Kegaiban Sungai Citarum

Sungai Citarum selalu  dituding sebagai penyebab utama terjadinya banjir di kawasan Kabupaten Bandung, juga daerah-daerah lain di sepanjang aliran sungai terbesar sekaligus terpanjang di Provinsi Jawa Barat itu. Induk sungai ini berhulu dari tujuh mata air yang berinduk dari sumber-sumber mata air lainnya yang ada di kawasan gunung-gunung besar yang berada di sekeliling kawasan Bandung. Dari selatan ada anak sungai besar bernama Cisangkuy, dan dari utara ada anak sungai Cikapundung. Kedua anak sungai tersebut bermuara di Citarum, kawasan bekas Ibukota Bandung lama, yakni Baleendah dan Dayeuhkolot. Karena itu sangat wajar kiranya, jika pada puncaknya musim penghujan tiba, kedua titik ini dapat dipastikan akan dilanda luapan air sungai yang melimpah, alias banjir.

Tahun ini, berdasar pengakuan para penduduk perkampungan korban banjir di kedua daerah tersebut, merupakan banjir terbesar. Di samping luapan banjir yang begitu cepat, juga kawasana yang terkena banjir pun semakin luas. Rumah-rumah atau perkampungan yang biasanya tidak terkena, kini ikut terendam banjir. Bahkan jalan raya yang sengaja dibangun lebih tinggi pun, ikut pula tergenang, sehingga berdampak terputusnya arus transportasi.

Terlepas dari cerita tentang banjir, sebagaimana hasil investigasi Misteri, di balik namanya yang terkenal itu, Citarum ternyata banyak menyimpan cerita misteri yang menarik digali sekaligus diketahui. Konon, nama Citarum sebagai sebuah sungai tua sudah ada sejak zaman sebelum kota Bandung terbentuk. Bahkan, nama Citarum sudah dikenal dan sudah ada jauh tatkala kawasan Bandung masih berupa cekungan, atau sebelum terjadinya pristiwa Bandung menjadi sebuah danau raksasa, yang lebih masyhur dikenal dengan nama telaga. Ini terjadi untuk jangka waktu ratusan tahun lamanya.

Sebagaimana catatan sejarah yang dapat dibaca, bahwa konon kawasan Bandung dulunya masih berupa hutan, dengan cekungan yang ada di bawah kaki Gunung Sunda. Di bagian utara cekungan ini sejak dulunya telah dibelah oleh sebuah aliran sungai bernama Citarum, yang titik hulunya berasal dari sebuah gunung lain di kawasan selatan, dengan arah alirannya menuju ke barat hingga menembus sebuah gunung lainnya yang ada disana, sebelum akhirnya terus mengalir ke kawasan luar Bandung yang ada di sebelah barat. Karena suatu peristiwa alam yang menghebohkan, yakni meleutusnya Gunung Sunda yang disebutkan berada di bagian utara Bandung saat ini, maka dampaknya  antara lain terjadinya luapan larva, serta bebatuan-bebatuan besar. Kesemuanya itu mengalir memenuhi aliran Sungai Citarum.

Karena aliran Sungai Citarum menuju ke laut yang berada di bagian barat Pulau Jawa yang sebelumnya harus melewati terowongan sungai di bawah Gunung Sunda, oleh sebab banyaknya bebatuan yang terbawa serta limpahan larva akhirnya tersumbat. Aliran sungai yang melewati terowongan secara otomatis tertampung di antara cekungan Bandung. Karena peristiwa ini, konon, untuk sekian ratusan tahun lamanya kawasan Bandung pun terendam dan berubah menjadi sebuah danau atau telaga raksasa. Hingga pada priode ratusan tahun berikutnya sumbatan bebatuan itu kembali terkikis dan Bandung pun kembali berubah menjadi daratan yang dialiri oleh banyak sungai-sungai kecil, yang kesemuanya berinduk pada sebuah sungai besar bernama Citarum.

Kendati demikian, siapa sangka kalau Citarum yang selalu dituding sebagai pangkal penyebab banjir di kawasan Bandung itu asal muasalnya adalah dari sebuah selokan, atau setidaknya hanyalah sebuah sungai kecil  yang berasal dari kawasan hutan Gunung Wayang, Pangalengan. Menurut cerita, sedikitnya ada tujuh atau lima buah sumber mata air yang kemudian mengalir membentuk Sungai Citarum. Sumber-sumber mata air itu mengalir dari sela-sela bebatuan di puncak Gunung Wayang itu kesemuanya mengalir dan tertampung pada sebuah kolam penampungan kecil yang berada di bagian kaki gunung setinggi 2181 meter diatas permukaan laut tersebut. Akhirnya air tersebut mengalir melalui selokan-selokan kecil yang membelah areal pesawahan dan perkampungan. Namun, siapa sangka pula bahwa sumber air yang tertampung pada kolam kecil di kaki Gunung Wayang itu, sejak lama dikenal sebagai sumber air keramat. Pada setiap hari atau bulan-bulan tertentu, sumber air tersebut kerap didatangi banyak peziarah yang bertujuan mendapatkan berkah.

“Sumber air ini merupakan sumber air keramat yang ada di Gunung Wayang, di samping tempat-tempat lainnya yang berada di atas bagian gunung ini,” jelas Pak Oman (63), sesepuh setempat yang kepada Penulis
Disampikan pula oleh Pak Oman, bahwa disamping banyak didatangi oleh para peziarah yang tujuannya bermacam-macam, sejak lama sekali kawasan Gunung Wayang telah menjadi semacam tempat wajib yang mesti diziarahi oleh mereka yang berhasrat menjadi dalang. “Hampir semua dalang besar yang namanya kini terkenal, pasati pernah mendatangi gunung ini,” tandasnya. Selain sumber air keramat, di kawasan ini pun terdapat sebuah makam petilasan yang dianggap sebagai bagian leluhur pegunungan gaib hulu Citarum. Makam tersebut berada tepat di sebelah kanan sumber air dan dikenali dengan sebutan Makam Eyang Dipati Ukur.

“Bisanya, setelah melakukan ritual mandi di sumber air Citarum, maka selanjutnya para peziarah pun melakukan ziarah ke makam Eyang Dipati Ukur. Mereka umumnya melakukan ritual pengukuran tongkat,” tambah Pak Oman. Lebih lanjut kakek puluhan cucu ini menjelaskan, bahwa ritual tongkat yang dipotong sepanjang dua rentangan tangan (Sadeupa: B. Sunda) itu merupakan sibol keberuntungan. Biasanya, setelah melakukan ritual khusus peziarah akan melakukan pengukuran makam dengan tongkat tersebut. Kalau ternyata panjang makam sama dengan tongkat, maka segala permaksudan si peziarah akan tercapai. Sebaliknya, bila panjang tongkat tidak sama dengan panjang makam, maka permaksudannya masih belum saatnya terkabulkan. Uniknya, ada saja peziarah yang mengalami kejadian seperti ini. Aneh, memang. Tapi begitulah kenyataan yang terjadi.

Berdasar informasi yang berhasil dihimpun penulis, alur Sungai Citarum yang mengalir dari hulu hingga ke titik paling akhir dari kawasan Bandung, konon terbagi dalam dua alur kekuatan dimensi gaib. Dari arah hulu hingga titik tengahnya yang berada di sekitaran kawasan Daeyeuhkolot, memiliki penguasa gaib yang berwujud seekor kerbau siluman yang tanduknya yang seperti patah menggelantung ke bawah, atau dalam istilah masyarakat setempatnya disebut Munding Dongkol. Menurut pengakuan kebanyakan masyarakat sepuh di sana, konon kemunculan kerbau jejadian ini biasanya terjadi menakala air Sungai Citarum akan meluap atau banjir. Kerbau jejadian tersebut jika kebetulan ada yang melihat penampakannya dan dia sedang berenang di tengah sungai dari arah hulu ke titik batas kekuasaannya, maka dapat dipastikan banjir besar akan berlangsung.

“Seperti pada saat akan terjadinya banjir besar akibat meluapnya Sungai Citarum pada sekitar tahun 1986 silam. Dengan mata kepala sendiri, saya sempat menyaksikan penampakkan kerbau siluman Munding Dongkol itu. Dia sedang berenang-renang di tengah sungai. Namun pada saat menjelang banjir besar sekarang saya tidak melihatnya. Mungkin ada orang lain yang sempat melihatnya,” cerita Pak Oyo (50), penduduk sebuah perkampungan di Dayeuhkolot. Dijelaskan pula, Munding Dongkol yang biasanya muncul sebagai pertanda akan terjadinya banjir itu, yang akan terlihat cuma bagian kepalanya saja. “Dia akan nampak seperti kerbau yang tenggelam dan mengalir terbawa arus!” tandasnya.

Sementara itu, dari kawasan Dayeuhkolot hingga ke alur paling akhir, yakni di ujung paling barat kawasan Badung, konon Sungai Citarum ini memiliki penunggu gaib lainnya, yang berwujud seekor ular besar berwarna hitam dengan lingkaran putih dibagian lehernya, atau menyerupai kalung. Ular jejadian ini oleh masyarakat setempat dikenali dengan sebutan Raden Kalung. Penamaan ini konon karena asal muasalsi ular merupakan seorang putera bupati yang sempat mengawini perempuan dari bangsa jin. Raden Kalung menjadi penguasa gaib Sungai Citarum konon tidak lain adalah atas perintah ayahandanya sendiri.

“Raden Kalung itu merupakan penunggu sungai yang baik, karena biasanya dia akan membantu menolong orang-orang yang tenggelam di sungai. Terutamanya adalah mereka yang memiliki hubungan saudara dengannya, ” cerita Mardiyah (65), seorang ibu yang ditemui penulis dan ditinggal di sebuah perkampungan tepian Citarum. Lebih lanjut dijelaskan oleh wanita tua yang juga mengaku memiliki hubungan keturunan dengan sosok Raden Kalung ini, bahwa konon wujud sebenarnya dari ular jadi-jadian  itu ialah bagian kepalanya merupakan kepala manusia. Persisnya kepala seorang laki-laki berwajah tampan.

Mengiringi cerita terjadinya banjir besar yang melanda kawasan Bandung tahun ini, warga di beberapa perkampungan yang ada di dua kecamatan berbeda, yakni Baleendah dan Dayeuhkolot, dalam selang waktu yang berbeda pula, sempat dihebohkan oleh sebuah kejadian aneh. Ketika air Sungai Citarum itu meluap hingga menggenangi daratan, warga di kedua perkampungan tersebut dikabarkan sempat mendapat dua ekor ular berukuran yang sangat besar. Ular tersebut berjenis sanca kembang dengan ukuran panjang sekitar enam meteran.

Keanehan ular tersebut hingga kini masih menjadi cerita dan tanda tanya yang belum terjawab. Diceritakan, setelah kedua ular tersebut berhasil di tangkap secara beramai-ramai oleh masing-masing warga di kedua kampung tadi, esok paginya kedua hewan itu sama-sama hilang dari kandangnya. Padahal, kedua ular tersebut disimpan dalam sebuah tempat berupa peti dari kayu yang besar dan siangnya sempat menjadi tontonan di tengah bajir. Yang tak kalah aneh, peti tempat penyimpanannya masih dalam keadaan utuh. Apakah kedua ekor ular itu merupakan sosok gaib yang menjadi bagian dari penunggu Sungai Citarum? Atau jangan-jangan hewan itu merupakan perwujudan dari penguasa gaib bernama Raden Kalung? Sungguh sebuah pertanyaan menggelitik yang selamanya selalu menarik untuk terus diterlusuri.


Golok Pusaka Langlangbuana

Warga Jawa Barat, masyarakat Pasundan khususnya, selama ini mungkin banyak mendengar cerita tentang adanya harimau gaib yang diyakini sebagai wujud penjelmaan dari Prabu Siliwangi. Harimau gaib ini digambarkan sebagai hewan berbulu loreng, atau ada juga yang mengatakan berbulu putih dan disebut sebagai Lodaya.

Disamping harimau loreng dan Lodaya, yang diyakini sebagai jelmaan Prabu Siliwangi dan para pengikut setianya, sesungguhnya masih ada jenis harimau gaib lainnya, yakni harimau yang berbulu hitam pekat. Nah, jenis harimau hitam inilah yang mungkin masih kurang diketahui seperti apa asal-usulnya.

Meski terkesan musykil, namun bagi masyarakat Jawa Barat, khususnya yang tinggal di daerah pinggiran, masih meyakini kalau kesemua jenis harimau gaib tersebut hingga kini masih ada dan kerap menampakkan wujudnya di tempat-tempat tertentu. Fenomena itu utamanya kerap terjadi di sekitar Leuweung Sancang, Garut Selatan. Menurut cerita, di Leuweung Sancang inilah Prabu Siliwangi bersama para pengikut setianya memutuskan jalan gaib dengan cara ngahyang atau moksa.

Lantas, bagaimana asal-usul harimau hitam dari Pajajaran itu?

Menurut informasi yang penulis terima, sosok harimau hitam yang kini dijadikan lambang kesatuan kepolisian daerah di Jawa Barat ini tidak lain mulanya berasal dari salah seorang tokoh pengabdi setia di Pajajaran.

Saat Prabu Siliwangi berkuasa, sang tokoh mendapat kepercayaan jabatan sebagai pejabat tinggi keamanan, atau setara dengan Panglima Polri pada saat sekarang. Dialah petinggi polisi pertama yang sempat diangkat dilingkungan Kerajaan Pajajaran. Tokoh dimaksud tak lain adalah yang namanya populer dengan sebutan Eyang Langlangbuana. Dia pertama kali ditunjuk sebagai pengabdi polisi di lingkungan kerajaan pada  1515, dan bersamanya sempat pula ditunjuk dua orang ajudannya, yaitu yang bernama Eyang Jagariksa dan Eyang Jagapirusa.

Disebutkan, ketiga tokoh inilah yang bertanggungjawab terhadap keamanan di lingkungan dalam kerajaan. Mereka juga memiliki pos pusat di Pakuan, juga sejumlah pos-pos jaga di kawasan Sukadana, Cibitu dan Cianjur.

Eyang Langlangbuana, atau yang dikenal pula sebagai Eyang Jagaraksa atau Jagasatru, menurut sejarah, sebenarnya bukanlah orang Pajajaran asli. Dia adalah pengembara yang berasal dari Kerajaan Bugis, Makasar. Kemudian dia menikah dengan wanita di Pajajaran.

Sebelum singgah di Pajajaran, Eyang Langlangbuana sempat pula mengembara ke belahan bumi lain. Seperti ke Tanah Arab yang lamanya 77 tahun, dan terakhir ke Tanah Jawa, atau dalam hal ini adalah Pajajaran.

