yang secara umum dibagi dua, yaitu waktu nahas (tidak baik) dan waktu hade (baik). Keadaan kehidupan (dunia) manusia yang terimpit antara Leuweung Larangan (kebaikan, Yang Sakral) dan Leuweung Keramat (ketidakbaikan) tersebut mengharuskan manusia untuk teliti dan hati-hati dalam menjalani kehidupan karena kedua dunia yang mengimpit tersebut telah pula memengaruhi waktu kehidupan manusia, waktu baik dan waktu tidak baik.

Terhadap waktu mereka membuat tiga patokan aktivitas, yaitu: Bismillah, berhubungan dengan awal dan asal (Yang Sakral), bernilai satu; Alhamdulillah, berhubungan dengan harapan hidup manusia yang baik (Dunia Tengah), dengan nilai dua; dan, Astaghfirullah, berhubungan dengan dunia yang tidak baik, bernilai tiga.

Patokan ini menjadi dasar aktivitas mereka dalam mencari keselamatan, kemakmuran, dan penghindaran dari malapetaka. Misalnya, bagi orang yang hendak berobat disarankan untuk mulai berangkat pada hari yang bernaktu satu, sedangkan terhadap ruang (alam) mereka memiliki patokan nyangcang munding dina batu ku tambang sajeungkal, seug mun eling moal luput hami nyangcang kuda sabatekan begung; gaduh satapak munding seug mun eling moal luput mahi. 


Ajaran Hastabrata

Wahyu Makutha Rama yang dikenal dengan nama ajaran HASTABRATA yang artinya HASTA adalah 8 dan BRATA adalah tingkah laku atau watak. Jadi HASTABRATA adalah merupakan 8 guidance (pedoman) ilmu standard perilaku manusia dalam leadership & Manajemen.

Pertama ilmu HASTABRATA telah di-wejangkan oleh Raden Regowo (Titisan Bhatara Wisnu) dari Ayodya kepada adiknya Barata sebelum dinobatkan menjadi raja di Ayodya bergelar Prabu Barata (Dalam Cerita Romo Tundung).

Yang kedua oleh Raden Regowo juga (Titisan Bhatara Wisnu) dari Ayodya kepada Raden Wibisono sebelum dinobatkan menjadi raja di Alengka yang berganti nama menjadi Sindelo bergelar Prabu Wibisono (Dalam Cerita Bedah Alengko).

Yang ketiga Sri Bathara Kresna (Juga Titisan Bhatara Wisnu) dari Dworowati mewejangkan rahasia ilmu HASTABRATA (Dalam Cerita Wahyu Makutoromo) kepada Raden Arjuna, sebagai penengah Pendawa yang telah menjalani “Perilaku” prihatin dengan cara bertapa.

Dikatakan bahwa ke-delapan unsur alam semesta tersebut dapat menjadi teladan perilaku sehari-hari dalam pergaulan masyarakat terlebih lagi dalam rangka memimpin negara dan bangsa dengan implementasi prinsip-prinsip hukum alamiah.

Ajaran HASTABRATA berisi 8 ajaran perilaku yang harus dipunyai seorang pemimpin, yang terdiri dari sbb;

1. Watak Surya atau matahari diteladani oleh Bhatara Surya

Matahari memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan yang membuat semua makhluk tumbuh dan berkembang. Seorang pemimpin hendaknya mampu menumbuh kembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negara dengan bekal lahir dan batin untuk dapat tetap berkarya.

2. Watak Candra atau Bulan diteladani oleh Bhatari Ratih

Bulan memancarkan sinar kegelapan malam. Cahaya bulan yang lembut mampu menumbuhkan semangat dan harapan-harapan yang indah. Seorang pemimpin hendaknya mampu memberikan dorongan atau motivasi untuk membangkitkan semangat rakyatnya, dalam suasana suka dan duka.

