Tumbal Kepala Singa Perbangsa

Pantangan warga Desa Ciranggon agar tidak memelihara atau menyembelih kambing memang dibenarkan oleh para sesepuh Karawang. Salah satunya adalah R.H. Tjetjep Supriadi. Menurut pria 63 tahun ini, pantangan tersebut tidak lepas dari keberadaan telaga atau sendang yang berbentuk sumur di desa tersebut, yang oleh warga seputar disebut sebagai Kobak Sumur.  

Konon menurut cerita warga setempat, sumur tua inilah yang menjadi sumber dari segala ihwal cerita yang berkaitan dengan pantangan warga memelihara dan menyembelih kambing. Larangan memelihara atau menyembelih kambing itu sejatinya juga berpangkal dari satu peristiwa berdarah yang berlangsung di bumi Karawang di masa silam. “Kejadian itu ada kaitannya dengan cerita berdirinya Karawang ratusan tahun silam, ” ujar pria berkacamata yang kerap mementaskan wayang Golek dengan cerita Babad Tanah Karawang itu ketika ditemui penulis di kediamannya.

Peristiwa yang dimaksud dalang kondang ini yakni kisah “terpenggalnya” kepala Singa Perbangsa, Bupati Karawang di masa silam. Dalam sejarah disebutkan bahwa pemberontakan Trunajaya berpengaruh besar bagi Karawang. Hal itu dijadikan kesempatan oleh orang-orang Makasar yang membantu pemberontakan Trunajaya untuk melakukan aksi kriminal seperti merampok, merampas harta benda dan bahkan pembunuhan warga yang tidak berdosa. Aksi ini pada akhirnya menimbulkan kesengsaraan rakyat Karawang yang hidup di sekitar Pantai Utara Jawa.

Di saat yang sama, penduduk Karawang yang tinggal di sepanjang sungai Citarum, juga tak luput dari gangguan orang-orang Banten yang dendam karena pangeran Puger Agung dipenggal kepalanya oleh Adipati Kertabumi IV, atau Singa Perbangsa III, Bupati Karawang pada masa itu. Sebagaimana yang ditetapkan dalam pelat berupa kuningan yang disebut sebagai Kandang Sapi Gede, yang merupakan bukti surat pengangkatan wadana (bupati) Karawang, bahwa antara Singa Perbangsa dan Aria Wirasaba adalah setingkat tetapi dalam pelaksanaan roda pemerintahan, Aria Wirasaba dianggap bawahan Adipati Kertabumi IV alias Singa Perbangsa III, sebagai Bupati Karawang. Sementara Aria Wirasaba hanya mempertahankan dan memerintah Waringin Pitu, Parakan Sapi dan Adiarsa.

Kekurang kompakan mereka sebagai tampuk pimpinan dimanfaatkan oleh 2 orang pimpinan pasukan tentara Trunajaya yaitu  Nata Manggala dan Wangsananga yang diberi tugas memblokir jalan menuju ke Batavia untuk menghalangi Amangkurat meminta bantuan kompeni Belanda. Kekusutan hubungan dua tokoh ini juga dijadikan kesempatan untuk menyerang kediaman Singa Perbangsa, yang memang dianggap membantu terjadinya perundingan di Jepara antara Mataram dan Kompeni, hingga mengakibatkan Trunajaya di hukum mati.

Maka pendopo Karawang diserang oleh Nata Manggala dan Wangsanga bersama pasukannya.  Singa Perbangsa terdesak dan lari ke arah utara.  Akan tetapi di daerah Tunggak Jati Tengah, Singa Perbangsa berhasil ditangkap dan dipenggal kepalanya.  Sedangkan dalem istri dan keluarga serta Raden Anom Wirasuta, Putra Singa Perbangsa, menyelamatkan diri dengan menyebrangi sungai Citarum. Rombongan eksodus ini dipimpin oleh Dalem Singa Derpa Kerta Kumambang. Rombongan ini terus melarikan diri menuju ke selataan.

Hampir bersamaan dengan peritiwa pralayanya Singa Perbangsa ini, R. Suriadipati Putra Rangga Gede dari Sumedanglarang, diangkat menjadi Rangga di Kelapa Dua.  Sementara Indra Manggala Putra Dalem Jaya Manggala dari Sukakerta, Tasikmalaya,  juga mendengar Karwang diserang pemberontak. Dia dan pasukannya segera melarikan kudanya menuju Karawang.  Sampai di suatu tempat Indra Manggala bertemu dengan rombongan keluarga bupati Karawang yang dipimpin Singa Derpa Kerta Kumambang. Kedua belah pihak kemudian melakukan perjanjian damai. Tempat atau bekas perundingan damai ini kini disebut Kampung Badami (berdamai?), yang kini termasuk wilayah Wadas, Teluk Jambe. Setelah pejanjian damai disepakati, Suriadipati dan Indra Manggala segera berupaya menyelamatkan bupati Singa Perbangsa dengan cara menyusup ke wilayah kotaraja.

Meski akhirnya mereka tahu kalau Singa Perbangsa telah gugur, namun Suriadipati dan Indra Manggala telah sepakat bahwa apapun yang terjadi, kepala bupati Karawang yang terpisah dari badannya itu harus bisa diselamatkan. Dikisahkan, selang beberapa waktu kemudian, keduanya dapat memasuki kotaraja Karawang. Bahkan, mereka dapat menyusup ke areal pendopo Karawang yang telah diduduki kaum pemberontak. Ketika itulah mereka melihat potongan kapala Singa Perbangsa dipertontonkan dengan cara ditancapkan dekat pendopo. Maksudnya tak lain agar rakyat Karawang menyerah dan tunduk kepada para pemberontak.

Dengan taktik dan strategi yang jitu,    Suriadipati dan Indra Manggala dengan cepat menyelamatkan kepala bupati Karawang tersebut.  Mereka kemudian membawanya untuk dipersatukan kembali dengan tubuhnya yang telah dibawa terlebih dahulu oleh para abdi dalem dan rakyat Karawang yang telah mengungsi. Maksudnya tak lain untuk dimakamkan secara layak. Menurut tutur, daerah yang dilalui para abdi dalem dan rakyat Karawang dalam pelariannya disebut Klari.  Konon, setelah pemakaman selesai para abdi dalem kembali menemui Singaderpa Kerta Kumambang di Citaman.

Lebih lanjut R.H. Tjetjep Supriadi, dalang yang juga anggota DPRD TK II Karawang ini menguraikan kisahnya. Bahwa, menurut riwayat yang disebarkan secara getok tular (dari mulut ke mulut), sebelum keduanya tiba di daerah Manggung Jaya, lokasi  yang direncanakan untuk memakamakan Singa Perbangsa, Rangga Suriadipati dan Indra Manggala beristirahat di daerah Ciranggon, tepatnya di kawasan irigasi, dekat sebuah sendang,. Nah, sendang inilah yang sekarang disebut Kobak Sumur oleh masyarakat setempat. Disebutkan, karena merasa prihatin melihat potongan kepala Singa Perbangsa yang kotor,. meski masih dihantui kejaran pasukan Trunajaya, namun keduanya menyempatkan diri untuk membersihkan potongan kepala Singa Perbangsa yang berlumur darah kering itu. Tempat mencucinya d Kobak Sumur tersebut.

Konon, akibat perbuatan mereka yang sembrono ini, air sendang yang tadinya jernih, seketika memerah dan berbau anyir.  Apa yang terjadi kemudian? Akhirnya, secara tiba-tiba Rangga Suriadipati dan Indra Manggala merasakan suasana di sekitarnya jadi hening laksana di kuburan.  Seiring dengan itu, indera keenam mereka juga menangkap adanya sesosok makhluk halus beraura jahat yang hadir di tempat itu.  Dengan kesaktian yang mereka miliki, lantas keduanya melakukan kontak gaib dengan makhluk tak diundang tersebut. Hasilnya? M ereka bisa ketahui jika makhluk halus tersebut adalah siluman penunggu kawasan tersebut.  Dari hasil dialog gaib bisa disimpulkan bahwa siluman tersebut sangat tertarik dengan kepala dan bau anyir potongan kepala Singa Perbangsa.

Dengan rasa tanggung jawab besar, mereka akhirnya coba mengusir makluh gaiob tersebut. Akan tetapi siluman itu ternyata memiliki kesaktian tinggi, sehingga tak mudah menaklukkannya. Bahkan, sang siluman terus mengganggu pekerjaan Rangga Suriadipati dan Indra Manggala yang akan membawa potongan kepala Sing Perbangsa dan menyatukan dengan tubuhnya. Ketika mereka terdesak dan hampir hilang akal, maka ketika itulah mereka melihat beberapa orang sedang menggiring kambing.  Rangga Suriadipati segera tanggap. Dipanggilnya para penggiring kambing itu.  Dia pun menceritakan kesulitan yang tengah dihadapannya, dan meminta agar para penggiring kambing itu sudi menyerahkan salah seekor kambingnya untuk dijadikan tumbal pengganti potongan kepala Singa Perbangsa.

Terdorong oleh kecintaan mereka, dan demi menyelamatkan potongan kepala Singa Perbangsa, salah seorang penggiring kambing itu segera menyerahkan seekor kambing jantan miliknya. Kambing inilah yang kemudian disembelih dan kepalanya dipisah dari badannya.  Kepala kambing ini kemudian menjadi pengganti potongan kepala Singa Perbangsa. Potongan kepala kambing itu lantas ditancapkan di sekitar sendang Kobak Sumur, menggunakan batang bambu kuning, dengan maksud untuk mengelabui si makhluk halus yang menginginkan potongan kepala Singa Perbangsa.

Dengan melakukan ritual sederhana ini akhirnya mereka terlepas dari gangguan siluman.  Dengan mata kepala sendiri, mereka menyaksikan wujud sosok siluman itu pergi membawa bangkai kambing tanpa kepala tersebut, sementara kepalanya ditinggalkan menancap dilokasi sendang. Menurut peneropongan batin keduanya siluman itu tertarik dengan kepala kambing yang masih basah dengan darah.  Dan mereka yakin siluman itu akan kembali mengambilnya. Disamping untuk mengelabui siluman, penancapan kepala kambing itu dimaksudkan juga sebagai tanda isyarat bagi pengikut Dalem Singa Perbangsa III, bahwa kepala junjungannya telah berhasil diselamatkan.

Urusan dengan siluman penunggu sendang telah selesai. Karena itulah Rangga Suriadipati dan Indra Manggala kemudian segera meneruskan perjalanannya ke manggung.  “Konon dari peristiwa itulah, tercipta kenapa di daerah Ciranggon orang tabu untuk memelihara apalagi menyembelih kambing, termasuk untuk berkurban.  Bahkan, bagi para pelaku spiritual, apa yang disebut Kobak Sumur itu sampai detik ini masih diziarahi,” terang  R.H. Tjetjep Supriadi, yang juga ayah dari Eka Supriadi, dalang Golek terkenal di Jawa Barat. Dia menambahkan, “Rata-rata yang datang ke Sumur Kobak dengan maksud memperoleh berkah kebaikan, entah dari segi perdagangan maupun pertanian.”.Namun diingatkan, kepercayaan ini hendaknya disikapi dengan bijak. “Jangan sampai menyesatkan, apalagi berakibat syirik!” tandas R.H. Tjetjep Supriadi.