Seperti diceritakan, Prabu Siliwangi dan segenap pengikut setianya akhirnya sepakat memilih jalan gaib untuk mati secara moksa. Sementara. saat mendapati tekanan berat dari pihak musuh, Eyang Langlangbuana memilih jalan akhirnya sendiri, yaitu meninggal secara wajar.

Menurut sebuah sumber, makam Eyang Langlangbuana berada di kawasan Cibule, di kaki Gunung Pangrango, Cianjur.

Sudah barang tentu, Eyang Langlangbuana termasuk leluhur yang memiliki jasa besar bagi Pajajaran. Makamnya kini sangat dikeramatkan. “Namun, untuk dapat mencapainya, boleh dikata tidaklah gampang. Sebab, disamping lokasinya yang berada di kedalaman hutan yang rimbun, juga untuk tiba di sana kita pun harus siap berjalan jongkok dan merayap, dikarenakan makam itu terkurung oleh pohon-pohon yang besar,” tegas sumber penulis yang enggan disebutkan namanya.

Sementara, berkaitan dengan cerita keleluhuran Eyang Langlangbuana yang nama besarnya kini diabadikan sebagai simbol kesatuan kepolisian Jawa Barat, terungkap sebuah informasi kalau ternyata senjata pusakanya adalah sebilah golok yang panjangnya sekitar satu meter. Pusaka ini sekarang berada di tangan seorang kolektor di Bandung.

Karena bahannya yang bukan sembarangan, pusaka Eyang Langlangbuana tersebut diyakini menyimpan tuah tertentu. Menurut sang pemilik, banyak kalangan yang berhasrat untuk dapat memilikinya.

“Golok ini berkhodam seekor harimau gaib berbulu hitam, jelmaan dari Eyang Langlangbuana. Golok ini merupakan perangkat beladiri yang sangat ringan untuk dimainkan. Sehingga, banyaknya pihak yang berminat,” kata sang pemilik yang juga enggan disebut identitasnya.

Menurut pengakuannya, golok yang bergagang berupa ukiran kepala harimau hitam itu adalah benar-benar asli. Benda tersebut merupakan warisan dari para leluhurnya yang sempat mendalami dan menyusuri sejarah Pajajaran.


Asal Mula Kanjeng Kyai Plered

Kala itu, kejayaan Majapahit pun mulai berangsur redup. Di Katumenggungan Wilwatikta yang tenang dan damai, di pagi nan cerah itu, sang Tumenggung yang dikaruniai sepasang anak yang mulai beranjak dewasa, yakni Raden Sahid dan Dewi Rasa Wulan memanggil keduanya untuk menghadap.

Setelah keduanya  menghaturkan sembah bakti, sang Tumenggung pun berkata; “Sahid, sekarang engkau sudah dewasa. Mulai sekarang, engkau harus bersiap-siap untuk menggantikan bila aku sudah tak mampu lagi melaksanakannya.”

“Sebelumnya, aku dan ibumu berharap agar engkau segera menikah. Katakanlah, gadis mana yang selama ini telah menjadi tambatan hatimu. Nanti aku yang akan melamarkan untukmu,” imbuhnya.

Raden Sahid yang duduk bersila dengan takzim dan kepala menunduk sebagai tanda hormat kepada orang tua, hanya diam membisu. Hatinya benar-benar galau. Betapa tidak, sejatinya, di dalam hati ia menolak untuk segera menikah.  Tapi apa daya, jika menolak, ia takut membuat kedua orang tuanya kecewa.

Padahal dalam hati yang sangat dalam, beliau menggerutu, belum siap memikirkan tentang arti sebuah mahligai rumah tangga. Di tengah-tengah suasana yang mencekam itu, mendadak terdengar suara Tumenggung Wilwatikta memecah kesunyian; “Mengapa engkau diam Sahid?”

“Apakah engkau menolak permintaanku?” Sambungnya cepat.
“Ampun … ayahanda,” sahtu Raden Sahid dengan terbata-bata, “tak ada maksud hamba untuk menolaknya.”
“Tetapi mengapa engkau diam dan tidak segera menjawab,” potong sang ayah dengan cepat.
“Ampun … ayahanda,” jawab Raden sahid dengan santun, “sampai saat ini, hamba masih menimbang-nimbang, wanita mana yang tepat untuk menjadi menantu ayahanda.”
Tumenggung Wilwatikta pun menarik napas lega, “Baiklah kalau begitu. Pertimbangkan dengan masak-masak, dan hati-hati dalam menentukan jodohmu.”

Karena dianggap cukup, maka, Raden Sahid pun diperkenankan untuk undur diri. Dan kepada Dewi Rasa Wulan, sang ayah hanya berpesan agar dirinya bersiap-siap untuk menerima pinangan dari pemuda  yang sudah ditetapkan kedua orang tuanya.

Tanpa berani membantah, Rasa Wulan pun hanya diam … lalu, ia pun undur diri dari hadapan ayahandanya.
Tidak seperti biasanya, keceriaan yang biasa diperlihatkan keduanya di kadipaten mendadak hilang. Hingga malam menjelang, Raden Sahid masih disungkupi kegelisahan. Bahkan, matanya pun tak bisa dipejamkan walau malam terus merangkak. Hatinya teramat sedih …

“Untuk menghindar dari paksaan ayah, kiranya aku harus pergi dari sini,” demikian bisik hatinya. Dan benar, seiring dengan malam yang terus merangkak dan seisi katumenggungan sedang terbuai dalam mimpi indahnya masing-masing, diam-diam Raden Sahid pun ke luar dari kamarnya dan pergi ….

Paginya, tatkala Dewi Rasa Wulan mengetahui bahwa kakaknya tak ada di kamarnya, sontak, hatinya pun khawatir. Dengan harap-harap cemas ia pun mencari sang kakak di berbagai penjuru katumenggungan. Tapi apa daya, sang kakak seolah lenyap bak ditelan bumi. Dewi Rasa Wulan pun yakin, sang kakak telah pergi meninggalkan katumenggungan tanpa meminta izin pada kedua orang tuanya.

“Mengapa Kangmas Sahid tidak mengajakku,” bisik hati Rasa Wulan, “padahal aku juga bermaksud pergi agar terhindar dari paksaan ayah.” Dengan langkah gontai, Dewi Rasa Wulan pun masuk ke kamarnya untuk menyiapkan pakaian dan langsung menyusul kakaknya.

Waktu terus berlalu. Malamnya, barulah seisi katumenggungan heboh. Mereka baru sadar jika Raden Sahid dan Rasa Wulan telah pergi tanpa sepengetahuan orang tuanya. Mendengar laporan bahwa kedua anaknya pergi, Tumenggung Wilatikta pun terkejut. Dengan cepat ia memerintahkan seluruh telik sandi katumenggungan untuk menelisik keberadaan kedua anaknya itu.

Tapi apa daya, keduanya seolah lenyap ditelan bumi. Hari bergangti minggu dan minggu berganti bulan bahkan bulan bergantiu tahun, tapi, keberadaan keduanya tetap saja tidak terendus.

Berbilang waktu, dalam pengembaraannya, Raden Sahid mengalami pahit dan getirnya penderitaan serta menghadapi berbagai macam cobaan hingga di kemudian hari ia dikenal sebagai sosok waliyullah yang sangat masyhur, Khanjeng Sunan Kalijaga  lewat bimbingan seorang Waliyulloh A’dzom Sunan Bonang, yang diteruskan kepada Sunan Gunung Jati, sampai pada akhirnya mendapat derajat kewalian secara sempurna lewat talqin Nabiyulloh Hidir AS, hingga akhirnya beliau diambil mantu dan dijadikan tangan kanan paling setia oleh Sunan Gunung Jati Cirebon.

Tak jauh berbeda dengan sang kakak, di dalam pengembaraannya, setelah berbilang tahun tidak juga berhasil menemukan Raden Sahid, akhirnya, Dewi Rasa Wulan pun bertapa ngidang (bertapa seperti kijang, hidup bersama-sama kawanan kijang dan mengerjakan apa yang dikerjakan oleh kijang, termasuk memakan makanan yang biasa dimakan oleh kijang-Jw) di tengah hutan Glagahwangi (perbatasan Pasundan, Jawa Barat).

Di dalam hutan  nan lebat dan angker itu terdapat sebuah danau bernama Sendhang Beji, yang ditepiannya tumbuh dengan subur sebatang pohon besar yang batangnya menjorok dan menaungi permukaannya. Dan tak ada yang menyangka jika pada salah satu cabangnya yang menjorok ke atas permukaan Sendhang Beji itu terdapat seseorang yang sedang bertapa ngalong (bertapa seperti kalong, bergantungan pada cabang pohon-Jw). Ya … sosok linuwih itu tak lain adalah Syekh Maulana Mahgribi.

Waktu terus berlalu. Dan pada suatu nan terik, Rasa Wulan pun mendatangi Sendhang Beji. Ia berniat ingin mandi, untuk menyegarkan badannya. Ia sama sekali tak tahu jika di atas permukaan air sendhang itu ada seorang laki-laki yang sedang bertapa dan tanpa malu-malu Rasa Wulan pun membuka seluruh pakaian penutup tubuhnya. Dalam keadaan tanpa sehelai benang pun, dengan perlahan-lahan ia berjalan menghampiri danau dan mandi di Sendhang Beji. Kesejukan air danau membuat tubuhnya jadi terasa sangat nyaman.

Sementara itu, Syekh Maulana Mahgribi yang sedang bertapa tepat di atas danau memandang kemolekan tubuh Rasa Wulan dengan penuh pesona. Melihat kecantikan dan kesintalan tubuhnya, sontak, birahi Syekh Maulana Mahgribi pun bangkit hingga meneteskan bibit hidup (sperma-Jw) dan jatuh tepat diatas tempat Rasa Wulan mandi.

Karena peristiwa itu, maka, Rasa Wulan pun hamil. Akhirnya, Rasa Wulan pun tahu jika laki-laki yang bergantungan pada cabang pohon di atas danau itulah yang menyebabkan kehamilannya.

“Mengapa engkau tega berbuat demikian?” Protes Rasa Wulan sambil menunjuk sengit ke arah Syekh Maulana Mahgribi. “Mengapa engkau menghamiliki?”

Syekh Maulana Mahgribi hanya diam. Ia seakan tidak mendengar apa-apa.
“Karena telah berbuat, maka, engkau harus bertanggung jawab!” Sergah Rasa Wulan semakin sengit.
“Mengapa engkau menuduhku?” Tanya Syekh Maulana Mahgribi dengan sabar.
“Lihat! Aku hamil,” sahut Rasa Wulan.
“Engkau yakin jika aku yang menghamilimu?” Tanya Syekh Maulana Mahgribi meminta ketegasan.
“Ya. Aku yakin!” Sahut Rasa Wulan tegas.
“Karena di tempat ini tidak ada laki-laki lain, maka, engkaulah yang kutuduh menghamiliku,” imbuhnya dengan berapi-api.

Untuk menghindarkan diri dari tuduhan itu, Syekh Maulana Mahgribi pun langsung mencabut kemaluannya kemudian menyingkapkan sarungnya dan menunjukkan kepada Rasa Wulan bahwa ia tidak memiliki kemaluan. Syekh Maulana Mahgribi pun berujar, “Lihat, aku bukan laki-laki. Jadi mana mungkin aku menghamilimu.”

“Bagaimana pun juga aku tetap menuduhmu yang menghamiliku” kata Rasa Wulan, “karena itu, engkau harus bertanggung jawab terhadap kehidupan bayi yang tengah kukandung ini.”
“Aku yang harus bertanggung jawab?” Tanya Syekh Maulana Mahgribi.
“Ya. Engkau yang harus bertanggung jawab,” sahut Rasa Wulan, “mengasuh dan memeliharanya kelak setelah lahir.”

Syekh Maulana Mahgribi tidak dapat mengelak. Dan pada waktunya, setelah anak yang dikandung oleh Rasa Wulan itu lahir, maka, si jabang bayi pun yang diberi nama Kidang Telangkas pun diserahkan kepada Syekh Maulana Mahgribi. Kelak dikemudian hari, secara turun temurun, keturunan Kidang Telangkas menjadi raja di tanah Jawa.

Kembali ke perdebatan sengit antara Dewi Rasa Wulan dengan Syekh Maulana Maghribi, saat itu, ternyata kemaluannya yang dicabut berubah wujud menjadi sebilah mata tombak yang akhirnya menjadi “sipat kandel” (senjata andalan) dari raja-raja Jawa. Dan tombak itu dinamakan Khanjeng Kyai Plered.

Saat ini Khanjeng Kyai Plered itu merupakan salah satu dari senjata pusaka Keraton Yogyakarta.

Namun dalam perdebatan lain, tombak Khanjeng Plered, yang asli telah raib dan dimiliki oleh seorang Waliyulloh Kamil, yang turun temurun selalu dijaga dan dirawat secara baik, sebab hal semacam ini sudah menjadi ilmu Waris bagi ahli generasi sesama Waliyulloh “Di mana hak yang terlahir dari seorang waliyulloh, maka, akan kembali kepada hak sederajat lainnya” Juga seperti maqolahnya Rosululloh SAW: “Sesungguhnya hak warisku akan terpenuhi oleh keturunanku kelak, dan tiada kuberikan pengganti kecuali yang memahamiku, maka sambutlah pemberianku hingga kamu menggantikanku”

“Setiap yang aku miliki (sisa peninggalan hidup) adalah bagian wujud kasar yang tiada berarti dan hakikat sebenarnya adalah kembali ke yang  punya, maka peliharalah apa yang menjadi izin langsungku hingga kau menikmati dengan apa yang sesungguhnya kau pahami ”


Asal Muasal Adanya Dana Gaib

Mengenai asal muasal dana gaib hingga kini belum terjadi kesepakatan. Namun demikian dapat diambil dua kesimpulan umum mengenai dana gaib itu, yakni dana gaib putih dan dana gaib hitam.

Di kalangan spiritualis meyakini bahwa dana gaib hitam ini sama dengan pesugihan atau ngipri. Penguasa dana ini berasal dari golongan siluman, iblis atau setan. Untuk mengambilnya, harus didahului dengan laku atau melakukan ritual-ritual  tertentu yang menyeramkan dan biasanya dilakukan di tempat terpencil pada malam hari.

Orang yang menginginkan harta gaib tidak bisa melakukan sendiri. Mereka harus memanfaatkan mediator yang kebanyakan kuncen atau juru kunci tempat-tempat yang dipercaya dihuni siluman yang bisa diajak kerjasama untuk mencari dan mendatangkan dan gaib.

Namun demikian, meski telah memanfaatkan mediator, tidak serta merta dana gaib itu akan muncul dengan sendirinya. Ada beberapa ujian yang harus dilaksanakan. Bahkan jika melenceng sedikit saja akan batal dan berakibat fatal. Beberapa di antara ujian itu adalah harus menemui siluman yang diajak kerja sama.