3. Watak Kartika atau Bintang diteladani oleh Bhatara Ismoyo

Bintang memancarkan sinar indah kemilau, mempunyai tempat yang tepat di langit hingga dapat menjadi pedoman arah. Seorang pemimpin hendaknya menjadi suri teladan (Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tutwuri Handayani). Tidak ragu lagi menjalankan keputusan yang disepakati, serta tidak mudah terpengaruh oleh pihak yang akan menyesatkan.

4. Watak Angkasa yaitu Langit diteladani oleh Bhatara Indra

Langit itu luas tak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang padanya. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai keluasan batin dan kemampuan mengendalikan diri yang kuat, hingga dengan sabar mampu menampung pendapat rakyatnya yang bermacam-macam.

5. Watak Maruta atau Angin diteladani oleh Bhatara Bayu

Angin selalu ada di mana-mana, tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang yang kosong. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat dan martabatnya, bisa mengetahui keadaan dan keinginan rakyatnya. Mampu memahami dan menyerap aspirasi rakyat.

6. Watak Samudra yaitu Laut atau Air diteladani oleh Bhatara Baruna

Laut, betapapun luasnya, senantiasa mempunyai permukaan yang rata dan bersifat sejuk menyegarkan. Seorang pemimpin hendaknya menempatkan semua orang pada derajat dan martabat yang sama, sehingga dapat berlaku adil, bijaksana, dan penuh kasih sayang terhadap rakyatnya.

7. Watak Dahana atau Api diteladani oleh Bhatara Brahma

Api mempunya kemampuan untuk membakar habis dan menghancur leburkan segala sesuatu yang bersentuhan dengannya. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan harus bisa menegakkan kebenaran dan keadilan secara tegas dan tuntas tanpa pandang bulu.

8. Watak Bumi yaitu Tanah diteladani oleh Bhatara Wisnu

Bumi mempunyai sifat kuat dan bermurah hati. Selalu memberi hasil kepada siapa pun yang mengolah dan memeliharanya dengan tekun. Seorang pemimpin hendaknya berwatak sentosa, teguh dan murah hati, senang beramal dan senantiasa berusaha untuk tidak mengecewakan rakyatnya.


A. LAKON “WAHYU MAKUTARAMA”

1. Pengantar
Lakon “Wahyu Makutarama” adalah bukti kepiawaian para pujangga Nusantara dalam mengadopsi cerita wayang, yang aslinya dari India. Epos India terdiri dari “Ramayana” dan “Mahabharata”.
Lakon “Wahyu Makutarama” adalah hasil karya leluhur Nusantara kita, merupakan “titik temu” atau “jembatan penghubung” antara kedua kisah tadi,
Dalam lakon ini ada tokoh Gunawan Wibisana dan Anoman, tokoh dalam kisah Ramayana.

2. Ringkasan lakon “Wahyu Makutarama”.

Syahdan, para dewa mengabarkan kepada para insan marcapada, bahwa telah ada Mahkota yang diberi nama Sri Batara Rama. Barangsiapa memiliki mahkota itu, akan menjadi sakti, dan kelak akan menurunkan raja-raja yang memerintah di marcapada. Karena berkhasiat menurunkan raja-raja, kemudian sering disebut sebagai “Wahyu Makutarama”.

Prabu Duryudana dari Astina mengutus Adipati Karna untuk memperoleh mahkota sekaligus wahyu tadi. Adipati Karna, dengan diiringi para senapati Kurawa, pergi menemui Begawan Kesawasidi di pertapaan Kutharunggu. Karna meminta wahyu itu, yang diyakininya berada di tangan Kesawasidi. Kesawasidi mengatakan dia tidak punya Makutarama. Adipati Karna marah, dan melepaskan panahnya, yang disambut oleh Anoman, pendamping Kesawasidi. Panah itu ditangkap Anoman, kemudian dipersembahkan kepada Kesawasidi. Bukannya dipuji, Anoman malah ditegur Kesawasidi, karena, dapat dipandang sebagai meragukan kepiawaian kanuragan gurunya.