Tanah Kuburan dalam Mitos Orang Bali

Ada banyak mitos yang dianut orang Bali. Misalnya saja, ada hari tertentu saat mereka tak boleh menebang bambu yakni di hari Minggu. Atau berangkat ke tajen bila bertemu dengan orang hamil itu pertanda sang penjudi akan kalah. Masih banyak puluhan mitos lainnya yang tak bisa dihitung dengan jari. Diantara begitu banyak mitos yang dianut orang Bali, dan ini sudah dianggap sebagai pakem, salah satunya adalah yang menyangkut kematian, kuburan, dan sejenisnya. Mitos atau pamali yang berhubungan dengan ketiga hal inilah yang paling banyak dihindari.

“Mencium aroma kuburan saja di seputar halaman rumah, atau di jalan sudah membuat orang Bali merinding,” ujar Dewa Naga, 57 tahun, yang mengaku berulang kali rumahnya dilempari orang dengan tanah kuburan. Biasanya, tanah kuburan itu tidak mesti diambil di kuburan yang sebenarnya. Karena kekuatan magisnya maka tanah pasir yang diambil di tepi pantai pun bisa berubah seolah-olah menjadi tanah kuburan. “Ini karena saat melewati kuburan tanah itu diberi semacam Ajian Aruti Mangala Prancata  oleh mereka yang iri atau dengki kepada kita,” tegas Dewa Naga.

Dampak dari model guna-guna ini adalah seluruh keluarga penghuni rumah akan berantakan, bahkan rejeki bisa menjauh. Menurut Dewa Naga, di antara mereka yang sampai sekarang merasakan dampak kejahatan guna-guna tanah kuburan adalah Ketut Badra, 40 tahun, tetangganya di Tojan, Gianyar, 25 km arah timur Denpasar. Badra sejak sepuluh tahun yang lampau tanpa sebab yang jelas, tiba-tiba saja mengalami sakit mengurus dan mengering tinggal tulang belulang. Padahal sebelumnya, Badra adalah lelaki tangguh yang setiap hari sanggup memanjat 10 kelapa di kampungnya.

“Suatu siang dia mencium aroma kuburan di tepi sungai di ujung desa kami. Saat dia menengoknya, dia melihat ada periuk kecil berisi kembang sepatu hitam, cempaka hitam dan sejumput tanah kuburan yang ditenggarai adalah milik demit atau Gamang yang menghuni dasar sungai tersebut,” kisah Dewa Naga lebih lanjut. Rupanya, ketika itu Ketut Badra tidak sadar kalau periuk kecil berisi sesajen itu adalah milik Gamang. Tanpa sengaja Badra menyepaknya dan periuk itupun akhirnya terpental masuk ke sungai. Seminggu kemudian stelah kejadian itu Badra bermimpi didatangi orang tinggi besar setinggi tiang listrik, kulitnya legam dan lidahnya menjulur.

“Dalam kepercayaan orang Bali, itulah raja Gamang yang hidup di dasar sungai yang mengalir di timur kampung Tojan ini,” tambah Dewa. Sejak saat itulah, tepatnya 13 April 1995, Badra menunjukkan perilaku aneh. Dia tak berani keluar rumah meski siang hari sekalipun. Bahkan melihat sinar matahari lewat jendela kamarnya saja dia ketakutan seperti melihat macan di tengah hutan. Makannya juga semakin sedikit, bahkan kadangkala seminggu sekali baru mau makan. “Karena itu badannya semakin kurus bak tulang terbungkus kulit, matanya kosong menatap hampa kepada siapa saja yang  ada didekatnya. Kami menyebut apa yang dialami Badra itu sebagai terkena Pekakas Gamang,” jelas Dewa.

Setelah hampir setahun sakitnya belum ada tanda perbaikan, keluarganyapun menanyakan kepada orang pintar, persisnya seorang guru spiritual di Klungkung Bali. Disebutkan bahwa suatu siang Badra memang menyepak periuk Gamang yang isinya tanah kuburang sehingga dia menjadi terkena apa yang disebut sebagai sakit ngeb-ngeban, obatnya termasuk sangat sulit. Keluarga Badra pun menerima kenyataan itu dengan lapang dada, karena dalam pandangan orang Bali, sakit menahun akibat kutukan karena menyepak periuk bertanah kuburan itu memang sangat sulit obatnya. Sejak peristiwa itu, kehidupan sehari-hari Badra dulu riang, ramah menyapa siapa saja sahabatnya, sekarang ini tampak membeku, mirip mayat hidup. Keluarganya sudah kehabisan akal untuk menyembuhkan sakitnya. Mungkin seratus dokter, seratus dukun dan seratus orang pintar telah dihubungi untuk menyembuhkan penyakitnya. Namun tak satupun memberikan harapan yang pasti.

Bagi orang Bali, tanah kuburan memang bisa membawa petaka pada siapapun yang tertimpa oleh kesialannya. Seperti juga yang dialami oleh Wayan Soper, 45 tahun, manajer salah satu hotel di Bali. Ceritanya, sekitar lima tahun yang lalu Wayan Soper punya kerabat yang meninggal dunia di Bandung, Jawa Barat. Karena akan dilakukan Ngaben bagi si mayat, maka diputuskan oleh pemuka agama setempat di Bandung untuk hanya mengirim tanah kuburannya ke Bali, dan tidak perlu membakar jenazahnya. “Kami sebenarnya tidak setuju karena itu tidak lumrah, tapi keluarga di Bandung bersikeras agar tanah kuburan itu dikirim ke Bali,” papar Wayan yang asli kelahiran Mengwi Bali ini.

Apa yang terjadi memang diluar akal sehat manusia. Akibat membawa tanah kuburan itu, sejak naik bus di terminal di Bandung, bus sudah menunjukkan gejala kurang beres. Memang nagas, sebelum masuk kota Jogya, bus yang ditumpangi utusan yang membawa tanah kuburan itu bertabrakan. “Terpaksa sang utusan berganti bus lagi, tapi tetap dengan membawa tanah kuburan itu. Anehnya, menjelang masuk terminal Jurang Asri, Surabaya, bus bertabrakan lagi. Kamipun berganti bus lagi,” kenangnya. Itu saja rupanya belum cukup. Menjelang masuk Kota Negara, bus yang ditumpanginya bertabrakan lagi. Akhirnya, merekapun berganti bus untuk ketiga kalinya. Untunglah sampai di Bali tanah kuburan itu tetap utuh tapi tiga bus telah jadi korbannya.

Yang lebih sial lagi, begitu sampai di Bali, saat tanah kuburan itu akan diikutkan dalam upacara Ngaben, keanehan juga terjadi. Menjelang upacara memukur, isteri almarhum yang sebelumnya sehat saat masih berada di Bandung, tanpa mengalami sakit apapun tiba-tiba meninggal dunia. Tanah kuburan membawa sial juga dialami oleh Made Sudi, 47 tahun, tehnisi penyedia jasa tower telepon selular, kelahiran Tabanan Bali. Dia tidak menyepak periuk Gamang penuh tanah kuburan seperti Badra, atau membawa tanah kuburan dari Bandung, tapi berniat menyantet musuh bebuyutannya dengan menggunakan tanah kuburan sebagai medianya. “Menurut Mbah Dukun, saya mesti mencari segenggam tanah kuburan yang ada di tempat kampung musuh yang akan saya sanet itu,” tuturnya belum lama ini kepada penulis. 

Made Sudi menyanggupi syarat itu. Dia pun nekad mengambil tanah kuburan di kampung tempat tinggal orang yang akan disantetnya. Namun karena kemalaman, dia tak segera bisa membawa tanah kuburan itu ke tempat sang dukun, tapi terlebih dahulu menyimpannya di meja yang ada di sebelah tempat tidurnya. “Tengah malam, tiba-tiba telinga saya mendenging dahsyat seperti disambar pesawat jet. Bahkan, karena peristiwa ini gendang telinga saya sampai seperti pecah, karena kerasnya suara itu. Dokter yang memeriksa saya setidaknya mengatakan demikian,” kenang Made Sudi.

Alhasil, dia tak sempat lagi membawa tanah kuburan itu ke rumah dukun karena keburu harus mengobati telinganya. Sampai sekarang pun telinga sebelah kanannya masih sering kumat dan mengeluarkan cairan berbau busuk. Begitulah kepercayaan orang Bali terhadap tanah kuburan. Memang, tak sembarang saja dia bisa dimanfaatkan untuk mencelakai orang lain, salah-salah yang celaka malahan diri kita sendiri.


Kisah Mistik di Senggama Jin

Setelah merantau sebagai TKI di Iraq, negeri yang penuh dengan desingan peluru akibat konflik berkepanjangan antara warga Suni dan Syiah pasca invasi AS dan sekutunya, syukur Alhamdulillah akhirnya aku dapat pulang juga ke Indonesia. Betapa bahagia hatiku karena bisa kembali ke tanah kelahiran. Di kampung halamanku, kedua orang tua dan keluargaku telah lama menantiku. Sejak AS menyerbu Iraq untuk menggulingkan Saddam Hussein, bisa dikatakan seluruh keluargaku tidak bisa tidur nyenyak. Mereka begitu mengkhawatirkan keadaanku, yang hidup di tengah-tengah medan konflik peperangan yang amat panjang. 

Sebulan sejak kepulanganku, aku menikahi seorang gadis cantik. Gayatri namanya. Dia adalah cinta pertamaku sejak kami masih sama-sama SMA dulu. Walau selama bertahun-tahun kami berpisah, Gayatri tetap setia menantiku. Dia memang pernah bersumpah untuk selalu menantiku sampai kapan pun. Gayatri telah menepati janjinya.

Pesta pernikahan kami sengaja kami langsungnya dengan sederhana. Setelah menikah, dengan tabungan yang kudapatkan dari tanah rantau, aku membeli beberapa sawah, tanah dan rumah yang sederhana, juga sebuah mobil angkut untuk bekerja mencari penumpang dari Ciledug menuju Semanan, Jakarta Barat, dan sebaliknya.

Suatu hari, tepatnya 15 Oktober 2008 silam, aku mendapat musibah. Mobil angkot yang kumiliki, tiba-tiba rusak dan ngadat. Dengan susah payah, aku mendereknya ke bengkel. Tepat saat terik matahari memanggang bumi, aku bermandi peluh mengurusi mobil yang ngadat itu.
Karena mobil yang ngadat, aku yang biasanya bisa mendapatkan uang ratusan ribu rupiah sekali tarik, hari itu sama sekali tidak berpenghasilan sepeserpun. Bahkan uang untuk belanja isteriku juga tidak terpenuhi. Naas benar nasibku hari itu.