Yang mengerikan, kendati siluman itu sudah berganti fisik berupa hewan, tetapi bentuknya tidak seperti hewan pada umumnya. Bentuk siluman ini bisa lebih mengerikan dibanding hewan yang dimanfatkan fisiknya sebagai media. Misalnya hewan babi. Bisa saja babi siluman itu memiliki taring yang sangat panjang serta suaranya yang memekakkan telinga atau baunya sangat busuk.

Pada saat pertemuan pertama ini, jika mengalami ketakutan akan langsung gagal. Dan, jika menginginkannya lagi, harus melaksanakan ritual dari awal yang tentunya memerlukan dana lagi untuk membeli ubo rampe (sesajen) dan mahar sesuai perjanjian. Biasanya, pada ritual kedua ini, siluman yang muncul bentuk fiiknya tidak seperti silkuman yang pertama. Bisa saja, siluman yang kedua ini tampangnya lebih menakutkan. Misalnya babi raksasa yang siap memangsa manusia. Atau baunya luar biasa busuk hingga menimbulkan rasa enek ingin muntah.

Jika pada ritual yang kedua ini peminatnya bergidik, maka dinyatakan batal. Dan untuk melanjutkan harus memulai lagi ritual seperti semula. Beginilah seterusnya. Tetapi biasanya, jika peminat terlanjur nekat, yang muncul terakhir bukan lagi mahkluk menyeramkan, melainkan siluman yang berwujud manusia cantik atau tampan luar biasa. Pada tahap seperti inilah peminat langsung terpikat hingga terjadi perjanjian. Tetapi, perjanjian ini biasanya berlangsung timpang. Bagaimana tidak, siluman yang memberi harta bukan hartanya sendiri, melainkan harta curian. Sedangkan dia meminta imbalan berupa fisik maupun nyawa dari keluarga.

Memang, untuk mendapatkan dana ini, diperlukan tekad yang luar biasa besar sehingga tidak semua orang bisa melaksanakannya. Pun demikian dengan orang yang mendapatkan dana gaib hitam dan memanfatkannya untuk biaya hidupnya beserta keluarganya, kelak di kemudian hari harus memberikan gantinya. Ganti rugi ini bisa berupa istri, anak dan seluruh keturunannya. Atau sesuai dengan perjanjian.

Yang pasti, dana gaib terbanyak bukan dana gaib yang berasal dari harta kekayaan yang terdapat di alam gaib. Tapi biasanya berupa harta yang berasal dari alam nyata hanya saja telah digaibkan oleh bangsa gaib. Misalkan saja harta karun peninggalan perang dunia kedua.


Ular Siluman Penunggu Pasar Sukoharjo

Pasar Kota Sukoharjo sudah beberapa kali direncanakan akan dipugar oleh Pemerintah Kabupaten Sukoharjo beberapa waktu yang silam. Namun baru tahun 2012 ini pasar kota Sukoharjo terealisasi akan dibangun bersamaan dengan beberapa pasar tradisional lainnya di seluruh Indonesia yang rencananya akan dipugar oleh pemerintah Pusat.

Selain sebagai Pasar tradisional, Pasar utama Kota Sukoharjo ini sekaligus sebelahnya dipergunakan sebagai terminal angkutan umum dari dalam kota ke daerah pedesaan lainnya di seluruh Kabupaten Sukoharjo. Pasar tradisional ini sudah ada sejak jaman sebelum kemerdekaan Indonesia, pasar ini menurut cerita para pini sepuh (orang tua jaman dulu) dulu pernah diresmikan oleh Presiden Soekarno. Bahkan masyarakat saat itu menyebut Pasar Tradisional ini dengan nama pasar Bung Karno, seiring dengan perkembangan jaman, lambat laun Pasar Tradisional Sukoharjo beralih nama menjadi pasar kota Sukoharjo. 

Pasar yang dahulu dipergunakan sebagai tempat jual beli maupun tukar menukar hasil kebun dan panen bagi para pedagang oprokan kini makin lama semakin lebih modern. Pada bulan Maret tahun2012 sesaat setelah Pasar kota ini di bongkar akan di revitalisasi menjadi pasar tradisional lagi, Bupati Sukoharjo secara resmi mengganti lagi nama Pasar Kota Sukoharjo menjadi pasar Ir. Soekarno. Pemberian nama baru yang dikembalikan ke nama semula dilakukan pada bulan Juni bersamaan dengan bulan Bung karno yang jatuh pada bulan itu.

Namun dalam pembangunan pasar tradisional ini ada saja ganjalan yang menghambat pengerjaannya, salah satunya saat mengawali pembongkaran pasar tradisional ini terjadi hujan yang sangat lebat dan angin kencang yang terjadi hanya di sekitar Pasar ini. “Angin berhembus kencang menghempaskan apa yang ada saat itu, bahkan pohon yang semula akan dirobohkan oleh kontraktor, tumbang dengan sendirinya akibat dari kencangnya hembusan angin di daerah itu,” kata ibu pemilik titipan sepeda yang tak mau di sebutkan namanya.

Rumahnya yang berada tepat di belakang pasar Kota Sukoharjo dan juga warga asli daerah itu, Ibu pemilik titipan sepeda ini setiap hari sering menyaksikan keganjilan maupun keanehan yang terjadi pada saat awal pembangunan Pasar. Tak hanya keanehan hujan dan angin puting beliung yang datang saat pembongkaran pasar dimulai. Bahkan semasa masih menjadi Pasar kota, keanehan itu sering kali terjadi di pasar ini. Di dalam pasar ini dulu terdapat sebuah pohon beringin yang telah berusia ratusan tahun. Tak ada angin dan tak ada hujan pohon itu tiba tiba tumbang dengan sendirinya, padahal selama itu pohon beringin tak menampakkan tanda-tanda layu sebelumnya. Selain itu satu peristiwa naas juga pernah dialami salah seorang lurah pasar yang bertugas di pasar Kota Sukoharjo waktu itu.

Di sisi sebelah barat pohon beringin dulu dibangun beberapa kamar mandi umum yang dipergunakan bagi siapa saja yang membutuhkanya. Di samping kamar mandi sebuah mushola dan sumur juga dibangun diperuntukan oleh umum. Berhimpitan dengan mushola terdapat lahan kosong seluas 1×2 meter persegi, lahan kosong persegi lantai keramik ini dipergunakan bagi para pedagang dan pembeli untuk istirahat seusai menjalankan Sholat di Mushola. Oleh lurah pasar, lahan kosong ini dijual kepada salah seorang pedagang yang waktu itu sangat membutuhkan tempat berjualan.

Beberapa pedagang yang mendengar kabar ini sebetulnya telah menyarankan, agar lahan kosong itu jangan sampai dijual. Tempat itu sudah menjadi kebiasaan di gunakan sebagai tempat istirahat, namun saran dari pedagang tak dihiraukan oleh Lurah pasar, yang paling penting dirinya mendapatkan uang dari hasil penjualan lahan kosong tersebut. Sebagai kepala pemimpin pasar, siapapun tak ada yang berani melarang dirinya menjual aset daerah yang sebenarnya bukan hak miliknya, tapi rakus akan uang membuat Lurah pasar itu lupa akal sehatnya.

Tak selang beberapa lama kemudian setelah menjual lahan kosong itu, Lurah pasar jatuh sakit, dirinya merasa ada orang yang mengikuti kemanapun dia pergi. Bahkan dalam mimpinya, lurah itu merasa ditemui seseorang kakek tua yang mengenakan sorban dan pakaian serba putih berkata, “Tanah itu bukan hakmu, kenapa kamu jual? Kamu harus merasakan buah akibat dari keserakahanmu sendiri,” katanya. Hingga akhirnya lurah pasar tersebut meninggal dunia, setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit karena tak jelas sakitnya. Kini setelah pembangunan pasar tardisional ini dimulai, keanehan dan keganjilan masih seringkali terjadi di tempat ini.

Kejadian aneh pada saat pembongkaran pun sempat membuat orang orang di sekitar pasar bingung. Kejadian ini berlangsung setelah pasar tradisional dirobohkan, saat pembongkaran ini pihak terkait Pemkab maupun kontraktor sama sekali tak pernah memberi sesaji seperti pada umumnya pembangunan. Mereka melupakan bahwa pasar sebagai tempat menghasilkan rejeki sudah semestinya harus ditempatkan sebagaimana juga mestinya. Selama ini beberapa bangunan berupa los bagi pedagang oprokan dan toko kelontong di serambi depan terlebih dulu telah dibongkar, menyusul kemudian terminal angkot yang berada di sisi utara pasar juga ikut dibongkar pada saat yang bersamaan. Pembongkaran yang berlangsung lebih dari sepekan ini telah meratakan bangunan pasar lama maupun
terminal angkot.

Namun beberapa bengunan ternyata masih sulit dirobohkan, bangunan lama ini tegar berdiri di tengah-tengah pasar, meski beberapa bagian bangunan seperti atap telah terlebih dulu dibongkar para pekerja. Alat berat yang dipergunakan untuk pembongkaran ternyata tak mampu menyentuh Mushola, kamar mandi dan sebuah sumur. Bangunan inilah yang masih berdiri tegak di tengah-tengah pasar dan kenapa bangunan ini tak bisa dirobohkan? Kejadian sulitnya merobohkan bangunan ini terkait dengan peristiwa pada saat pembongkaran sisa bangunan pasar yang terdiri dari tiga bangunan itu. 

Selama ini pembongkaran pasar yang dilakukan pihak Pemkab selalu menggunakan alat berat, dikarenakan tenggang waktu kontrak pembangunan pasar dari Pemkab kepada kontraktor tak lebih dari empat bulan saja, hingga pasar harus segera diratakan dengan tanah agar pihak kontraktor bisa segera memulai pembangunanya. Tapi alat berat yang digunakan membongkar tiga bangunan itu tak bisa jalan saat akan merobohkan bangunan masjid, sumur dan bekas kamar mandi, meski ketiga bangunan ini hanya tersisa tembok-temboknya saja. 

Operator alat berat merasa aneh dengan kejadian ini, alat yang sebelumnya lancar di gunakan merobohkan bangunan lain kini macet saat akan merobohkan ketiga bangunan itu. Namun saat alat berat ini diarahkan kebeberapa bangunan lainya ternyata juga lancar-lancar saja. Keanehan ini semakin menjadi-jadi saat sang operator alat berat tiba-tiba meloncat turun sambil berteriak-teriak, “Aku takut, aku takut ada hantu” teriaknya membuat siapa saja bingung,” kenang Tumi (36), pedagang buah yang melihat peristiwa itu pada saat kejadian. Operator alat berat lari tunggang langang kemudian mencegat bis angkutan umum terus balik ke rumah. Sesampainya di rumah, orang tua si operator alat berat meninggal dunia tak diketahui sebab musababnya. Kejadian ini diketahui para pekerja yang saat kejadian itu beberapa orang pekerja mengikuti operator sampai ke rumah, karena takut terjadi apa apa dengan peristiwa siang itu.

Salah seorang anak indigo yang mampu melihat siapa penunggu dan apa yang ada di tempat itu mengatakan, “Tempat itu dijaga seorang kakek tua tinggi besar mengenakan sorban dan pakaian putih, selain kakekseekor ular yang sangat besar juga ada di tempat itu.” ujar Putra (11), anak indigowarga Sukoharjo. “Kalau mau merobohkan tempat itu terlebih dulu harus kulo nuwun (permisi). Selama ini mereka (pekerja) tak mempedulikan lagi dengan apa yang sudah ada sebelumnya di tempat itu. Dianggapnya mereka itu tidak ada,” keluh Putra.

Meraih Karir dan Jabatan dengan Air Sumur Mas di Banyumas

Banyumas merupakan surga wisata alam dan budaya di Jawa Tengah bagian Barat. Beragam pesona tersebar di sejumlah wilayah, terutama di tiga kecamatan yakni Baturaden, Wangon, dan Banyumas. Di antara tiga kecamatan tersebut, Baturaden dikenal sebagai salah satu tujuan wisata di Kabupaten Banyumas yang memang kaya keindahan panorama hutan di kaki Gunung Slamet.

Di Baturaden terdapat 2 obyek wisata, yakni lokawisata dan wanawisata. Sedangkan di Kecamatan Banyumas terdapat berbagai wisata religi dan budaya berupa Pesarean Dawuhan, Sumur atau Sendang Mas, Museum Wayang, Masjid Nur Sulaiman, dan Klenteng Boen Tek Bio. Pesarean Dawuhan merupakan kompleks pemakaman para mantan bupati Banyumas, salah satunya bupati pertama yakni Raden Joko Kahiman.

Dalem Kadipaten 
Dalem Kadipaten Banyumas (Pendopo Si Panji) diperkirakan mulai dibangun paska Perjanjian Giyanti tahun 1755, yaitu pada saat Bupati Banyumas, Raden Tumenggung Yudanegara III diangkat menjadi Patih Sultan Yogyakarta bergelar Danureja I. Dalem Kadipaten Banyumas memiliki ciri perpaduan antara Barat (Belanda) dan Timur (Jawa). Dari keseluruhan bangunan ini, bagian-bagian yang bercirikan budaya Jawa dapat dijumpai pada falsafah Jawa yang tertuang pada wujud fisik bangunan.Ajaran sinkretis yang mempengaruhi falsafah Jawa berimbas pada bangunan fisik mulai dari alun-alun, 4 pintu di keempat arah mata angin, bangunan pendopo, serta penataan ruang di Dalem Kadipaten, seperti adanya ruang-ruang yang ditengarai sebagai longkangan, dalem ageng, griya ageng, boga sasana, senthong kiwa, senthong tengen, bale peni, bale warni, pringgitan, dan tamansari. Adapun gaya khas Barat dapat dijumpai pada wujud fisik bangunan lantai, ornamen dan ragam desain interiornya.

Dalem Kadipaten ini berada di sebelah Selatan alun-alun Banyumas. Di sebelah Barat alun-alun terdapat Masjid Nur Sulaiman yang dibangun tahun 1755 dengan Kyai Nur Daiman sebagai arsitek sekaligus Penghulu pertama. Masjid tertua di Banyumas ini dibangun setelah pembangunan Pendopo Si Panji. Masjid  ini juga merupakan salah satu cagar budaya. Di dalam kompleks Kadipaten terdapat Museum Wayang. Musium ini mengoleksi berbagai jenis wayang yang ada di Indonesia, khususnya Jawa. Musium ini merupakan salah satu tujuan wisata budaya.

Sekitar 300 meter di belakang Pendopo terdapat Kelenteng Boen Tek Bio yang merupakan kelenteng tertua di Kabupaten Banyumas. Keberadaan kelenteng ini turut melengkapi pesona wisata religi di wilayah ini Adapun Sumur Mas yang menjadi objek penulisan kali ini terletak di bagian belakang Dalem Kadipaten, Desa Sudagaran, Kecamatan Banyumas atau sekira 20 kilometer dari Purwokerto, pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas. Dari nama Sumur Mas inilah asal-usul nama daerah Banyumas (air emas, bhs.Jawa).