Setelah Karna pergi, datanglah Begawan Wibisana, adik Rahwana, yang sudah berusia lanjut dan ingin segera meninggalkan dunia, kembali ke alam asal. Tidak dilayani oleh Kesawasidi, hingga terjadi pertempuran. Kesawasidi “tiwikrama”, dan sadarlah WIbisana bahwa Kesawasidi titisan Rama, bekas junjungannya dulu. Kesawasidi memberi petunjuk cara kembali ke alam asal. Wibisana pamit, dan dalam perjalanan ke alam asal bertemu sukma Kumbakarna, kakaknya dulu, yang sedang gelisah. Wibisana menasehati Kumbakarna supaya menyatu dengan Bima, ksatria Pandawa.

Sementara itu, Arjuna juga berupaya mendapatkan Makutarama. Dia pergi diam-diam dari istananya, kemudian menyamar sebagai pendeta. Selagi bersemedi, Arjuna mendapat “wangsit” untuk menemui Begawan Kesawasidi.
Setelah Arjuna datang menghadap, tahulah Kesawasidi bahwa sudah tiba saatnya memberikan wahyu itu kepada orang yang tepat. Diwedarkannya rahasia bahwa Makutarama bukanlah berujud benda, tetapi berupa ajaran luhur yang patut dijadikan pedoman dan dilakoni oleh manusia, terutama yang mengemban tugas sebagai pemimpin. Ajaran luhur ini dinamakan “Asta Brata”, yang intinya meneladan sifat-sifat alam dalam melakoni kehidupan. Asta Brata ini dulunya diajarkan Rama kepada Wibisana, sepeninggal Rahwana, sebagai bekal bagi Wibisana menjadi raja Alengka menggantikan Rahwana.

Sepeninggal Arjuna, Bima mencarinya. Dalam pencarian itu, ketemu sukma Kumbakarna, yang kemudian merasuk ke paha kiri Bima. Istri Arjuna, Sumbadra, juga mencari Arjuna. Sumbadra dibantu Betara Narada, dan berubah rupa menjadi ksatria, yang kemudian pergi ke Kutharunnggu menantang perang Arjuna.
Dalam perang tanding itu, Kesawasidi datang. dan “badar” lah semuanya. Kesawasidi kembali ke wujud Kresna, sang ksatria penantang kembali menjadi Sumbadra.

Arjuna mewarisi wahyu Makutarama berupa ajaran “Asta Brata”, yang kelak diwariskan kepada puteranya, Abimanyu. Anak Abimanyu, Parikesit, belakangan mewarisi tahta kerajaan Hastina.

B. “ASTA BRATA”.

1. Inti ajaran Asta Brata.

Ajaran Astabrata pada awalnya merupakan ajaran yang diberikan olah Rama kepada Wibisana. Ajaran tersebut terdapat dalam Serat Rama Jarwa Macapat, tertuang pada pupuh 27 Pankur, jumlah bait 35 buah. Pada dua pupuh sebelumnya diuraikan kekalahan Rahwana dan kesedihan Wibisana. Disebutkan, perkelahian antara Rahwana melawan Rama sangat dahsyat. Seluruh kesaktian Rahwana ditumpahkan dalam perkelahian itu, namun tidak dapat menendingi kesaktian Rama. Ia gugur olah panah Gunawijaya yang dilepaskan Rama. Melihat kekalahan kakaknya, Wibisana segera bersujud di kaki jasad kakaknya dan menangis penuh kesedihan.

Rama menghibur Wibisana dengan memuji keutamaan Rahwana yang dengan gagah berani sebagai seorang raja yang gugur di medan perang bersama balatentaranya. Oleh Rama, Raden Wibisana diangkat menjadi Raja Alengka menggantikan Rahwana. Rama berpesan agar menjadi raja yang bijaksana mengikuti delapan sifat dewa yaitu Indra, Yama, Surya, Bayu, Kuwera, Brama, Candra, dan Baruna. Itulah yang disebut dengan Asthabrata.

Dalam lakon Wahyu Makutarama, Prabu Rama menitis kepada Kresna untuk melestarikan Asta Brata dan menurunkannya kepada Arjuna. Setelah itu, Asta Brata diturunkan oleh Arjuna kepada Abimanyu dan diteruskan kepada Parikesit yang kemudian menjadi Raja.