Ketika sampai di rumah, hari sudah sore. Aku menemukan kucing kesayanganku terkapar di depan pintu. Entah kenapa kucing itu tak bernyawa lagi. Aku menduga dia makan racun tikus di rumah tetangga. Saat aku tiba sore itu, isteriku sedang menidurkan buah hatiku yang masih berumur dua minggu. Karena itulah dia tidak bisa menyambut kedatanganku seperti biasanya. Setelah mandi, aku masuk ke kamar. Aku memutuskan segera tidur, dan mengunci kamar tidurku dari dalam. Isteriku yang sudah kenal dengan watakku semenjak SMA, memahami gelagat yang kurang baik. Ia tahu, suaminya sedang gundah dan tidak mau diganggu. Bahkan terpaksa melepas shalat Maghrib dan Isya.

Malam telah larut, seisi rumah di sisi jalan tol Jakarta – Merak itu telah terbuai mimpi masing-masing. Anak semata wayangku yang biasanya rewel, malam itu pun tenang dalam dekapan ibunya.
Sementara di kamar ruang tengah, tempatku tidur dengan mengunci diri, aku merasa ada sesuatu yang semakin aneh. Antara sadar dan tidak, aku melihat pintu kamarku terbuka. Tak lama setelah itu, kulihat dua sosok wanita berwajah cantik melangkah gemulai menghampiri danjang tua tempat aku terbaring.

Di mataku, salah seorang wanita yang berjalan di depan adalah Maryam, nyonya majikanku saat aku bekerja di Iraq sana. Di belakangnya adalah Umi, puteri tunggal Nyonya Maryam yang cantik jelita. Aku sendiri masih bingung mengapa tiba-tiba kedua wanita itu ada di hadapanku.
Dengan senyum menggoda, dua wanita itu mendekati tempat tidurku. Kemudian duduk di bibir ranjang. Anehnya, di saat yang aku tak lagi merasakan kalau saat itu ada di dalam kamar rumahku yang temboknya belum diplester. Kamar itu sepertinya begitu indah, harum semerbak. Kedua wanita itu juga begitu menggodaku. Singkat cerita, terjadilah hubungan intim seperti laiknya suami isteri. Dengan jantan aku bisa memuaskan kedua wanita itu.

Beberapa saat setelah persetubuhan itu, aku merasa sangat lelah dan kehabisan tenaga. Aku mengira, kedua wanita itu benar-benar bekas bosku di Iraq sana. Tapi, apa mungkin? Pagi harinya, aku terduduk lemas di pinggir ranjang, mencoba mengingat-ingat peristiwa yang baru terjadi. Dan aku mencoba meyakinkan diriku sendiri, bahwa kejadian itu hanyalah mimpi. Tapi, betapa kagetnya diriku, saat sekujur tubuhku telanjang bulat dan tidak ada sehelai kain pun yang menutupinya. Sarung dan celana dalam yang semalam aku kenakan, sudah terlepas dan berserakan di atas tempat tidur.
Aku ragu, apakah yang barusan kualami adalah sebuah mimpi?

Aku mencoba meluruskan kedua kakiku. Kuamati seluruh tubuhku sampai pada bagian bawah perut. Di saat melihat (maaf) bagian sensitif di selengkanganku aku pun dibuat terkejut. Bagaimana tidak? Karena kulihat bulu-bulu kemaluanku hilang, bersih seperti dicukur plontos. Akhirnya aku yakin, peristiwa itu adalah nyata. Aku yakin, Maryam dan Umi benar-benar datang ke kamar dan melakukan semua itu. Buru-buru aku bangkit dan keluar dari dalam kamarku. “Ayah! Apa-apaan kamu ini?” tanya isteriku terperanjat. Aku yang terkejut bingung beberapa saat, sampai akhirnya aku sadar. Ternyata, ketika keluar kamar aku masih dalam keadaan polos, tak secuil kain pun menutupi tubuhku. Untung di dekat pintu ada handuk yang tersangkut di kursi makan. Segera saja aku menyambar handuk tersebut dan melilitkannya di tubuhku. “Memangnya ada apa, ayah menggedor-ngedor pintu dan berkelakuan aneh seperti itu?” tanya isteriku lagi. “Aneh...aneh gimana. Kamu itu yang aneh. Mana tamu kita?’ aku malah balik bertanya. “Tamu siapa?” Gayatri menatapku. “Tuan puteri Maryam dan anak gadisnya. Mereka mencukur bulu kemaluanku?” “Apa? Mereka mencukur bulu anumu? Bulu apaan? Ayah yang bercanda, mana mungkin nyonya besar, bekas juragan ayah datang ke sini hanya untuk mencuku bulu anumu? Lagian jarak Iraq dan Indonesia itu sangat jauh. Ayah jangan bercanda, masih pagi,” jawab isteriku merepet seperti petasan.

Mendengar jawaban Gayatri, aku semakin dibalut oleh rasa heran. Mendadak pikiranku melayang tak karuan, bulu kudukku berdiri meremang disertai munculnya keringat dingin. “Jangan-jangan ada makhluk halus yang menjelma menjadi nyonya dan anaknya. Dan mereka memaksaku untuk melakukan hubungan itu. Aku benar-benar tidak tahu,” kataku dalam hati. Dalam keadaan bingung, aku menuju kamar mandi untuk mandi junub. Ketida sedang jongkok untuk buang air kecil, aku merasa ada yang aneh. Air seni yang keluar membuyar kemana-mana, mengenai kedua pahaku.

Kemudian aku mengambil air segayung untuk membersihkannya. Kali ini aku benar-benar kaget dan nyaris pingsan. Tangan kiri yang kugunakan untuk membersihkan penisku, tidak menemukan apa-apa. Benda milikku yang paling berharga itu telah hilang entah kemana. “Ya Allah, apa yang terjadi denganku?” cetusku dalam hati. Lalu, aku berteriak memanggil isteriku,”Gayatri, lihatlah kemari!” Gayatri datang. Dia mendorong pintu kamar mandi dan terpana melihatku.

“Alat vitalku benar-benar tidak ada, seperti terdorong masuk ke dalam. Bahkan aku merasa ada kekuatan yang menarik-nariknya dari dalam,” ucapku lirih. Gayatri berubah pucat wajahnya. Sejak kejadian itu, aku berubah menjadi pemurung. Jujur saja, aku sangat terpukul sekali dan berubah menjadi pemarah. Tidak berselara makan, bahkan malas melakukan sholat. Pikiranku kalut, tidak tenang dan terombang-ambing. Aku sering dihantui bayang-bayang yang berkelebat, dan suara-suara aneh dalam bahasa Arab.

Berhari-hari aku tidur sendirian, tidak mau ditemani oleh siapapun, bahkan oleh isteriku. Selama 20 hari, aku mengalami tekanan psikologis yang dahsyat, meski secara fisik, aku tampak sehat dan baik-baik saja. Artinya, aku masih dapat melaksanakan kewajiban menarik angkot, walaupun hanya sebentar. Anehnya, seiring dengan itu penghasilanku malah meningkat dua kali lipat dibanding penghasilan sebelumnya. Entah apa yang terjadi sebenarnya.

Untuk memulihkan keadaanku, maksudnya agar kejantananku kembali normal, aku dan Gayatri sudah mendatangi beberapa orang pintar untuk minta bantuan. Menurut Bapak S, seorang paranormal dari Cengkareng, Jakarta Barat, menyatakan bahwa aku masih berada di bawah pengaruh jin yang memperkosaku. Dia menyebut jin itu datang dari Baghdad dab sudah lama nengincarku. Kemudian, si paranormal yang ahli Ilmu Hikmah ini memberi air yang sudah di doakan olehnya. Aku dianjurkan agar beristighfar sebanyak 1000 kali sehari semalam. “Kalau Anda sudah minum air ini dan mengamalkan Istighfar, insya Allah, berangsur-angsur Anda akan kembali tenang, mampu mengendalikan jin-jin itu, tetapi alat vital belm normal seperti dulu,” kata paranormal itu.

Seminggu setelah itu, ternyata tidak ada perubahan yang cukup berarti, kemudian mertuaku membawaku ke Pandeglang, Banten. Dia pernah mendengar, di sana ada seorang haji yang mampu menangani kasus-kasus seperti yang kualami. Singkat cerita, aku pergi ke Pandegleng dan berobat pada Haji dimaksud. Haji tersebut memberiku air putih yang dicampur dengan garam halus. Setelah dibacakan doa-doa, sebagian air itu kuminum dan sebagiannya lagi disiramkan di sekitar halaman rumahku. Setelah tiga hari, kondisiku kembali normal. Akupun bisa tersenyum lepas. Kemudian mertuaku menganjurkan agar aku melakukan selamatan kecil-kecilan sebagai tanda syukur atas terhindarnya diriku dari godaan jin yang berasal dari Baghdad, negeri seribu satu malam.

Kisah ini memang hampir-hampir musykil. Tapi, aku sungguh-sungguh mengalaminya beberapa waktu lalu. Postingan ini berdasarkan kisah nyata, adapun nama-nama pelaku dalam kisah ini sengaja disamarkan untuk menghormati privacy yang bersangkutan.


Wedharing Ilmu Kabatosan

Di dalam kepustakaan Jawa, dikenal kitab kuno, yakni kitab Primbon Atassadhur Adammakna, merupakan salah satu kitab terpenting dalam ajaran Kejawen. Di dalamnya memuat ajaran-ajaran utamanya yakni Wirid Maklumat Jati di mana mencakup delapan wiridan sebagai berikut ;

1.      Wirayat-Jati; ajaran yang mengungkap rahasia dan hakikatnya ilmu kasampurnan. Ilmu “pangracutan” sebagaimana yang ditempuh oleh Sinuhun Kanjeng Sultan Agung merupakan bentuk “laku” untuk menggapai ilmu kasampurnan ini.

2.      Laksita-Jati; ajaran tentang langkah-langkah panglebur raga, agar supaya orang yang meninggal dunia, raganya dapat melebur ke dalam jiwa (warangka manjing curiga). Kamuksan, mokswa,  atau mosca, yakni mati secara sempurna, raga  hilang bersama sukma, yang lazim dilakukan para leluhur zaman dahulu merupakan wujud warangka manjing curiga.

3.      Panunggal-Jati; ajaran tentang hakikat Tuhan dan manusia mahluk ciptaanNya. Atau hakikat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Meretas hakekat ajaran tentang “manunggaling kawula lan Gusti” atau “jumbuhing kawula-Gusti”. Panunggal-Jati berbeda dengan Aji Panunggal. Aji Panunggal membeberkan ke-ada-an jati diri manusia, yang meliputi adanya pancaindera. Aji Panunggal juga mengajarkan tata cara atau teknik untuk melakukan semedi/maladihening/mesu budi/yoga sebagai upaya jiwa dalam rangka menundukkan raga.