Sumur Mas
Sejauh ini tidak diketahui secara pasti kapan dan bagaimana Sumur Mas itu dibuat. Tidak ada bukti otentik yang menyebutkannya. Berdasarkan tutur masyarakat, sumur itu dipercaya sudah ada sebelum berdirinya Kabupaten Banyumas. Uniknya, sumur ini hanya berdiameter beberapa sentimeter saja. Diameternya tak sebanding dengan diameter sumur pada umumnya.

“Sumur itu dibuat oleh orang-orang yang pertama kali menempati Banyumas. Mereka membabat hutan untuk dijadikan hunian. Mereka juga membuat sumur untuk keperluan sehari-hari,” kata Darsun (78 tahun), juru kunci Sumur Mas. “Sejak itulah tempat ini ramai dihuni orang. Mungkin pada masa itu air Sumur Mas hanya untuk keperluan biasa. Tidak ada yang mengeramatkan,” lanjutnya.

Menurut Darsun, istilah mas atau emas itu tidak diketahui pasti asal mulanya. Apakah karena airnya bersinar keemasan atau ada emas di dalam sumur itu. Bisa juga dulunya sumur itu merupakan sumur satu-satunya yang dimanfaatkan penduduk yang paling awal menempati Banyumas. Atau mungkin mereka yang memanfaatkan air sumur itu memperoleh kegemilangan hidup, karir dan jabatan tinggi dan lain-lain, yang kemudian disimbolkan dengan istilah emas (keemasan).

Lebih jauh dikatakan, diameter sumur yang hanya beberapa sentimeter ini menimbulkan pertanyaan bagaimana orang-orang di zaman dulu memanfaatkan air sumur ini. “Saya sering ditanya para peziarah seputar kecilnya diameter sumur ini. Jujur saja, saya tidak tahu jawabannya. Ada yang mengatakan sumur ini tadinya berukuran biasa. Lalu mengecil seperti ukuran yang sekarang ini,” kilahnya. “Untuk mengambil airnya saja sulit. Tetapi justru  banyak orang yang menginginkan airnya,” katanya lagi.

Raih Jabatan dan Karir 
Air Sumur Mas diyakini dapat memberikan berkah bagi para peziarah. Mereka datang dari penjuru tanah air, khususnya Jawa. Biasanya mereka datang pada hari Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon. Peziarah datang dengan berbagai hajatnya masing-masing. Ada yang berharap dapat jodoh, kesehatan, usahanya maju, cepat naik pangkat dan jabatan, dan lain-lain. Menurut Darsun, hajat yang paling menonjol dari peziarah yang mengambil air Sumur Mas adalah berharap mendapatkan berkah berupa kenaikan karir,  kedudukan atau jabatan. Umumnya mereka bekerja di pemerintahan, perusahaan dalam negeri atau swasta.

Dia memberi contoh, pegawai negeri yang ingin pangkat golongannya naik, karyawan perusahaan yang ingin jabatannya naik dan orang-orang yang ingin menjadi wakil rakyat (DPR dan DPRD) datang mengambil air Sumur Mas. Ada pula artis yang ingin terkenal datang meminum airnya. “Umumnya mereka memang hanya mengambil airnya saja, lalu pulang. Tetapi ada juga yang digunakan untuk mandi di sini,” katanya. “Tidak sedikit diantara mereka yang tirakat di dekat Sumur Mas sambil membawa ubo rampe,” lanjutnya. Selanjutnya dikatakan, mereka yang berhasil memeroleh keinginan biasanya datang lagi dan menceritakan keberhasilannya itu.

Kanjeng Eyang Panji Cokrobuwono
Darsun mengisahkan, sejak muda dirinya sudah mengetahui mengenai karomah air Sumur Mas. Meski begitu, dia tidak mengetahui secara persis apa yang menyebabkan sumur itu menjadi pilihan bagi orang-orang yang mengingkan karir dan jabatan.

“Saya baru percaya setelah mengalami peristiwa aneh,” kenangnya. Suatu malam Darsun tidur di teras belakang Dalem Kadipaten di dekat Sumur Mas. Antara sadar dan tidak, dirinya merasa ada yang mengguncang tubuhnya. Darsun pun bangun dan duduk sambil bersandar di tembok. Masih dalam keadaan mengantuk, dia melihat seberkas asap putih keluar dari dalam sumur. Sesaat kemudian, asap itu berubah wujudnya menjadi manusia.

Darsun menatap ke arah sosok pria berjubah putih dengan sorban dikepalanya yang berdiri persis dihadapannya. Pria bersorban itu memberikan bunga Wijayakusuma. sambil mengeluarkan kata-kata bernada nasehat kepada Darsun. Beberapa saat kemudian pria itu pun menghilang.

“Saya sempat heran dengan peristiwa yang saya alami. Saya seperti terkesima melihat penampilan sosok yang gagah itu. Apalagi kata-kata yang diucapkan sangat bijak persis seorang ulama atau kyai. Dia memerkenalkan dirinya bernama Kanjeng Eyang Panji Cokrobuwono,” kenang Darsun.

Setelah kesadarannya pulih, dia tersentak kaget. Secara refleksi matanya melihat telapak tangannya. Tetapi bunga Wijayakusuma yang diberikan tidak ada. Padahal posisi tangannya masih tegak seperti sedang memegang sesuatu. Ketika penulis menanyakan apa saja yang dikatakan sosok gaib Eyang Panji, Darsun menggelengkan kepala sambil mengatakan tidak ingat lagi perkataannya.

Sebagaimana diketahui, dalam bahasa Jawa, Wijayakusuma bermakna kemenangan atau  lambang kemenangan dan kejayaan. Bunga ini memiliki mitos yang panjang. Bagi raja-raja Mataram yang baru dinobatkan, tidak akan sah diakui sebagai raja, baik dunia nyata ataupun gaib, sebelum berhasil memetik dan mendapatkan bunga Wijayakusuma untuk dijadikan Pusaka Keraton.  Diyakini pula, siapapun yang bisa memiliki bunga wijayakusuma, kelak akan menurunkan raja-raja yang besar dan lama berkuasa di Tanah Jawa. Karena itu Wijayakusuma menjadi kembang raja-raja Jawa. Panglima Besar Jenderal Soedirman (sebelum masuk militer) memberi nama koperasi yang didirikannya Persatuan Koperasi Indonesia Wijayakusuma. Bunga Wijayakusuma juga menjadi salah satu lambang dari wilayah Banyumasan dan sekitarnya.

WANGSIT GAIB SANG BUPATI 
Benarkah air Sumur Mas dapat mendongkrak karir dan jabatan? Jawaban terhadap pertanyaan ini memang tidak mudah. Hal itu lebih disebabkan tipikal orang-orang yang pernah datang mengambil air Sumur Mas dikategorikan intelektual, bersikap modern dan cenderung tidak percaya hal-hal mistik.

Dalam kenyataannya, orang-orang tersebut datang meski secara diam-diam. Terkadang  malah ada yang datang malam hari agar tidak dikenali orang. Sebenarnya wajar saja jika mereka tidak ingin kedatangannya dikenali orang. Mereka itu orang-orang yang dalam kehidupan sosialnya bersikap rasional. Tentu harga dirinya akan runtuh jika dikemudian hari diketahui karir dan jabatannya naik hanya karena mengambil air Sumur Mas.

Darsun mengungkapkan dirinya sering mendapat telpon dari pejabat yang pernah datang. Selain uluk salam, mereka juga berterima kasih. Meski  ucapan itu sekadar basa basi belaka. Ada pula yang datang dan bersilaturahmi sambil mengatakan hajatnya berhasil. “Apakah Bapak menerima sesuatu (hadiah) dari orang-orang yang berhasil hajatnya itu?” Tanya penulis. “Sekadarnya saja. Saya itu tidak mengharapkan apapun dari mereka. Tugas saya hanya merawat dan melestarikan warisan leluhur,” Jawabnya dengan ringan.

Ketika penulis menanyakan apa saja hadiah yang diterimanya jika ada peziarah yang berhasil, dia sedikit bercerita bahwa ada politisi yang berhasil terpilih menjadi wakil rakyat, setelah mengambil air Sumur Mas. Setelah berhasil dalam pemilu lalu, politisi itu datang lagi dan mengucapkan terima kasih. Sebelum politisi itu pamit pulang, sempat merogoh dompetnya lalu mengeluarkan selembar uang 50.000 rupiah.Tentu saja penulis tertegun mendengar ceritanya. Darsun memang hidup dalam kesederhanaan. Padahal mereka yang datang adalah orang-orang yang memiliki ambisi-ambisi besar dalam hidupnya.

Tetapi sebuah keunikan yang belum lama terjadi adalah pro kontra seputar pembuatan sumur baru. Sebagaimana penulis saksikan sendiri, di dalam ruang Dalem Kadipaten terdapat sebuah sumur baru yang dibangun atas perintah Bupati Banyumas saat ini, Mardjoko. Konon beliau mendapat wangsit gaib dalam bentuk mimpi agar membangun sebuah sumur di dalam salah satu ruang Pendopo Kecamatan tersebut. Wangsit gaib tersebut oleh Bupati Mardjoko direalisasikan pembangunannya. Tentu saja sikap ini mendapat reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat, mengingat didekatnya ada sumur peninggalan leluhur yang dikeramatkan dan dijaga kelestariannya. Tidak diketahui secara pasti alasan persisnya Sang Bupati membuat sumur baru itu.

Sebagaimana tampak dalam gambar, letak sumur itu terasa janggal berada di dalam ruangan yang biasanya untuk rapat tersebut. Apalagi berjarak hanya sekira 10 meter dari Sumur Mas. Tentu saja air dalam sumur baru tersebut berada dalam reservoir yang sama dengan sumur mas. Meski tidak diketahui pasti manfaat sumur baru itu, namun keinginan Sang Bupati membuat sumur yang didasarkan atas sebuah wangsit gaib malah menimbulkan spekulasi Sang Bupati ini pernah memanfaatkan kekeramatan air Sumur Mas sebelum beliau menjabat bupati.

Boleh jadi, setelah keinginannya menjadi bupati tercapai, lalu beliau mendapat wangsit gaib agar membangun sumur baru. Sikap Sang Bupati ini semakin mengukuhkan mitos air Sumur Mas yang selama ini diyakini dapat memenuhi keinginan peziarah memeroleh jabatan prestisius.


Keramat Bukit Ngonang di Desa Sukomoro

Syahdan, dahulu kala ada sebuah kerjaan yang berdiri megah di wilayah Palembang sekarang ini. Kerajaan yang tidak disebutkan namanya ini suatu ketika diserang oleh karajaan dari pulau Jawa. Akibat penyerangan yang hebat dan sangat mendadak tersebut, maka kerjaan yang megah itu pun hancur, rata dengan tanah.

Dikisahkan pula, bahwa di saat-saat akhir sebelum kerejaaan ini jatuh ke tangan para penyerang, sang Raja yang berkuasa dengan arig meminta kepada ke tiga anaknya agar segera pergi meninggalkan istana. Ketiga anak sang Raja itu masing-masing adalah: Pangeran Ngondang, Pangeran Ngonang, dan yang bungsu seorang dara yang cantik jelita bernama Ngunti Komala Sari.

Kepada ketiga darah dagingnya, raja meminta agar sebelum kerjaannya jatuh ke tangan prajurit musuh, mereka harus bergegas pergi dengan membawa harta secukupnya untuk bekal di perjalanan nanti.

“Ingatlah anak-anakku! Janganlah kalian berhenti sebelum kapal yang kalian kemudikan berhenti dengan sendirinya. Bila kapal itu telah berhenti sendiri, maka di situlah tempat kalian memulai kehidupan baru!” Kita-kita, begitulah pesan terakhir sang Raja kepada ketiga anaknya.

Setelah menerima pesan terakhir, dan dengan membawa bekal harta secukupnya, berangkatlah ketiga anak Raja itu meninggalkan istana yang telah rata dengan tanah. Meraka pun harus menempuh perjalanan yang sangat panjang, hingga akhirnya berhentilah kapal yang meraka layarkan di sebuah daerah di Sungai Rawas, karena kapal mereka tersangkut di sebuah batu cadas.

Daerah tempat berhentinya kapal tersebut kini dikenal sebagai Desa Sukomoro. Sedangkan batu cadas tempat kapal mereka tersangkut kini masih tetap ada.

Setelah kapal mereka kandas di deareh tersebut, maka mereka bertiga pun memulai kehidupan baru dengan memiliki bidang pekerjaan masing-masing. Ngondang, saudara tua selalu betapa atau bersemedi diatas batu pinggir sungai. Sedangkan Ngonang suka berburu rusa, sementara adik mereka, Ngunti, suka menenun kain songket.

Berdasarkan cerita dari nenek moyang Desa Sukomoro yang dituturkan secara turun temurun, Ngunti Komala Sari tidak hanya cantik jelita. Sang putri ini juga memiliki rambut yang sangat indah, yang panjangnya sampai ke tumit kakinya, dan hitam mengkilap warnanya.

Hari demi hari ketiga bersaudara itu sibuk menjalankan aktifitasnya masing-masing. Sementara, sebuah peristiwa terjadi pada diri Pangeran Ngoang. Pada suatu ketika, di saat sedang asyik berburu di tengah hutan di pinggir sungai Batang Hari, Jambi, Pengeran Ngonang melihat ada putrid raja yang sedang mandi.

Alangkah cantik putrid raja itu. Karenanya, timbulah hasrat Pangeran Ngonang untuk meminang putri tersebut sebagai istrinya. Namun apa hendak di kata. Pangeran Ngonang harus menyadari status dirinya. Dia tidak ada ubahnya seperti rakyat biasa yang tak punya apa-apa, karena dia kini adalah pangeran yang tengah hidup terbuang di tempat persembunyian.

Namun, hasrat Pangeran Ngonang tak dapat diredam lagi. Dengan tekad yang bulat dia berjanji akan tetap berusaha meminang putrid Raja tersebut, dan kelak akan dia jadikan sebagai istrinya.

Untuk mewujudkan hasratnya ini, satu-satunya jalan adalah dengan meminta keajaiban dari Yang Maha Kuasa. Maka karena itu, mulai Pangeran Ngonang bertapa, seraya memohon pada Sang Maha Pencipta agar bisa memberinya jalan yang terbaik untuk meminang putri dambaan hatinya.