Asta Brata adalah simbol alam semesta. Arti harfiahnya “delapan simbol alam”, tetapi sejatinya menyiratkan keharmonisan sistem alam semesta. Pada hakikatnya kedelapan sifat tersebut merupakan manifestasi keselarasan yang terdapat pada tata alam semesta yang diciptakan Tuhan, dan manusia harus menyelaraskan diri
dengan tata alam semesta kalau ingin selamat dan terhindar malapetaka. Bila manusia, sebagai ciptaan Tuhan, bisa selaras dengan alam semesta, maka selaraslah kehidupannya.

Delapan simbol alam itu adalah: bumi, geni, banyu, angin, srengenge, bulan, lintang, dan awan. Mengambil kedelapan simbol alam sebagai contoh, itu lah inti ajaran Asta Brata, sebagai pedoman tingkah laku seorang raja, yang secara singkat dapat dirangkum sebagai:

“Dapat memberikan kesejukan dan ketentraman kepada warganya; membasmi kejahatan dengan tegas tanpa pandang bulu; bersifat bijaksana, sabar, ramah dan lembut; melihat, mengerti dan menghayati seluruh warganya; memberikan kesejahteraan dan bantuan bagi warganya yang memerlukan; mampu menampung segala sesuatu yang datang kepadanya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan; gigih dalam mengalahkan musuh dan dapat memberikan pelita bagi warganya.”

2. Beberapa versi rumusan Asta Brata

a. Menurut Yasadipura I ((1729-1803 M) dari keraton Surakarta:

-Asta Brata adalah delapan prinsip kepemimpinan sosial yang meniru filosofi/sifat alam, yaitu:

1. Mahambeg Mring Kismo (meniru sifat bumi)
Seperti halnya bumi, seorang pemimpin berusaha untuk setiap saat menjadi sumber kebutuhan hidup bagi siapa pun. Dia mengerti apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya dan memberikan kepada siapa saja tanpa pilih kasih. Meski selalu memberikan segalanya kepada rakyatnya, dia tidak menunjukkan sifat sombong/angkuh.

2. Mahambeg Mring Warih (meniru sifat air)
Seperti sifat air, mengalir dari tinggi ke tempat yang lebih rendah dan sejuk/dingin. Seorang pemimpin harus bisa menyatu dengan rakyat sehingga bisa mengetahui kebutuhan riil rakyatnya. Rakyat akan
merasa sejuk, nyaman, aman, dan tentram bersama pemimpinnya. Kehadirannya selalu diharapkan oleh rakyatnya. Pemimpin dan rakyat adalah mitra kerja dalam membangun persada tercinta ini. Tanpa rakyat, tidak ada yang jadi pemimpin, tanpa rakyat yang mencintainya, tidak ada pemimpin yang mampu melakukan tugas yang diembannya sendirian.

3. Mahambeg Mring Samirono (meniru sifat angin)
Seperti halnya sifat angin, dia ada di mana saja/tak mengenal tempat dan adil kepada siapa pun. Seorang pemimpin harus berada di semua strata/lapisan masyarakatnya dan bersikap adil, tak pernah diskriminatif (membeda-bedakan).

4. Mahambeg Mring Condro (meniru sifat bulan)
Seperti sifat bulan, yang terang dan sejuk. Seorang pemimpin mampu menawan hati rakyatnya dengan sikap keseharian yang tegas/jelas dan keputusannya yang tidak menimbulkan potensi konflik. Kehadiran pemimpin bagi rakyat menyejukkan, karena aura sang pemimpin memancarkan kebahagiaan dan harapan.

5. Mahambeg Mring Suryo (meniru sifat matahari)
Seperti sifat matahari yang memberi sinar kehidupan yang dibutuhkan oleh seluruh jagat. Energi positif seorang pemimpin dapat memberi petunjuk/jalan/arah dan solusi atas masalah yang dihadapi rakyatnya.