4.      Karana-Jati; ajaran tentang hakikat dan asal muasalnya manusia, ajaran ini sebagai cikal bakal ilmu “sangkan-paraning dumadi”. Siapakah sejatinya manusia. Hendaknya apa yang dilakukan manusia. Akan kemana kah selanjutnya manusia.

5.      Purba Jati; ajaran tentang hakikat Dzat, ke-Ada-an Dzat yang sejati. Menjawab pertanyaan,”Tuhan ada di mana ? Dan membeberkan ilmu tentang sejatinya Tuhan. Seyogyanya Purba Jati dibaca oleh pembaca yang budiman dan bijaksana, dan bagi yang telah mencapai tingkatan pemahaman tasawuf agar supaya tidak terjadi kekeliruan pemahaman.

6.      Saloka-Jati; ilmu tentang perlambang, sanepan, kiasan yang merupakan pengejawantahan dari bahasa alam, yang tidak lain adalah bahasa Tuhan. Supaya manusia menjadi lebih bijaksana dan mampu nggayuh kawicaksananing Gusti; mampu membaca dan memaknai bahasa (kehendak) Tuhan. Sebagai petunjuk dasar bagi manusia dalam mengarungi samudra kehidupan.

7.      Sasmita-Jati; ilmu yang mengajarkan ketajaman batin manusia supaya mengetahui kapan “datangnya janji” akan tiba. Semua manusia akan mati, tetapi tak pernah tahu kapan akan meninggal dunia. Sasmita Jati mengungkap tanda-tanda sebelum seseorang meninggal dunia. Tanda-tanda yang dapat dibaca apabila kurang tiga tahun hingga sehari seseorang akan meninggal dunia. Dan bagaimana manusia mempersiapkan diri untuk menyongsong hari kematiannya.

8.      Wasana-Jati; ilmu yang menggambarkan apa yang terjadi pada waktu detik-detik terakhir seseorang meninggal dunia, dan apa yang terjadi dengan sukma atau ruh sesudah seseorang itu meninggal dunia.

Tulisan di atas hanya bersifat pengenalan awal dan pemetaan secara global tentang referensi atau buku-buku khasanah ilmu Jawa. Pada kesempatan selanjutnya, Sabdalangit Insya Allah akan berusaha memaparkan masing-masing ilmu kajaten (Wirit Maklumat Jati) di atas. Mudah-mudahan pemaparan ini dapat memberikan arti dan manfaat.


Ilmu Hakikat



“ A L H A M D U “

    ﺍ  = Hakekat niat = Subuh = Syahadat = Rahasia = Nabi Adam = Innashalati = Qulhuawallahu ahad.
    ﻞ = Hakekat berdiri = Dzohor = Sholat = Dzat = Nabi Ibrahim = Wanusuki = Allahussamad.
    ﺡ = Hakekat ruku = Ashar = Puasa = Sifat = Nabi Nuh = Wamahyaaya = Lamyalid walamyuulad.
    ﻡ = Hakekat sujud = Magrib = Zakat = Asma = Nabi Musa = Wamamaati = Walamyaqullahu.
    ﺪ = Hakekat duduk antara dua sujud = Isa = Haji =Af’al = Nabi Isa = lillahi rabbil alamin = Qufuan ahad.

ALHAMDU = Nur Muhammad = Sumber segala kejadian Alam ini

Telah diisyaratkan dalam Al-Quran dengan kata “Nurun ala Nurin” = Nur yang hidup dan menghidupkan
(Maksudnya : Nur yang di Agungkan dan dibesarkan di Alam semesta ini, yang hidup dan maujud pada tiap-tiap yang hidup dan yang ujud di Alam semesta)
Inilah Kebesaran Hakekat Muhammad yang sebenar-benarnya, yang dipuji dengan kalimah “ALHAMDU”


“ALHAMDU = Kesempurnaan tajalli NUR MUHAMMAD”

Tajjalinya dalam diri yang Batin adalah :
.
ﺍ (Alif) = Al Haq = Ke-Esa-an = Kebesaran Nur Muhammad, tajjalinya = Roh bagi kita.
ﻞ (Lam) = Latifun = Kesempurnaan Nur Muhammad, tajallinya = Nafas bagi kita,
ﺡ (Ha) =  Hamidun = Kesempurnaan Berkat Nur Muhammad, tajallinya =  Hati, Akal, Nafsu Penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa bagi kita.
ﻡ  (Mim) = Majidun = Kesempurnaan Safa’at Nur Muhammad, tajallinya = Iman, Islam, Ilmu, Hikma bagi kta.
ﺪ  (Dal) = Darussalam = Kesempurnaan Nikmat Nur Muhammad, tajallinya = Kulit, Bulu, Daging, Urat, Tulang, Otak, Sumsum bagi kita.

Tajallinya pada diri yang Dzahir adalah :

 ﺍ  (Alif) = kepala bagi kita,
ﻞ   (Lam) = dua tangan bagi kita,
ﺡ  (Ha) = badan bagi kita,
ﻡ   (Mim) = pinggang bagi kita
ﺪ   (Dal) = dua kaki bagi kita.



Yang di-Esa-kan dengan ASYAHADU = ALHAMDU  yaitu :

 ﺍ  (Alif) = Al-Haq = Yang di-Esa-kan dan yang dibesarkan di sekalian Alam semesta.
ﺶ (Syin) = Syuhudul Haq = Yang diakui bersifat Ketuhanan dengan sebenar benarnya.
ﺡ (Ha) = Hadiyan Muhdiyan ilal Haq = Yang menjadi petunjuk  kepada jalan/Agama yang Haq.
ﺪ  (Dal) = Daiyan ilal Haq = Yang selalu memberi Peringatan kepada jalan/Agama yang Haq.


ALHAMDU =  “Alhayyaatu Muhammadu” = kesempurnaan tajjalli Nur Muhammad.

Bahwa :
ADAM = Nama Syariat = Nama Hakekat = Nama kebesaran bagi kesempurnaan tajjali Nur Muhammad,
MUHAMMAD =  Nama ke-Esa-an yang menghimpun nama Adam + nama Allah

Bahwa :
(Adam daminnya ‘Hu’) = (Muhammad daminnya ‘Hu’) = (Allah daminnya ‘Hu’)
Sedangkan, ‘Hu’ makna Syariat = Dia seorang laki-laki
 ‘Hu’ makna Hakekat = Esa = Tiada terbilang-bilang
.
Isyarat ‘Hu’ dalam Al-Quran :
“Huwal hayyun qayyum” = yang hayyun awal, dan tidak ada permulaannya.
“Huwal aliyyil adzim” = yang bersifat dengan sifat-sifat kesempurnaan lagi maha besar.
“Huwal rahmanur rahim”  = yang bersifat rahman dan rahim.
“Huwal rabbul arsyil karim” = yang memiliki Arasy yang maha mulia,
(ARASY =  Nama kemuliaan diri Nabi kita yang sebenar benarnya = Nama majazi bagi sesuatu tempat = Suatu alam gaib yang dimuliakan) 

Bahwa :
Yang bernama ABDULLAH itu adalah Nabi kita yang bernama MUHAMMAD itu sendiri.
Abdullah = Muhamad = Penghulu sekalian Alam

Semuanya nama-nama yang mulia, dilangit dan dibumi itu adalah nama-nama kemuliaan dan kesempurnaan dari tajalli NUR MUHAMMAD itu sendiri, dan menjadi nama majazi pada tiap tiap wujud yang dimuliakan pada alam ini.
.
IsyaratNya dalam Al Qur’an :
“Wahuallazi lahu fiisamaawati wafil ardhi illahu”
“Dan Dialah yang sebenar benarnya memiliki sifat sifat Ketuhanan yakni sifat kesempurnaan yang ada dilangit dan sifat kesempurnaan yang ada di bumi”

“Lahul Asma’ul Husna”
“Hanyalah Dia yang sebenar benarnya memiliki nama nama yang mulia dan yang terpuji yang telah maujud pada semesta alam ini”.

Bahwa :
“Hakekat kebesaran Nur Muhammad itu meng-himpun-kan 4 jenis alam, yaitu :
1. Alam HASUT = Alam yang terhampar di langit dan bumi dan segala isinya.
(Maksudnya : Hasut pada diri kita = Anggota jasad, Kulit, Daging, Otak, Sumsum, Urat, Tulang)
2. Alam MALAKUT = Alam gaib bagi malaikat-malaikat
(Maksudnya : Malakut pada diri kita =  Hati, Akal, Nafas, Nafsu, Penglihatan, Pendengaran, Penciuman, Perasa dan sebagainya)
3. Alam JABARUT = Alam gaib bagi Arasy, Kursi, Lauhul Mahfudz, Surga, Neraka
(Maksudnya : Jabarut pada diri kita = Roh, Ilmu, Hikmah, Fadilat, Hasanah yaitu segala sifat yang mulia dan terpuji)
4. Alam LAHUT = Alam gaibul gaib kebesaran Nur Muhammad
(Maksudnya : Lahut pada diri kita = Batin tempat Rahasia, Iman, Islam, Tauhid dan Makrifat)
.
(Maksudnya lagi : 4 Alam diatas = Wujud kesempurnaan tajalli Nur Muhammad = terhimpun kepada kebenaran wujud diri Rasulullah yang bernama Insanul Kamil)

Hal ini menjadi berkah dan “Faidurrabbani” yakni kelebihan bagi tiap tiap mukmin yang ahli tahkik, bahwa mereka itu adalah “Wada syatul Ambiya” yakni mewarisi kebenaran batin nabi nabi dan rasul rasul dan mukmin yang tahkik itulah yang dinamakan Aulia Allah, namun kebanyakan mukmin itu tidak mengetahui bahwa dirinya adalah Aulia yang sebenarnya.

bahwa :
Muhammad itu ada dua rupa atau dua makna :
1. Muhammad yang bermakna Qadim Azali = diri Muhammad yang pertama, yang tidak kenal mati selama lamanya.
(Maksudnya :  Muhammad diri yang pertama = yang awal Nafas + yang akhir Salbiah + yang dzahir Ma’ani + yang batin Ma’nawiyah)
2. Muhammad yang bermakna Muhammad Bin Abdullah = Insanul Kamil yang mengenal mati.
(Maksudnya : Muhammad diri yang kedua = yang  bersifat manusia biasa, yang berlaku padanya “Sunnatu Insaniah” yaitu “Kullu nafsin zaikatul maut” namun jasad Nabi kita adalak Qadim Idhofi = tiada rusak, selama-lamanya di kandung bumi)
“Innallaha azza wajalla harrama alal ardhi aiya kulla azsadal ambiya”
“Bahwasanya Allah Ta’ala yang maha tinggi telah mengharamkan akan bumi menghancurkan jasad para nabi nabi”

Ingat hal dibawah ini baik-baik :

Agar pemahaman ini tidak sama seperti pemahaman yang ada pada paham-paham yang lain diluar ini, maka perlu kita tetapkan dahulu paham kita sebagai berikut :
.
1. Bahwa Nabi kita Muhammad, yang Muhammad itu adalah manusia biasa seperti kita, hanyalah dilebihkan Ia dengan derajat ke-Rasul-an.
.
2. Bahwa tiap-tiap manusia itu sendiri, baik pada hukum aqli maupun hukum naqli, mempunyai dua macam diri yakni Diri pertama = Diri Hakiki = Rohani, dan Diri kedua = Diri Majazi = Jasmani, Dan diri yang kedua atau diri jasmani itulah kemuliaan bagi Rasulullah maka dinamakan Insanul Kamil.
.
3. Bahwa diri Hakiki yang bermakna Rohani itulah yang bernama Muhammad. Dialah yang Qadim Azali, Qadim Izzati, Qadim Hakiki, itulah makna yang dirahasiakan yang menjadi ke-Esa-an segala sifat kesempurnaan yang 99.
Jalannya kebesaran wujud Roh Nabi kita itulah yang diisyaratkan oleh kalimah “Huallah” jadi makna Muhammad itu Tahkiknya adalah “Ainul Hayyat” yakni wujud sifat yang hidup dan yang menghidupkan.
Maka itu juga yang diisyaratkan dengan kalimah “Laa illaha illallah” dan yang dibesarkan dengan kalimah “Allahu Akbar” dan yang dipuji dengan kalimah “Subbhanallah walhamdulillah” dan sebagainya lagi.
Itu juga yang dipuji dengan “ALHAQ QULHAQ” oleh seluruh malaikat-malaikat Mukarrabin.