Setelah genap 40 hari bertapa tanpa makan dan minum, di hari terakhir datanglah seorang kakek. Sang kakek kemudian memberinya selembar kain songket yang berwarna hitam. Si kakek menyuruh Pangeran Ngonang untuk menyerahkan songket itu kepada putrid dambaan hatinya, sebagai mahar perkawinan mereka.

“Disaat tangan sang putri menyentuh kain songket ini, maka dia akan jatuh cinta setengah mati kepadamu, Pengeran. Karena itu kau harus berusaha untuk bisa menemuinya!” Begitulah pesan yang disampaikan si kakek kepada Pangeran Ngonang.

Namun, sebelum melaksanakan pesan itu ada syarat yang harus dilakukan oleh Pangeran Ngonang. Ya, sebelum dia menyerahkan kain keramat tersebut kepada putri dambaan hatinya, sang pangeran harus menjemurnya terlebih dahulu selama satu minggu. Kain keramat tersebut tidak boleh diangkat dari jemuran sebelum sampai 7 hari, walau apapun yang terjadi.

Pangeran Ngonang sangat senang karena tapanya membawa hasil. Dengan senang hati dijemurlah kain songket tersebut di depan pondoknya. Setelah menjemur kain keramat tersebut, dia pun kembali menjalankan pekerjaannya, yakni pergi berburu ke hutan.

Sayangnya, sebelum pergi berburu Pangeran Ngonang lupa meninggalkan pesan kepada kakak dan adiknya. Maka, celakalah dia. Di saat  hari keenam hujan turun dengan lebatnya, dan secara spontan Ngunti Komala Sari mengangkat kain yang masih di atas jemuran tersebut.

Aneh, karena tindakannya ini, secara gaib Ngunti Komala Sari jatuh cinta kepada kakaknya, Pangeran Ngonang. Begitu pula sebaliknya yang terjadi pada Pangeran Ngonang. Dia melihat Ngunti adiknya laksana putri yang diidam-idamkannya selama ini.

Lambat laun Pangeran Ngondang, kakak tertua mereka, sadar akan ketidakberesan yang terjadi pada kedua adiknya. Betapa geramnya hati Pangeran Ngondang melihat kedua adiknya  itu jatuh cinta. Baginya, tidak ada cara lain untuk memisahkan mereka berdua, kecuali harus dibunuh salah satu di antara mereka.

Maka, rencana pembunuhan itu disusunlah. Di suatu siang, Pangeran Ngondang mengajak adiknya, Pangeran Ngonang, untuk menjala ikan di Sungai Rawas. Ketika tengah asyik menjala, secara diam-diam Pangeran Ngondang menusuk bahu adiknya, Pangeran Ngonang, dengan sebilah keris. Namun ajaib, keris tersebut malah patah menjadi dua bagian.

Melihat kakeknya berniat membunuhnya, dengan heran Pangeran Ngonang pun bertanya, “Mengapa kakak ingin membunuhku? Apa salahku?”

Dengan suara gemetar Pangeran Ngondang menceritakan kejadian yang dilihatnya selama ini, “Kamu telah jatuh cinta kepada adik kamu sendiri. Kamu tidak boleh melakukannya. Karena itulah aku ingin membunuhmu!”

Mendengar itu, Pangeran Ngonang sadar bahwa kejadian selama ini adalah akibat kesalahananya, sehingga membuat adiknya lupa pada dirinya sendiri. Ini semua karena pengaruh dari gaib yang ada pada kain songket hitam pemberian si kakek misterius. Dia pun berkata kepada kakaknya, “Jika Kakak ingin membunuhku maka tusuklah di siku tangan kiriku dengan kerisku sendiri. Aku pasti mati, Kak!”

Untuk menghidari aib yang lebih besar dan memalukan, Pangeran Ngondang memang terpaksa membunuh adiknya, dengan cara seperti yang diberitahukan Pangeran Ngonang.

Rupanya, di saat pembunuhan itu berlangsung, Ngunti Komala Sari, adik mereka, ingin mencuci beras ke sungai. Di saat melihat kekasihnya mati, Ngunti lalu melompat ingin menolong kekasihnya. Tetapi kepalanya membentur batu dan akhirnya mati.  Ya, kedua kakek beradik itu bersama dalam tragedi cinta terlarang….

Untuk mengenang kejadian tersebut, oleh penduduk Desa Sukomoro, bukit tempat berlangsung peristiwa ini dinamai Bukit Ngonang, dan sampai sekarang kuburan kedua kakak beradik itu masih ada diatas bukit tersebut. Bahkan,  keris yang digunakan untuk membunuh Pangeran Ngonang masih ada dan disimpan oleh salah seorang warga yang mendapatkan keris tersebut melalui mimpi.

Sampai sekarang, masih banyak pecahan keramik, guci, serta alat-alat dapur yang tebuat dari tanah liat berserakan di sekitar makam Pangeran Ngonang dan Ngunti Komalasari. Berdasarkan cerita dari nenek moyang Desa Sukomoro, pecahan keramik tersebut adalah harta mereka disaat pelarian mereka dari istana kerajaan.

Mengenai kekramatan Bukit Ngonang disebutkan, pernah ada seorang warga yang memcoba menyepi di atas kuburan kakak beradik tersebut dan minta nomor buntut. Celakanya, orang ini malah lari terbirit-birit karena merasa dikejar oleh ular yang besar sekali.

Ada juga cerita tentang salah seorang warga yang ingin memancing di sungai Rawas. Dia tertidur dan didalam tidurnya dia bermimpi dikasih ilmu pengobatan alternatif oleh seorang kakek. Sampai sekarang warga ini selalu dipanggil untuk mengobati orang-orang yang memerlukan pertolongannya.

Seiring perjalanan sang waktu, Bukit Ngonang tak lagi seindah dulu. Kawasan hutannya yang dulu masih asri, karena penduduk tak mau menanam padi di atas bukit sebab mereka masih menghargai tempat ini, sekarang telah berubah menjadi ladang tempat menanam padi bagi warga Desa Sukomoro. Dan yang lebih menyedihkan lagi, tempat ini sekarang menjadai ajang muda mudi berpacaran. Kenyataan ini membuat pudarnya kramat Bukit Ngonang.

Lewat tulisan ini, penulis mengajak, mari kita sama-sama menjaga tempat bersejarah peningalan masa lalu, namun bukan untuk memuja apalagi sampai meminta kepada selain Allah SWT. Bukankah bangsa yang baik itu adalah bangsa yang menghargai peningalan masa lalu atau sejarahnya?


Jembatan Keramat Peninggalan Jaman Majapahit

Di sebuah desa yang jauh dari jantung kota Klaten, Jawa Tengah, terdapat sebuah tempat yang menurut cerita warga setempat dihuni oleh sesosok makhluk gaib. Tepatnya adalah sebuah jembatan yang akrab disebut sebagai Jembatan Demangan, atau banyak juga yang menyebutnya sebagai Jembatan Keramat.

Tertarik oleh cerita gaib yang berkembang, beberapa pekan lalu penulis coba mendatangi lokasi yang dimaksud. Jembatan Keramat ini posisinya berada di Dukuh Demangan, Kecamatan Karangdowo, Kabupaten Klaten. Jembatan ini merupakan jalur penghubung dengan desa di sebelah timurnya, dan terletak di atas sungai yang lebar dan panjang. Sungai ini merupakan anak sungai Bengawan Solo, yang lebih popoler disebut Kali Dengkeng.

Bila ditarik garis lurus sungai ini akan menuju ke arah wilayah Ki Ageng Pandanaran atau Sunan Tembayat. Di atas kali Dengkeng inilah Jembatan Keramat itu berdiri. Dikisahkan, sekitar beberapa puluh tahun yang lampau, bentuk jembatan tersebut hanya sederhana saja. Bahan yang digunakan adalah kayu yang berasal dari pohon Donoloyo.

Kabarnya, jembatan ini sudah ada sekitar masa-masa kejayaan Majapahit. Pada waktu itu Prabu Brawijaya yang disertai para pengikutnya dari kerajaan hendak berkunjung ke Mataram. Tetapi perjalanan mereka terhenti di tengah-tengah sungai yang membentang. Kemudian Prabu Brawijaya V pada suatu malam mengumpulkan pengikutnya untuk diajak bermusyawarah. Setelah musyawarah tersebut sang Prabu akhirnya memerintahkan para pengikutnya agar besok pagi membuat jembatan.

Suatu malam, Prabu Brawijaya berjalan-jalan di sepanjang sungau. Namun di tengah perjalanannya di sepanjang sungai tersebut ia dikejutkan oleh sesosok orang yang menurutnya aneh. Mengapa disebut aneh? Karena di tengah malam ada seorang pemancing ikan dalam posisi duduk. Tetapi anehnya pemancing ikan tersebut tubuhnya tidak menyentuh tanah. Sang raja pun segera mendekati pemancing itu. Lalu terjadilah perbincangan di antara mereka.

“Maaf, selamat malam, Kisanak!” sapa Prabu Brawijaya setelah sampai di dekat pemancing.
“Selamat malam!” pemancing itu menjawab sambil menoleh ke arah Brawijaya.
“Maaf mengganggu panjenengan,” timpal Brawijaya.
“Oh, tidak apa-apa. Maaf jika boleh tahu siapakah tuan ini?”
“Saya hanyalah orang biasa yang hendak menyeberang sungai ini,” Brawijaya merendah.
“Sepertinya tuan ini orang kaya, setidaknya bangsawan?”
“Ah, tidak! Saya hanya kaum biasa, Kisanak.”
“Lantas apa maksud sampeyan menemui saya?”.
“Bila Kisanak berkenan kami mau minta tolong.”
“Apa yang bisa saya lakukan, Tuan?”
“Tolong buatkan kami sebuah jembatan, agar kami bisa meneruskan perjalanan!”
“Apakah mungkin saya bisa, Tuan?”
“Saya yakin panjenengan bisa. Berapapun biayanya akan kami bayar!”
“Soal bayaran gampang, nanti bisa dilakukan setelah pekerjaan selesai.”
“Maaf sebelumnya, bila boleh tahu, siapa nama Kisanak ini?”
“Nama saya Demang Entru”.
“Baik Ki Demang. Kapan siap mengerjakannya?”
“Karena hari ini telah larut malam, maka besok pagi akan saya kerjakan.”
“Kalau begitu kami permisi dulu. Terima kasih Ki Demang!”
Mereka berjabat tangan, lalu Brawijaya meninggalkan lelaki setengah baya itu.

Ketika pagi telah menyingsing, baik Prabu Brawijaya maupun para pengikutnya terkejut. Bagaimana tidak, di tengah-tengah sungai tersebut sudah ada jembatan yang terbuat dari kayu Donoloyo. Merekapun mencari-cari sosok lelaki setengah baya yang semalam dijumpai Prabu Brawijaya. Setelah dicari kesana kemari, lelaki misterius itu tidak ditemukan, lalu Brawijaya mengumpulkan para pengikutnya. Ia menyarankan agar mereka tidak perlu mencari sosok lelaki misterius tersebut. Karena Brawijaya tahu bila yang mereka cari itu bukan manusia biasa. Merekapun melanjutkan perjalanan melewati jembatan yang baru tersebut.

Seiring dengan kemajuan zaman serta pergantian generasi ke generasi, jembatan tersebut oleh warga setempat mulai direnovasi, dengan maksud untuk lebih memperkokoh dan memperkuat infastruktur.

Diceritakan, sekitar tahun 2004 hingga 2005 warga setempat mencoba melakukan renovasi dengan dukungan pemerintah setempat. Namun ada keganjilan terjadi ketika pembangunan sedang berlangsung. Fenomena yang terjadi adalah jembatan tersebut selalu ambrol atau roboh.

Menurut sumber penulis, lebih dari tujuh kali jembatan tersebut hendak di renovasi, namun selama itu pula selalu gagal. Ketika mendekati finishing atau ketika pembangunan tinggal hanya beberapa persen akan selesai, ternyata selalu ambrol atau roboh lagi. Fenomena itu menyiratkan pesan sepertinya jembatan itu memang tidak mau dibangun.

Warga setempat seperti makan buah simalakama, dikerjakan salah tidak dikerjakan juga salah. Bila tidak dikerjakan, jembatan lama terlanjur dipugar, jika diteruskan pembangunannya selalu ambrol. Sementara jembatan tersebut merupakan penghubung utama antara Desa Demangan dengan Desa Majasto yang terletak di timur sungai.

Menyikapi hal itu, sebagian warga mengusulkan untuk mencari seorang yang ahli dalam hal metafisika dunia gaib. Mereka mendatangkan seorang paranormal. Setelah sampai di lokasi, paranormal yang dipanggil warga, melakukan deteksi metafisika. Manurut salah seorang penduduk Desa Demangan yang ketika itu mengikuti dan menyaksikan ritual menyebutkan bahwa jembatan tersebut sebenarnya bisa direnovasi dan bisa dibangun. Syaratnya penunggu jembatan tersebut harus dipindahkan dulu. Letak atau tempat penunggu jembatan tersebut persis di bawah jembatan yang hendak dibangun. Tempat tersebut berbentuk bekas pohon Donoloyo yang di zaman silam adalah bekas digunakan untuk membuat jembatan penyeberangan bagi Prabu Brawijaya V dan pengikutnya.

Beberapa waktu lalu sebelum jembatan dibangun, bekas pohon Donoloyo tersebut sering didatangi para pencari pesugihan. Pada malam hari mereka melakukan tirakat kungkum atau berendam diri di tengah sungai dekat pohon Donoloyo tersebut.

Sumber penulis juga menyebutkan, bila kayu Donoloyo itu dipotong, maka akan bisa mengeluarkan darah. Benar tidaknya tergantung dari sisi mana kita menyikapinya. Yang pasti, karena cerita inilah maka banyak para pencari pesugihan mendatangi lokasi itu.

Setelah paranormal yang enggan disebutkan namanya itu berhasil memindahkan Mbah Entru, maka pembangunan jembatan bisa diteruskan. Namun pembangunan jembatan tersebut sedikit bergeser ke arah selatan dari letak tempat kediaman Mbah Entru.

Sebelum jembatan itu dibangun, telah banyak warga mengalami keganjilan di lokasi yang dimaksud. Berikut ini pengakuan beberapa orang yang pernah mengalami hal-hal gaib di atas jembatan:

Suyanto (57), warga Dukuh Pugeran Karangdowo mengaku sempat merinding. Ketika itu dia baru pulang dari menghadiri hajatan tetangga desa sebelah yakni di Dukuh Majasto. Ketika sampai di atas jembatan itu tiba-tiba motornya mogok. Pada saat itulah ia melihat ke arah bawah jembatan di sebelah utara ada sesosok lelaki yang sedang duduk sambil menghisap rokok. Seketika itu pula bau kemenyan menusuk hidung lelaki yang sehari-hari berprofesi sebagai petani ini.