6. Mahambeg Mring Samodra (meniru sifat laut/samudra)
Seperti sifat lautan, luas tak bertepi, setiap hari menampung apa saja (air dan sampah) dari segala penjuru, dan membersihkan segala kotoran yang dibuang ke pinggir pantai. Bagi yang memandang laut, yang terlihat hanya kebeningan air dan timbulkan ketenangan. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai keluasan hati dan pandangan, dapat menampung semua aspirasi dari siapa saja, dengan penuh kesabaran, kasih sayang, dan pengertian terhadap rakyatnya.

7. Mahambeg Mring Wukir (meniru sifat gunung)
Seperti sifat gunung, yang teguh dan kokoh, seorang pemimpin harus memiliki keteguhan-kekuatan fisik dan psikis serta tidak mudah menyerah untuk membela kebenaran maupun membela rakyatnya. Tetapi juga penuh hikmah tatkala harus memberikan sanksi. Dampak yang ditimbulkan dengan cetusan kemarahan seorang pemimpin diharapkan membawa kebaikan seperti halnya efek letusan gunung berapi yang dapat menyuburkan tanah.

8. Mahambeg Mring Dahono (meniru sifat api)
Seperti sifat api, energi positif seorang pemimpin diharapkan mampu menghangatkan hati dan membakar semangat rakyatnya mengarah kepada kebaikan, memerangi kejahatan, dan memberikan perlindungan kepada rakyatnya.

b. Menurut Serat Aji Pamasa (Pedhalangan) karya Raden Ngabehi Rangga Warsita. Pemimpin dituntut ngerti, ngrasa, dan nglakoni (Tri-Nga) 8 (delapan) watak alam. Hasta berarti delapan, brata berarti laku atau watak.

1. Watak Surya atau srengenge (matahari); sareh sabareng karsa, rereh ririh ing pangarah.
2. Watak Candra atau rembulan (Bulan); noraga met prana, sareh sumeh ing netya, alusing budi jatmika, prabawa sreping bawana.
3. Watak Sudama atau lintang (Bintang); lana susila santosa, pengkuh lan kengguh andriya. Nora lerenging ngubaya, datan lemeren ing karsa. Pitayan tan samudana, setya tuhu ing wacana, asring umasung wasita. Sabda pandhita ratu tan kena wola wali.
4. Watak Maruta atau angin (Udara yang bergerak); teliti setiti ngati-ati, dhemen amariksa tumindake punggawa kanthi cara alus.
5. Watak Mendhung atau mendhung (Awan hujan); bener sajroning paring ganjaran, jejeg lan adil paring paukuman.
6. Watak Dahana atau geni atau latu (Api); dhemen reresik regeding bawana, kang arungkut kababadan, kang apateng pinadhangan.
7. Watak Tirta atau banyu atau samodra (Air); tansah paring pangapura, adil paramarta. Basa angenaki krama tumraping kawula.
8. Watak pratala atau bumi atau lemah (Tanah); tansah adedana lan karem paring bebungah marang kawula.

c. Menurut lakon Wahyu Makutharama, diajarkan oleh Begawan Kesawasidi (Prabu Kresna) kepada Raden Arjuna, sebagai berikut:

1. “kapisan bambege surya, tegese sareh ing karsa, derenging pangolah nora daya-daya kasembadan kang sinedya. Prabawane maweh uriping sagung dumadi, samubarang kang kena soroting Hyang Surya nora daya-daya garing. Lakune ngarah-arah, patrape ngirih-irih, pamrihe lamun sarwa sareh nora rekasa denira misesa, ananging uga dadya sarana karaharjaning sagung dumadi.

2. Kapindho hambege candra yaiku rembulan, tegese tansah amadhangi madyaning pepeteng, sunare hangengsemake, lakune bisa amet prana sumehing netya alusing budi anawuraken raras rum sumarambah marang saisining bawana.