4. Bahwa diri Majazi yang bermakna Jasmani itulah yang bernama Insanul Kamil.
Muhammad majazi =  Muhammad yang kedua yang menempuh Al-Maut namun jasad Nabi itu adalah Qadim Idhofi.
Jasad Nabi kita itulah diisyaratkan oleh ayat Al-Quran “Barakallahu fii wujudil karim” = “Maha sempurnalah sifat Allah pada kedzahiran wujud yang sebaik baik rupa kejadian itu”.
Hadist Qudsi =  “ Dzahiru Rabbi wal batinu abdi” =  Kedzahiran sifat kesempurnaan Allah itu adalah maujud pada hakekat kesempurnaan seorang hamba yang bernama Muhammad Rasulullah itu. = maujud dengan rupa Insanul Kamil,
maka rupa wujud Insanul Kamil itulah yang diisyaratkan oleh Al-Quran dengan “Amfusakum” = “Wujud Diri Kamu Sendiri”.
“Wafi amfusakum afalaa tubsirun” =  “Dan yang diri kami berupa wujud insan itu apakah tidak kamu pikirkan”. = yang menjadi diri hakiki atau diri pertama pada insan itu.

Pada hakekatnya “diri kedua” adalah kebenaran dan kesempurnaan Roh Nabi kita yang bernama Muhammad itu semata mata,
(Maksudnya : Diri kedua = Insan yang kedua = Rupa Muhammad yang nyata = yang Nasut = Kebenaran Roh Nabi kita yang bernama Muhammad yang diisyaratkan oleh Al-Quran)
“ALLAHU NURUSSMA WATIWAL ARDHI”  = Kebenaran Nur Allah itu ialah Maujud di langit dan dibumi.
“NURUN ‘ALA NURIN” = Nur yang hidup dan yang menghidupkan atas tiap tiap wujud yang hidup pada alam ini,

Isyarat perkataan 4  sahabat Rasulullah :

Saidina Abu Bakar Siddik r.a.
ﻮﻤﺎﺮﺍﻳﺖ ﺷﻳﺎﺀﺍﻶ ﻮﺮﺍﻳﺖﺍﷲ
(Tidak aku lihat pada wujud sesuatu dan hanyalah aku lihat kebenaran Allah semata mata DAHULUNYA)

Umar bin Khattab r.a :
“Maa ra’aitu syaian illa wara’aitullahu ma’ahu”
(Tidak aku lihat pada wujud sesuatu dan hanyalah aku lihat kebenaran Allah Ta’ala semata-mata KEMUDIANNYA)

Usman bin Affan r.a :
ﻮﻤﺎﺮﺍﻴﺕ ﺘﺒﻳﺎ ﺍﻶ ﻮﺮﺍﻴﺕ ﺍﷲ ﻤﻌﻪ
(Tidak aku lihat pada wujud sesuatuhanyalah aku lihat kebesaran Allah Ta’ala semata-mata BESERTANYA)

Ali bin Abi Talib r.a :
ﻮﻤﺎﺮﺍﻴﺕ ﺷﻴﺎﺀﺍﻶ ﻮﺮﺍﻴﺕ ﺍﷲ ﻓﻴﻪ
(Tidak Aku lihat pada wujud sesuatu hanyalah aku lihat kebesaran Allah Ta’ala semata-mata MAUJUD PADANYA).

……………..  Itulah isyarat-isyarat ayat Al Qur’an ……..
.
“Wakulli hamdulillah sayurikum aayaatihi faakhiru naha”
“Dan ucapkanlah puji bagi Allah karena sangat nampak bagi kamu pada wujud diri kami itu sendiri, akan tanda tanda kebesaran Allah Ta’ala, supaya kamu dapat mengenalnya”

Sabda Nabi Muhammad saw :
“Mamtalabal maula bikhairi nafsihi fakaddalla dalalam baida”
”Barang siapa mengenal Allah Ta’ala diluar dari pada mengenal hakikat dirinya sendiri., maka sesungguhnya adalah ia sesat yang bersangat sesat.
Karena hakekat diri yang sebenarnya, baik rohani dan jasmani tidak lain adalah wujud kesempurnaan tajalli NUR MUHAMMAD itu semata-mata.
Maka apa-apa nama segala yang maujud pada alam ini, baik pada alam yang nyata dan alam yang gaib adalah semuanya nama majazi bagi kesempurnaan tajalli NUR MUHAMMAD.

Adapun makna Syahadat itu adalah :


“ASYHADUALLA ILAHA ILLALLAH”
Naik saksi aku bahwasanya Rohku dan Jasadku tidak lain, melainkan wujud kesempurnaan tajalli NUR MUHAMMAD semata-mata.

“WA ASYHADUANNA MUHAMMADARRASULULLAH”
Dan naik saksi Aku bahwa hanya MUHAMMAD RASULULLAH itu tiada lain, melainkan wujud kebenaran tajalli NUR MUHAMMAD yang sebenar benarnya.

Maka kesempurnaan Musyahadah, Murakabah, dan Musyafahah, yakni ke-Esa-an pada diri yaitu pada keluar masuknya Nafas..

Tidak ada lagi “LAA”
Tetapi hanya “ILLAHA”
Tidak lain Nafsi ”ILLAHU”
Melainkan wujud kebesaran NUR MUHAMMAD semata mata.


Mistik Talempong Batu

Di Talang Anau Suliki Payakumbuh, ada sebuah objek wisata yang rasanya unik dan tidak yakin kita aakn keberadaannya.Yakni sebuah Talempong yang terbuat dari batu.

Talempong adalah sebuah alat musik tradisional Minangkabau, Sumatera Barat. Biasanya terbuat dari bahan logam kuningan.dibentuk menyerupai gong yang berukuran kecil.

Gunanya untuk mengiringi seni tari,kesenian randai atau sebagai alat bunyi-bunyian saat mengarak Pengantin atau lagu-lagu minang.

Tetapi Talempong yang terdapat di Talang Anau ini bukan terbuat dari logam kuningan atau sejenisnya akan tetapi talempong di sini terbuat dari batu alam yang konon kabarnya diambil dari batu gunung yang terdapat di sekitar Talan Anau.

Lantas bunyinya? Apakah sama dengan bunyi talempong yang terbuat dari bahan kuningan? Setelah diketok bunyinya sama persis.Aneh memang kok bunyi batu dapat sama dengan bunyi logam.itulah keunikan Talempong Batu di Talang Anau.

Kalau dilihat bentuk memang tidak sama dengan bentuk talempong yang dipakai di ranah minang,talempomg batu di talang anau ini bentuknya tidak beraturan,bentuknya hanya seperti bongkahan batu biasa.

Talempong Batu talang Anau ini letak kira-kira 38 kilometer dari Kota Payakumbuh menuju arah suliki.

Legenda Talempong Batu Talang Anau
Talempong batu ini awalnya ditemukan berserakan di bukit Padang Aro.Oleh seorang pemuda yang bernama Syamsudin dikumpulkan ketempatnya yang sekarang berada.

Awal cerita syamsudin mulai mengumpulkan batu-batu talempong ini dikarenakan Syamsudin bermimpi tiga kali berturut-turut didatang oleh orang tuanya dalam mimpi tersebut syamsudin disuruh untuk mengumpulakan talempong batu tersebut pada sebuah pokok pohon bamboo (bahasa minangnya talang) yang didekatnya ada pohon enau (bahasa minangnya Anau).

Anehnya syamsudin memindahkan batu-batu yang berukuran besar tersebut dengan jalinan lidi kelapa hijau.Batu-batu itu di giring seperti orang mengiring ternak ke kandang,jaraknya cukup lumayan sekitar satu kilo meter dari tempat yang sekarang.

Setelah mengumpulkan batu-batu ada keanehan yang terjadi pada syamsudin,terkadang dia hilang entah kemana dan muncul tiba-tiba entah dari mana.Karena sering menhilang,penduduk sekitar memberi gelar pada syamsudin,syamsudin tuanku nan hilang.

Setelah sekianlama menghilang tiba-tiba syamsudin tuanku nan hilang muncul dan berpesan kepada penduduk agar menjaga batu-batu tersebut denagn baik.dan apabila akan membunyikan talempong batu tersebut hendaklah minta izin terlebih dahulu dengan cara membakar kemenyan putih.

Kenyataannya memang terjadi,jika tidak minta izin dan membakar kemenyan putih sebelum membunyikanya.talempong batu tersebut tidak mengeluarkan bunyi yang nyaring,akan tetapi berbunyi seperti bunyi batu biasa yang di ketok.

Keanehan lainnya juga ditunjukan oleh batu talempong ini,jika akan terjadi bencana yang akan menimpa nagari talang anau ini baik itu berupa musibah atau wabah.talempong batu ini akan mengeluarkan bunyi menderum,mengelegar atau bunyi-bunyian aneh lainnya.



Kayu Krangeyan

Pohon setinggi 5 – 15 m dengan batang yang paling besar hanya berdiameter 25 cm ini banyak dijumpai di daerah pegunungan. Mulai dari kulit, daun dan bunganya berbau harum. Kayunya diyakini memiliki daya menolak santet, tenung dan gangguan setan jahat. Untuk pengobatan umumnya baik bagi sakit pernapasan.



Kisah Supranatural Keramat Pamijahan

Syech Abdul Muhyi adalah tokoh ulama legendaris yang lahir di Mataram tahun 1650. Ia tumbuh dan menghabiskan masa mudanya di Gresik dan Ampel, Jawa Timur. Ia pernah menuntut ilmu di Pesantren Kuala Aceh selama delapan tahun. Ia kemudian memperdalam Islam di Baghdad pada usia 27 tahun dan menunaikan ibadah haji.