Lain halnya dengan Parwo (47), warga Gebungan Pedan. Ia juga mengalami hal aneh ketika hendak berkunjung ke Gunung Majasto, tempat Mbah Merbot, salah seorang kenalannya. Di tengah-tengah jembatan tersebut Yamaha miliknya mendadak mogok. Tidak lama kemudian Parwo seperti mendengar ada suara seorang lelaki tua yang memanggilnya, minta tolong agar Parwo turun ke bawah. Suara itu berasal dari bawah jembatan. Sepertinya suara itu menggambarkan empunya suara tercebur sungai. Karena merasa bulu kuduknya merinding, maka lelaki beranak empat tersebut sekencang-kencangnya menuntun motornya berlari dari atas jembatan.

Sesampai di tempat Mbah Merbot Majasto kenalannya, Parwo menceritakan kejadian yang baru dialami itu. Mbah Merbot memberi keterangan pada Parwo, bila suara itu merupakan suara dari Mbah Entru, sang penunggu Jembatan Demangan yang terbentang di atas sungai yang mempunyai lebar 70 meter tersebut. Merbot menambahkan pula bahwa tidak semua orang bisa ditemui oleh Mbah Entru.


Sepasang Buaya Jelmaan Bidadari Menjaga Kawah Gunung Kelud

Desa Sugihwaras merupakan perkampungan penduduk yang paling dekat dengan lereng Gunung Kelud. Warga desa ini memiliki warisan kebudayaan tersendiri yakni  mempersembahkan sesaji di kaki anak gunung. Persembahan sesaji ini sebagai simbol rasa terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa.

“Sejak dahulu, setiap tahun, warga di sini selalu mempersembahkan sesaji di tepi kawah. Tapi, setelah dari kawah muncul anak gunung, persembahannya sesaji dipindah ke kaki anak gunung. Tujuan kita memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, supaya warga desa terhindar dari malapetaka, makmur, dan tetap hidup rukun,” ungkap Sinto, salah seorang sesepuh desa yang ditemui penulis. Sementara itu, menurut keterangan juru kunci Gunung Kelud,  Mbah Ronggo, “Syarat utama, larung sesaji ke kawah itu harus ada cok bakal dan jenang sengkala. Itu wajib!”

Apa yang terjadi jika syarat ini dilanggar? Seperti yang berlaku pada 2007 silam. Kala itu  larung sesaji kurang lengkap. Alhasil, ritual sesaji yang dilakukan itu nyaris saja membawa bencana. Terlebih lagi ritual dilakukan di bulan Ruwah menurut kalender Jawa. Padahal, menurut perhitungan Mbah Ronggo, bulan Ruwah kurang baik untuk larung sesaji. Lebih bagus lagi, kalau dilaksanakan di bulan Suro. Tapi, ketika itu Mbah Ronggo hanya diam saja. Karena ia memang tidak diajak musyawarah oleh pihak panitia. Maka supaya lebih sempurna lagi, Mbah Ronggo terus melaksanakan selamatan lagi di tepi kawah, tujuannya untuk melengkapi supaya lebih sempurna.

Untuk meredam amuk Gunung Kelud ketika itu, tak kurang dari 25 paranormal yang berada di sekitarnya menggelar ritual di sekitar danau kawah untuk meminta agar bencana letusan gunung api tidak terjadi. Sebagai salah satu gunung berapi yang masih aktif di Jawa, Gunung Kelud memang masih menyimpan misteri. Seperti Merapi yang bertengger di ujung utara Yogyakarta, Kelud di Jawa Timur juga sering kurda. Kalau sedang mengamuk, juga amat ganas.

Gunung Kelud berada sekitar 35 kilometer dari Kediri. Kalau ditempuh dari Blitar, jaraknya lebih kurang 24 kilometer. Di puncak Kelud, terdapat danau kawah, volumenya mencapai jutaan meter kubik. Punggung Kelud, merupakan daerah pertanian yang subur. Berupa perkebunan dan jadi lahan produksi tanaman pangan bagi penduduk di sekitarnya.

Meski sehari-hari tampak tenang dan damai, setiap saat wilayah itu mungkin sekali tiba-tiba bisa menjadi wilayah yang mengerikan. Yakni ketika Kelud mengamuk. Uniknya, Kelud biasa meletus pada malam hari.
Yang tak kalah unik, sebelum meletus, Kelud selalu memberi tanda dengan suara gemuruh lebih dulu. Kemudian melontarkan berbagai material yang panasnya bisa mencapai 300 hingga 500 derajat Celcius. Daya rusaknya juga amat dahsyat seperti mengamuknya ‘wedhus gembel’ Merapi. Meluluhlantakkan daerah sekitarnya dan bisa merenggut banyak korban jiwa.

Sejak tahun 1000 Kelud telah meletus sebanyak 23 kali. Interval letusannya rata-rata berlangsung setiap 15 tahun sekali. Paling pendek 3 tahun, berlangsung pada tahun 1848, kemudian disusul pada 1851. Tapi Kelud pernah bersikap manis selama sekitar 37 tahun. Selama itu, ‘sakit batuk’ pun belum pernah. Apalagi sampai ‘muntah berat’. Hal ini berlangsung pada 1864 hingga 1901.

Entah apa yang membuat Kelud selama 37 tahun tak pernah sakit-sakitan. Barangkali para ‘penunggunya’ merasa enjoy karena warga sekitarnya rutin mengirim ‘makanan kesehatan’ berupa berbagai jenis sesaji, seperti yang kerap dilakukan oleh warga desa Sugihwaras tersebut.

Menurut catatan, sudah sebanyak 3 kali Kelud sempat ngamuk berat. Yakni pada tahun  1919, 1951 dan 1966. Uniknya, kalau direka-reka, angka tahun meletusnya itu amat menarik, yakni selalu mengiringi peristiwa besar yang terjadi di Tanah Jawa (Baca juga: Indonesia-Pen). Misalkan saja, letusan 1951, seolah menandai Pemberontakan Madiun. Kemudian ledakan pada 1966, terjadi setahun setelah terjadinya G30S/ PKI. Pada tiga ledakan itu, material yang dimuntahkan meluncur ke bawah melalui Kali Badak, Kali Ngobo, Kali Putih, Kali Semut dan Kali Ngoto.

Nama Gunung Kelud berasal dari Jarwodhosok, yakni dari kata “ke” (kebak) dan “lud” (ludira). Hal ini berarti bila murka, bisa merenggut banyak kurban jiwa tak berdosa. Menurut kepercayaan penduduk sekitar, kawah gunung ini dijaga sepasang buaya putih, yang konon merupakan jelmaan bidadari.

Legenda menceritakan, zaman dahulu kala ada dua bidadari sedang mandi di telaga tersebut. Karena terlena, dua bidadari ini melakukan perbuatan seperti yang biasa terjadi pada manusia modern, yakni berbuat intim dengan sesama jenis. Jadi, kedua bidadari itu tergolong penganut lesbian.

Perbuatan tersebut rupanya diketahui oleh dewa. Karena kesal, sang dewa pun mengutuk kedua bidadari tersebut, “Kelakuan kalian mirip buaya.” Karena dewa memang penguasa jagad, kata-katanya yang ampuh itu membuat dua bidadari tersebut seketika berubah menjadi dua ekor buaya. Konon, hingga kini mereka menjadi penunggu danau Gunung Kelud.

Letusan Kelud pada 1586 menelan korban hingga 10 ribu orang meninggal. Pada letusan 19 Mei 1919 memakan korban 5.110 jiwa. Sedang letusan 26 April 1966 menelan korban jiwa 212 meninggal, 74 hilang dan 89 luka-luka.

Menurut sesepuh desa di sekitar gunung ini, para korban itu sedang dikersakke dua bidadari penunggu kawah. Bila laki-laki diperlakukan sebagai suami dan yang perempuan diangkat sebagai saudara. Warga menengarai, bila Kelud akan meletus biasanya ada dua sorot sinar terang masuk ke kawah. Atau banyak burung gagak berterbangan di pedesaan.

Ketika penulis berkunjung ke gunung ini beberapa waktu lalu, penulis bertemu dengan seorang pria tua yang tengah duduk bersila dengan komat-kamit membaca doa. Tempatnya bersila masih di tepi anak gunung, sepi, karena memang tidak termasuk tempat tujuan wisatawan.

Pria ini mengaku berasal dari Yogyakarta, dan tidak mau menyebutkan namanya. Katanya dia sering ke tepi anak gunung ketika masih berwujud kawah dengan tujuan ngalap berkah. Disamping itu, dia juga mengaku sudah melihat tanda-tanda akan terjadi bencana besar di Jawa Timur. Mungkinkah itu berkait dengan letusan

Gunung Kelud? Ditanyakan hal ini, pria berwajah bersih itu hanya tersenyum penuh makna. Bagi yang percaya, memang banyak cara untuk ngalap berkah di gunung ini. Setiap tahunan sekali, Bupati Blitar juga rutin ke sana. Hal ini termasuk tradisi yang dilakukan sejak dulu, sepertinya rasanya kurang enak kalau setiap tahun tidak ke Gunung Kelud.


Punya Aji Pancasona, Makamnya Digantung

Semasa hidupnya, orang yang dimakamkan ditempat ini dikenal sebagai tokoh sufi. Pasalnya, tokoh ini menguasai ilmu langka yang bernama Aji Pancasona. Yakni sebuah ilmu yang dapat hidup kembali ketika mati. Dengan catatan, asal menyentuh tanah. Karena itu, agar tidak hidup kembali, saat meninggal, kemudian makamnya digantung.

Di jalan Melati, Blitar, Jawa Timur, ada sebuah makam tua yang lebih dikenal dengan nama makam Gantung. Predikat yang melekat pada makam tua ini, sangat singkron dengan kondisi makam tersebut. Pasalnya, makam ini memang dalam posisi tidak menyentuh tanah. Karena itu, masyarakat Blitar menyebutnya dengan nama, Makam Gantung. Keunikannya, tak sedikit para penjiarah yang datang ke makam Bung Karno, menyempatkan diri berjiarah ke makam gantung. Selain mendoakan tokoh sakti yang makamnya tidak menyentuh tanah ini, mereka sengaja ingin menyaksikan keunikan dari makam itu. Apalagi, jarak makam Bung Karno dengan makam gantung, hanya terpaut sekitar satu kilometer.

Eyang Joyodigo, inilah nama tokoh sakti yang makamnya dibuat ditidak menyentuh tanah. Menurut penuturan juru kunci makam gantung, Biran, 74 tahun, semasa hidupnya, Eyang Joyodigo dikenal sebagai satu-satunya tokoh pada zamannya yang memiliki ilmu Aji Pancasona. Yakni, ajian yang ketika mati dapat hidup kembali asal jasadnya menyentuh tanah. Karena itu, ketika tokoh ini meninggal diusia senja, kemudian makamnya dibuat tidak menyentuh tanah. Jasadnya dimasukan kedalam peti besi, kemdian disangga dengan empat penyangga yang juga terbuat dari besi.

Karena makamnya tidak menyentuh tanah, walau jasadnya disangga dalam peti besi, masyarakat setempat menyebutnya dengan nama makam gantung. Sedangkan dibawah serta di kiri-kanannya, dimakamkan para keluarga Eyang Joyodigo.

Masih menurut penuturan juru kunci, dalam epos Ramayana, saat itu hanya satu yang memiliki Aji Pancasona. Yakni saudara kembar Sugriwo yang bernama Subali. Keduanya, berasal dari bangs kera. Namun, karena rayuan Rahwana, kemudian ilmu Aji Pancasona jatuh ke tangah raja dari Ngalengka in. Lalu bagaimana Aji Pancasona bisa dikuasai oleh Eyang Joyodigo?

Menurutnya lagi, semasa hidup, tokoh ini dikenal suka laku tirakat. Berbagai macam ilmu telah dikuasai. Termasuk Aji Pancasona. Bahkan gurunya, tak hanya dari bangsa manusia saja. Tapi ada juga yang berasal dari bangsa lelembut. Tak heran, jika Eyang Joyodigo bisa menguasai ilmu Aji Pancasona yang pemilik aslinya, tinggal cerita. “Beliau semasa hidupnya, berguru sosok gaib pemilik pertama Aji Pancasona,” terang juru kunci yang juga mantan tentara PETA.

Lalu siapa sebenarnya Eyang Joyodigo? Sebagaimana yang dituturkan Boiran kepada Misteri, tokoh ini dulunya sahabat dekat Pangeran Diponegoro. Tak hanya sahabat juga, karena Joyodigo juga trah darah biru dari Mataram. Dan pada tahun 1825, timbul perselisihan antara Belanda dengan Pangeran Diponegoro. Penyebabnya, pihak keraton bagi Diponegoro, terlalu merendahkan martabatnya. Keraton Yogyakarta, seakan-akan berdiri hanya karena kemurahan hati Belanda.

Tak hanya itu, yang membuat darah Diponegoro mendidih. Saat itu, kekuasaan raja-raja ditanah Jawa terus dipersempit. Ada lagi, kekuasaan raja disamakan dengan kedudukan pengawai tinggi pemerintahan Kolonial. Bahkan, pemerintah kolonial terlalu jauh mencampuri urusan keraton dengan cara ikut campur dalam hal pergantian raja. Lebih menyakitkan lagi bagi Diponegoro, pihak Belanda memungut pajak jalan, ternak, rumah serta hasil bumi kepada rakyat jelata. Karena itu, ketika kompeni membuat tanda tapal batas untuk jalan yang melewati tanah leluhurnya, tanda tapal batas itu langsung dicabut.

Dengan begitu, api peperangan telah tersulut. Selama dalam masa peperangan yang berlangsung lima tahun (1825-1830), salah satu pengikut pangeran Diponegoro yang setia yakni, Joyodigo. Bersama Diponegoro, Joyodigo terus melakukan perlawanan kepada Belanda. Tak hanya sekali, tokoh sakti ini tertangkap dan dieksekusi mati oleh Belanda. Namun, karena mempunyai Aji Pancasona, begitu jasadnya dibuang oleh Belanda, Joyodigo hidup lagi tanpa sepengetahuan kompeni.

Hingga pada akhirnya, di tahun 1830, Pangeran Diponegoro ditangkap karena siasat licik pihak kompeni. Namun walau Pangeran Diponegoro telah diasingkan ke Makasar setelah tertangkap, bukan berarti darah pejuang Joyodigo padam. Walau saat pecah perang Pangeran Diponegoro, usianya masih menginjak sekitar 30-an. Ia terus melakukan perang gerilya bersama pengikut Pangeran Diponegoro yang lain. Namun, karena saat itu wilayah Yogyakarta terlalu banyak penjagaan oleh kompeni, Joyodigo memilih perang gerilya menuju arah timur.