3. Katelu hambeging kartika, tegese tansah dadya pepasrening ngantariksa madyaning ratri. Lakune dadya panengeraning mangsa kala, patrape santosa pengkuh nora kengguhan, puguh ing karsa pitaya tanpa samudana, wekasan dadya pandam pandom keblating sagung dumadi.

4. Kaping pate hameging hima, tegese hanindakake dana wesi asat; adil tumuruning riris, kang akarya subur ngrembakaning tanem tuwuh. Wesi asat tegese lamun wus kurda midana ing guntur wasesa, gebyaring lidhah sayekti minangka pratandha; bilih lamun ala antuk pidana, yen becik antuk nugraha.

5. Kalima ambeging maruta, werdine tansah sumarambah nyrambahi sagung gumelar; lakune titi kang paniti priksa patrape hangrawuhi sakabehing kahanan, ala becik kabeh winengku ing maruta.

6. Kaping nem hambeging dahana, lire pakartine bisa ambrastha sagung dur angkara, nora mawas sanak kadang pawong mitra, anane muhung anjejegaken trusing kukuming nagara.
7. Kasapta hambeging samodra, tegese jembar momot myang kamot, ala becik kabeh kamot ing samodra; parandene nora nana kang anabet. Sa-isene maneka warna, sayekti dadya pikukuh hamimbuhi santosa.

8. Kaping wolu hambeging bantala, werdine ila legawa ing driya; mulus agewang hambege para wadul. Danane hanggeganjar myang kawula kang labuh myang hanggulawenthah.


C. NILAI DAN TELADAN

a. Relevansi Asta Brata dengan ajaran serupa di dunia Internasional.
Ada banyak rumusan Asta Brata. Bahkan, pernah dijadikan pelajaran wajib di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas).

Apakah ajaran ini bersifat Universal, dalam arti tidak hanya dihayati bangsa Indonesia saja?
Ternyata, memang benar. Ajaran Asta Brata bersifat Universal, dikenal pula di belahan dunia yang lain, walau pun berbeda sebutan dan rumusannya. Berupa apa sifat ajaran Universalnya?
Yaitu, bahwa manusia harus hidup selaras dengan alam.

Di Negeri China, Korea, dan Jepang dikenal “Fengshui” (harfiahnya Angin dan Air), yang berlandaskan teori lima proses: Logam, Kayu, Tanah, Air, dan Api.

Di anak benua India, dikenal pula Teori 5 Unsur: Api, Tanah, Air, Udara (Angin) dan Ruang.
Mengapa hanya lima? Berarti ajaran Asta Brata lebih lengkap?
Ternyata, tidak sesederhana itu.
Perhatikan, adakah unsur “Ruang” dalam ajaran Asta Brata?
Tanpa ruang, di manakah ke unsur-unsur alam itu berada?

Makna: Tidak semua yang terlihat berbeda itu benar-benar berbeda. Perluaslah wawasan kita untuk bisa melihat, bahwa ada kesamaan di antara perbedaan.

b. Esensi Makna Asta Brata
Asta Brata bukan hanya berlaku bagi para pemimpin saja. Setiap manusia, seyogyanya mengamalkannya, dalam arti “hidup selaras dengan alam”, dan “menjalankan peran yang diembannya, sehingga memberi manfaat bagi sesama”.

Seorang pemimpin yang tidak mampu melaksanakan Asta Brata bagai raja tanpa mahkota. Sebaliknya, rakyat jelata yang dalam hidupnya mampu melaksanakan Asta Brata, berarti ia adalah rakyat jelata yang bermahkota, dialah manusia yang luhur budi pekertinya.


 

SEO Stats powered by MyPagerank.Net

 Subscribe in a reader

Add to Google Reader or Homepage

Powered by FeedBurner

Waris Djati

↑ Grab this Headline Animator

My Ping in TotalPing.com Protected by Copyscape Online Copyright Protection Software DMCA.com Literature Blogs
Literature blog Submit Your Site To The Web's Top 50 Search Engines for Free! free web site traffic and promotion Submitdomainname.com Sonic Run: Internet Search Engine
eXTReMe Tracker
free search engine website submission top optimization