Setelah berhaji, ia kembali ke Jawa untuk membantu misi Sunan Gunung Jati menyebarkan agama Islam di Jawa Barat. Awalnya Abdul Muhyi menyebarkan Islam di Darma, Kuningan, dan menetap di sana selama tujuh tahun. Selanjutnya, ia mengembara hingga ke Pameungpeuk, Garut Selatan, selama setahun. Abdul Muhyi melanjutkan pengembaraannya hingga ke daerah Batuwangi dan Lebaksiuh. Setelah empat tahun menetap di Lebaksiuh, ia bermukim di dalam goa, yang sekarang dikenal sebagai Goa Safarwadi, dengan maksud untuk mendalami ilmu agama dan mendidik para santrinya.

Keberadaan Goa Safarwadi ini erat kaitannya dengan kisah perjalan Syech Abdul Muhyi. Dikisahkan, pada suatu saat ia mendapat perintah dari gurunya yakni Syekh Abdul Rauf Singkel (dari Kuala Aceh), untuk mengembangkan agama Islam di Jawa Barat bagian selatan sekaligus mencari tempat yang disebutkan dalam ilham dengan sebuah gua khusus sebagai tandanya.

Setelah melalui perjalanan yang sangat panjang dan berat, pada suatu hari ketika sedang asyik bertafakkur, memuji kebesaran Allah, Syech Abdul Muhyi tiba-tiba menoleh ke arah tanaman padinya, yang didapati telah menguning dan sudah sampai masanya untuk dipanen.

Konon, setelah dipanen, hasil yang diperoleh ternyata tidak kurang juga tidak lebih atau hanya mendapat sebanyak benih yang ditanam. Mengetahui hal ini ia menjadi sangat terkejut sekaligus gembira, karena itu adalah pertanda bahwa perjuangannya mencari gua sudah dekat.

Upaya pertama untuk memastikan adanya gua yang dicari dan ternyata berhasil ini, dilanjutkan dengan cara menanam padi kembali di lahan sekitar tempat tersebut. Sambil terus berdoa kepada Allah SWT upaya ini pada akhirnya juga mendapatkan hasil. Padi yang ditanam, berbuah dan menguning, lalu dipetik hasilnya, ternyata menuai hasil sama sebagaimana yang terjadi pada peristiwa pertama. Hal ini semakin menambah keyakinan Syech Abdul Muhyi bahwa di tempat itulah (di dalam gunung) terdapat gua yang dicarinya.

Suatu hari ketika sedang berjalan ke sebelah timur gunung tersebut, sambil bermunajat kepada Allah SWT, Syech Abdul Muhyi tiba-tiba mendengar suara air terjun dan kicauan burung-burung kecil dari tempat tersebut. Ia kemudian melangkah turun ke tempat di mana suara itu berada, dan di sana ia melihat sebuah lubang besar yang ternyata sesuai dengan sifat-sifat gua yang cirri-cirinya telah ditunjukkan oleh gurunya. Seketika itu juga terangkatlah kedua tangan Syekh Abdul Muhyi, menengadah ke atas sambil mengucap doa sebagai tanda syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan pertolongan pada dirinya dalam upaya menemukan gua yang dicari.

Peristiwa penemuan gua ini terjadi pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal, tahun 1111 H/1690 M, setelah perjuangan berat dalam mencarinya selama kurang lebih 12 tahun. Usia Syech Abdul Muhyi sendiri pada waktu itu adalah genap 40 tahun. Dan gua tersebut pada nantinya akan dikenal dengan nama Gua Pamijahan. Gua Pamijahan terletak di sebuah kaki bukit yang sekarang dikenal dengan sebutan Gunung Mujarod. Nama ini diambil dari kata bahasa Arab yang berarti “tempat penenangan” atau dalam bahasa Sunda disebut sebagai; tempat “nyirnakeun manah”, karena Syech Abdul Muhyi sering melakukan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) di dalam gua tersebut.

Gua Pamijahan ini pada dasarnya memiliki makna khusus dalam perjalanan dakwah dan spiritual Syech Abdul Muhyi. Penemuan dan keberadaan gua ini seolah menjadi simbol yang menandakan bahwa perjalanan spiritual Syech Abdul Muhyi telah mengalami puncaknya. Selain itu, selalu terdapat makna dan fungsi khusus dalam setiap hal yang terhubung secara istimewa dengan tokoh yang menjalaninya.

Hal ini bisa dipahami karena seperti yang diungkapkan oleh Martin Van Bruinessen, bahwa para tokoh sejarah Islam di nusantara khususnya, biasa melakukan pendekatan supranatural dalam rangka meningkatkan kharisma mereka. Gua besar di Pamijahan (Tasikmalaya Selatan) sebagai tempat Syech Abdul Muhyi melakukan ‘riyadhah spiritual’, dan salah satu pusat penyebaran tarekat Syathariyah di Pulau Jawa adalah contoh dari hal tersebut.
Para juru kunci di tempat ini bahkan menunjukkan sebuah lorong sempit yang konon dilalui oleh Syech Abdul Muhyi untuk pergi ke Makkah setiap Jum’at. Sementara itu di Cibulakan (Pandeglang-Banten) misalnya, juga terdapat sebuah sumur yang konon berhubungan dengan sumber air zam-zam di Makkah. Menurut riwayat, Maulana Mansyur, yang diyakini sebagai wali, yang dimakamkan di Cikaduwen, pulang dari Makkah melalui sumber mata air zam-zam dan muncul di sumur ini.

Ringkasnya, hingga saat ini masih ada “kyai” di Jawa, yang menurut para pengikutnya yang paling fanatik, setiap Jum’at secara gaib pergi sembahyang di Masjidil Haram. Semua ini juga menandaskan perihal lain, yakni kuatnya peranan haji dan Makkah serta hubungannya dengan tradisi spiritual sebagai legitimasi kekuasaan atau keilmuan seseorang, dalam pandangan orang Jawa.

Di lingkungan kekeramatan Pamijahan sendiri terdapat beberapa kisah yang mengandung pengertian di atas. Satu kisah yang sering beredar menyebutkan bahwa, konon Syech Abdul Muhyi bersama Maulana Mansyur dan Ja’far Shadiq sering shalat di Makkah bersama-sama lewat Gua Pamijahan. Ketiga orang itu memang dikenal mempunyai ikatan persahabatan yang sangat erat.

Kisah supranatural lain di lingkungan kekeramatan Pamijahan adalah kisah yang menjadi muasal diharamkannya merokok di lingkungan tersebut. Menurut kepercayaan masyarakat, pada suatu hari Syech Abdul Muhyi dan Maulana Mansyur berada di Makkah hendak pulang ke tanah Jawa, keduanya kemudian berunding tentang pemberangkatan bahwa siapa yang sampai lebih dulu di Jawa, hendaklah menunggu salah seorang yang lain di tempat yang telah ditentukan. Lalu berangkatlah kedua sahabat tersebut dengan cara masing-masing, yakni; Syeikh Maulana Mansyur berjalan di atas bumi sedangkan Syech Abdul Muhyi di bawah bumi, keduanya sama-sama menggunakan kesaktiannya.

Namun, ketika Syech Abdul Muhyi sedang berada dalam perjalanan di bawah laut, tiba-tiba ia merasa kedinginan, lalu berhenti sebentar. Sewaktu hendak menyalakan api dengan maksud untuk merokok, tanpa disangka muncul kabut yang membuat sekelilingnya jadi gelap. ia terpaksa berdiam diri menunggu kabut tersebut menipis sambil merokok. Namun kabut itu ternyata semakin menebal. Akhirnya ia teringat bahwa merokok itu perbuatan yang makruh (dibenci Allah). Maka seketika itu juga ia merasa berdosa dan segera bertaubat kepada Allah SWT. Bersamaan dengan itu kabut pun menghilang, dan akhirnya ia bisa berangkat lagi meneruskan perjalanannya.

Mulai saat itulah Syech Abdul Muhyi menjauhkan diri dari merokok, bahkan bisa dikatakan mengharamkan rokok untuk dirinya. Sedang kepada keluarga dan pengikutnya, ia  hanya melarang mereka merokok sewaktu di dekat dirinya.

Oleh karena itu, di daerah Pamijahan ada tempat tertentu yang dilarang secara adat untuk merokok, khususnya tempat yang berada di sekitar makam Syech Abdul Muhyi. Adapun batas-batas wilayah larangan merokok antara lain: sebelah timur daerah Kaca-Kaca, sebelah barat jalan yang menuju ke gua dimulai dari masjid Wakaf, sebelah selatan dimulai dari makam Dalem Yudanagara (+ 300 m) dari makam Syech, sedang sebelah utara (±300 m) dari makam Syech, yaitu jalan umum yang menuju ke Makam Eyang Abdul Qohar di Pandawa.

Singkat kata, wilayah-wilayah dengan batasan yang telah ditentukan tersebut adalah daerah larangan merokok menurut adat yang berlaku.

Kisah-kisah semacam ini tidak akan dibahas lebih jauh. Yang perlu direnungi adalah hikmah yang berada di baliknya. Sebab, setiap cerita yang ada pada dasarnya menunjukkan keluasan ilmu, keluhuran pribadi dan kemuliaan pengabdian Syech Abdul Muhyi kepada masyarakat dalam perjuangannya mengajarkan prinsip-prinsip Islam dan menjauhkan mereka dari bentuk-bentuk kepercayaan yang sesat.

Pamijahan sendiri pada dasarnya adalah nama sebuah kampung yang letaknya di pinggir kali, sehingga ia merupakan tempat yang menguntungkan karena masyarakat sekitar dapat mengolahnya untuk mengembang-biakkan ikan, akan tetapi kondisi ini juga bisa sebaliknya, yakni kadang-kadang membawa bencana, seperti banjir yang melanda daerah tersebut beberapa waktu yang lalu. Peristiwa ini membuat banyak rumah yang hanyut karena tidak kuat menahan banjir. Oleh karena itu pula, bangunan-bangunan yang sekarang masih ada dan terletak di tepi sungai harus dibuat permanen.

Pamijahan termasuk ibu kota Desa di Wilayah Kecamatan Bantarkalong, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Sebelum Syech datang ke Pamijahan, sudah ada kampung yakni daerah Bojong, wilayah Sukapura, terletak di sebelah Timur Laut dari kampung Pamijahan sekarang, yang kini dikenal dengan nama Kampung Bengkok. Di sana terdapat makam Dalem Sacaparana, mertuanya Syech Abdul Muhyi.

Adapun kata “Pamijahan” adalah nama baru, di masa hidup Syech Abdul Muhyi sendiri nama tersebut belum dikenal. Wilayah ini disebut oleh Syech Abdul Muhyi dengan istilah Safar Wadi. Nama ini diambil dari kata Bahasa Arab, yakni: safar yang berarti “jalan” dan wadi yang berarti “lembah”. Jadi, Safar Wadi adalah jalan yang berada di lembah. Hal ini disesuaikan dengan letaknya yang berada di antara dua bukit di pinggir kali.