Singkat kata, dalam perjalanannya ke arah timur, setiap pos Belanda yang lengah, pasti diserang. Hingga pada akhirnya, sampailah Joyodigyo di wilayah Blitar. Di kota ini, tanpa sepengetahuan pihak penguasa Blitar saat itu, Joyodigo terus melakukan perlawanan terhadap Belanda. Merasa wilayahnya aman dari pemerasan kompeni, kemudian Adipati Blitar saat itu, mengirim pasukan telik sandi (intel) untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang telah membuat takut kompeni di wilayah Blitar. Hingga pada akhirnya, telik sandi yang dikirim oleh sang Adipati, menemukan Joyodigo di sebuah hutan yang masuk Blitar Selatan. Atas perintah Adipati Blitar, telik sandi mengundang Joyodigo untuk datang ke pendopo.

Namun permintaan utusan Adipati Blitar ini ditolak dengan halus. Alasannya, Joyodigo saat itu, masih sibuk melatih laskar untuk mengusir kompeni. Karena tolakan halus dari Joyodigo ini, kemudian telik sandi langsung pulang dan melapor kepada Adipati. Dua tahun kemudian, Adipati Blitar kembali mengirim utusan. Saat itu, patih di kadipaten Blitar mangkat dan harus segera dicarikan pengganti.

Maksud Adipati mengirim utusan yang kedua, agar Joyodigo bersedia menjadi pati di kadipaten Blitar. Dan karena banyak pihak kompeni yang meninggalkan Blitar lantara serangan gerilya pasukan Joyodigo, tokoh ini bersedia menerima tawaran Adipati Blitar. Sebagai seorang keturunan darah biru dan pernah tinggal di keraton, ketika diangkat menjadi patih di kadipaten Blitar, Joyodigo sudah tak asing lagi dengan pemerintahan. Patih Joyodigo mampu mengambil kebijakan yang sangat cakap.

Hal inilah yang membuat salut sang Adipati Blitar. Karena kecakapan ini, kemudian sang Adipati memberinya tanah perdikan yang sekarang berada di Jalan Melati kota Blitar. Di tanah perdikan ini, Joyodigo kemudian membangun sebuah rumah besar untuk keluarganya dan diberinya nama, Pesanggerahan Joyodigo. Rumah yang didirikan oleh Joyodigo in, hingga kini masih berdiri kokoh. Sebagai manusia biasa, walau mempunyai Aji Pancasona, Joyodigo akhirnya wafat pada tahun 1905 diusia seratus tahun lebih.

Karena khawatir akan hidup lagi begitu menyentuh bumi, kemudian oleh para kerabat, makamnya diusahakan agar tidak menyentuh tanah. Jasad Joyodigo dimasukkan kedalam peti besi, dan peti itu kemudian disangga dengan empat tiang yang juga terbuat dari besi seperti yang tampak sekarang ini. “Di usia yang sudah lebih seratus tahun, kan kasihan kalua Eyang terus menerus hidup lagi setelah meninggal. Karena itu, makamnya dibuat menggantung agar tidak menyentuh tanah. Kalau asal-usulnya ya…seperti yang saya katakan tadi.

Eyang Joyodigo merupakan keturunan darah biru dari Mataram dan pernah menjadi patih di kadipaten Blitar sini. Kalau saudara beliau, mantan bupati Rembang yang juga suami dari RA. Kartini,” terang juru kunci yang telah menjaga makam Eyang Joyodigo lebih dari 20 tahun. Sebagai makam seorang tokoh sakti pada jamannya, kini makam Eyang Joyodigo pada hari-hari tertentu banyak didatangi oleh para peziarah. Terutama yang datang dari kalangan spiritualis. Beda dengan para peziarah biasa, kaum spiritualis ini datang ke makam Eyang Joyodigo dengan maksud tertentu.

Yakni ingin berguru kepada Eyang Joyodigo dengan cara gaib. Tujuannya, agar mendapat titisan ilmu Aji Pancasona. Menurut juru kunci, hingga kini, tak seorangpun spiritualis yang berhasil mendapatkan titisan ilmu Aji Pancasona dari Eyang Joyodigo. Jangankan diberi titisan ilmu Aji Pancasona, diberi ilmu yang kesaktiannya dibawah Aji Pancasona saja tidak. Bahkan tak jarang, para spiritualis yang sedang menjalani laku di makam Eyang Joyodigo, justru diusir dengan suara tanpa rupa.

“Apa dikira mudah belajar ilmu Pancasona. Karena salah satu syaratnya yaitu harus bertapa ngalong. Menggantung di pohon dengan kepala dibawah selama empat puluh hari empat puluh malam tanpa makan dan minum. Yang datang ke sini itu khan Cuma spiritualis masa kini. Mereka bukannya mendapat ilmu, tapi justru diusir,” papar juru kunci dengan tertawa. Bagi masyarakat Blitar, selain makam sang proklamator, makam Eyang Joyodigo juga dikeramatkan. Sebagai makam yang dikeramatkan, menurut Boiran, makam Eyang Joyodigo dijaga dua sosok gaib berujud dua binatang besar.

Yakni seekor ular sebesar batang pohon kelapa, serta seekor harimau loreng sebesar anak sapi. Menurutnya lagi, tak hanya dirinya saja yang pernah melihat kemunculan dua sosok gaib berujud binatang ini. Karena tak sedikit para penjiarah, khususnya kaum spiritualis, yang melihat kemunculan dua sosok gaib berujud ular dan harimau itu. Masih menurut Boiran, sebenarnya dua sosok gaib penjaga makam ini, dulunya merupakan pengawal pribadi Eyang Joyodigo semasa hidup yang berasal dari bangsa lelembut berujud binatang. Karena kesetiaannya kepada majikan, hingga Eyang Joyodigo wafat, kedua sosok gaib itu masih setia menunggui makam majikannya.


Diculik Penghuni kali akar

Hampir 6 hari Udin dibawa kabur makhluk penghuni Kali Akar. Ketika ditemukan, sifat Udin berubah mirip kera dan menyerang siapa saja yang hendak menangkapnya.

Kali akar merupakan bagian dari Way Belahu, sungai yang mengalir membelah Kota Teluk betung Bandar lampung. Penduduk menyebutnya Kali akar karena di sekitar aliran sungai itu banyak ditumbuhi pohon perdu yang akarnya muncul di permukaan air. ada juga akar yang menjuntai seperti tali ayunan. akar- akar sebesar paha orang dewasa itu sangat disenangi anak-anak. Mereka biasa berdiri di atas akar itu lalu terjun ke sungai.

Sebagian orang mengatakan tempat itu angker. Memang jarang sekali tempat itu dikunjungi orang. Mereka datang ke tempat itu hanya pada saat-saat tertentu saja, seperti menjelang bulan puasa. Biasanya mereka datang untuk mandi keramas. Praktis, pada hari- hari biasa sungai itu hanya ramai oleh anak- anak setempat yang berenang.

Sore itu hujan turun lebat sekali. Tetapi sekelompok anak-anak Kampung Pakuon yang sedang bermain bola belum juga mau berhenti. Hujan justru membuat mereka tambah bersemangat bermain sehingga tanpa terasa hari sudah mulai gelap. Usai bermain bola, mereka lantas berlari menuju Kali akar dan sambil bersorak mereka pun terjun ke sungai itu. Setelah badannya bersih dari lumpur, mereka lantas pulang ke rumah masing-masing. Namaun ada yang aneh di sore itu. Mahyudin yang biasa dipanggil Udin, tidak tampak di antara mereka. Padahal tadi Udin bermain dan mandi di sungai bersama anak-anak itu. Ketika rohayah, ibunya Udin bertanya, anak-anak hanya menjawab Udin masih mandi di sungai. rohayah sedikit lega mendengar jawaban itu karena sudah menjadi kebiasaan Udin selalu pulang terlambat.

Namaun ketika adzan Magrib terdengar dan Udin belum juga pulang, rohayah mulai was- was. Kemana anak itu? Tanya rohayah dalam hati. ia kemudian memanggil Badar, kakak Udin, yang sedang menonton televisi.

“Badar, coba kamu susul adikmu,” perintah rohayah.

“ Susul kemana, Bu?” kata Badar balik bertanya tanpa melepas pandangannya daripesawat TV.

“Kata temannya tadi dia mandi di Kali akar.” Dengan agak malas, Badar beranjak dari tempat duduknya. Kakinya diseret menuju Kali akar yang letaknya tidak terlalu jauh dariu rumahnya. Tiba di Kali akar, Badar tidak melihat adiknya. Situasi di sekitar Kali akar sangat sepi. Badar sempat beberapa kali memanggil nama adiknya. namun tidak ada sahutan. Badar pun mencoba menyusuri aliran sungai itu sambil

terus memanggil-manggil Udin tetapi tetap saja tidak menemukan adiknya. Badar akhirnya pulang dengan tangan hampa.

“Udin tidak ada di Kali akar,” lapor Badar pada ibunya.

Perasaan rohayah semakin tidak menentu. Firasatnya mengatakan telah terjadi sesuatu pada anak itu. “Coba cari ke musola. Siapa tahu dari sungai tadi dia langsung ke musola untuk mengaji.”

“Bu, ini maslam Jumat. Tidak ada anak-anak yang mengaji,” sahut Badar. Ustadz ali memang meliburkan santrinya setiap malam Jumat.

“Kalau begitu coba cari ke rumah Pakde Miran. Mungkin saja Udin ke sana,” perintah rohayah. Kini suaranya mulai bergetar karena rasa was-was. Sementara Kardi, suami rohayah, juga sudah sibuk mencari kemana-mana.

Tanpa banyak Tanya, Badar langsung berlari ke rumah Pakde Miran. Perasaannya mulai ikut cemas memikirkan berbagai kemungkinan buruk menimpa adiknya. Benar saja, Udin tidak ada di rumah Pakde Miran. Badar langsung pulang dan memberitahukan hal itu pada ibunya.

Sontak keluarga Udin dilanda kecemasan yang luar biasa. Terlebih usai adzan isya, Udin juga belum ditemukan. Kabar itu segera menyebar sehingga para tetangga dan teman- teman Udin ikut mencari anak itu. Mereka menyusuri sungi karena mulai muncul dugaan Udin hanyut terbawa arus Kali akar. apalagi sore itu hujan turun sangat deras. Meski Udin bisa berenang, namun belum terlalu mahir sehingga jika kemungkinan saja terseret arus karena hujan turun sejak sore sehingga aliran Kali akar mendadak sangat deras.

Namun karena suasana gelap dan hujan tambah deras, mereka pun menghentikan pencariannya. Dari kasak-kusuk mulailah muncul dugaan jika Udin telah dibawa oleh Kalongwewe, makhluk halus yang gemar mencuri anak-anak untuk dijadikan anaknya. Terlebih Kali akar selama ini sebenarnya juga dikenal angker karena sudah pernah beberapa kali menelan korban jiwa.

Sepanjang malam rohayah menangis memikirkan nasib Udin. Esoknya, seluruh warga di Kampung Pakuon ikut beramai-ramai mencari Udin di sepanjang aliran Kali akar hingga ke muara. ada juga yang berenang dan menyelami bagian-bagian terdalam di sungai itu. Bahkan ada yang mencarinya hingga ke sungai Belahu. Tetapi semua usaha sia-sia saja. Udin tidak juga ditemukan.

“Mungkin Udin sudah tewas dan mayatnya hanyut hingga ke laut,” ujar salah seorang tetangga dengan nada berbisik karena tidak ingin melukai perasaan rohayah.

“Mungkin saja. Kali begitu kita cari sampai ke laut,” timpal rekannya.

Mereka pun lantas mencari Udin ke Teluk lampung dengan dibantu nelayan setempat. Hanya saja hingga sore hari, sosok Udin belum ditemukan. Para nelayan yang pulang melaut juga tidak ada yang melihat ada sosok mayat di

daerah Teluk lampung.

Selain melaporkan kasus hilangnya Udin ke polisi, Kardi juga menemui Mbah rekso, orang pintar yang tinggal tidak jauh dari Pakuon. Menurut Mbah rekso, Udin diculik. Namun Kardi tidak mempercayainya. apa motif penculiknya? Saya tidak punya musuh. Kalau minta tebusan, juga tidak mungkin karena saya tidak memiliki harta. Pasti mereka salah sasaran, kata Kardi dalam hati.

Sampai 5 hari kemudian, Udin belum juga ditemukan. Jika dia sudah meninggal, pasti mayatnya akan mengambang sehingga dapat ditemukan. Begitu juga kalau diculik, pasti penculiknya sudah menghubunginya untuk meminta uang tebusan. ataukah mungkin diculik dan dibawa ke kota lain untuk dijadikan pengemis seperti banyak diberitakan selama ini? pikir Kardi. Namun dugaannya itu tidak berani ia ceritakan pada rohayah karena takut istrinya itu akan semakin sedih. akhirnya, Kardi dan keluarganya hanya bisa pasrah dan memohon petunjuk pada allah.

Pada hari ke-6, penduduk Talang atas, tetangga Kampung Pakuon, geger. Sobri, seorang pencari kayu bakar, menemukan Udin di hutan Sumur Putri. “Tadi saat lewat saya melihat ada anak kecil duduk telanjang di atas batu besar. Tapi sewaktu saya samperin, dia malah lari. Sepertinya dia ketakutan.”

Mendengar cerita Sobri, keluarga Kardi dan warga sekitar langsung menuju hutan Sumur Putri. Mereka berpencar untuk mencari Udin. Kardi terlihat sangat antusias karena kuat dugaan bocah kecil yang dilihat Sobri itu benar anak bungsunya.

“Woooiii…. Udin ada di sini,” teriak, Mamad, salah seorang penduduk yang ikut mencari. Seketika semua orang merubung ke tempat itu. Tampak Udin duduk seperti tengah melamun di atas sebuah batu besar. Ketika mengetahui banyak orang telah mengepung tempat duduknya, Udin berontak meski wajahnya menampakkan ketakutan yang luiar biasa. Ketika Mamad mencoba meraih tangan Udin, anak itu spontan balik menyerangnya. Dia berusaha mencakar wajah Mamad sehingga Mamad lari ketakutan. Beberapa orang mencoba menangkapnya, namun masih

setelah diruqiah, perlahan kesadaran Udin pulih. Dia mulai mengenali ibunya. namun belum sempat Rohayah memeluk anaknya, Udin sudah keburu muntah. Yang mengejutkan, muntahannya berupa belatung yang sangat banyak.

belum berhasil karena Udin terus melawan dengan cakarnya. Gerakkannya mirip seekor monyet; lincah dan mengandalkan cakarnya sebagai senjata. Namun akhirnya Udin berhasil dilumpuhkan setelah secara serentak sejumlah orang termasuk Kardi, menangkap kedua tangannya. Udin lantas dibawa pulang.