Namun sekarang Safar Wadi dikenal juga dengan nama Pamijahan, karena banyak orang yang berdatangan dari pelosok Pulau Jawa secara berduyun-duyun, laksana ikan yang akan bertelur (mijah). Karena itu nama Safar Wadi kemudian berganti menjadi Pamijahan, sebab mempunyai arti yang hampir mirip dengan tempat ikan akan bertelur, dan bukan berarti tempat “pemujaan”.

Goa Safarwadi merupakan salah satu tujuan utama peziarah yang berkunjung ke Pamijahan. Panjang lorong goa sekitar 284 meter dan lebar 24,5 meter. Peziarah bisa menyusuri goa dalam waktu dua jam. Salah satu bagian goa yang paling sering dikunjungi adalah hamparan cadas berukuran sekitar 12 meter x 8 meter yang disebut sebagai Lapangan Baitullah. Tempat itu dulu sering dipakai shalat oleh Syech Abdul Muhyi bersama para santrinya.

Di samping lapangan cadas itu terdapat sumber air Cikahuripan yang keluar dari sela-sela dinding batu cadas. Mata air itu terus mengalir sepanjang tahun. Oleh masyarakat sekitar, air itu dipopulerkan sebagai air “zam-zam Pamijahan.” Air ini dipercaya memiliki berbagai khasiat. Menjelang Ramadhan, para peziarah di Pamijahan tak lupa membawa botol air dalam kemasan, bahkan jerigen, untuk menampung air “zam-zam Pamijahan” itu. Dengan minum air itu, badan diyakini tetap sehat selama menjalankan ibadah puasa.

Syech Muhyi ini disebut juga oleh bangsa wali lainnya dengan gelar A’dzomut Darojat, yang artinya “orang yang mempunyai derajat agung.” Bercerita tentang derajat kewaliyan, tentu kita hanya paham atau mengerti secara sepintas, bahwa yang disebut derajat seperti ini hanya ada di zaman Wali Songo. Sebenarnya pemahaman seperti ini tidak benar, karena derajat Waliyulloh akan terus mengalir hingga sampai pada akhir zaman sebagai sunnaturrosul.

Syech Abdul Muhyi dalam sejarah hidupnya adalah seorang yang zuhud, pintar, sakti dan terkenal paling berani dalam memerangi musuh Islam. Namun semua itu adalah masa lalu dan kini hanya tinggal kenangan belaka. Hanya saja walau ia sudah ratusan tahun telah tiada, namun rohmat serta kekeramatannya masih banyak diburu, terutama oleh para peziarah yang minta berkah lewat wasilahnya.


Makam Keramat Godog

Terletak di Desa Lebak Agung, Kecamatan Karangpawitan. Sunan Godog dikenal dengan sebutan Prabu Kiansantang yang hidup pada abad ke 15 masehi, pada masa kerajaan yang diperintah oleh Prabu Siliwangi yang beragama Hindu. Beliau mempunyai dua anak diantaranya bernama Kiansantang (Sunan Rahmat) yang terkenal dengan kesaktiannya. Dia termasuk penyebar agama Islam di Pulau Jawa khususnya di kerajaan Padjadjaran. Setelah menyebarkan agama Islam di daerah Garut, Sunan Rahmat kembali kedaerah Godog dan menetap sampai akhir hayatnya.

Sekarang makam tersebut banyak dikunjungi oleh para peziarah dan merupakan obyek wisata makam Godog. Adapun daya tarik yang terdapat di makam Godog (Sunan Rahmat) berupa makam yang dikeramatkan dan barang pusaka peninggalan masa lalu yang dirawat dengan baik, seperti golok, keris dan yang lainnya. Barang-barang tersebut setiap setahun sekali dicuci dengan air bunga-bungaan dan digosok dengan minyak wangi supaya tidak berkarat. Biasanya dilakukan setiap tanggal 12 Mulud yang disebut upacara Ngalungsur atau panjang jimat, sekaligus merupakan atraksi wisata ritual. Untuk mencapai makam Godog diperlukan waktu 40 menit atau kira-kira 11 Km dari pusat kota.

Terdapat 7 buah makam yang terdiri dari makam Kiai Santang yang terdapat pada ruang utama, makam Sembah Dalem Sarepeun Suci, Makam Sembah Dalem Sarepeun Agung, Sembah Dalem Kholipah Agung, dan Santuwaan Marjaya Suci yang kesemuanya berada pada ruang tertutup dengan ruangan yang berbeda dengan Makam Kiai Santang Kemudian di sebelah luar terdapat makam Syek Dora dan makam Sembah Pager Jaya yang berada pada ruang terbuka dengan letak yang terpisah. Sembah Pager jaya adalah penjaga makam pertama makam Godog dan keturunannya juga merupakan juru kunci atau kuncen makam tersebut. Sesepuh juru kunci kawasan Makam Keramat Godog adalah bapak H. Ahmad Endang.

Hal yang menarik dari Makam Keramat Godog salah satunya adalah mengenai sejarah atau legendanya yang menceritakan tentang Kiansantang atau Syek Sunan Rohmat. Kiansantang menurut sejarahnya merupakan putra dari Prabu Siliwangi dari 3 bersaudara yaitu Dewi Rara Santang dan Walang Sungsang. Kiansantang lahir pada tahun 1315 Masehi di Padjadjaran yang sekarang Bogor. Pada usia 22 tahun tepatnya tahun 1337 masehi Kiansantang diangkat menjadi Dalem Bogor ke II. Dari kecil hingga dewasa yaitu sampai usia 33 tahun tepatnya tahun 1348 masehi, Prabu Kiansantang belum ada yang menandingi kegagahannya dan kesaktiannya di sejagat pulau Jawa. Prabu Kiansantang meninggalkan Padjadjaran menuju tanah Mekah untuk bertemu tandingannya yaitu Sayyidina Ali.

Setelah bertemu dengan Sayyidina Ali Kiansantang yang diganti namanya Galantrang Setra merasa terkalahkan dan enggan sehingga Galantrang Setra masuk Islam. Setelah itu Kiansantang bermaksud pulang ke Padjadjaran untuk menengok ayahnya Prabu Siliwangi dan saudara-saudaranya. Karena pada waktu itu Kiansantang belum bisa menyebarkan agama Islam dengan sempurna karena belum menguasai ajaran agama Islam beliau kembali ke Kota Mekah. Pada tahun 1362 masehi Prabu Kiansantang kembali ke tanah Jawa untuk menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa.




Bajulgiling Ajimat Sakti Milik Jaka Tingkir

Menurut Babad Jawi dan Babad Sengkala, timang atau kepala ikat pinggang Kyai Bajulgiling adalah timang sakti milik Kyai Buyut dari Banyubiru yang kemudian diberikan kepada Jaka Tingkir atau Mas Karebet. Timang Kyai Bajulgiling’bersama ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit buaya itu diberikan Kyai Buyut dari Banyubiru kepada Jaka Tingkir sebagai piandel dalam pengabdiannya ke Kerajaan Demak Bintoro yang kemungkinan akan mengalami banyak hambatan, baik selama di perjalanan maupun setelah berada di Demak Bintaro.

Diceritakan dalam Babad Pengging, konon Timang Kyai Bajulgiling dibuat oleh Kyai Banyubiru dari bijih baja murni yang diambil dari dalam gumpalan magma lahar Gunung Merapi. Dengan kekuatan gaibnya, bijih baja murni itu oleh Kyai Banyubiru dibuat menjadi dua pusaka. Satu berbentuk sebilah keris luk tujuh yang dikenal dengan nama Kyai Jalakpupon dan satunya lagi berbentuk timang (kepala ikat pinggang) yang kemudian dikenal dengan nama Kyai Bajulgiling, karena bentuk mata timang yang seperti buaya giling dengan kepala sedikit terangkat, mulut terkatup tapi kedua matanya terbuka lebar.

Kekuatan gaib yang dimiliki oleh Timang Kyai Bajulgiling ialah, barang siapa yang memakai ikat pinggang Timang Kyai Bajulgiling ini, maka dia akan kebal dari segala macam senjata tajam dan ditakuti semua binatang buas. Hal ini selain kekuatan alami yang dimiliki oleh inti bijih baja murni itu sendiri, juga karena adanya kekuatan rajah berkekuatan gaib yang diguratkan Kyai Banyubiru di seputar timang tersebut. Kemudian kekuatan ikat pinggang ber-Timang Kyai Bajulgiling beberapa kali dialami dan dibuktikan sendiri oleh JakaTingkir.

Mengenai hal ini Babad Tanah Jawi menceritkan sebagai berikut:

Jaka Tingkir konon lahir di Pengging yang penuh rahasia, yang tentunya sebuah negeri kecil yang berdiri sendiri. Di sana terdapat beberapa benda kuno dari zaman Hindu, juga sebuah makam keramat yang dinyatakan sebagai tempat peristirahatan ayah Jaka Tingkir yang bernama Kebo Kenanga alias Andayaningrat. Karena ia lahir sewaktu ada pertunjukkan wayang Beber (juga dinamakan wayang Karebet), maka ia pun dinamakan Mas Karebet.

Tetapi Jaka Tingkir tidak dibesarkan di Pengging, namun di Tingkir, sebab Sunan Kudus, raja pendeta diplomat jendral Demak, telah membunuh ayahnya karena pembangkangan, dan tidak lama setelah itu ibunya pun meninggal. Keluarganya kemudian membawanya ke Tingkir, dan disana ia diasuh oleh seorang janda kaya, sahabat ayahnya. Karena itulah ia diberi nama Jaka Tingkir, pemuda dari Tingkir.

Mengikuti saran Ki Ageng Selo, gurunya dan Sunan Kalijaga, Jaka Tingkir pergi ke Demak untuk bekerja mengabdikan diri pada Sultan Demak, dan melamar sebagai pengawal pribadi. Keberhasilannya meloncati kolam masjid dengan lompatan ke belakang tanpa sengaja, karena sekonyong-konyong ia harus menghindari Sultan dan para pengiringnya memperlihatkan bahwa dialah orang yang tepat sebagai tamtama, dan diapun dijadikan sebagai kepala.

Beberapa waktu kemudian satuan itu menuntut perluasan. Seorang calon yang tak berwajah tampan (buruk rupa), bersikap tidak menyenangkan bagi panglima muda ini. Karenanya calon itu tidak diuji seperti bisa, yaitu menghancurkan kepala banteng dengan tangan telanjang, melainkan diuji kekebalannya yang disetujui pula oleh yang bersangkutan. Dan hanya dengan sebuah tusuk konde Jaka Tingkir mampu menembus jantungnya. Alangkah hebat kesaktiannya. Tapi seketika itu juga, hal ini mengakibatkan ia dipecat dan dibuang.

Kepergiannya menimbulkan rasa sedih yang mendalam pada kawan-kawannya. Dengan rasa putus asa Jaka Tingkir pulang kembali dan ingin mati saja.

Dua orang pertapa, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang (suami dari putri Bondan Kejawen atau adik Ki Ageng Getas Pendawa, kakek buyut Panempahan Senopati) tidak hanya memberi pelajaran, tetapi juga memberi semangat kepadanya. Ketika Jaka Tingkir berziarah di malam hari di makam ayahnya di Pengging, terdengarlah suara yang menyuruhnya pergi ke tokoh-tokoh keramat lain, antara lain Kyai Buyut dari Banyubiru  yang selanjutnya menjadi gurunya. Demikianlah Kyai ini memberikan kepadanya azimat agar ia mendapat perkenan kembali dari Sultan. Azimat pemberian Kyai Buyut dari Banyubiru itu berupa sebuah ikat pinggang dengan timang yang matanya berwujud buaya, yang diyakini sebagai Timang Kyai Bajulgiling.

Perjalanan kembali Jaka Tingkir ke Demak dilakukan dengan getek (rakit yang hanya terdiri dari susunan beberapa batang bambu). Saat akan melewati Kedung Srengenge, Jaka Tingkir menghadapi hambatan karena adanya sekawanan buaya, kurang lebih berjumlah 40 ekor, yang menjadi penghuni dan penjaga kedung tersebut. Percaya dengan kekuatan gaib dari Timang ikat pinggang pemberian Kyai Buyut Banyubiru, Jaka Tingkir nekad mengayuhkan geteknya memasuki kawasan Kedung Srengenge.

Bahaya pun mengancam ketika sekawanan buaya menghadang dan mengitari rakitnya. Namun berkat kekuatan gaib dari Timang Kyai Bajulgiling, buaya-buaya yang semula buas beringas seketika menjadi lemah dan akhirnya tunduk pada Jaka Tingkir. Bahkan keempat puluh buaya ekor buaya itu menjadi pengawal perjalanan Jaka Tingkir selama menyebrangi Kedung Srengenge dengan berenang di kiri-kanan, depan dan belakang rakitnya.

Di wilayah Demak azimat pemberian Kyai Buyut Banyubiru diterapkannya kembali. Seekor lembu liar dibuatnya menjadi gila, sehingga tiga hari tiga malam para tamtama pun tidak dapat menghancurkan kepalanya, dan bahkan dengan malu terpaksa mengaku kalah. Hanya Jaka Tingkir yang berhasil membunuh kerbau itu, yakni hanya dengan mengeluarkan azimat yang telah dimasukkan ke dalam mulut hewan itu sebelumnya. Setelah itu ia mendapatkan kembali kedudukannya yang lama.

Beberapa waktu kemudian ia menikah dengan putri ke -5 Raja (Sultan Trenggono) dan menjadi Bupati Pajang dengan daerah seluas 4.000 bahu. Tiga tahun ia harus menghadap ke Demak, tetapi negerinya berkembang dengan baik sekali dan di sanalah dibangunnya sebuah istana….

Demikianlah sekilah kisah tentang Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, gelar setelah menjadi Raja di Pajang. Setelah dia wafat, lalu dimanakah keberadaan ikat pinggang dan Timang Kyai Bajulgiling azimat pemberian Kyai Buyut Banyubiru itu? Sebab setelah meninggalnya Jaka Tingkir, tak satu pun dari anak, menantu dan kerabat dekat Sultan Hadiwijaya seperti Pangeran Benowo, Pangeran Pangiri dan juga Sutawijaya atau Senopati pernah menyimpan Timang Kyai Bajulgiling? Demikian juga halnya dengan dua sahabat dekatnya dari Pengging, Tumenggung Wirakerti dan Suratanu.

Menurut cerita, ikat pinggang dengan Timang Kyai Bajulgiling itu tertinggal di depan makam Sunan Tembayat di Gunung Jabalkat (masuk wilayah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah), lupa terbawa oleh Sultan Hadiwijaya yang mengakibatkan ia terjatuh dari gajah yang dinaikinya dalam perjalanan pulang dari Tembayat ke Pajang.

Seperti diceritakan dalam Serat Kanda. Kedatangan iparnya Tumenggung Mayang memberi kesempatan kepada Senopati untuk mendapat pengikut lebih banyak lagi dari Pajang. Fakta-fakta ini pada suatu hari dalam persidangan agung di Pajang disodorkan oleh para menantu raja (Tumenggung Tuban dan Tumenggung Demak) kepada raja agar diperhatikan karena mereka berpendapat perlu segera menggempur Mataram. Meskipun sadar akan jatuhnya Pajang nanti, Sultan tidak bisa bertahan atas desakan itu, dan memerintahkan untuk mengangkat senjata. Para tumenggung menyatakan bersedia, asalkan Sultan turut serta, meskipun berada di belakang barisan.

Lebih kurang 10.000 orang prajurit dipersiapkan. Pangeran Benowo naik kuda di belakang ayahnya yang duduk di atas gajah. Di Prambanan mereka berhenti dan memperkuat pertahanan dengan meriam.

Kyai Adipati Mandaraka (Juru Mertani), yang melihat akan terjadinya pertempuran besar, mendesak Senopati agar pergi ke Gua Langse (Gua Rara Kidul) sedangkan ia sendiri akan ke Gunung Merapi untuk meminta bantuan. Setelah kembali dari Gua Langse Senopati mengumpulkan 1.000 orang prajurit, dan 300 orang di antaranya ditempatkan di sebelah selatan Prambanan. Mereka mendapat perintah, begitu terdengar suara letusan keluar dari Gunung Merapi, harus segera memukul canang Kyai Bicak dan berteriak-teriak. Sebagai panglima diangkat Tumenggung Mayang.

Pertempuran terjadi di dua tempat. Pasukan Mataram pura-pura melarikan diri. Tetapi orang-orang Pajang yang mengejarnya tiba-tiba diserang oleh pasukan Matram dari dua arah dan dicerai-beraikan. Gelap malam menghentikan pertempuran itu. Kedua belah pihak kembali ke kubu pertahanan masing-masing.

Hari itu pukul tujuh pagi, Gunung Merapi meletus di tengah-tengah kegelapan. Hujan lebat, hujan debu, gempa bumi, banjir dan gejala alam lain yang menyeramkan. Orang-orang Mataram memukul Canang Kyai Bicak. Banjir menggenangi kubu panjang yang memaksa mereka melarikan diri dalam kebingungan. Sultan terseret dalam kekacauan itu.

Selanjutnya diceritakan dalam Serat Babad Tanah Jawi. Sultan, dalam hal ini Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, yang malang dan terpaksa melarikan diri itu ingin berdoa di makam Tembayat, tetapi pintu makam tidak dapat dibuka. Raja tidak mampu membukanya sehingga ia berlutut saja di luar. Juru kunci memberikan penjelasan yang sangat buruk tentang kejadian itu. Rupanya Allah tidak lagi memberinya izin menjadi raja. Hal ini amat mengguncangkan jiwa sang raja. Pada malam hari ia tidur dalam bale kencur yang dikelilingi air, yang sangat menyegarkan.

Esok harinya perjalanan dilanjutkan, tetapi raja terjatuh dari gajahnya dan menjadi sakit karenanya. Setelah itu ia dinaikkan di atas tandu, begitulah perjalanan pulang ke Pajang amat lambat dan raja duduk terguncang-guncang di atas tandu.

Pangeran Benowo, Pangeran Pengiri, Tumenggung Wirakerti dan Suratanu yang menolong raja saat jatuh dari gajah, segera mengetahui, mengapa Sultan tidak bisa lagi mengendalikan gajah yang tiba-tiba menjadi galak, karena tidak lagi adanya ikat pinggang azimat dari Kyai Buyut Banyubiru di pinggangnya. Suratanu ingat, Sultan melepaskan ikat pinggang itu dari tubuhnya dan meletakkan di sampingnya saat berdoa di depan makam Sunan Tembayat. Suratanu meyakini ikat pinggang itu pasti lupa terbawa oleh Sultan dan masih tertinggal di depan pintu makam di Tembayat.

Dengan cepat Suratanu menggebrak kudanya kembali ke makam Sunan Tambayat. Tapi ikat pinggang itu sudah tidak ada di tempatnya. Menurut juru kunci, hilangnya ikat pinggang Sultan memberi pertanda akan berakhirnya masa kejayaannya, karena ikat pinggang itulah yang telah mengantarnya mendapatkan harkat dan martabat yang terhormat.

Banyak kisah tentang hilangnya dan keberadaan ikat pinggang bertimang Kyai Bajulgiling yang bertuah itu. Ada sebagian kisah menceritakan, ikat pinggang yang tertinggal di depan pintu makam Sunan Tembayat itu diambil dan disimpan oleh juru kunci makam. Tetapi ada pula yang mempercayai ikat pinggang itu hilang secara gaib, yang hilangnya azimat itu juga diketahui dan disadari oleh Sultan.

Namun yang jelas, ikat pinggang dengan Timang Kyai Bajulgiling azimat buatan Kyai Buyut Banyubiru itu secara gaib masih tersimpan di seputar makam Sunan Tembayat di Gunung Jabalkat. Karena itu tak heran bila sejak dahulu sampai sekarang banyak orang pintar yang berusaha mengambilnya dari alam gaib, baik untuk dirinya sendiri atau untuk kepentingan orang lain. Hal ini karena adanya kepercayaan, akan kekuatan gaib yang terkandung dalam Timang Kyai Bajulgiling yang dapat mengangkat derajat, harkat dan martabat pemilik atau pemakainya.

Meski sudah banyak sekali orang pintar yang memburu kepala ikat pinggang sakti milik Jaka Tingkir itu, namun hingga kini belum diperoleh informasi apakah sudah ada di antara mereka yang berhasil mendapatkan benda keramat dari alam gaib itu.

Saat penulis berkunjung ke lokasi Makam Sunan Tembayat di Gunung Jabalkat beberapa waktu silam, yang kebetulan ditemani oleh Mbah Diran, seorang paranormal asal dusun setempat, tidak berhasil mendapatkan gambaran gaib mengenai benda ini.

”Sepertinya ada kekuatan gaib yang sangat hebat menutupi keberadaan Timang Kyai Bajulgiling, sehingga Mbah sulat untuk melacak posisinya. Mungkin, faka ini juga yang membuat banyak orang yang memburunya sulit mendapatkan pusaka sakti ini,” ungkap Mbah Diran.


 

SEO Stats powered by MyPagerank.Net

 Subscribe in a reader

Add to Google Reader or Homepage

Powered by FeedBurner

Waris Djati

↑ Grab this Headline Animator

My Ping in TotalPing.com Protected by Copyscape Online Copyright Protection Software DMCA.com Literature Blogs
Literature blog Submit Your Site To The Web's Top 50 Search Engines for Free! free web site traffic and promotion Submitdomainname.com Sonic Run: Internet Search Engine
eXTReMe Tracker
free search engine website submission top optimization