Smapi di rumah, rohayah hampir pingsan melihat kondisi anaknya. Keinginan untuk memeluknya, dipendam karena Udin masih terus berontak sehingga beberapa orang terpaksa memeganginya. Kardi kemudian memanggil Ustadz ali. Oleh ustadz itu, Udin diruqiyah agar dirinya terbebas dari makhluk gaib. lagi-lagi Udin mengerang seperti monyet dan berusaha menyerang Ustadz ali. Namun Udin tidak berhasil menyerang Ustadz ali karena kedua tangan dan kakinya masih dipegangi oleh beberap orang.

Setelah diruqiah, perlahan kesadaran Udin pulih. Dia mulai mengenali ibunya. Namun belum sempat rohayah memeluk anaknya, Udin sudah keburu muntah. Yang mengejutkan, muntahannya berupa belatung yang sangat banyak.

“alhamdulillah, kotorannya sudah keluar. itulah yang membuat Udin tidak bisa bicara dan kehilangan kesadaran,” ujar Ustadz ali.

Usai memuntahkan belatung, kondisi fisik Udin mendadak lemas. Tidak lama kemudian dia tertidur pulas. Esoknya Udin sudah kembali segar-bugar. Kepada keluarga dan tetangganya yang masih penasaran apa yang dialaminya selama 6 hari terakhir, Udin pun bercerita. Menurut Udin, setelah mandi di Kali akar, ia naik ke tebing. “Tiba-tiba saja kaki saya seperti ada yang menarik. Saya mencoba melepaskan diri tetapi tidak kuat. Makhluk yang mencengkeram saya sangat kuat. Ketika saya menoleh ke belakang, saya terkejut sekali karena yang mendekap saya ternyata seekor monyet yang sangat besar,” ujar Udin.

Sebenarnya, kata Udin, sewaktu Badar memanggil-manggil namanya, Udin sempat mendengarnya. Namun dia tidak bisa menyahut karena mulutnya dibekap oleh monyet raksasa itu. Setelah berhasil menguasainya, Udin lantas dibawa ke suatu tempat yang tidak dikenalinya. Di situ sudah banyak sekali monyet, ada yang sangat besar namun juga ada yang kecil.

“Namun monyet-monyet itu baik sekali pada saya. Mereka banyak member saya buah- buahan dan juga ikan segar. Saya juga diberi minuman yang rasanya agak asin dan hangat,” lanjut Udin.

Namun Udin tidak tahu mengapa kemudian dirinya ditemukan di hutan Sumur Putri yang jaraknya lumayan jauh dari Kali akar. Sampai saat ini masyarakat setempat juga masih bingung apakah monyet itu asli atau monyet jadi-jadian yang merupakan penunggu Kali akar. rohayah sendiri enggan bertanya lebih jauh kepada Udin karena dia merasa sudah sangat senang anaknya bisa ditemukan dalam keadaan selamat.

Postingan ini berdasarkan kisah nyata, adapun nama-nama pelaku dalam kisah ini sengaja disamarkan untuk menghormati privacy yang bersangkutan.


Mistik di Pohon Peninggalan Eyang Jugo

Gunung Kawi yang terletak di sebelah barat Kota Malang di Jawa Timur selama ini terkenal dengan mitos pesugihannya. Makam keramat Eyang Jugo ini menjadi tempat persinggahan para peziarah yang datang dari berbagai kota di penjuru tanah air. Bahkan dari luar negeri banyak yang berziarah dan ngalap berkah di makam ulama yang konon merupakan pengikut Pangeran Diponegoro tersebut.

Selama ini orang mengenal Gunung Kawi sebagai tempat keramat yang cocok untuk menjalankan ritual yang berhubungan dengan masalah rezeki maupun usaha dan perdagangan. Sehingga tak heran kalau kebanyakan peziarah yang datang didominasi oleh para warga keturunan. Namun dibalik kekeramatan Gunung Kawi sebagai tempat wisata ziarah, ternyata terdapat hal lain yang merupakan misteri dari keunikan Gunung Kawi seperti pengalaman yang dialami oleh Murjiono dan teman-temannya dari kota Surabaya.

Waktu malam Jumat Legi merupakan malam yang menjadi puncak keramaian para peziarah yang datang di Gunung Kawi. Para peziarah sejak sore memadati kompleks pemakaman Eyang Jugo nampak silih berganti berdatangan dan berpindah tempat dari lokasi makam kemudian ke lokasi air keramat yang ada di belakang lokasi makam. Kemudian para peziarah tersebut juga hilir mudik di bawah pohon dewandaru yang merupakan pohon keramat di lokasi tersebut.

Demikian pula halnya dengan Murjiono dengan teman-temannya yang datang dari Surabaya. Mereka bertiga Yudi, Haryono serta Murjiono merupakan tiga sahabat yang berusaha dalam jual beli computer dan spare partnya. Haryono dan Yudi tiap malam Jumat Legi selalu menyempatkan diri untuk berziarah ke Gunung Kawi. Lain dengan Murjiono, kedatangannya ke Gunung Kawi ini merupakan pertama kalinya. Lain dengan kedua temannya yang memang datang dengan niatan untuk berziarah, Murjiono datang dengan niat untuk refresing serta mencari hiburan. Selama ini ia selalu mendengar tentang Gunung Kawi selain terkenal mitos gaibnya tapi juga penuh dengan pendatang yang kebanyakan amoi-amoi cantik. Ini merupakan kesempatan untuk menikmati kehangatan Gunung Kawi begitu celotehnya waktu diajak oleh kedua temannya untuk berangkat.

Karena kesal menunggu kedua temannya yang masih harus antri untuk bisa datang di depan makam, Murjiono memutuskan untuk menunggu di luar makam. Ia kemudian berjalan menuju lokasi ciamsi yang terletak di depan bekas tempat peribadatan yang pernah terbakar. Sifat mata keranjangnya mulai timbul manakala melihat seorang gadis keturunan yang sibuk melakukan ciamsi untuk mengetahui peruntungan nasibnya.

Tanpa sadar ia pun ikut-ikutan melakukan ciamsi.

“Nomor 13,” ucap sang pemandu waktu melihat batang bambu Murjiono keluar.

Sang pemandu dari ritual ciamsi tersebut kemudian memberikan kertas bertuliskan ramalan tersebut dengan kening sedikit berkerut.

“Hati-hati, Mas. Dan perbanyak doa agar terhindar dari musibah,” ucapnya seraya memberikan kertas tersebut kepada Murjiono.

Sekilas Murjiono membaca kertas ciamsi tersebut. Waktu melihat kata-kata ramalan tersebut mulutnya tersenyum sinis. “Ada-ada saja.”

Kertas tulisan tersebut kemudian dibuangnya tanpa menghiraukan pandangan prihatin dari sang pemandu.

“Gara-gara ciamsi tadi aku kehilangan gadis yang aku buru,”omelnya pelan. Matanya berkeliaran mencari gadis yang dimaksud. Tak dihiraukannya kertas ciamsi yang bertuliskan “Hati-hati dalam melangkah. Petaka datang membayang. Perbanyak doa agar balak menjauh.”

Karena merasa kesal kehilangan buruannya Murijono kemudian kembali ke kompleks makam. Perjalanan yang jauh dari Surabaya membuatnya merasa mengantuk.

“Aku beristirahat dulu di bawah pohon itu saja,”  ia kemudian melangkah ke arah pendopo di samping makam tempat pohon dewandaru berada.

“Dasar kurang pekerjaan orang-orang ini,” gumannya waktu dilihatnya orang-orang yang duduk di bawah pohon tersebut. “Apa mungkin dengan kejatuhan ranting atau daun pohon ini terus rejeki akan lancar,” ia kembali mengomel melihat para peziarah yang khusuk di bawah pohon tersebut.

Di Gunung Kawi ada semacam kepercayaan mereka yang berziarah lalu bisa membawa buah, ranting ataupun daun yang terjatuh dari pohon peninggalan Eyang Jugo tersebut maka keberuntungannya akan berubah. Seperti halnya yang dialami seorang konglomerat, yang berubah menjadi kaya karena berhasil mendapatkan buah dewandaru.

Dengan sinis, Murjiono menggoyang-goyang pohon tersebut. “Lho jatuh semua daunnya,“ kata dia sambil tangannya menunjuk ke arah daun yang berguguran karena pohon tersebut diguncang-guncang dengan kedua tangannya.

Tiba-tiba ulahnya berhenti manakala melihat pandangan mata marah dari mereka yang berziarah di bawah lokasi pohon tersebut.

“Wah bisa dipukuli orang banyak aku,” kekehnya tanpa menghiraukan pandangan marah dari mereka yang menatapnya. Ia kemudian duduk di serambi pendopo.

Setelah berapa lama ia merasa mengantuk dan tertidur. Dalam tidurnya tersebut, ia merasa dibangunkan oleh seseorang. Pundaknya diguncang-guncang. Spontan Murjiono membuka matanya, mulutnya tersenyum simpul waktu dilihatnya yang memegang pundaknya tersebut adalah amoi cantik yang ingin diajaknya kenalan waktu ciamsi tadi.

“Bangun, Mas,” tegur gadis itu pelan.

Belum sempat Murjiono menjawab gadis tadi menggamit tangannya. “Antarkan aku jalan-jalan,” ucapnya lagi.

Murjiono bergegas bangkit pandangan matanya terus tertuju pada gadis berkulit putih dan bertubuh montok yang ada di hadapannya.

Tanpa sadar ia mengiyakan gadis tersebut dan kemudian mengikutinya. Mereka berjalan menembus keramaian malam. Yang dilihatnya sekarang adalah bangunan-bangunan megah, entah kompleks pertokoan atau perbelanjaan yang penuh dengan para pengunjung yang hilir mudik. Namun yang mengherankan semua penghuni atau mereka yang ada, memakai pakaian Jawa kuno. Sementara di sepanjang jalan raya yang membentang lurus tampak mobil maupun kendaraan dengan berbagai merk berjalan melintas kesana kemari. Baik pengemudi maupun mereka yang berbelanja dan melintas memakai pakaian tradisonal. Yang perempuan berkebaya.  Ada juga yang memakai pakaian cina kuno mirip seperti gadis di sampingnya yang mengaku bernama Ling Ling.

“Berada dimana aku?” bisiknya kepada gadis tersebut .

“Di Gunung Kawi,” jawab sang gadis dengan manjanya.

Murjiono seolah terhipnotis dengan kecantikan gadis tersebut. Ia tidak memikirkan hal-hal yang dirasanya aneh tersebut. Dalam benaknya, kota yang besar dan segala fasilitas layaknya Jakarta tersebut memang sudah ada di Gunung Kawi.

.“Ke kafe yuk,” ajak gadis tersebut ke sebuah tempat penuh dengan lampu warna-warni serta suara musik yang hingar bingar.

Ia kemudian melangkah bersama Ling Ling arah kafe yang dimaksud. Di dalam kafe tersebut ia kemudian mengikuti gerakan Ling-ling yang mulai bergoyang mengikuti irama musik yang ada. Lama mereka bergoyang sambil sesekali berpelukan.

Namun tiba-tiba terdengar suara dengusan marah disampingnya. “Dia adalah manusia, bukan dari golongan kita!”

Seorang berbadan tinggi besar berpakaian prajurit dengan membawa tombak yang terhunus kelihatan menunjuk ke arah Murjiono. Namun Murjiono hanya diam terpaku. Ia baru menjerit dan melepaskan pegangan tangannya waktu dilihatnya tubuh mulus Ling Ling yang dipeluknya berubah menjadi bersisik seperti kulit ikan. Matanya melotot seperti mata ikan koki.

Namun ia kembali terdiam manakala orang bertinggi besar yang meneriakinya tadi menyuruh anak buah yang di belakangnya untuk meringkus Murjiono.

Murjiono tak berkutik, manakala ia diseret oleh ketiga orang tersebut. Jalan raya yang tadinya penuh dengan orang-orang hilir mudik, kini penuh dengan berbagai makhluk yang berpenampilan aneh. Ada yang bermata satu, ada juga yang bertanduk. Bahkan ada perempuan berkepala manusia tapi bertubuh kuda. Makhluk-makhluk yang berkeliaran tersebut semakin aneh, sebab ada yang naik mobil. Bahkan ada berjualan di kakilima dengan fissik mereka yang aneh.

Murjiono ketakutan melihat hal tersebut. Ia kemudian dibawa menghadap ke arah sebuah bangunan besar yang menyerupai  istana. Lalu ia dihadapkan kepada seseorang yang berpakaian mirip raja, namun berbentuk aneh. Kepalanya bertanduk dua, sementara mulutnya penuh dengan taring runcing.

Ia kemudian diseret, setelah orang yang dipanggil raja tersebut memutuskan hukuman. Murjiono di bawa ke penjara. Namun ia kembali menjerit-jerit ketakutan manakala melihat pemandangan aneh dari penjara tersebut. Tampak anggota tubuh manusia yang bergelantungan karena dipotong tangannya, kakinya, bahkan kepalanya. Tubuh yang terpotong-potong itu bergoyang-goyang ketika terkena angin.

Murjiono semakin ketakutan manakala melihat sang algojo yang  berjalan menghampirinya sambil membawa golok. Bersiap-siap memotong-motong anggota tubuhnya. Selanjutnya Murjiono tidak ingat apa-apa lagi.

Tahu-tahu didengarnya suara seseorang. “Beruntunglah ia masih bisa ditolong,” ucap orang tua yang duduk di sampingnya.

“Dimana aku?” teriaknya waktu dilihatnya Yudi dan Haryono tampak duduk di sebelahnya.

Setelah berapa lama, orang tua tersebut menerangkan kepada Murjiono bahwa tingkah laku Murjiono yang iseng dengan menggoyang-goyang pohon dewandaru ternyata telah mengundang para lelembut yang ada di kawasan Gunung Kawi merasa terusik. Ia kemudian terbawa ke alam mereka. Ia dibawa jauh sampai ke puncak Gunung Kawi yang masih berupa hutan lebat dan merupakan pusat lelembut di Gunung Kawi. Beruntung tubuhnya yang tergolek lemah berhasil ditemukan pencari kayu. Dengan bantuan orang pintar nyawa Murjiono berhasil diselamatkan dari ancaman lelembut Gunung Kawi.
Adapun nama-nama pelaku dalam kisah ini sengaja disamarkan untuk menghormati privacy yang bersangkutan.


 

SEO Stats powered by MyPagerank.Net

 Subscribe in a reader

Add to Google Reader or Homepage

Powered by FeedBurner

Waris Djati

↑ Grab this Headline Animator

My Ping in TotalPing.com Protected by Copyscape Online Copyright Protection Software DMCA.com Literature Blogs
Literature blog Submit Your Site To The Web's Top 50 Search Engines for Free! free web site traffic and promotion Submitdomainname.com Sonic Run: Internet Search Engine
eXTReMe Tracker
free search engine website submission top optimization